• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengidentifikasi karakteristik morphometrik dan genetik pada 6 sub populasi kambing lokal Indonesia dan strategi pemanfaatannya secara berkelanjutan, kambing lokal pada 6 sub populasi yang diamati memiliki karakteristik fenotipik (ukuran-ukuran tubuh, bobot badan dan warna tubuh) yang beragam. Rataan ukuran-ukuran tubuh dan bobot badan berbeda antara satu sub populasi dengan sub populasi kambing lokal lainnya. Karakter panjang badan, tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar dada, lingkar dada, lingkar kanon, lebar tengkorak, tinggi tengkorak pada kambing lokal yang diamati menunjukkan nilai koefisien keragaman tinggi.

Seleksi juga dapat dilakukan pada warna dan pola warna tubuh kambing lokal yang beragam apabila diinginkan untuk meningkatkan pola warna tertentu. Menurut Astuti (2004) seleksi ternak lokal dengan memanfaatkan keragaman karakteristik sifat produksi dan reproduksi akan meningkatkan produktifitas, disamping memiliki dampak penting terhadap pelestarian sumber daya genetik ternak. Dari keenam sub populasi kambing yang diamati terdapat tiga sub populasi yang sudah menunjukkan pola warna yang spesifik yaitu Kambing Benggala cenderung berwarna hitam, Kambing Samosir sebagian besar berwarna putih, sedangkan Kambing Muara sebagian besar berwarna putih dengan belang hitam ataupun coklat kemerahan (merah bata). Pada Kambing Kacang, Marica dan Jawarandu pola warna masih sangat beragam, sehingga peluang untuk mengarah ke pola warna tertentu untuk membentuk pola warna yang dinginkan masih sangat terbuka.

Adanya perbedaan susunan dan komposisi basa-basa nukleotida antara kambing-kambing lokal Indonesia (Kacang, Jawarandu, Marica, Muara, Samosir dan Benggala) berdasarkan analisis D-loop parsial (957 bp) DNA mitokondria, menunjukkan ada perbedaan materi genetik antara kambing- kambing tersebut. Demikian juga apabila dibandingkan keenam sub populasi kambing lokal Indonesia yang diamati dengan kambing-kambing Eropa, Afrika, Cina dan kambing dari data GenBank, maka jelas terdapat perbedaan materi genetik Kambing Kacang, Jawarandu, Marica, Muara, Samosir dan Benggala dengan kambing dari kelompok tersebut. Menurut Naderi et al. (2007) berdasarkan keragaman genetik DNA mitokondria pendugaan asal-usul ternak kambing dapat dkelompokkan menjadi enam kelompok utama (haplogroup

lineage). Berdasarkan hasil analisis sekuen yang diperoleh keenam sub populasi kambing lokal yang diamati termasuk kedalam lineage B yaitu kelompok kambing yang menyebar di Asia Timur dan Asia Selatan, Cina, Mongolia, Afrika Selatan, Afrika Utara, Laos, Malaysia, Pakistan dan India. Selain 6 sub populasi kambing lokal Indonesia yang diamati dalam penelitian ini, di Indonesia juga dijumpai jenis rumpun kambing lainnya yang termasuk dalam kelompok utama (haplogroup

lineage) A yang berupa rumpun-rumpun kambing yang daerah penyebarannya

dari Eropa seperti Kambing Saanen, Kambing Nubian dan Jamnapari (Etawah). Susunan nukleotida yang khas (unik) ini dapat dipakai sebagai salah satu penciri untuk mengidentifikasi kambing lokal Indonesia. Penciri khas kambing lokal Indonesia dapat diperoleh setelah dibandingkan dengan nukleotida Capra hircus (AF533441) dari GenBank yaitu perubahan nukleotida pada situs ke 201, 386, 625 (A-G); 113, 633, 697 (C-T); 298 (G-A); 537 (G-C); 597 (T-C) dan 812 (C-A). Sedangkan setiap sub populasi susunan basa DNA yang unik yang dapat dipakai sebagai penciri khas pada Kambing Kacang, Marica, Jawarandu, Muara, Samosir dan Kambing Benggala.

Berbeda dengan keragaman susunan genetik yang tinggi pada metode analisis DNA mitokondria, pada analisis DNA kromosom Y pada segmen gen SRY tingkat keragaman susunan genetik relatif lebih rendah. Berdasarkan primer yang didesain sendiri diperoleh hasil analisis sekuen susunan basa nukleotida sepanjang 499 bp dan terdiri dari 6 situs yang bersifat polimorfik dan ditemukan 4 haplotip susunan nukleotida yang khas yang dapat dipakai sebagai salah satu acuan untuk mengetahui asal-usul berdasarkan keturunan secara paternal (menurut garis keturunan ayah, tetua jantan). Berdasarkan haplotip tersebut ditemukan bahwa Kambing Kacang satu kelompok dengan Kambing Jawarandu, disini memperkuat dugaan Kambing Jawarandu merupakan keturunan dari persilangan pejantan Kambing Kacang dengan induk Kambing Peranakan Etawa (PE) atau Etawah, hal ini juga bisa dilihat dari penampilan ciri-ciri fenotipik yang berbeda dengan Kambing PE yang antara lain panjang dan lebar telinga lebih pendek, tinggi pundak lebih rendah sehingga performan Kambing Jawarandu lebih mengarah ke Kambing Kacang dari pada ke arah Kambing Etawah (Jamnapari).

Kambing Marica dan Kambing Samosir satu kelompok tetapi keragaman genetiknya tidak berbeda nyata dengan kelompok Kambing Kacang dan Kambing Jawarandu. Diduga Kambing ini berasal dari Kambing Kacang yang

telah mengalami adaptasi dengan lingkungan setempat dalam jangka waktu yang lama. Kambing Marica diduga mengalami adaptasi dengan kondisi lingkungan di Sulawesi Selatan dengan masa musim kemarau yang panjang (6-9 bulan per tahun), sehingga mulai dari pertengahan sampai akhir musim kering rumput sudah mengering dan jumlahnya relatif terbatas sehingga kambing beradaptasi, secara fenotip dapat dilihat ukuran tubuh mengecil dan bulu relatif coklat kemerahan dan mengkilat.

Pada Kambing Samosir terjadi karena seleksi campur tangan manusia, dimana peternak ingin memelihara kambing yang berwarna putih untuk keperluan ritual keagamaan, sehingga kambing yang berwarna putih dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi. Tetapi di beberapa tempat karakteristik ukuran tubuh dan pola warna Kambing Samosir ada yang agak mirip dengan Kambing Saanen, diduga Kambing Samosir mungkin juga merupakan hasil persilangan Kambing lokal dengan Kambing Saanen, tetapi performan tubuh dan bobot tubuh relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan Kambing Saanen. Jika ditinjau dari runutan nukleotida daerah D-loop DNA mitokondria dan DNA kromosom Y segmen gen SRY lebih dekat dengan Kambing Kacang dan Kambing Marica.

Kambing Muara diduga merupakan kambing persilangan Kambing Peranakan Etawah dengan kambing lokal di daerah Kabupaten Tapanuli Utara yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Dengan topografi lingkungan dataran tinggi yang berbukit-bukit, ketersediaan pakan relatif cukup membentuk postur tubuh Kambing Muara relatif besar dan kompak, sangat cocok untuk ternak kambing penghasil daging. Juga berdasarkan pengamatan dari jumlah anak perkelahiran, beberapa induk beranak empat dapat hidup sampai lepas sapih di tingkat petani. Hal ini diduga disamping suplay makanan cukup juga di dukung produksi susu yang relatif baik untuk mendukung pertumbuhan anak kambing sejak lahir.

Kambing Benggala umumnya berwarna hitam dan ada coklat tua, telinga separuh di ujung jatuh, tinggi pundak relatif pendek . Kambing ini terpisah jauh dari Kambing Kacang (0.006). Diduga kambing ini merupakan hasil persilangan Kambing Black Bengal dengan kambing lokal di daerah Nusa Tenggara Timur. Diduga ternak tersebut masuk ke daerah NTT melalui para pedagang dari India, Pakistan atau Sri Lanka yang di bawa serta untuk menghasilkan susu dan daging. Masyarakat menyebutnya Kambing Benggala (mungkin berasal dari

India dari kata Benggali) atau karena warna kambing tersebut berwarna hitam pada umumnya.

Berdasarkan jarak genetik pada ukuran-ukuran tubuh, penampilan, pola warna dominan, keragaman genetik berdasarkan D-loop DNA mitokondria dan kromosom Y segmen gen SRY, diduga setiap populasi kambing lokal Indonesia yang diamati telah membentuk karakteristik morfologi dan karakteristik genetik tersendiri yang khas sehingga bisa dikelompokkan menjadi 6 rumpun atau galur kambing yaitu Kambing Kacang, Kambing Jawarandu, Kambing Marica, Kambing Muara, Kambing Samosir dan Kambing Benggala. Berdasarkan hasil penelitian ini kambing lokal Indonesia dapat dipetakan keragaman genetiknya untuk tujuan konservasi sumberdaya genetik ternak lokal dan pengembangan ternak lokal guna mendukung ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan masyarakat peternak kambing. Dengan diperolehnya status dan karakteristik morfologi kambing lokal ini, perlu dilanjutkan karakterisasi produksi, reproduksi dan daya tahannya terhadap penyakit dan perubahan lingkungan di daerah tropis.

Sampai saat ini laporan hasil penelitian pendahuluan tentang hubungan ketiga gen fekunditas tersebut masih sangat bervariasi, sebagian dilaporkan ada polimorfisme dan sebagian lagi melaporkan tidak terdapat polimorfisme. Beberapa hasil penelitian juga melaporkan bahwa keragaman Gen GDF9 bersifat monomorfik pada Kambing Boer, Haimen, Huanghuai, Nubi, dan Kambing Matou (Guo-Hua et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan tingkat keragaman gen GDF9 pada kelompok induk yang rata-rata beranak kembar dan kelompok induk yang rata-rata beranak tunggal pada Kambing Kacang, PE, Samosir dan Muara bersifat monomorfik. Alternatif lain yang mungkin dilakukan adalah dengan mengidentifikasi gen-gen lain yang diduga berhubungan dengan sifat fekunditas pada induk kambing yang beranak kembar, seperti beberapa jenis gen yang diduga berhubungan dengan sifat beranak kembar pada kambing antara lain ; gen FSHB yang berhubungan dengan superovulasi pada Kambing Matou (Zhang et al. 2011), gen KiSS-1 diduga berhubungan dengan sifat prolifik pada Kambing Guanzhong dan Xinong Saanen (Huo et al. 2011), gen INHA masih diduga mengontrol sifat prolifik pada Kambing Matou dan Kambing Haimen (Guo- Huo et al. 2007). Fenogram berdasarkan data karakter morfometrik, dendogram berdasarkan mitokondria menunjukkan bahwa masing-masing sub populasi berbeda, sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 rumpun kambing lokal. Sedangkan dendogram berdasarkan nukleotida kromosom Y dan gen GDF9 ruas

promotor menunjukkan bahwa secara paternal Kambing Kacang dan Jawarandu termasuk satu kelompok, serta Kambing Muara dengan PE satu kelompok. Ini memperkuat dugaan bahwa Kambing PE merupakan tetua jantan dari Kambing Muara.

Hasil penelitian ini memperoleh data dan informasi pendahuluan tentang pemetaan keragaman sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia khususnya untuk rumpun atau galur Kambing Kacang, Marica, Muara, Jawarandu, Samosir dan Kambing Benggala. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006, tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik, upaya pelestarian dan pengembangan kambing lokal Indonesia penting dilakukan untuk mengantisipasi kehilangan sumberdaya genetik plasma nuftah kambing akibat adanya persilangan dan pemotongan ternak yang tidak seimbang dengan produksinya.

Untuk menghindari kehilangan sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia perlu dilanjutkan karakterisasi produktivitas dan keunggulan potensi genetiknya dan penelitian pengembangan, kemudian disertai dengan sosialisasi pengenalan ternak kambing lokal tersebut terutama di wilayah dimana populasi aslinya berada (in-situ), sehingga timbul minat untuk memelihara dan mengembangkannya. Sampai saat ini pada umumnya sistim pemeliharaan ternak kambing lokal masih diserahkan kepada kebaikan alam, dengan pemeliharaan secara tradisional (kearifan lokal). Disadari atau tidak ternak kambing lokal tersebut berperan menambah pendapatan keluarga petani di daerah pedesaan dengan sistim pemeliharaan dengan biaya relatip rendah (low input system), sesuai dengan kondisi agro-ekosistem setempat dan ternak dapat hidup dan berproduksi.

Jika berhasil ditetapkan secara ilmiah rumpun-rumpun atau galur kambing lokal berdasarkan hasil-hasil penelitian dan sudah dapat ditetapkan, diharapkan kemudian akan dilanjutkan dengan penetapan wilayah pengembangan rumpun atau galur kambing lokal tertentu. Dengan begitu sumberdaya genetik kambing lokal tersebut dapat dipertahankan dan dikembangkan secara berkelanjutkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan ikut mendukung ketahanan pangan di daerah-daerah pedesaan. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah mengakomodir kekuatiran pemerintah akan terjadinya penggerusan materi genetik ternak lokal dengan melaksanakan program pewilayahan yang

dibagi atas: a) wilayah sumber bibit, yang bersifat mengembangkan secara murni, dengan mempertimbangkan jenis ternak dan rumpun, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya serta ilmu pengetahuan dan teknologi, b) wilayah produksi, pengembangbiakan dengan tujuan komersil yang memungkinkan menggunakan teknik-teknik perkawinan silang dan penggemukan, dan c) wilayah konservasi, dengan melakukan penangkaran hewan/ternak asli yang masih ada atau mengembangbiakkan hasil dari suatu wilayah sumber bibit (Departemen Pertanian 2006). Di Indonesia umumnya kambing lokal mempunyai potensi reproduksi yang sangat baik, maka introduksi melalui persilangan merupakan salah satu cara untuk menggabungkan sifat adaptabilitas dengan keunggulan genetik pertumbuhan rumpun kambing yang diintroduksi. Alternatif lain adalah dengan melakukan program seleksi untuk pengembangan ternak kambing lokal yang dianggap cukup potensial untuk menjadi bibit unggul yang berbasis rumpun kambing lokal, seperti galur Kambing PE Kaligesing yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Berdasarkan jumlah sampel selama pengamatan di lapangan jumlah data pejantan sangat terbatas dan sulit dijumpai di daerah pedesaan. Diduga hal ini terjadi karena peternak lebih sering menjual kambing jantan karena harga jual yang lebih tinggi dan kurang memperhatikan kualitas pejantan yang akan digunakan. Hal tersebut akan menyebabkan erosi genetik dan penurunan kualitas genetik ternak. Pada umumnya pengetahuan tentang jenis rumpun dan tingkat kesadaran menjaga kelestarian ternak kambing lokal masih sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang perlunya mengenal dan mempertahankan sumberdaya genetik kambing lokal Indonesia.

Dokumen terkait