• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

KAMBING LOKAL INDONESIA

POTENSI

• Sebagai sumberdaya genetik ternak daerah/ nasional • Kambing penghasil daging, susu, pupuk

• Berkontribusi signifikan terhadap pendapatan peternak dan status sosial

PERMASALAHAN

• Data dan informasi karakter morfometrik kambing lokal masih terbatas

• Data dan informasi pemetaan genetik tentang pengelompokan dan asal usul secara maternal dan paternal masih terbatas

• Data dan informasi potensi keragaman gen fungsional yang berhubungan dengan sifat prolifik pada kambing lokal masih terbatas.

ANALISIS MORFOMETRIK

Data kualitatif (warna dan pola warna tubuh) dan kuantitatif (ukuran tubuh) ANALISIS DNA MITKONDRIA Keragaman genetik DNA mitokondria untuk mengiden tifikasi hubungan asal usul kambing lokal secara maternal ANALISIS DNA KROMOSOM Y Keragaman genetik DNA kromosom Y untuk mengiden tifikasi hubungan asal- usul secara paternal ANALISIS KERAGAMAN GEN GDF9 Identifikasi keragaman gen GDF9 pada kambing lokal

Status pemetaan keragaman fenotipik dan identitas genetik enam sub populasi kambing lokal Indonesia

Data karakteristik sumberdaya genetik dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan dan menentukan arah strategi pemanfaatan sumberdaya genetik kambing lokal secara berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Budidaya Ternak Kambing

Ternak kambing (Capra hircus) sering diartikan sebagai ternak yang dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di kalangan peternak, karena kemampuannya dalam memanfaatkan hijauan dalam jumlah terbatas seperti pada lingkungan yang kritis dan kering/lahan marjinal (MacHugh & Bradley 2001). Kambing merupakan hewan pertama yang didomestikasi, diduga berasal dari Kambing liar Capra aegargus. Pada awalnya sekitar 10 000-11 000 tahun yang silam di daerah Kawasan Timur Tengah manusia zaman Neolithic mulai memelihara kambing dalam jumlah kecil untuk mendapatkan susu, daging dan kotorannya sebagai bahan bakar, juga sebagai bahan untuk pakaian dan bangunan yang terbuat dari bulu, tulang, kulit dan urat daging (MacHugh et al. 2001; Zeder et al. 2000).

Saat ini lebih dari 300 rumpun ternak kambing yang hidup di berbagai iklim dan ketinggian, mulai dari dataran tinggi sampai ke daerah dataran rendah. Ahli arkeologi melaporkan dua tempat yang berbeda sebagai asal dari pertama kali proses domestikasi kambing dilakukan, yaitu; Lembah Sungai Eupharate di Nevali Cori, Turki (11 000 B.C.) dan di Pegunungan Zagros di Garj Dareh, Iran (10 000 B.C.). Kemungkinan situs yang lain adalah Indus Basin, di daerah Mehgarh, Pakistan (9 000 B.C.) dan kemungkinan di Pusat Anatolia dan bagian utara Levant. Situs arkeologi yang lain yang penting menunjukkan adanya proses domestikasi kambing di Cayonu, Turki (8 500 - 8 000 B.C.), Tell Abu Hureyra, Syria (8 000 – 7 400 B.C.), Jerico, Israel (7 500 B.C.) dan Ain Ghazal, Jordan (7 600 – 7 500 B.C.) (Hirst 2008).

Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus) berasal dari 3 kelompok kambing liar yang telah dijinakkan, yaitu Bezoar goat atau kambing liar Eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy), dan Makhor goat atau Kambing Makhor di pegunungan Himalaya (Capra falconeri). Sebagian besar kambing yang diternakkan di Asia berasal dari keturunan

Bezoar, termasuk Kambing Gunung Sumatra (Caprinae sumatraensis) atau

disebut juga Kambing Gurun (Maddox & Cockett 2007).

Kambing biasanya dibedakan berdasarkan letak geografis, karakteristik morfologi, dan performan produksi. Kambing berdasarkan ukuran tubuh (karakteristik morfologi) dibedakan atas tiga tipe yaitu; kambing tipe besar, tipe

sedang dan tipe kecil. Berdasarkan performan produksi kambing dibedakan atas kambing tipe perah, tipe pedaging dan tipe dwi guna (dual purpose). Saat ini usaha ternak kambing juga sangat berperan mendukung kebutuhan akan ternak Qurban bagi yang beragama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia dan juga pada aliran kepercayaan seperti agama Parmalim di Pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba. Saat ini, usaha ternak secara komersial sudah berkembang di beberapa daerah di Indonesia untuk memproduksi susu kambing, dimana kualitas susu kambing mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis susu ternak lainnya. Usaha ternak kambing perah berperan sekaligus menghasilkan ternak kambing potong.

Keragaman Genetik Ternak

Keragaman genetik terjadi tidak hanya antar rumpun tetapi juga di dalam satu rumpun yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi. Pada spesies ternak domestik suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan (Handiwirawan & Subandriyo 2004; Abdullah 2008). Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mendeteksi keragaman populasi adalah DNA mitokondria dan DNA mikro satelit (Muladno 2006; Yuwono 2006) dan DNA kromosom Y segmen gen SRY.

Keragaman genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Keragaman genetik populasi yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi informasi genetik yang dimilikinya. Perbedaan penampilan disebabkan selama proses domestikasi tipe atau rumpun-rumpun hewan terpisah secara genetik karena adanya proses adaptasi dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan rumpun yang berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki kemampuan menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap lingkungan (Noor 2008).

Lebih dari 12 000 tahun yang lalu terdapat 12 spesies ternak telah didomestikasikan dan berevolusi sehingga menjadi rumpun (breed) yang secara genetik unik dan berbeda, beradaptasi terhadap lingkungan dan komunitas setempat. Saat ini terdapat sekitar 6 000 – 7 000 rumpun ternak domestik dari

spesies yang telah terdomestikasi, bersama dengan lebih dari 80 spesies kerabat liarnya yang merupakan sumberdaya genetik ternak di bumi ini yang berperan penting untuk pangan dan produksi pertanian. Berbagai rumpun ternak yang telah berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing rumpun, tetapi juga terhadap kemampuan adaptasinya pada perubahan kondisi lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001).

Berbagai macam kebutuhan manusia sehari-hari dipenuhi dari spesies ternak, dalam bentuk pangan maupun kebutuhan lainnya. Namun hanya sebagian kecil dari total keragaman genetik ternak dan kerabat liarnya, yakni sekitar 40 spesies yang memenuhi sebagian besar proporsi dari produksi ternak global. Keragaman ternak di dalam genetik ternak dan beberapa kerabat lainnya telah menjadi sumber keragaman dari rumpun dan populasi ternak. Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan ternak modern dan akan terus berkelanjutan di masa mendatang (Subandriyo & Setiadi 2003). Sumberdaya genetik ternak sedikitnya memiliki empat manfaat, yaitu (1) keberlanjutan dan peningkatan produksi pangan; (2) memaksimumkan produktivitas lahan dan sumberdaya pertanian; (3) pencapaian pertanian berkelanjutan untuk memberikan keuntungan masa kini dan generasi rumpun ternak yang akan datang; (4) pemenuhan keanekaragaman baik yang telah maupun yang belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan sosial masyarakat. Ketersediaan keanekaragaman genetik ternak, termasuk kambing akan mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO 2007).

Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak

Keragaman genetik ini penting dalam pembentukan rumpun dan populasi ternak modern dan akan terus berlanjut untuk masa mendatang. Punahnya keragaman plasma nutfah ternak tidak akan dapat diganti meskipun dengan kemajuan bioteknologi, paling tidak sampai saat ini. Negara-negara sedang berkembang pada umumnya berada pada iklim dengan perubahan temperatur yang ekstrim antara musim panas dan hujan. Pada kondisi seperti ini akan terbentuk rumpun ternak yang beradaptasi. Walaupun produktivitasnya rendah apabila dibandingkan dengan dengan rumpun yang terdapat di daerah temperate

penyakit; tahan terhadap fluktuasi ketersediaan dan mutu pakan dan air; tahan terhadap perubahan temperatur, kelembaban dan pengaruh iklim ekstrim lainnya. Rumpun ternak ini juga beradaptasi terhadap pemeliharaan yang kurang baik sehingga memiliki nilai yang sangat berharga untuk mengantisipasi berbagai perubahan alam dan lingkungan diwaktu yang akan datang (FAO 2007).

Dengan demikian, pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak lokal sebagai bagian dari komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain: (1) lebih dari 60 persen dari rumpun-rumpun hewan ternak di dunia berada di negara- negara sedang berkembang, (2) konservasi rumpun ternak lokal tidak menarik bagi petani, (3) secara umum tidak ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif dasar sebagian besar sumberdaya genetik hewan ternak, serta (4) sedikit sekali rumpun-rumpun hewan ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif (FAO 2001; 2007).

Pelestarian sumberdaya genetik ternak pada dasarnya dapat dilakukan salah satu atau gabungan dari: (1) mempertahankan populasi ternak hidup baik dalam bentuk in-situ maupun ex-situ pada satu tempat tertentu, (2) penyimpanan beku (cryogenic), dan (3) penyimpanan dalam bentuk DNA. Dalam beberapa hal, mempertahankan populasi merupakan metode yang lebih praktis. Pelestarian pada ternak hidup mempunyai beberapa keuntungan antara lain; rumpun-rumpun ternak yang dilestarikan secara bertahap dapat merespon terhadap perubahan pengaruh eksternal dan memungkinkan dilakukan evaluasi kinerjanya (FAO 2007).

Sumberdaya Genetik Kambing Indonesia

Sumberdaya ternak kambing di Indonesia saat ini terdiri dari tiga kelompok, yakni: (1) ternak asli, (2) ternak impor, dan (3) ternak yang telah beradaptasi dalam jangka waktu lama sehingga membentuk karakteristik tersendiri (ternak lokal). Pentingnya nilai konservasi pada kelompok hewan ternak ini, beberapa rumpun ternak ini perlu dijadikan target konservasi sekaligus pemanfaatannya (Utoyo 2002). Rumpun ternak kambing di Indonesia dan rumpun kambing lainnya adalah merupakan hasil domestikasi sekitar 10000 tahun yang lampau. Kambing eksotis masuk ke Indonesia melalui daratan India

terus melalui Khyber Pass, kemudian menyebar melalui pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa sampai Indonesia bagian Timur.

Kambing Kacang merupakan rumpun kambing asli Indonesia, bentuk badannya kecil dengan tinggi pundak sekitar 50-60 cm serta prolifik. Introduksi rumpun kambing impor Benggala dari India dimulai oleh orang-orang Arab dan kambing-kambing tersebut didatangkan melalui pelabuhan pantai utara Pulau Jawa. Mulai pada tahun 1911-1931 didatangkan rumpun-rumpun Kambing Kashmir, Angora (Montgomey), Benggala dan Etawah untuk stasiun ternak kambing atau stasiun peternakan di Keresidenan Kedu, Solo, Yogyakarta, Banyumas, Pekalongan, Pangalengan, Padang Mangatas, Wlingi (Blitar), Sumba, dan Sumbawa. Disamping dari India pada tahun 1928 pernah pula diimpor dari Negeri Belanda yaitu “Hollandse Edelgeiten” (Kambing Belanda Murni). Rumpun kambing dari India selanjutnya disilangkan dengan rumpun kambing lokal Indonesia dengan cara digaduhkan atau menempatkan pejantan Etawah murni atau persilangan dengan proporsi darah Etawah yang cukup tinggi di desa-desa yang akan dikembangkan peternakan kambingnya. Hasil persilangan tersebut dikenal dengan nama Peranakan Etawah, yang proporsi darah Etawahnya sangat beragam.

Selain itu juga terdapat rumpun kambing lain yang berkembang di daerah tertentu yang merupakan kambing lokal tradisional diantaranya Kambing Gembrong (di Bali), Kambing Kosta (di Banten), Kambing Bligon, Kambing Jawarandu (di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta) dan beberapa jenis kambing lokal lainnya yang belum diidentifikasi secara ilmiah. Setelah zaman kemerdekaan diimpor atau diintroduksikan beberapa rumpun kambing, baik dalam bentuk hidup atau mani beku. Rumpun kambing yang pernah dintroduksikan antara lain Kambing Saanen dan Kambing Anglo Nubian. Bahkan akhir-akhir ini telah diintroduksikan pula Kambing Boer dari Australia yang dipersilangkan dengan Kambing Kacang atau Peranakan Etawah dalam bentuk pejantan hidup atau mani beku (Subandriyo 2004).

Terjadinya persilangan antara kambing impor dengan kambing asli Indonesia (Kacang) serta adanya aklitimasi dan isolasi selama puluhan bahkan ratusan tahun di suatu lokasi tertentu dapat menyebabkan terbentuknya kelompok kambing lokal atau sub populasi dengan komposisi genetik yang unik pula. Terbentuknya galur/kelompok kambing bisa juga disebabkan terisolasinya suatu lokasi, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan genetik akibat

adanya penghanyutan genetik (random genetic drift) seperti dilaporkan Freeland (2005).

Kambing Muara dijumpai di daerah Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Berdasarkan pada penampilannya kambing ini nampak gagah, tubuh kompak dan sebaran warna bervariasi antar warna bulu coklat kemerahan, putih dan ada juga yang berwarna bulu hitam. Bobot Kambing Muara ini lebih besar dari pada Kambing Kacang dan diduga mempunyai potensi sebagai ternak prolifik. Kambing Benggala menurut cerita dari peternak diduga merupakan hasil persilangan Kambing Black Bengal dengan kambing lokal yang diduga dibawa pendatang/pedagang dari India, Bangladesh dan Arab ke daerah sekitar Pulau Timor dan Pulau Flores di Propinsi Nusa Tenggara Timur sebelum zaman penjajahan Hindia Belanda. Selang waktu yang sudah ratusan tahun persilangan kambing tersebut mengalami proses adaptasi dengan lingkungan setempat (Batubara et al. 2007). Kambing Benggala secara umum lebih besar dari Kambing Kacang, umumnya didominasi warna hitam dan sedikit berwarna kecoklatan.

Menurut FAO (2000) rumpun adalah bagian kelompok tertentu (subspecific group) dari ternak domestik dengan karakteristik eksternal yang dikenal dengan penilaian visual atau kelompok yang dipisahkan oleh geografi dan budaya secara fenotipik. Rumpun berkembang menurut perbedaan geografi dan budaya untuk memenuhi kebutuhan yang serupa dan telah diterima sebagai identitas yang terpisah.

Berdasarkan adaptasi terhadap kondisi lokal rumpun dibedakan atas rumpun lokal dan rumpun introduksi. Rumpun lokal dapat dibedakan lagi atas rumpun asli (indigenous breed, native breed) adalah ternak yang berdasarkan sejarah terbukti berasal dari negara tersebut dan rumpun tradisional (rumpun lokal) adalah ternak yang sejarahnya tidak terbukti berasal dari negara tersebut tetapi selama 30-50 tahun telah diternakkan di negara tersebut, terbukti mempunyai catatan silsilah selama lima generasi. Rumpun introduksi (rumpun asing, exotic, alocthonous) yang tidak berasal dari suatu negara atau tidak secara kontinu diternakkan di suatu negara lebih dari 50 tahun (Sapi, kuda) dan 30 tahun untuk ternak lainnya (FAO 2007).

Penetapan dan pengakuan rumpun/galur ternak di Indonesia dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Pemerintah menyusun tatacara mengenai pengujian, penilaian, penetapan dan pengakuan, pemberian nama dan

pelepasan rumpun/galur ternak. Istilah “penetapan” adalah sebagai bentuk pengakuan dari negara terhadap rumpun ternak yang telah ada dan dibudidayakan secara turun temurun oleh peternak dan menjadi milik masyarakat (rumpun lokal atau rumpun asli). Istilah “pengakuan” adalah suatu bentuk pengakuan negara terhadap rumpun dan/atau galur ternak hasil pemuliaan/ introduksi/rekayasa genetik (Puslitbangnak 2007).

Sifat Kuantitatif dan Kualitatif

Penampilan individu yang nampak dari luar disebut sebagai fenotipik, yang dapat dibedakan menjadi sifat kuantitatif dan kualitatif (Hardjosubroto 2001). Mabrouk et al. (2008) mengemukakan bahwa karakter kuantitatif adalah ciri-ciri dari mahluk hidup yang dapat diukur, dihitung atau diskor, misalnya ukuran-ukuran tubuh. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Beberapa sifat kuantitatif pada ternak mempunyai hubungan satu sama lain, hubungan ini secara statistik disebut dengan korelasi. Sifat-sifat yang berkorelasi menjadi penting karena seleksi terhadap satu sifat akan menyebabkan kemajuan atau kemunduran bagi sifat lain yang berkorelasi dengan sifat tersebut (Nsoso et al. 2004).

Berlawanan dengan karakter kuantitatif, karakter kualitatif adalah karakter yang pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata atau gambar. Sifat ini sedikit sekali atau bahkan tidak ada hubungannya dengan kemampuan produksi, namun sifat ini mungkin penting sebagai penciri bagi rumpun atau tipe ternak tertentu, misalnya warna dan pola warna tubuh. Sifat ini diatur oleh satu atau beberapa pasang gen saja, dan sedikit sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Noor 2008).

Sponenberg (2004) mengemukakan bahwa tipe dasar tatawarna bulu dapat dibedakan menurut: pertama, warna yang meliputi seluruh permukaan tubuh sehingga membentuk warna seragam atau homogen atau warna tunggal; dan kedua, heterogen atau campuran. Warna heterogen ini memiliki dua tipe yang berbeda, yaitu: (a) komposit, apabila pada tubuh ditemukan bidang-bidang warna yang berbeda (spotted); dan (b) campuran, apabila bulu-bulu dari warna yang berbeda tampak secara bergantian satu dengan lainnya. Warna pada kambing umumnya diklasifikasikan kedalam warna tunggal (unicoloured) dan terpola (patterned).

Penanda Genetik

Penanda adalah karakter yang dapat diwariskan dan berasosiasi dengan genotip tertentu dan digunakan untuk mengkarakterisasi genotip. Potensi penggunaan penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Penanda ini dikategorikan atas penanda morfologi, sitologi, dan yang terbaru adalah penanda molekuler (Simianer 2006).

a. Penanda Morfologi

Penanda morfologi (fenotipik) merupakan penanda yang telah banyak digunakan baik dalam program genetika dasar maupun dalam program praktis pemuliaan, karena penanda ini paling mudah untuk diamati dan dibedakan.

Pengukuran parameter tubuh biasa digunakan untuk menduga asal usul rumpun ternak. Ukuran-ukuran tubuh sangat berguna untuk menentukan asal- usul dan hubungan filogenetik antar spesies, rumpun dan tipe ternak yang berbeda. Beberapa penelitian telah dilakukan menggunakan ukuran-ukuran tubuh untuk membedakan kelompok Kambing Tswana (Nsoso et al. 2004). Mabrouk et al. (2008) juga telah melakukan penelitian menggunakan beberapa ukuran tubuh (bobot badan, panjang badan, tinggi pundak, dalam dada, lingkar dada, tinggi pinggul, lingkar pinggul, dalam pinggul, panjang ekor, lebar ekor dan tebal ekor) sebagai peubah pembeda kelompok pada beberapa kelompok kambing lokal di Tunisia.

Dossa et al. (2007) mengemukakan bahwa kesamaan fenotipik dapat menunjukkan identitas genetik, walau terdapat beberapa batasan, antara lain: fenotipik yang identik dapat disebabkan olel alel-alel yang berbeda atau oleh gen-gen pada lokus yang berbeda. Dalam hal tertentu, mungkin terdapat perbedaan dalam daya ekspresi (derajat manifestasi pada satu individu) atau oleh gen dominan (frekuensi satu sifat diekspresikan relatif terhadap sejumlah pembawa gen tertentu yang diketahui dalam satu populasi). Kemiripan fenotipik dapat juga disebabkan oleh fenokopi, yakni kemiripan satu fenotip yang diakibatkan satu genotip tertentu oleh aksi lingkungan pada genotip lainnya. Namun demikian, penanda ini memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh lingkungan, memperlihatkan sifat menurun dominan/resesif dan banyak yang hanya dapat diamati pada tingkat umur tertentu.

b. Penanda Molekuler

Menurut Cardellino dan Boyazoglu (2009) aplikasi penanda molekuler yang paling penting adalah untuk pembuatan peta genetik, yang dapat digunakan untuk memeriksa lokasi suatu gen yang bertanggung jawab terhadap suatu sifat yang sederhana, misalnya resistensi terhadap penyakit atau sifat kuantitatif yang komplek pada kromosom. Penanda molekuler ini ada pada tingkat DNA, maka penanda ini bebas dari pengaruh-pengaruh epistasis, lingkungan dan fenotip sehingga dapat menyediakan informasi genetik yang defenitif untuk digunakan dalam mempelajari keragaman genetik, mendeteksi gen-gen major dan mempelajari sifat-sifat genetik yang komplek.

Tehnik ini sangat membantu pemulia dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang tinggi. Untuk mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan dengan menggunakan penanda molekuler, seperti isozim, RFLP (restriction fragment length polymorphism), RAPD (random amplified polimorphic DNA), AFLP (amplified fragment length polymorphism) dan lain-lainnya. Penanda molekuler terbaru yang relatif mudah diamati adalah DNA mikrosatelit.

DNA Mitokondria

Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat diperoleh oleh organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria. DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti (Lewin 2000) dan memiliki variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan dengan DNA inti. Tingginya variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5- 10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006; Fan-Bin 2007). DNA mitokondria terutama daerah D-loop, sangat baik digunakan untuk analisis keragaman hewan, baik di dalam spesies maupun antar spesies (Muladno 2006).

Setiap sel mengandung satu hingga ratusan DNA mitokondria. DNA mitokondria merupakan DNA utas ganda yang berbentuk sirkuler (Freeland 2005), mengandung sejumlah gen penting untuk respirasi dan pembentukan energi sel tubuh dan fungsi lainnya, sehingga relatif lebih mudah untuk mengisolasi nukleotidanya dari genom (MacHugh & Bradley 2001). Genom mitokondria hewan berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah banyak, maka eksplorasi rumpun dan penelaahannya lebih mudah.

DNA mitokondria (mtDNA) mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya banyak digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman genetik dan dinamika populasi. Beberapa kelebihan tersebut adalah (1) memiliki ukuran yang kompak dan relatif kecil (16 000 – 20 000 pasang basa), tidak sekomplek DNA inti sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih cepat dibandingkan dengan jelas perbedaan antara populasi dan hubungan kekerabatannya; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran kesamaan asal-usul. DNA mitokondria telah banyak digunakan sebagai penanda molekul untuk studi genetika populasi, penelusuran asal-usul dan pelacakan beberapa penyakit degeneratif, penuaan serta kanker (Wandia 2001). DNA mitokondria telah dikarakterisasi dengan lebih baik pada sebagian besar ternak dan telah digunakan untuk studi evolusi (Freeland 2005).

Tingkat evolusi dari suatu gen atau bagian DNA yang berbeda merupakan faktor penting yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika dan biogeografi. Umumnya, gen-gen yang terkonservasi dengan baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal-usul atau filogeni. Sebaliknya, gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik (berevolusi cepat) dapat digunakan untuk perbandingan galur-galur baru (Chen et al. 2005).

DNA mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis gen yang sama yaitu 13 daerah yang mengkode protein (URF1, URF2, URF3, URF4, URF5, URF6, URF6L, URF4L, Cytochrome Oxidase unit I, Cytochrome Oxidase unit II, Cytochrome Oxidase unit III, Cytochrome –b dan ATPase 6); 2 gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16S rRNA; 22 gen pengkode tRNA (Freeland 2005). Perkembangan sekarang ini ke-8 URF adalah diidentifikasi menjadi gen-gen 7 sub unit NADH-dehidrogenase (ND 1-6 dan ND 4L) dan sisa

Dokumen terkait