• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DESKRIPSI RUMAH ADAT SEPULUH DUA JABU

4.2 Kemiskinan Dalam Kehidupan Penghuni Rumah

Salah satu yang menjadi perhatian penting di dalam penelitian ini adalah menjelaskan bagaimana kehidupan keluarga yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Pada awalnya peneliti berfikir bahwa seluruh penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu yang saat ini menempatinya adalah dari keturunan asli, namun teernyata hal itu tidak lah benar. Hanya tinggal tersisa dua keluarga saja yang masih merupakan bagian dari keturunan asli pendiri rumah Sepuluh Dua Jabu. Diantaranya adalah keluarga bapak Terang Ukur Sitepu dari merga Sitepu dan keluarga Ginting.

Sementara itu penghuni lainnya berasal dari berbagai desa di Kabupaten Karo. Walaupun mereka tidak memiliki latar belakang saudara dengan penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu, namun mereka diperbolehkan untuk tinggal di Rumah Adat Tersebut. Menurut penjelasan dari bapak Terang Ukur Sitepu, alasan mengapa banyak sekali penghuni asli yang sudah tidak tinggal di rumah tersebut adalah karena rumah tersebut sudah tidak cukup lagi untuk menampung keturunannya. Sebab seperti bapak Terang Sitepu saja memiliki 3 saudara, dan beliau adalah anak tertua dari keluarga tersebut. Keluarga dari merga lainnya juga ada yang memiliki 5 anggota keluarga seperti keluarga merga Ginting, tentu ruangan di dalam rumah tersebut tidak akan mencukupi.

Alasan berikutnya juga karena adanya anggapan bahwa mereka yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu identik dengan kemiskinan. Biasanya anggota keluarga dari penghuni Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu akan tinggal di rumah permanen di desa atau kota lainnya. Sebab menurut mereka tinggal di

Rumah Sepuluh Dua Jabu segala sesuatunya serba terbatas. Setelah para anggota keluarga keturunan keluar dari rumah tersebut, maka timbul ide untuk menyewakan beberapa ruangan untuk dipakai oleh warga lainnya.

Salah satu penghuni yang tinggal dan menyewa di rumah tersebut adalah bapak Gerhana Perangin-angin (35 tahun). Beliau bekerja sebagai petani sayur, dan terkadang juga menjadi buruh tani di ladang-ladang milik tetangganya. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan yang sebelumnya ditempati oleh keluarga Sembiring. Bapak Perangin-angin tinggal di ruangan tersebut bersama seorang isteri dan dua orang anak laki-lakinya.

Bapak Perangin-angin sebelumnya berasal dari Kuta Simacem yang terletak tidak jauh dari Desa Beganding. Sebelumnya bapak Perangin-angin tinggal di rumah orangtuanya selama 3 tahun. Alasan ekonomi menjadi fator utama mengapa bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Adanya perasaan malu karena menumpang di rumah orangtua terus menerus juga menjadi salah satu alasan kuat bapak Perangin-angin memilih untuk tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Awal cerita bapak Perangin-angin mengetahui bahwa Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu bisa ditempati adalah dari salah satu anggota keluarga merga Sembiring yang merupakan kenalan bapak Perangin-angin di pasar. Satu kali bapak Perangin-angin pernah menanyakan kepada bapak Sembiring dimana kira-kira tempat rumah sewa yang murah tetapi tidak terlalu jauh dari desa nya. Bapak Sembiring pun pada saat ini menawarkan langsung untuk tinggal menyewa di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu.

Menuurut bapak Perangin-angin pertimbangan dari keluarga merga Sembiring untuk mau menyewakan salah satu ruangan rumah pada saat itu adalah karena untuk bisa sekaligus menjaga dan merawat rumah tersebut. Apabila kosong maka rumah tersebut tidak akan terawat dan berpotensi untuk rusak. Bapak Perangin-angin menyewa rumah tersebut dengan harga sewa Rp.50.000/bulan dan dibayarkan kepada keluarga merga Sembiring.

Mekanisme pembayaran uang sewa memang diatur secara lisan saja diantara para penghuni asli jika ingin menyewakan ruangannya kepada orang lain di luar keluarga. Namun, sebelumnya tetap harus meminta izin dari pihak Jabu Bena Kayu dalam hal ini keluarga dari merga Ginting. Seperti yang dikatakan bapak Terang Ukur Sitepu sebagai berikut :

“. . . untuk menyewakan ruangannya memang setiap Jabu punya hak masing-masing. Tetapi mereka tetap harus izin dulu sama kepala rumah dalam hal ini keluarga dari merga Ginting . . .”

Satu keluarga lainnya yang menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu adalah bapak Martin Bangun (38 tahun) bersama keluarganya. Bapak Martin Bangun merupakan warga dari Kabanjahe yang sudah 5 tahun tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu. Bapak Martin Bangun mengaku dirinya tidak memiliki pilihan lain untuk memilih rumah sewa karena kondisi keuangan keluarganya memang sangat kurang. Namun, diantara kondisi keuangan yang lemah tersebut dirinya tetap saja harus menjaga harga dirinya di depan keluarganya. Menurut bapak Martin Bangun awal mula dirinya beserta keluarga tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu adalah pada saat pertemuan dengan salah seorang anggota

keluarga dari merga Sitepu yang tinggal di Rumah Adat Sepuluh Dua Jabu tersebut.

Hampir sama seperti bapak Perangin-angin, bapak Martin Bangun juga ditawari oleh salah seorang anggota keluarga merga Sitepu untuk menempati rumah Sepuluh Dua Jabu dengan status menyewa. Ruangan yang ditempati oleh bapak Martin Bangun adalah nomor dua dari belakang rumah tersebut. Harga sewa yang dikenakan kepadanya adalah sebesar Rp.50.000/bulan, dengan catatan keluarga bapak Martin Bangun harus menjaga dan merawat rumah tersebut.

“ . . . sebelumnya sama keluarga merga Sitepu saya dikasih ijin untuk tinggal di rumah ini. Tetapi dengan syarat, membayar uang sewa sebesar Rp.50.000/bulan dan juga ikut menjaga bangunan rumah ini supaya tetap terawat . . .”

Menurut bapak Martin Bangun dirinya beserta keluarganya sangat bersyukur dapat menempati rumah adat Sepuluh Dua Jabu tersebut. Walaupun gerak mereka menjadi sangat terbatas mengingat mereka bukan satu-satunya penghuni di rumah tersebut, namun mereka tetap merasa lebih baik daripada harus menumpangi rumah orangtua mereka di kampung halaman.

Ironis memang ketika melihat kondisi penghuni Rumah Adat Sepuluh dua Jabu ini. Payung Bangun dalam tulisannya mengenai Situasi Rumah Adat Karo Sekarang Ini (1989) pernah menjelaskan bahwa keluarga-keluarga yang bergabung dan mendirikan rumah adat baik Siwaluh Jabu, Sepuluh Jabu maupun Sepuluh Dua Jabu dahulu kala identik dengan keluarga yang makmur dan kaya raya, kini berbanding terbalik dengan kenyataan. Karena pada saat ini stigma yang

ada saat ini di masyarakat Karo adalah dia yang masih menempati Rumah Adat Karo adalah orang yang tak mampu.

Dokumen terkait