• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Foto 9 Kamar Mandi Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Sumber: Peneliti. Data Penelitian Tahun 2016.

3.4. Bentuk dan Fungsi Ornamen Pada Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu

Rumah adat Sepuluh Dua Jabu memiliki beberapa ornamen atau ragam hias. Adapun nama, jenis, fungsi dan makna dari beberapa ornamen yang ada pada rumah adat adalah:

a. Tapak Raja Sulaiman

Bentuk: Ornamen ini mengambil nama dari seorang raja yang dikenal sangat sakti dan berilmu tinggi. Konon ornamen digunakan sebagai petunjuk jalan supaya tidak tersesat di perjalanan. Ornamen ini terdapat pada dinding melmelen di pangkal dan ujungnya.

Fungsi: Ornamen ini mempunyai fungsi mistik sebagai penahan roh-roh jahat, penolak bala, penolak gatal-gatal dan keracunan.

b. Dasa Siwaluh

Bentuk: Bentuknya seperti bintang delapan sebagai gambaran arah mata angin. Hiasan ini terletak di bagian tengah melmelen sesudah Bindu Natogog. Ornamen ini mengandung arti perlambangan mata angin sebagai petunjuk arah dunia.

Fungsi: Fungsinya secara magis adalah menentukan hari dan bulan yang baik untuk manusia. Ornamen ini juga digunakan untuk mencari benda yang hilang.

c. Embun Sikawiten

Bentuk: Ornamen ini berbentuk hiasan ini dibuat berulang-ulang dan saling mengait satu sama lain untuk mengisi bidang melmelen yang mengandung arti kemakmuran.

Fungsi: Hanya berfungsi sebagai hiasan tanpa adanya unsur magis.

d. Bunga Gundur dan Pantil Manggis

Bentuk: Ornamen ini memiliki bentuk seperti bunga labu dan bagian bawah buah manggis. Kedua ornamen ini dibuat mendampingi motif Tapak Raja Sulaiman sebagai penambah keindahan. Ornamen ini dianggap sebagai simbol keindahan dan tidak mengandung unsur mistik.

e. Tumba Lau dan Tutup Dadu

Bentuk: Kedua ornamen ini berbentuk awan berarak yang dibuat berulang-ulang pada tepi bawah dan atas melmelan sebagai hiasan yang melambangkan kecerahan.

Fungsi: Fungsi ornamen ini adalah sebgai hiasan.

f. Teger Tudung

Bentuk: Ornamen ini berbentuk kubah mesjid dan dibuat di tengah melmelan pada pangkal dan ujungnya sebagai hiasan. Teger Tudung mengartikan ketampanan dengan simbol kewibawaan.

Fungsi: Ornamen ini berfungsi sebagai lambang keagungan.

g. Hiasan Cuping

Bentuk: Pada sudut rumah sebagai batas dinding (derpih) depan dan samping terdapat sebidang papan yang berbentuk telinga. Sedangkan pada bagian bawah cuping ini sering dihiasi dengan hiasan kemping yang melambangkan anting-anting. Cuping mengandung arti pendengaran tajam.

Fungsi: Fungsinya sebagai nasehat bahwa pemilik rumah harus pandai menyaring barita-berita atau ucapan orang yang didengar.

h. Beraspati (Pengeretret)

Bentuk: Ornamen ini berbentuk cecak dengan kepala berada di bagian kiri dan kanan. Bahannya terbuat dari tali ijuk yang ditempelkan pada dinding dan sebagai hiasan yang mengelilingi dinding (derpih) rumah.

Fungsi: Ornamen ini dianggap sebagai simbol kekuatan penangkal setan dan persatuan masyarakat. Selain itu, ornamen ini berfungsi untuk memperkuat ikatan antar dinding (fungsi konstruksi).

i. Penga lo-ngalo ( bendi-bendi)

Bentuk: Pengalo-ngalo (bendi-bendi) merupakan ukiran sebagai hiasan daun pintu. Apabila masuk ke dalam rumah, pengalo-ngalo ini harus dipegang untuk menjaga keseimbangan karena pintu rumah adat lebih kecil dari pintu rumah biasanya. Hiasan ini sebagai lambang kesopanan antara orang yang datang (tamu) dengan penghuni rumah.

Fungsi: Fungsi ornamen ini sebagai penyambut (pengalo-ngalo) tamu.

3.5. Upaya Penyelamatan dan Makna Rumah Adat Karo Saat Ini

Ketika melihat kondisi Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini ada sangat lah memperihatinkan. Beberapa dari bagian bangunan sudah dirubah, namun sayangnya tidak mempertahankan bentuk aslinya. Padahal bangunan Rumah Adat Sepuluh Dua JAbu merupakan salah satu bangunan warisan budaya Karo yang saat ini sudah sangat jarang dijumpai. Bahkan Rumah Adat Karo merupakan salah satu diantara 10 rumah adat di Indonesia yang hampir punah.

Menurut Donald G. MacLeod (1977), seorang pakar pengelolaan sumberdaya budaya dari Kanada, upaya pelestarian warisan atau pusaka budaya akan dapat dilakukan secara maksimal apabila melibat tiga kubu utama, yaitu Akademia, Pemerintah, dan Masyarakat. Sarjana ini menggambarkan ketiga kubu tersebut berada dalam satu lingkaran bersama sebagai kesatuan yang sinergis

(lihat diagram di bawah). Apabila sinergi tiga kubu ini tidak berjalan dengan baik, proses pengelolaan dan pelestarian sumberdaya budaya akan menghadapi ancaman kegagalan.

Dalam proses bersinergi, setiap kubu harus mempunyai kesadaran akan peran dan potensinya masing-masing. Akademia mempunyai kekuatan dalam pengajian ilmiah dan kemampuan untuk mengungkapkan pengetahuan berkaitan dengan sumberdaya budaya. Kubu ini berperan dalam pengajian ilmiah dan menemukan pengetahuan tentang warisan atau pusaka budaya dan menyajikan kepada masyarakat luas melalui berbagai media sebagai wujud tanggung- jawabnya. Mereka juga harus memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya budaya, di antaranya dengan menentukan nilai relatif sumberdaya, menaksir potensi sumberdaya, dan mengusulkan prioritas pemanfaatan sumberdaya.

Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu saat ini posisinya dalam kebudayaan Karo sudah tidak ada lagi. Hal ini dapat peneliti buktikan dengan realita yang ada di lapangan, dimana Rumah Adat kehilangan fungsinya sebagai lambing dan cirri khas kebudayaan Karo. Bangunan Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini tinggal satu-satunya saja di Kabupaten Karo bahkan dunia kini kondisinya sangat memperihatinkan. Apabila dahulu Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu digunakan sebagai simbol kebesaran dari suatu keluarga, kini terbalik menjadi simbol kemiskinan. Hal ini terjadi karena orang-orang yang menempatinya saat ini lekat dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.

Pemerintah mempunyai kekuasaan yang besar untuk mengatur dan mengoordinasi-kan pengelolaan sumberdaya budaya seperti Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini. Kubu Pemerintah mempunyai kekuatan hukum dan dana untuk melaksanakan pengelolaan. Pemerintah mempunyai mandat untuk menetapkan perangkat hukum atau perundang-undangan sebagai landasan kerja pengelolaan sumberdaya budaya serta upaya penegakan hukum tersebut. Sesuai dengan perannya, pemerintah harus mendukung dan memberikan fasilitas bagi program-program pendidikan masyarakat yang berkaitan dengan apresiasi terhadap sumberdaya budaya, baik melalui penyelenggaraan museum, pameran, publikasi, maupun cara-cara penyampaian informasi lainnya. Sementara itu, masyarakat pada hakekatnya adalah kubu yang berdaulat dan memegang hak atas pemanfaatan sumberdaya budaya. Masyarakat lah yang akan memberi arti dan memberi nilai suatu sumberdaya budaya.

Bagi masyarakat, sumberdaya itu dapat saja dipandang sebagai sarana hiburan dan rekreasi, pelampiasan kesenangan atau hobby, atau bisa jadi dipandang sebagai bagian industri pariwisata yang dapat mendatangkan banyak uang. Namun, sumberdaya budaya dapat pula diberi makna yang lebih berbobot sebagai wahana pendidikan, bahan kajian ilmu, model inspirasi untuk masa kini, bahkan ada kalanya dianggap sebagai jatidiri suatu komunitas atau kelompok masyarakat (lihat Cleere, 1989).

BAB IV

KEHIDUPAN PENGHUNI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU

4.1. Makna Setiap Jabu

Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebut Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu di Desa Beganding :

1. Jabu Bena Kayu

Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang berperan sebagai Jabu Bena Kayu adalah dari pihak Puang

Kalimbubu yaitu keluarga dari merga Ginting, yang posisinya berada paling depan di barisan ruangan dalam rumah. Diposisikan di bagian yang paling depan memiliki arti bahwa dia (merga Ginting) yang berada di depan adalah dia yang menjadi pemimpin dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

2. Jabu Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu Ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu maka yang menempati posisi Jabu Ujung Kayu adalah Anak Beru Mentri dari pihak keluarga Merga Tarigan.

3. Jabu Lepar Bena Kayu

Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu. Di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang berperan sebagai Jabu Lepar Bena Kayu adalah

pihak Kalimbubu dari keluarga Merga Sitepu yang kedudukannya setingkat dibawah pihak Puang Kalimbubu sebagai Jabu Bena Kayu.

4. Jabu Lepar Ujung Kayu

Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum. Walaupun begitu hal tersebut sedikit berbeda dengan yang terjadi di Rumah Sepuluh Dua Jabu dimana pihak Kalimbubu dalam hal ini yang berasal dari Merga Sitepu juga memikul tangung jawab untuk mengawasi keadaan rumah. Hal ini terjadi karena dari jumlah 12 keluarga yang menempati rumah, masing-masing berasal dari 5 merga saja.

5. Jabu Sedapuren Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun

di lingkup Kuta. Posisi ini juga disematkan kepada pihak keluarga Merga Tarigan yang posisinya sebagai anak beru mentri.

6. Jabu Sedapuren Ujung Kayu

Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan. Dahulu posisi ini ditempati oleh pihak dari Sukut yang berasal dari keluarga merga Sembiring. Namun, karena perubahan zaman peran ini sudah tidak lagi dipegang oleh pihak Sukut dari merga Sembiring.

7. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu

Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat. Peran ini dipegang oleh Anak Beru Angkip dari pihak keluarga merga Sinuhaji di dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

8. Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu

Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu. Biasanya dahulu di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu letak tempat tinggalnya berada di bagian paling belakang rumah bersama dengan pihak Anak Beru Angkip. Seorang guru/dukun bisa berasal dari marga mana saja yang dikehendaki oleh pihak Jabu Bena Kayu untuk menempati rumah tersebut.

Demikian nama, posisi dan peran masing-masing kedelapan Jabu dalam Rumah Adat Karo Sepuluh Dua Jabu. Walau peran dan tugas masing-masing Jabu berbeda-beda dan telah dibagi menurut kedudukannya, tetapi keseluruhan Jabu dalam Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan saling terikat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Karo adalah masyarakat sosial yang memiliki ikatan yang sangat erat satu dengan yang lainnya dan memiliki sifat kekeluargaan saling membantu dan saling melengkapi (gotong-royong) yang tercermin dari Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

4.2. Kemiskinan Dalam Kehidupan Penghuni Rumah

Salah satu yang menjadi perhatian penting di dalam penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana kehidupan keluarga yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Pada awalnya peneliti berfikir bahwa seluruh penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini menempatinya adalah dari keturunan asli, namun teernyata hal itu tidak lah benar. Hanya tinggal tersisa dua keluarga saja yang masih merupakan bagian dari keturunan asli pendiri rumah Sepuluh Dua Jabu. Diantaranya adalah keluarga bapak Terang Ukur Sitepu dari merga Sitepu dan keluarga Ginting.

Sementara itu penghuni lainnya berasal dari berbagai desa di Kabupaten Karo. Walaupun mereka tidak memiliki latar belakang saudara dengan penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu, namun mereka diperbolehkan untuk tinggal di Rumah Adat Tersebut. Menurut penjelasan dari bapak Terang Ukur Sitepu, alasan mengapa banyak sekali penghuni asli yang sudah tidak tinggal di rumah tersebut adalah karena rumah tersebut sudah tidak cukup lagi untuk menampung keturunannya. Sebab seperti bapak Terang Sitepu saja memiliki 3 saudara, dan beliau adalah anak tertua dari keluarga tersebut. Keluarga dari merga lainnya juga ada yang memiliki 5 anggota keluarga seperti keluarga merga Ginting, tentu ruangan di dalam rumah tersebut tidak akan mencukupi.

Alasan berikutnya juga karena adanya anggapan bahwa mereka yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu identik dengan kemiskinan. Biasanya anggota keluarga dari penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu akan tinggal di rumah permanen di desa atau kota lainnya. Sebab menurut mereka tinggal di

Rumah Sepuluh Dua Jabu segala sesuatunya serba terbatas. Setelah para anggota keluarga keturunan keluar dari rumah tersebut, maka timbul ide untuk menyewakan beberapa ruangan untuk dipakai oleh warga lainnya.

Salah satu penghuni yang tinggal dan menyewa di rumah tersebut adalah bapak Gerhana Perangin-angin (35 tahun). Beliau bekerja sebagai petani sayur, dan terkadang juga menjadi buruh tani di ladang-ladang milik tetangganya. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan yang sebelumnya ditempati oleh keluarga Sembiring. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan tersebut bersama seorang isteri dan dua orang anak laki-lakinya.

Bapak Perangin-angin sebelumnya berasal dari Kuta Simacem yang terletak tidak jauh dari Desa Beganding. Sebelumnya bapak Perangin-angin tinggal di rumah orangtuanya selama 3 tahun. Alasan ekonomi menjadi fator utama mengapa bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Adanya perasaan malu karena menumpang di rumah orangtua terus menerus juga menjadi salah satu alasan kuat bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Awal cerita bapak Perangin-angin mengetahui bahwa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu bisa ditempati adalah dari salah satu anggota keluarga merga Sembiring yang merupakan kenalan bapak Perangin-angin di pasar. Satu kali bapak Perangin-angin pernah menanyakan kepada bapak Sembiring dimana kira-kira tempat rumah sewa yang murah tetapi tidak terlalu jauh dari desa nya. Bapak Sembiring pun pada saat ini menawarkan langsung untuk tinggal menyewa di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

Menuurut bapak Perangin-angin pertimbangan dari keluarga merga Sembiring untuk mau menyewakan salah satu ruangan rumah pada saat itu adalah karena untuk bisa sekaligus menjaga dan merawat rumah tersebut. Apabila kosong maka rumah tersebut tidak akan terawat dan berpotensi untuk rusak. Bapak Perangin-angin menyewa rumah tersebut dengan harga sewa Rp.50.000/bulan dan dibayarkan kepada keluarga merga Sembiring.

Mekanisme pembayaran uang sewa memang diatur secara lisan saja diantara para penghuni asli jika ingin menyewakan ruangannya kepada orang lain di luar keluarga. Namun, sebelumnya tetap harus meminta izin dari pihak Jabu Bena Kayu dalam hal ini keluarga dari merga Ginting. Seperti yang dikatakan bapak Terang Ukur Sitepu sebagai berikut :

“. . . untuk menyewakan ruangannya memang setiap Jabu punya hak masing-masing. Tetapi mereka tetap harus izin dulu sama kepala rumah dalam hal ini keluarga dari merga Ginting . . .”

Satu keluarga lainnya yang menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu adalah bapak Martin Bangun (38 tahun) bersama keluarganya. Bapak Martin Bangun merupakan warga dari Kabanjahe yang sudah 5 tahun tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Bapak Martin Bangun mengaku dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk memilih rumah sewa karena kondisi keuangan keluarganya memang sangat kurang. Namun, diantara kondisi keuangan yang lemah tersebut dirinya tetap saja harus menjaga harga dirinya di depan keluarganya. Menurut bapak Martin Bangun awal mula dirinya beserta keluarga tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu adalah pada saat pertemuan dengan salah seorang anggota

keluarga dari merga Sitepu yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Hampir sama seperti bapak Perangin-angin, bapak Martin Bangun juga ditawari oleh salah seorang anggota keluarga merga Sitepu untuk menempati rumah Sepuluh Dua Jabu dengan status menyewa. Ruangan yang ditempati oleh bapak Martin Bangun adalah nomor dua dari belakang rumah tersebut. Harga sewa yang dikenakan kepadanya adalah sebesar Rp.50.000/bulan, dengan catatan keluarga bapak Martin Bangun harus menjaga dan merawat rumah tersebut.

“ . . . sebelumnya sama keluarga merga Sitepu saya dikasih ijin untuk tinggal di rumah ini. Tetapi dengan syarat, membayar uang sewa sebesar Rp.50.000/bulan dan juga ikut menjaga bangunan rumah ini supaya tetap terawat . . .”

Menurut bapak Martin Bangun dirinya beserta keluarganya sangat bersyukur dapat menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut. Walaupun gerak mereka menjadi sangat terbatas mengingat mereka bukan satu-satunya penghuni di rumah tersebut, namun mereka tetap merasa lebih baik daripada harus menumpangi rumah orangtua mereka di kampung halaman.

Ironis memang ketika melihat kondisi penghuni Rumah Adat Sepuluh dua Jabu ini. Payung Bangun dalam tulisannya mengenai Situasi Rumah Adat Karo Sekarang Ini (1989) pernah menjelaskan bahwa keluarga-keluarga yang bergabung dan mendirikan rumah adat baik Siwaluh Jabu, Sepuluh Jabu maupun Sepuluh Dua Jabu dahulu kala identik dengan keluarga yang makmur dan kaya raya, kini berbanding terbalik dengan kenyataan. Karena pada saat ini stigma yang

ada saat ini di masyarakat Karo adalah dia yang masih menempati Rumah Adat Karo adalah orang yang tak mampu.

4.3. Kehidupan Sosial Penghuni Rumah

Salah satu hal yang menjadi perhatian untuk menjadi bahan kajian dalam penelitian mengenai Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu ini adalah aspek kehidupan sosial penghuninya. Banyak sekali tata cara atau aturan-aturan hidup yang mengatur kehidupan penghuni rumah Sepuluh Dua Jabu. Salah satunya adalah apabila anak laki-laki sudah berumur 10 tahun ke atas maka dia tidur di (bagian atas) lumbung padi. Seorang duda juga tidak diperkenankan tidur di dalam rumah adat. Bapak Terang Ukur Sitepu mengatakan alasan aturan tersebut dibuat adalah

Dokumen terkait