• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh

Pernah 1-3 kali 4-6 kali Setiap Har

n % n % n % n % Medan 0.172 Tidak Gemuk 459 97.9 755 96.9 83 94.3 89 94.7 Gemuk 10 2.1 24 3.1 5 5.7 5 5.3 Total 469 100 779 100 88 100 94 100 Jakarta Selatan 0.202 Tidak Gemuk - - 674 93.7 - - 644 92.0 Gemuk - - 45 6.3 - - 56 8.0 Total - - 719 100 - - 700 100

Konsumsi soft drink dengan frekuensi yang sering juga tidak memberikan dampak yang baik, karena kandungan gula yang tinggi dalam soft drink. Bertolak dengan kandungannya yang berdampak buruk, masyarakat sangat menyukai jenis minuman ini. Pada kasus di Medan misalnya, terdapat 94 contoh yang setiap hari konsumsi soft drink dan 5.3% diantaranya gemuk, terdapat pula 88 contoh yang konsumsinya 4-6 kali dalam seminggu dan 5.7% diantara mereka gemuk, begitu pula pada 779 contoh yang konsumsinya 1-3 kali per minggu dan 3.1% diantaranya gemuk. Tetapi masih ada juga yang tidak pernah mengonsumsi jenis minuman ini, yaitu sebanyak 469 contoh dan 2.1% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk.

Pada kasus di Jakarta Selatan contoh hanya terbagi ke dalam dua kelompok kategori, yaitu kategori contoh yang konsumsinya 1-3 kali per minggu

dan contoh yang setiap hari mengonsumsi dengan proporsi yang hampir seimbang. Contoh dengan frekuensi konsumsi 1-3 kali per minggu sebanyak 719 contoh dan 45 contoh (6.3%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan contoh yang konsumsi minuman ini setiap hari sebanyak 700 contoh dan 56 contoh (8%) diantaranya mengalami kegemukan.

Setelah diuji dengan menggunakan chi square, didapatkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota. Nilai ini mengindikasikan bahwa frekuensi konsumsi soft drink tidak berhubungan secara nyata dengan kejadian kegemukan, baik di Medan maupun di Jakarta Selatan. Hal ini diduga karena penelitian yang dilakukan hanya melihat frekuensi contoh dalam mengonsumsi tanpa memperhatikan kuantitasnya. Selain itu, walaupun kalori yang terkandung dalam soft drink sangat tinggi, namun masih banyak sumber kalori yang mungkin didapatkan dari sumber makanan yang lain. Seperti penelitian yang terdapat dalam Vartanian, Schwartz, dan Brownell (2007), yang mengemukakan bahwa hanya terdapat hubungan yang lemah antara konsumsi soft drink dengan berat badan, karena masih banyak sumber kalori lain dalam makanan. Bersamaan dengan itu, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara asupan soft drink dengan penurunan asupan susu, kalsium, buah, dan serat.

Ada juga beberapa penelitian yang menyatakan walaupun soft drink bukan satu-satunya penyebab obesitas, namun termasuk ke dalam daftar utama penyebab obesitas (Vartanian, Schwartz, dan Brownell 2007). Soft drink dapat dinyatakan sebagai salah satu penyebab obesitas karena kandungan kalorinya yang tinggi. Kasus yang terjadi dari 21 penelitian, 19 diantaranya menunjukkan bahwa seseorang yang minum lebih banyak soft drink, maka semakin tinggi pula asupan kalori.

Konsumsi Makanan Berlemak dan Gorengan

Makanan berlemak, daging, dan gorengan tidak dapat dipungkiri terasa lezat di mulut, tetapi membawa dampak yang buruk bagi kesehatan. Selain kandungan lemaknya yang cukup tinggi dan menyebabkan kegemukan, kandungan kolesterolnya juga berbahaya bagi kesehatan jantung. Distribusi dan statistik contoh mengenai frekuensi konsumsi makanan berlemak, daging, dan gorengan selama seminggu dan hubungannya dengan kejadian kegemukan dapat dilihat pada Tabel 34, 35, dan 36.

Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak dalam Seminggu

P Value Tidak

Pernah 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari

n % n % n % n % Medan 0.725 Tidak Gemuk 497 97.3 791 96.7 73 96.1 25 100 Gemuk 14 2.7 27 3.3 3 3.9 0 0 Total 511 100 818 100 76 100 25 100 Jakarta Selatan 0.046 Tidak Gemuk 123 87.2 726 93.3 193 94.6 276 93.2 Gemuk 18 12.8 52 6.7 11 5.4 20 6.8 Total 141 100 778 100 204 100 296 100

Berdasarkan Tabel 34, frekuensi konsumsi makanan berlemak contoh yang paling banyak adalah 1-3 kali, dimana terdapat 818 contoh yang termasuk ke dalam kategori ini dan 3.3% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk. Berikutnya adalah contoh yang tidak pernah konsumsi makanan berlemak sebanyak 511 contoh dan 2.7% diantaranya mengalami kegemukan. Contoh yang termasuk ke dalam kategori 4-6 kali per minggu ada 76 contoh dan 3.9% diantaranya termasuk ke dalam kategori gemuk. Masih ada juga 25 contoh yang mengonsumsi makanan berlemak setiap hari, tetapi seluruhnya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Hasil uji statistik untuk kota ini adalah P = 0.725 yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan.

Tidak berbeda dengan di Medan, proporsi contoh yang paling besar di Jakarta Selatan juga terdapat ada kategori 1-3 kali per minggu, yaitu sebanyak 778 contoh dan 6.7% diantaranya mengalami kegemukan. Dilanjutkan dengan contoh yang setiap hari mengonsumsi makanan berlemak, yaitu sebnayak 296 contoh dan 6.8% diantaranya mengalami kegemukan. Sebanyak 204 contoh termasuk ke dalam kategori 4-6 kali per minggu dan 5.4% diantaranya mengalami kegemukan. Kategori yang paling kecil adalah contoh yang tidak pernah mengonsumsi makanan berlemak selama seminggu terakhir yaitu sebanyak 141 contoh dan 12.8% dari mereka termasuk gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.046 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di kota ini.

Adanya hubungan yang signifikan disebabkan karena lemak mengandung kalori dua kali lebih banyak dibandingkan protein. Makan makanan

berlemak dengan jumlah yang sama dengan protein akan memberikan energi yang lebih besar. Selain itu, makanan berlemak terasa lezat dan memiliki ”mouth-feel” yang enak. Makanan berlemak biasanya rendah serat, sehingga lebih lembut dan hanya memerlukan sedikit waktu untuk dikunyah dan ditelan daripada jenis makanan lain (Atkinson 2005).

Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi daging dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Frekuensi Konsumsi Daging dalam Seminggu

P Value Tidak

Pernah 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari

n % n % n % n % Medan 0.420 Tidak Gemuk 377 97.7 906 96.7 75 94.9 28 100 Gemuk 9 2.3 31 3.3 4 5.1 0 0 Total 386 100 937 100 79 100 28 100 Jakarta Selatan 0.004 Tidak Gemuk 470 94.8 510 91.2 236 95.5 102 87.2 Gemuk 26 5.2 49 8.8 11 4.5 15 12.8 Total 496 100 559 100 247 100 117 100

Konsumsi daging bukan hanya dapat mempengaruhi gemuk tidaknya seseorang, tetapi juga dapat memperlihatkan status ekonomi orang tersebut. Pada kedua kota proporsi terkecil adalah pada kategori setiap hari dan proporsi terbesar pada kategori 1-3 kali per minggu. Kasus di kota Medan, ada 386 contoh yang termasuk ke dalam kategori tidak pernah mengonsumsi daging dan 2.3% diantaranya gemuk. Ada juga 937 contoh yang termasuk dalam kategori 1- 3 kali per minggu dan 3.3% diantaranya gemuk, dari 76 contoh yang mengonsumsi daging 4-6 kali per minggu, 5.1% diantaranya gemuk. Di kota ini, hanya 28 contoh yang mengonsumsi daging setiap hari dan seluruhnya termasuk dalam kategori tidak gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P > 0.05, yang artinya frekuensi makan daging tidak berpengaruh secara nyata dengan kejadian kegemukan di Medan.

Pada kasus di Jakarta Selatan, ada 496 contoh yang tidak pernah mengonsumsi daging dalam seminggu dan 5.2% diantaranya gemuk. Ada juga 559 contoh yang termasuk dalam ketgori 1-3 kali per minggu mengonsumsi daging dan 8.8% diantaranya gemuk, dari 247 contoh yang mengonsumsi daging 4-6 kali per minggu, 4.5% diantaranya gemuk. Jumlah contoh yang mengonsumsi daging setiap hari adalah 117 contoh dan 12.8% diantaranya termasuk gemuk. Hasil uji statistik di kota ini mendapatkan nilai P < 0.05, yang

berarti frekuensi konsumsi daging berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan.

Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko obesitas sebanyak 1.46 kali. Hal ini disebabkan karena makanan berlemak memiliki energi density yang lebih besar dan tidak mengenyangkan, selain itu makanan berlemak memiliki rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan dan akan terjadi konsumsi yang berlebihan (Hidayati et al. 2006).

Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Frekuensi Konsumsi Gorengan dalam Seminggu

P Value Tidak Pernah 1-3 kali 4-6 kali Setiap Hari n % n % n % n % Medan 0.014 Tidak Gemuk 111 95.7 737 96.7 219 94.8 319 99.4 Gemuk 5 4.3 25 3.3 12 5.2 2 0.6 Total 116 100 762 100 231 100 321 100 Jakarta Selatan 0.146 Tidak Gemuk 136 95.8 580 93.2 221 94.0 381 90.7 Gemuk 6 4.2 42 6.8 14 6.0 39 9.3 Total 142 100 622 100 235 100 420 100

Berdasarkan Tabel 36, proporsi dominan dalam konsumsi gorengan di kota Medan adalah pada kategori 1-3 kali per minggu yaitu sebanyak 762 contoh dan 3.3% diantaranya mengalami kegemukan. Pada kategori 4-6 kali per minggu terdapat 231 contoh dan 5.2% diantaranya mengalami kegemukan. Terdapat 321 contoh yang mengonsumsi gorengan setiap hari dan hanya 2 contoh (0.6%) diantaranya gemuk. Proporsi paling kecil adalah kategori tidak pernah mengonsumsi gorengan dan 4.3% diantaranya gemuk. Hasil uji statistik menunjukkan nilai P = 0.014, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan.

Tidak berbeda dengan yang terjadi di Medan, proporsi paling dominan di Jakarta Selatan adalah pada kategori 1-3 kali per minggu, yaitu sebanyak 622 contoh dan 6.8% diantaranya gemuk. Ada 235 contoh yang termasuk dalam kategori 4-6 kali per minggu dan 6.0% diantaranya mengalami kegemukan. Pada kategori setiap hari, terdapat 420 contoh dan 9.3% diantaranya gemuk. Proporsi yang paling kecil adalah tidak pernah mengonsumsi gorengan, dan 4.2% diantaranya mengalami kegemukan. Hasil uji stastistik mendapatkan nilai P >

0.05, yang artinya frekuensi konsumsi gorengan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan di Jakarta Selatan.

Perbedaan nilai signifikansi antara kedua kota diduga karena perbedaan jenis gorengan yang dikonsumsi. Penelitian ini tidak membahas secara spesifik jenis gorengan yang dikonsumsi, sehingga tidak dapat dilihat dengan jelas juga pengaruhnya. Terdapat suatu penelitian mengemukakan bahwa konsumsi makanan yang digoreng berhubungan positif dengan kegemukan (baik itu general maupun central obesity). Hal ini terjadi hanya pada subjek dimana asupan tertinggi dari energinya berasal dari makanan gorengan. Seseorang yang mengonsumsi makanan gorengan lebih banyak berisiko 1.26 kali (pria) dan 1.25 kali (wanita) lebih tinggi untuk mengalami kegemukan (Castillon et al. 2007) Kesukaan Jajan

Tak dipungkiri lagi bahwa pada usia sekolah dan remaja kebiasaan jajan sangat menjamur. Kebiasaan konsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3 atau 4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan konsentrasi belajar akan pulih. Hal positif lain dari jajan adalah membentuk keanekaragaman selera makan anak, sehingga pada saat dewasa nanti anak dapat menikmati beragam macam makanan (Apriadji 1986).

Begitu banyaknya makanan jajanan yang biasa ditemukan dalam masyarakat. Penelitian ini mengkategorikan kesukaan jajan contoh pada kesukaan jajan gorengan, jajan makanan berlemak, jajan makanan rebus/kukus, jajan makanan manis, dan jajan makanan asin. Menurut Apriadji (1986), jenis jajanan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu meals dan snack. Meals adalah makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit protein, seperti siomay, martabak, nasi uduk, dan lainnya. Sedangkan snack adalah makanan ringan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur, seperti biskuit susu, pisang goreng, dan jenis makanan lainnya serta minuman seperti cendol dan sirup.

Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan gorengan dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Jajan Gorengan

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.945 Tidak Gemuk 1202 96.9 184 96.8 Gemuk 38 3.1 6 3.2 Total 1240 100 190 100 Jakarta Selatan 0.700 Tidak Gemuk 1052 93.0 266 92.4 Gemuk 79 7.0 22 7.6 Total 1131 100 288 100

Berdasarkan Tabel 37 diatas,diketahui proporsi contoh yang menyukai jajan gorengan dibandingkan lebih besar dengan yang tidak suka, hal ini terjadi baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Pada kasus di kota Medan, sebanyak 1240 contoh menyukai jajan gorengan dan 3.1% diantarnya mengalami kegemuka, sedangkan dari 190 contoh yang tidak suka jajan gorengan ada 6 contoh (3.2%) yang mengalami kegemukan. Pada kasus di Jakarta Selatan, sebanyak 1131 contoh menyukai jajan gorengan dan 79 contoh (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan dari 288 contoh yang tidak menyukai jajan gorengan terdapat 22 contoh (7.6%) yang termasuk dalam kategori gemuk.

Hasil uji statistik dengan menggunakan analisis chi square mendapatkan nilai P > 0.05, yaitu masing-masing 0.945 untuk Medan dan 0.700 untuk Jakarta Selatan. Hal ini sebagai indikator bahwa kesukaan terhadap jajan gorengan tidak berpengaruh secara nyata terhadap kegemukan di kedua kota.

Hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan pada kedua kota diduga karena penelitian tidak secara spesifik menentukan jenis jajanan yang dimaksud. Kategori gorengan disini dapat beraneka ragam bentuknya. Selain itu, penelitian ini juga hanya mempertanyakan kesukaan contoh terhadap jenis jajanan ini tanpa mempertimbangkan frekuensi serta kuantitas contoh dalam mengonsumsi jajanan ini. Tetapi apabila jenis jajan gorengan dianalogikan contohnya sebagai pisang goreng, maka jajanan ini termasuk ke dalam kategori snack. Menurut Apriadji (1986), jajanan jenis snack lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan obesitas dibandingkan dengan jenis meals.

Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Jajan Makanan Berlemak

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.077 Tidak Gemuk 663 96.1 723 97.7 Gemuk 27 3.9 17 2.3 Total 690 100 740 100 Jakarta Selatan 0.202 Tidak Gemuk 644 92 674 93.7 Gemuk 56 8 45 6.3 Total 700 100 719 100

Berbeda dengan proporsi kesukaan contoh terhadap jajan gorengan, proporsi terbesar pada kategori kesukaan terhadap jajan makanan berlemak adalah tidak suka. Hal ini berlaku pada kedua kota, tetapi dengan perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Di kota Medan, terdapat 690 contoh yang menyukai jajan makanan berlemak dan 27 contoh (3.9%) diantaranya gemuk. Terdapat 740 contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini dan 17 contoh (2.3%) diantaranya termasuk gemuk. Sedangkan di Jakarta Selatan, terdapat 700 contoh yang menyukai jajanan jenis ini dan 56 contoh (8%) diantaranya termasuk gemuk. Contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini berjumlah 719 contoh dan 6.3% diantaranya termasuk gemuk.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai P > 0.05 untuk kedua kota yang menindikasikan tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan jajan makanan berlemak dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Hasil yang tidak signifikan diduga karena data yang dimaksud tidak spesifik terhadap jenis makanan tertentu. Jajan makanan berlemak mungkin dapat termasuk ke dalam kategori snack atau meals. Terletak kerancuan data disini yang hanya menyebutkan kesukaannya saja dan menyebutkan kelompoknya secara umum. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan asin dengan

kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Jajan Makanan Asin

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.399 Tidak Gemuk 512 96.4 874 97.2 Gemuk 19 3.6 25 2.8 Total 531 100 899 100 Jakarta Selatan 0.867 Tidak Gemuk 716 93.0 602 92.8 Gemuk 54 7.0 47 7.2 Total 770 100 649 100

Besarnya proporsi contoh terhadap kesukaan jajan makanan asin berbeda antara kedua kota. Kategori dominan di Medan adalah contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini, sedangkan kebalikannya di Jakarta Selatan proporsi dominan adalah contoh yang menyukai jajanan jenis ini.

Pada kota Medan, sebanyak 531 contoh menyukai jajan makanan asin dan 19 contoh (3.6%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan dari 899 contoh yang tidak menyukai jajan makanan asin ada 25 contoh (2.8%) diantaranya yang mengalami kegemukan. Pada kota Jakarta Selatan, ada sebanyak 770 contoh yang menyukai jajanan jenis ini dan 54 contoh (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan yang tidak menyukai ada 649 contoh dan 47 contoh (7.2%) diantaranya mengalami kegemukan.

Setelah dilakukan analisis statistik dengan menggunakan chi square didapatkan nilai P = 0.399 untuk Medan dan P = 0.867 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan jajan makanan asin dengan kejadian kegemukan baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Hal ini diduga disebabkan karena ketidakjelasan jenis jajanan yang dimaksud. Makanan asin, bisa bervariasi jenisnya, dan dapat termasuk dalam kategori meals atau snack.

Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan rebus/kukus dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Jajan Makanan Rebus/Kukus

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.585 Tidak Gemuk 688 97.2 698 96.7 Gemuk 20 2.8 24 3.3 Total 708 100 722 100 Jakarta Selatan 0.794 Tidak Gemuk 878 93.0 440 92.6 Gemuk 66 7.0 35 7.4 Total 944 100 475 100

Perbedaan besarnya proporsi yang dominan juga terjadi pada kategori kesukaan terhadap jajan makanan rebus/kukus. Contoh di Medan lebih banyak yang tidak menyukai jajanan jenis ini, sedangkan contoh di Jakarta Selatan cenderung menyukai jajanan jenis ini. Sebanyak 708 contoh di Medan menyukai jajan makanan rebus/kukus dan 20 contoh (2.8%) diantaranya mengalami kegemukan. Sedangkan yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada 722 contoh dan 24 contoh (3.3%) diantaranya mengalami kegemukan.

Sebanyak 944 contoh di Jakarta Selatan menyukai jajan makanan rebus/kukus dan 66 contoh (7.0%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini adalah sebanyak 475 contoh dan 35 contoh (7.4%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Hasil uji statistik mendapatkan nilai P > 0.05 pada kedua kota, yang berarti kesukaan terhadap jajan makanan rebus/kukus tidak berpengaruh secara nyata dengan kejadian kegemukan baik di Medan maupun di Jakarta Selatan.

Hal ini diduga karena adanya kerancuan terhadap jenis makanan yang dimaksud. Apabila makanan rebus/kukus disini dapat dianalogikan sebagai siomay, maka sangat memungkinkan untuk meningkatkan risiko obesitas karena termasuk ke dalam jenis meals (Apriadji 1986). Tetapi bisa saja yang dimaksud adalah jenis bolu kukus yang termasuk ke dalam snack, sehingga risikonya menjadi lebih rendah. Oleh karena itu, kejelasan data sangat diperlukan.

Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan jajan makanan manis dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Jajan Makanan Manis

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.578 Tidak Gemuk 1153 96.8 233 97.5 Gemuk 38 3.2 6 2.5 Total 1191 100 239 100 Jakarta Selatan 0.180 Tidak Gemuk 1179 93.2 139 90.3 Gemuk 86 6.8 15 9.7 Total 1265 100 154 100

Hampir setiap orang menyukai makanan manis, oleh karena itu pada penelitian ini pun proporsi terbesar contoh adalah pada kategori suka terhadap jajan makanan manis. Hal ini berlaku pada kedua kota baik Medan maupun Jakarta Selatan. Sebanyak 1191 contoh di Medan menyukai jajan makanan manis dan 38 contoh (3.2%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan contoh yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada sebanyak 239 contoh dan 6 contoh (2.5%) diantarnya mengalami kegemukan.

Sebanyak 1265 contoh di Jakarta Selatan menyukai jajan makanan manis dan 86 contoh (6.8%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk, sedangkan yang tidak menyukai jajanan jenis ini ada sebanyak 154 contoh, dan 15 contoh (9.7%) diantarnya termasuk dalam kategori gemuk. Setelah dilakukan uji statistik dengan analisis chi square, didapatkan nilai P = 0.578 untuk Medan dan P = 0.180 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan terhadap makanan manis demgan kejadian kegemukan di kedua kota.

Gaya Hidup

Gaya hidup tidak lepas sebagai faktor yang mempengaruhi gemuk tidaknya seseorang. Gaya hidup dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan psikologis seseorang (Barasi & Mottram 1987). Kesukaan seseorang untuk merokok, biasanya akan menurunkan nafsu makan, sedangkan yang terjadi dengan kesukaan terhadap minuman beralkohol adalah kebalikannya. Kesukaan terhadap minuman beralkohol akan membuat perut menjadi buncit. Tabel 42 dan 43 merupakan distribusi dan statistik contoh berdasarkan kesukaan terhadap minuman beralkohol dan hubungannya dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.

Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan merokok dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik Kesukaan Merokok P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.331 Tidak Gemuk 103 95.4 1283 97.0 Gemuk 5 4.6 39 3.0 Total 108 100 1322 100 Jakarta Selatan 0.230 Tidak Gemuk 187 94.9 1131 92.6 Gemuk 10 5.1 91 7.4 Total 197 100 1222 100

Berdasarkan Tabel 42, dapat diketahui bahwa proporsi contoh yang tidak merokok jauh lebih besar dibandingkan dengan contoh yang merokok baik di Medan maupun Jakarta Selatan. Contoh yang merokok di Medan sebanyak 108 contoh dan 5 diantaranya mengalami kegemukan (4.6%), sedangkan contoh yang tidak merokok adalah 1322 dan 39 contoh (3.0%) diantaranya mengalami kegemukan.

Sebanyak 197 contoh di Jakarta Selatan merokok dan 10 conroh (5.1%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk. Sedangkan dari 122 contoh yang tidak merokok, terdapat 91 (7.4%) yang termasuk ke dalam kategori gemuk. Ketika ditanyakan lebih lanjut mengenai usia contoh mulai merokok, jawabannya bervariasi, yang paling dominan adalah ketika berusia 14 tahun. Alasannya pun bermacam -macam, mulai dari coba-coba, iseng, ikut teman, ikut orang tua, sampai karena sedang banyak masalah. Jumlah rokok yang dihisap per hari mulai dari 1 batang sampai 35 batang per hari.

Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.331 untuk Medan dan P = 0.230 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa kesukaan merokok tidak berpengaruh secara nyata terhadap kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan.

Contoh yang mengalami kegemukan lebih banyak yang tidak merokok. Sesuai dengan Perkins (1993) dan Russ et al. (2001) dalam Institute of Medicine of the National Academies (2001), bahwa merokok dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan membatasi asupan makanan. Seseorang yang berhenti merokok biasanya akan mengalami peningkatan berat badan. Rendahnya prevalensi contoh yang merokok dalam penelitian ini juga disebabkan karena tidak seluruh contoh ditanyakan mengenai hal ini. Pertanyaan mengenai rokok tidak diberikan kepada contoh pada tingkat SD, karena dikhawatirkan akan menjadi semacam anjuran yang akan diikuti oleh contoh. Tabel 43 Sebaran contoh berdasarkan kesukaan minum minuman beralkohol

dengan kejadian kegemukan di Medan dan Jakarta Selatan

Karakteristik

Kesukaan Minum Minuman Beralkohol

P Value Ya Tidak n % n % Medan 0.379 Tidak Gemuk 24 100 1362 96.9 Gemuk 0 0 44 3.1 Total 24 100 1406 100 Jakarta Selatan 0.504 Tidak Gemuk 48 90.6 1270 93.0 Gemuk 5 9.4 96 7.0 Total 53 100 1366 100

Tabel 43 diatas menggambarkan bahwa proporsi contoh yang tidak mengonsumsi minuman beralkohol di kedua kota jauh lebih besar dibandingkan dengan yang mengonsumsi minuman tersebut. Di kota Medan misalnya, contoh yang mengonsumsi minuman beralkohol hanya sebanyak 24 contoh dan seluruhnya termasuk ke dalam kategori tidak gemuk. Sedangkan yang tidak mengonsumsi minuman tersebut sebanyak 1406 contoh dan 44 contoh (3.1%) diantaranya termasuk dalam kategori gemuk.

Kasus yang terjadi di Jakarta Selatan tidak jauh berbeda, dimana perbedaan proporsi contoh yang mengonsumsi minuman beralkohol dan tidak sangat mencolok. Sebanyak 1366 contoh tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan 96 (7.0%) diantaranya mengalami kegemukan, sedangkan yang mengonsumsi minuman tersebut hanya sebanyak 53 contoh dan 5 diantaranya atau 9.4% dari mereka mengalami kegemukan. Usia contoh mulai minum

minuman beralkohol yang paling dominan di kedua kota adalah pada saat berusia 15 tahun.

Hasil uji statistik mendapatkan nilai P = 0.379 untuk Medan dan 0.504 untuk Jakarta Selatan. Kedua nilai P ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesukaan minum minuman berlakohol dengan kejadian kegemukan di kedua kota. Hal ini bertentangan dengan hasil dari penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, bahwa konsumsi minuman beralkohol akan berdampak pada berat badan. Energi yang dikonsumsi seiring

Dokumen terkait