• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. TRANSMISI HARGA BIJI KAKAO DI PASAR FISIK INDONESIA, PASAR BERJANGKA NEW YORK, DAN LONDON

6.2 Analisis Data

6.2.1. Uji Stasioneritas dan Derajat Integras

Pegujian pertama yang harus dipenuhi dalam penyusunan model VAR adalah uji stasioneritas data yang akan digunakan. Uji kestasioneran merupakan tahap penting dalam menganalisis deret waktu untuk melihat ada tidaknya unit akar yang terkandung diantara variabel sehingga bisa diketahui data tersebut stasioner atau tidak. Selain itu, pengujian ini dilakukan agar terhindar dari regresi lacung (spurious regression) sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Regresi lancung terjadi apabila hasil regresi menunjukkan hubungan yang nyata antar variabel dengan koefisien determinasi yang tinggi tapi kenyataannya tidak sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran dalam penelitian terhadap suatu fenomena yang sedang terjadi.

Kestasioneran data diuji dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller

(ADF). Data dikatakan stasioner apabila nilai ADF statistic lebih kecil dari nilai

McKinnon Critical Value (nilai kritis). Apabila nilai ADF statistic lebih besar dari nilai kritis maka data bersifat tidak stasioner artinya data tersebut mengandung

unit root. Pengujian unit root dilakukan mulai dari tingkat level kemudian apabila belum stasioner maka dilakukan lagi uji akar pada tingkat first difference, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya.

Jika dilihat dari grafik pergerakan harga biji kakao di Indonesia, London, dan New York ada kecenderungan dari data tersebut memiliki trend dan intersep. Data dapat dikatakan memiliki trend jika terlihat peningkatan atau penurunan secara umum pada data tersebut sedangkan intersep merupakan besar data yang akan berubah jika respon ditambah satu satuan. Sehingga dalam pengujian unit

root dapat dipilih pengujian dengan menggunakan trend dan intersep.

Hasil unit root test untuk tingkat level dan tingkat first difference dari bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil uji stasioneritas tes pertama, diketahui bahwa nilai ADF statistic dari masing-masing variabel lebih besar secara absolut dari MacKinnon Critical Value. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga data tersebut belum stasioner pada tingkat level. Selain itu, jika dilihat dari probabilitas variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT

berturut-turut adalah 0.3224, 0.2414, dan 0.3467. Nilai tersebut lebih besar daripada 0,1 (α = 10%). Artinya, variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT belum stasioner pada α = 1%, 5%, atau 10%. Dengan demikian, pengujian dilanjutkan dengan uji derajat integrasi (tes kedua).

Tabel 9. Hasil Unit Root Test Bursa INDO, LIFFE, dan NYBOT

Variabel

Trend dan Intersep

Tingkat Level Tingkat First Difference Nilai ADF Nilai Kritis

10% Prob Nilai ADF

Nilai Kritis

10% Prob

INDO -2.511317 -3.144465 0.3224 -11.74221 -3.144585 0.0000 LIFFE -2.692199 -3.144585 0.2414 -9.491952 -3.144707 0.0000 NYBOT -2.461740 -3.144465 0.3467 -11.48697 -3.144585 0.0000

Pada uji derajat integrasi pertama didapat hasil bahwa nilai ADF statistic

untuk ketiga data tersebut lebih kecil secara absolut dari nilai kritis MacKinnon

sehingga dapat disimpulkan bahwa data sudah stasioner pada tingkat first difference. Kestasioneran data juga dapat dilihat dari nilai probabilitas semua variabel adalah 0,0000. Nilai ini adalah lebih kecil daripada 0,01 (α = 1%). Artinya, semua variabel baik LIFFE, Makassar, maupun NYBOT telah stasioner di tingkat first difference pada α = 1%. Hal ini sesuai dengan teori bahwa jika salah satu variabel stasioner di tingkat first difference, maka semua variabel harus stasioner di tingkat first difference juga. Ketika semua data sudah stasioner pada uji derajat satu l(1), maka dapat dilanjutkan pengujian selanjutnya.

6.2.2. Penentuan Panjang Lag

Uji selanjutnya adalah penentuan lag optimal atau ordo vektor autoregresi didasarkan pada uji stasioneritas (uji ADF) yang telah dilakukan. Penentuan lag optimal dapat dilihat dari nilai Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-Quinn Information Criterion (HQ). Penentuan lag optimalnya ditentukan dari kriteria yang mempunyai final prediction error correction (FPE) atau jumlah AIC, SIC, dan HQ yang paling

kecil diantara berbagai lag yang diajukan. Adapun panjang lag optimal berdasarkan berbagai kriteria dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa Kriteria

Lag AIC SC HQ 0 -9.723700 -9.661542 -9.698442 1 -15.50700 -15.25837 -15.40597 2 -16.00186* -15.56675* -15.82505* 3 -15.92347 -15.30190 -15.67089 4 -15.87722 -15.06918 -15.54887 5 -15.84105 -14.84653 -15.43692 6 -15.81613 -14.63513 -15.33623 7 -15.73750 -14.37003 -15.18183 8 -15.65663 -14.10269 -15.02519

Hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10, diketahui bahwa semua tanda bintang berada pada lag 2. Artinya bahwa semua variabel yang ada dalam model saling mempengaruhi satu sama lain tidak hanya pada periode sekarang, tetapi juga saling berkaitan pada dua periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan kriteria AIC, SIC, dan HQ nilai pada lag 2 juga mempunyai nilai yang paling kecil dari diantara berbagai lag yang diajukan. Nilai yang semakin kecil ini menandakan bahwa kemungkinan dari nilai harapan yang dihasilkan sebuah model akan semakin menggambarkan keadaan aktual. Hal ini menunjukkan bahwa lag optimal yang digunakan pada data yang diteliti adalah lag 2.

6.2.3 Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem VAR (Engle- Granger 1983 dalam Widarjono 2009). Untuk itulah, uji kointegrasi ini harus dilakukan di dalam estimasi model VAR. Adanya hubungan kointegrasi dalam sebuah sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat

secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya (Nachrowi dan Usman 2006).

Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan criticalvalue dan maksimum eigenvalue dengan critical value pada taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen. Jika trace statistic atau maksimumeigenvalue lebih besar dari critical value maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.

Uji kointegrasi ini akan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) diantara sistem variabel yang ada. Selain itu, uji kointegrasi ini juga dapat mengetahui model VAR dari data yang diperoleh. Jika tidak terdapat kointegrasi antar variabel maka digunakan model VARD (VAR in difference) sedangkan jika dalam data terdapat kointegrasi maka model VAR yang digunakan adalah model VECM (Vector Error Correction Model). Tabel 11 merupakan rangkuman hasil uji kointegrasi Johansen.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 3 dapat disimpulkan nilai trace test maupun maksimum eigenvalue menerima H0 sampai pada tingkat signifikansi (α=5%), artinya tidak ada kointegrasi dan dengan demikian tidak terdapat persamaan yang dapat menjelaskan adanya kointegrasi pada variabel-variabel dalam sistem persamaan.

Tabel 11. Rangkuman Uji Kointegrasi Johansen

Hipotesis Trace Statistic Nilai Kritis 5% Max-Eigen

Statistic Nilai Kritis 5% None* 29.14989 42.91525 14.70478 25.82321 At most 1* 14.44511 25.87211 9.322270 19.38704 At most 2 * 5.122837 12.51798 5.122837 12.51798

Keterangan: Trace test and Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level

Hasil uji kointegrasi yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan kointegrasi antara variabel INDO, LIFFE, dan NYBOT pada nilai kritis 5 persen berdasarkan trace test dan maksimum eigenvalue (Lampiran 3). Artinya adalah bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang dari ketiga tempat yang menjadi penelitian yaitu harga biji kakao yang terbentuk di pasar spot Indonesia

berhubungan dengan harga biji kakao di pasar berjangka NYBOT dan LIFFE dalam sistem VAR pada tingkat diferensi. Hal ini mengindikasikan kemungkinan tidak terjadinya hubungan atau keseimbangan dalam jangka panjang antarvariabel yang ada. Oleh karena itu, model VAR yang tepat digunakan untuk data yang diteliti adalah model VARD (VAR in difference).

6.2.4 Estimasi Model VAR

Hasil uji dari penyusunan model VAR sebelumnya didapatkan bahwa model VAR yang tepat digunakan untuk menggambarkan keadaan aktual dari data yang diperoleh adalah dengan menggunakan model VARD (VAR in difference). Model VARD digunakan pada data time series yang tidak stasioner pada tingkat level namun stasioner pada tingkat differensi dan tidak terkointegrasi sehingga menujukkan tidak adanya hubungan teoritis antar variabel.

Jika dilihat dari hasil uji lag optimal maka didapat kelambanan satu sebagai tingkat lag kelambanan yang optimal sehingga model VAR yang digunakan untuk mengestimasi hubungan harga biji kakao antara bursa perdagangan di Indonesia, London, dan New York adalah model VARD dengan tingkat lag kelambanan satu (p=1). Hasil estimasi model VARD pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

Hasil dari model VARD yang ada pada Tabel 12 menunjukan bahwa harga biji kakao di Indonesia tepatnya di pusat perdagangan komoditi Makassar dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata satu persen oleh variabel harga LIFFE pada periode sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil yang diperoleh dapat menjelaskan pendugaan harga yang akan datang melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model sebesar 38.24 persen dan sisanya sebesar 61.76 persen dijelaskan oleh komponen lain di luar model (error).

Harga biji kakao LIFFE dipengaruhi secara nyata oleh harga variabel LIFFE itu sendiri pada periode sebelumnya dengan taraf nyata sepuluh persen. Sedangkan, hasil pada bursa NYBOT diketahui bahwa harga biji kakao di bursa NYBOT dipengaruhi oleh harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya pada taraf nyata satu persen dan harga LIFFE pada dua periode sebelumnya pada taraf nyata lima persen. Sedangkan untuk pendugaan harga di masa datang sebesar

77.91 persen dapat dijelaskan melalui variabel-variabel yang digunakan dalam model dan hanya 22.09 persen yang dijelaskan oleh komponen error.

Tabel 12. Hasil Estimasi Model VARD

Variabel Variabel Dependen

DLOG(INDO) DLOG(LIFFE) DLOG(NYBOT) DLOG(INDO(-1)) [-1.39956] [ 0.08048] [-1.30148] DLOG(INDO(-2)) [-0.21077] [ 0.46782] [ 0.47339] DLOG(LIFFE(-1)) [ 9.12867]* [ 1.89430]*** [ 21.5410]* DLOG(LIFFE(-2)) [ 0.37000] [-0.10466] [ 2.18728]** DLOG(NYBOT(-1)) [-0.01601] [-0.84670] [-1.58316] DLOG(NYBOT(-2)) [ 0.67760] [-1.13217] [ 0.15592] Konstanta [-0.10065] [-1.71593]*** [-0.58321] R-squared 0.382439 0.077389 0.779164

Keterangan: Angka dalam [ ]adalah nilai statistik, *= nyata pada taraf 1%, **= nyata pada taraf 5% = dan *** = nyata pada taraf 10%. Nilai t-tabel: t(α:1%) = 2.326, t(α:5%) = 1.960, t(α:10) = 1.645 Apabila diamati dari persamaan yang ada pada Lampiran 4, dapat dilihat bahwa variabel harga biji kakao Indonesia, LIFFE, dan NYBOT dipengaruhi oleh variabel harga biji kakao LIFFE di periode sebelumnya bahkan NYBOT dipengaruhi LIFFE sampai di dua periode sebelumnya. Variabel harga biji kakao LIFFE yang dipengaruhi oleh dirinya sendiri pada periode sebelumnya mengindikasikan bahwa dalam menentukan harga biji kakao di masa yang akan datang, para pelaku pasar tidak hanya mempertimbangkan penawaran dan permintaan yang terjadi di periode yang bersangkutan namun juga selalu memperhatikan harga biji kakao yang sudah terbentuk di periode sebelumnya.

Pengaruh variabel harga biji kakao LIFFE pada periode sebelumnya terhadap variabel harga biji kakao Indonesia dan NYBOT menunjukkan bahwa LIFFE merupakan pasar acuan yang merupakan bursa berjangka terdepan di dunia yang memperdagangkan komoditas kakao. Apalagi dengan status pasar tersebut yang merupakan pasar forward dimana harga yang akan datang telah disepakati di periode sebelumnya sehingga pelaku di pasar memprediksi kecenderungan harga di masa yang akan datang berdasarkan harga yang telah terjadi di masa sekarang. Namun, saat ini Indonesia masih mengacu pada bursa berjangka NYBOT karena produk kakao yang banyak diperdagangkan di bursa NYBOT adalah biji kakao

unfermented yang berasal dari Indonesia sedangkan bursa berjangka LIFFE memperdagangkan komoditas biji kakao yang sudah di fermentasi.

Kondisi lainnya yang terjadi dalam hubungan pergerakan harga biji kakao antara Indonesia dengan pasar berjangka LIFFE yaitu hubungan yang bersifat tidak langsung. Hal utama yang menyebabkan hubungan tersebut terjadi adalah biji kakao kualitas unfermented yang di produksi Indonesia merupakan bahan baku dari biji kakao yang akan difermentasi dan diperdagangkan di bursa LIFFE. Kondisi ini yang mengharuskan Indonesia mengekspor terlebih dahulu biji kakao yang dihasilkan ke Malaysia dan Singapura untuk diproses lebih lanjut menjadi biji kakao fermented. Setelah melalui proses tersebut, selanjutnya biji kakao

fermented diperdagangkan ke pasar berjangka LIFFE. Tahapan ini yang menjadikan hubungan pergerakan harga biji kakao di Indonesai dan LIFFE terjadi secara tidak langsung. Berdasarkan hasil estimasi model VAR dapat dilihat tidak adanya hubungan antara ketiga tempat tersebut, maka harga yang terjadi di Indonesia tidak ditransmisikan terhadap harga yang terjadi di NYBOT dan LIFFE.

Widarjono (2010) menyatakan bahwa untuk menginterpretasi koefisien model VAR (Vector Autoregression) secara individual merupakan hal yang sulit karena VAR adalah permodelan simultan yang berbentuk reduced from matrix

yang bertujuan untuk menangkap dinamika data time series (Widarjono 2010). Oleh karena itu, untuk menggambarkan bagaimana hubungan dinamis antar data digunakan fungsi respon impuls, dan dekomposisi ragam.

Dokumen terkait