• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI KERONCONG TUGU

2.2 Kampung Tugu

Kampung Tugu adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah utara kota Jakarta, tepatnya di kawasan pantai utara Jakarta, di sebelah timur wilayah Tanjung Priok yang ditetapkan menjadi pelabuhan kota Jakarta sejak tahun 1883 menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa atau Jayakarta. Wilayah Kampung Tugu ini termasuk ke dalam kategori daerah terpencil yang cukup jauh dari kemegahan kota Jakarta, dan jauh tertinggal dari hiruk pikuk kebijakan pemerintah yang ingin mengedepankan budaya sebagai upaya pendekatan kepada masyarakat yang multilateral. Bahkan sekarang ini terlihat suasana yang sangat tidak nyaman apabila kita melewati daerah ini. Sepanjang jalan di kawasan ini kini menjadi daerah yang tingkat polusinya cukup tinggi karena dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah yang berasal dari pelabuhan Tanjung Priok, sangat padat dan macet yang disebabkan oleh melintasnya mobil truk peti kemas, meskipun wilayah ini dijadikan sebagai cagar budaya yang menjadi pewaris kebudayaan Portugis dan juga karena adanya sebuah gereja bersejarah yang terletak di pinggir jalan Raya Tugu, yakni Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) yang kala itu dihadiahi oleh Belanda kepada Portugis yang sebelumnya memeluk agama Katolik menjadi agama Protestan, serta makam para bagi para orang Tugu yang dianggap sebagai orang berpengaruh di kawasan tersebut.

35 Gambar 1: Peta Kampung Tugu

(sumber: Gambar 2. Gereja Tugu (sumbe

36

Terkait dengan nama wilayah ini yang disebut dengan nama Kampung Tugu, dilatarbelakangi oleh dua pendapat. Pendapat pertama adalah dikarenakan pada tahun 1879 ditemukan sebuah Prasasti Tugu yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke lima, yang kemudian pada tahun 1911 dipindahkan ke sebuah museum yang bernama Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini dikenal dengan Museum Nasional. Pendapat kedua terkait pemberian nama wilayah ini menjadi Kampung Tugu diambil dari kata “Portuguese”, hal ini karena wilayah ini pertama kali dihuni oleh orang-orang yang merupakan keturunan Portugis.

Kedatangan Portugis pada abad ke 15 merupakan pertemuan Eropa pertama kali di pulau Jawa yang berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa dalam perjalanan mereka menuju ke daerah penghasil rempah-rempah yaitu Melaka dan Maluku. Seperti yang sudah ditulis pada tulisan sebelumnya, akhirnya kedatangan Portugis mendapat sambutan baik oleh Sultan di kedua wilayah itu, hingga akhirnya wilayah itu berada di bawah kendali Portugis dan menguasai serta memonopoli rempah-rempahnya sejak tahun 1511–1641, namun pada tahun 1648 armada Belanda berhasil menguasai dan mengambil alih Melaka. Kehadiran Portugis ke wilayah Asia Tenggara menetapkan adanya Kreol

Mestizo (keturunan) yakni peranakan campuran Portugis dengan wanita pribumi

sejak kedatangan mereka ke Sunda Kelapa pada abad 15, dan juga kelompok

mardijkers (harafiah bebas pajak), yaitu laskar Portugis yang dibawa dari

37

Inilah yang menjadi awal lahirnya Kampung Tugu, yakni ketika sekelompok pelaut Portugis Goa yang melarikan diri dari Bandaneira, setelah Gubernur Jenderal Jan Pieter Soen Coen memberlakukan pembersihan etnis oleh militer Belanda di Pulau Banda selama tahun 1620. Para pelaut Goa membuat pelabuhan darurat ketika kapal mereka karam di teluk Batavia. Di bawah intervensi Batavia Portugis Church (Portugeesche Binnenkerk), pada tahun 1661 oleh Belanda dibebaskan dan dikirim para pelaut ini ke desa Tugu bersama dengan keluarga mereka asal Bandaneira yang berjumlah sekitar 23 kepala keluarga.

Mereka kemudian dipaksa oleh Belanda untuk memeluk agama Kristen Protestan dan dihadiahi sebuah gereja sebagai tempat ibadah yang lokasinya tidak jauh dari Kampung Tugu oleh tuan tanah Belanda Yustinus Van Der Vinc pada tahun 1747, beserta sebidang tanah untuk pemakaman yang bersebelahan dengan gereja.

Ketika wilayah Kampung Tugu ini dihuni oleh para mestizo untuk yang pertama kalinya, wilayah ini dapat dikatakan tidak layak huni, karena lokasi ini pada waktu itu merupakan kawasan hutan lebat yang berawa sehingga daerah ini menjadi tempat bersarangnya nyamuk malaria. Tepatnya pada tahun 1661, ke hutan yang berawa inilah Belanda membawa sekitar 23 kepala keluarga mestizo untuk hidup, berkembang dan menetap bersama kleuarga mereka. Dalam upaya mereka mempertahankan kelangsungan hidup, mereka memanfaatkan potensi alam sekitar yang cukup subur untuk diolah sebagai lahan pertanian, dan ada juga yang menjadi nelayan karena di kawasan tersebut juga mengalir sebuah

38

sungai yang di sebut dengan Kali Cilincing. Di sini mereka tinggal secara eksklusif dengan mempertahankan bahasa mereka bahasa Portugis Cristao lisan, namun seiring berjalannya waktu kedatangan penduduk dari luar wilayah Tugu membuat mereka akhirnya melebur dan membaur dengan situasi dan keadaan pada saat itu sehingga Pada pergantian abad ke-19, kelompok ini terpisah-pisah dan secara perlahan berasimilasi dengan masyarakat kota Batavia yang sangat besar.

Kini usia Kampung Tugu diperkirakan sudah 3,5 abad dan dalam kurun waktu yang terhitung cukup panjang tersebut pasti ada banyak hal yang berubah, baik dari situasi di lingkungan itu bahkan juga pengaruh dari luar. Tingginya minat masyrakat Indonesia untuk mencari rezeki di Jakarta juga menjadi salah satu faktor. Kini mereka yang merupakan penduduk pertama di Kampung Tugu justru menjadi penduduk minoritas di kawasan Kampung Tugu, dan didominasi penduduk pendatang dari luar daerah Jakarta. Kehadiran masyarakat pendatang dari luar Jakarta, Kampung Tugu khususnya membuat sedikit Perubahan dan hal itu dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan dalam keseharian mereka, yang mana awalnya menggunakan bahasa Cristao Lisan berganti dengan menggunakan bahasa Melayu, Belanda, hingga akhirnya kini menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Betawi untuk bahasa sehari-hari. Untuk tetap menjaga keutuhan dari keluarga Portugis mereka, diadakan rutin setiap tahunnya acara tradisi tahunan “Rabo-Rabo” dan “Mandi-Mandi” untuk mengakhiri minggu Tahun Baru, yang masih dilakukan oleh masyarakat Tugu hingga sekarang.

39 2.3 Lahirnya Musik Keroncong Tugu

Keberadaan musik Keroncong Tugu yang kita kenal sekarang sebenarnya mendapat pengaruh yang cukup kuat dari Portugis sehingga menjadi seperti yang sekarang, yakni sejak kehadiran Portugis untuk pertama kalinya di Indonesia pada abad 15. Musik keroncong Tugu kini telah berusia 3,5 abad.

Masuknya Portugis ke Indonesia diawali dengan sebuah tujuan untuk menguasai rempah-rempah dan menyebarkan agama Katolik. Akan tetapi dalam perjalanan pelayaran mereka secara tidak sengaja ternyata mereka juga membawa musik mereka untuk membuat suasana selama perjalanan terasa lebih membahagiakan, menghibur dan melepaskan penat.

Portugis memiliki tiga jenis lagu rakyat, yaitu: (1) ballada, (2) fado, dan (3) lagu-lagu lirik. Dari ketiga jenis lagu rakyat Portugis ini salah satunya dianggap sebagai alasan lahirmya musik Keroncong Tugu Cafrinho, yakni Fado. Fado sendiri berasal dari istilah Latin fatum yang berarti takdir atau nasib. Fado awalnya merupakan sebuah musik rakyat yang kemudian berkembang menjadi sebuah musik pengiring tarian yang hanya dipertunjukkan untuk para kalangan elit dan orang-orang terpandang di Portugis.

Ada beberapa pendapat yang menceritakan bagaimana lahirmya musik Fado di Portugis. Pinto de Cavalho menganggap bahwa Fado berasal dari nyanyian para pelaut Portugis abad keenambelas yang kemudian menjadi populer sepanjang abad kesembilanbelas khususnya di Alfama, salah satu sudut kota Lisbon. Sedangakan menurut Braga, Fado berasal dari tradisi orang Moor

40

dan Arab, dan bahkan Luís Moita dan Alberto Pimental yakin adanya pengaruh lagu tarian Lundum dari dari Afrika Selatan terhadap Fado. Antonio Pinta da Franca (1985:22) mengatakan bahwa Fado adalah nyanyian rakyat Portugis yang dibawa oleh para budak negro dari Afrika Barat pada abad ke 15 yang kemudian berkembang menjadi lagu perkotaan dan lagu untuk mengiringi tarian Portugis.

Gaya Fado yang khas sebagai hiburan yang cukup dikenal di kota Lisbon dan Coimbra adalah merupakan hasil dari perkembangan gaya fado kerakyatan yang disebut dengan desafio, yang merupupakan sebuah nyanyian tantangan atau nyanyian berduel yang pada masa itu paling sangat dikenal di wilayah Minho dan Azores. Akan tetapi berbeda halnya dengan gaya fado yang berkembang di perkotaan. Gaya fado di perkotaan lebih terlihat seperti sebuah nyanyian solo dengan bentuk sajak, metrum dan tema dari syairnya literatura de cordel yang adalah sbeuah bentuk sastra dengan attack yang kuat secara verbal atau tertulis.penyusunan fado dibuat dalam bentuk bait dengan menggunakan tonalitas mayor dan minor dan iringan istrumen musik dalam harmoni triadic yang sederhana berupa akor I, IV, dan V7 dan selingan yang dimainkan dengan akord dominan sekunder menuju dominan V7/V. Instrumennya sendiri menggunakan alat-alat musik diantaranya adalah biola, sebuah gitar yang berdawai empat atau lima dan guitara Portuguesa yaitu sebuah lut panjang yang menyerupai instrumen citern dan pandora di Inggris.

Musik dan tarian rakyat Portugis merupakan kesenian yang perkembangannya paling pesat di Eropa, dan bahkan menjadi bagian dari tradisi kerakyatan di Asia, Afrika, dan Amerika. Bentuk dari tradisi tarian dan nyanyian

41

ini dapat dilihat dan ditemukan di Goa, Cape Verde, dan Brazil. Namun jauh sebelum itu musik dan tari rakyat Portugis itu sendiri juga sebagian telah berasimilasi dengan budaya Moor dari Afrika Utara (Marokko) ketika Portugis mendapat pengaruh dan asupan budaya Moor dari abad kedelapan hingga abad ketiga belas.

Gitar dari Portugis yang disebut cavaquinho, merupakan sebuah instrumen yang memiliki arti penting dalam sejarah musik Keroncong Tugu. Cavaquinho ini adalah sebuah gitar yang berukuran kecil dengan panjang 50 cm dan memiliki 4 dawai atau senar. Cavaquinho ini terdapat di seluruh wilayah Portugis terutama di wilayah barat laut. Instrumen cavaquinho inilah yang kemudian senantiasa dibawa oleh para pelaut Portugis kemanapun mereka pergi melakukan pelayaran. Oleh karena itulah instrumen cavaquinho ini tersebar ke berbagai daerah dan memperoleh sebutan yang beragam. Di wilayah Portugal di samudera Atlantik seperti di Madeira instrumen ini disebut braguinha, di Azores dan Brazilia disebut dengan machete, di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia disebut cuatro. Melalui Afrika Barat dan Goa India, pada abad keenambelas tibalah cavaquinho di Melaka dan Maluku. Dari Maluku kemudian cavaquinho dilahirkan kembali di Kampung Tugu dan kemudian diberikan sebutan Keroncong. Kepopuleran alat ini mulai mencuat sekitar abad kesembilan belas setelah mencapai Hawaii, yang dikenal dengan ukulele. Fado inilah yang merupakan musik Moresco yang diwariskan Portugis dan menjadi awal lahirnya musik Keroncong di Indonesia, suatu jenis musik dansa asal Portugis Moor yang masuk dibawa oleh Lusitania (nama mantan orang Portugal) pada abad ke 8.

42

Gambar 3.

Gitar Portugis yang disebut Cavaquinho (sumber: google)

Terisolasi dari kehidupan perkotaan Batavia, komunitas Tugu sangat membutuhkan suatu seni atau hiburan yang dapat melepaskan mereka dari kepenatan mereka dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, apalagi pada waktu itu Kampung Tugu adalah area hutan lebat dan rawa, yang semakin mempersulit mereka untuk melakukan akses keluar wilayah Kampung Tugu. Sementara, sebelum mereka diasingkan ke wilayah Tugu, mereka selalu memainkan musik Moresco kebanggaan mereka di mana pun dan dalam aktivitas apapun dalam keseharian mereka. Situasi inilah yang membuat para mestizo ini kemudian

43

Bermodalkan ingatan dan kemampuan mereka memainkan instrumen cavaquinho yang kini dikenal dengan istilah Keroncong, mereka menciptakan dan menghidupkan kembali musik yang biasa mereka lakukan dahulu sebelum akhirnya mereka diasingkan ke Kampung Tugu. Ditambah lagi keberadaan alam di Kampung Tugu sangat mendukung karena wilayahnya merupakan hutan yang subur dan banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon kembang kenanga, yang kayunya dimanfaatkan mereka untuk membuat alat musik.

Leonidas Salomons adalah orang Tugu keturunan Portugis yang membuat alat musik cavaquinho di Kampung Tugu. Cavaquinho buatan para mestizo inilah yang kemudian berkembang dan dibuat dalam tiga ukuran: Macina (kecil),

Frunga (menengah), dan Jitera (besar). Cavaquinho yang dibuat di Kampung Tugu ini yang kemudian dinamakan sebagai Keroncong, istilah itu sendiri mungkin berasal dari onomatope crong, suara khas alat musik tugu, atau nama etimologis diambil dari kerincing rebana (suara gemerincing), bagian dari ensemble perkusi generik yang menyertai tarian Moresco.

Kemudian muncul beberapa nama seperti Piet Tentua, Jacobus Quiko dan Samuel Quiko, untuk melakukan hal yang sama namun hanya untuk kepentingan kelompok. Samuel Quiko di tahun 1983 pernah membuat sebanyak 50 buah Macina dari batang pohon kayu kembang kenanga atas pesanan Mr. Shaki seorang budayawan asal Jepang.

Dalam perkembangan selanjutnya, keroncong menjadi cuk (ukulele pertama tiga senar), cak (ukulele kedua empat senar) dan gitar enam senar sebagai adaptasi dari mandolin yang berfungsi sebagai melodi berjalan.

44

Kegiatan keseharian para mestizo ini beragam. Namun karena kawasan ini merupakan daerah hutan yang subur dan dialiiri sebuah sungai, banyak dari antara mereka yang memanfaatkannya sebagai lahan pertanian, menjadi nelayan dan juga berburu ke hutan. Biasanya, Selepas melakukan aktivitas kesehariannya itu, para pemuda mestizo ini berkumpul bersama anggota keluarga lain untuk bermain musik, bernyanyi dan menghibur hati dengan memainkan alat musik yang dibuat sendiri oleh mereka seperti macina, frunga dan jitera. Alat musik ini kemudian dikenal sebagai keroncong karena apabila dimainkan suaranya berbunyi “crong-crong”. Inilah Moresco, pada gilirannya menyebabkan lahirnya musik keroncong di Kampung Tugu, dan genre musik Keroncong di Indonesia hingga sekarang. Elemen Moresco Portugis di keroncong tugu ditemukan dalam ekspresi repertoar musik dan keahlian organologi masyarakat pengrajin alat musik Tugu. Repertoar Moresco Portugis hanyalah iringan musik gaya untuk tarian, dengan pola ritmis gemetar dan bebas ekspresi (cambiata atau nota melodi), dinyanyikan jelas dengan suara sengau yang meniru falsetto wanita.

Lagu Portugis Moresco hampir mirip dengan fado yang dinyanyikan dari hati tanpa ornamen atau vibrato. Iringan alat musik perkusi dan chordal jelas didengar, seperti rebana (adaptasi dari pandeiro Portugis, sejenis rebana) dan gitar lima-string berdasarkan cavaquinho Portugis, dan yang dikembangkan kemudian oleh pengrajin Tugu menjadi tiga ukuran: Macina (kecil), Frunga (menengah), dan Jitera (besar).

Musik asal Tugu atau yang orang sebut keroncong tugu telah bertahan selama lebih dari tiga setengah abad karena faktor kualitas sebagai nova ars

45

egaliter yang tidak dimiliki musik klasik Barat atau musik gamelan adat. Penampilan reguler di Batavia Pasar Gambir Festival, menghasilkan pendapatan untuk memproduksi instrumen musik pasar khas di awal abad 19 pada Toko Musik Batavia 'Thio Tek Cu' Passer Baroe (Pasar Baru sekarang), sekaligus membuka apresiasi baru dan bukti adanya perkembangan budaya musik yang berjalan di Kampung Tugu dengan bentuk ornamennya.

Dukungan komunal oleh masyarakat Batavia, sebuah repertoar lagu Belanda dan Melayu untuk mengakomodasi selera musik Tugu, keahlian masyarakat Tugu dalam bercocok tanam dengan sistem kekerabatan kolektif, dan komitmen primordial mereka dalam melestarikan dua acara tradisi tahunan “Rabo-Rabo” dan “Mandi-Mandi” untuk mengakhiri minggu Tahun Baru, yang masih dilakukan oleh masyarakat tugu hingga sekarang, adalah cermin tumbuh makin berkembangnya budaya Kampung Tugu hingga saat ini dan tetap dilakukan seperti sedia kala.

46

Gambar 4:

Acara Rabo-Rabo dan Mandi-Mandi

Pada pergantian abad ke-19, Keroncong Tugu berkembang menjadi seni akulturasi yang ditiru oleh masyarakat Hindia di Batavia, dan memunculkan gaya seperti keroncong Kemayoran oleh De Krokodilen kelompok di Kemayoran yang terkenal dengan buaya keroncongnya, Lief Java oleh musisi lokal Jawa, dan Langgam Keroncong dalam gaya gelijkgesteld dari Tin Pan Alley di Amerika oleh musisi Indonesia Timur, sebelum keroncong menyebar ke kota-kota lain di Jawa, termasuk Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.

Pada tahun 1925 (Moresco I) dibentuklah sebuah kelompok secara terorganisasi oleh seorang putra tugu keturunan Portugis Joseph Quiko dengan nama Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe - anno 1661 sebagai komitmen mereka untuk terus mempertahankan dan mengidentitaskan musik Keroncong Tugu Cafrinho sebagai sebuah kebudayaan musikal.

Mereka menyanyikan lagu-lagu berbahasa kreol Portugis, melayu dan lagu berbahasa Belanda. Lagu Moresco sendiri merupakan lagu yang pertama

47

kali dipopulerkan di Kampung Tugu yang kemudian dijadikan sebagai dasar lagu-lagu keroncong yang tercipta sekarang. Tercatat juga ada 4 lagu berbahasa kreol Portugis yang masih dinyanyikan hingga sekarang Nina Bobo, lagu kebiasaan untuk menimang anak untuk tidur, Gatu Matu, Cafrinho, dan Yan

Kaga Leti.

Kemudian secara turun temurun kelompok Moresco berlanjut melalui Jacobus Quiko pada tahun 1935 (Moresco II), Samuel Quiko, 1978 (Moresco III), Samuel Quiko, 1992 (Cafrinho I), dan tahun 2006 hingga sekarang dipimpin oleh Guido Quiko (Cafrinho II) yang juga adalah anak dari Samuel Quiko. Sejak terbentuknya organisasi kelompok Keroncong Tugu tahun 1925 inilah ‘’Dendang Sejarah’’ Musik Keroncong Tugu bergema dimana- mana dan masyarakat luas hanya menyebutnya dengan Keroncong Tugu.

Gambar 05

Para pimpinan Keroncong Tugu Cafrinho dari Generasi I-IV.

Sejak tanggal 12 Desember 1991 Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe berubah nama menjadi Keroncong Tugu Cafrinho yang diprakarsai oleh Samuel dikarenakan ada seorang anggota Moresco (non aktif sejak 1978) : Arend

48

J. Michiels, membentuk sebuah kelompok baru di tugu dan memisahkan diri dari moresco pada akhir tahun 1990. Pergantian nama itu merupakan kelanjutan dari Orkes Poesaka Krontjong Moresco Tugu–Anno 1661, dan berkembang hingga sekarang dengan tetap mempertahankan bentuk khas permainan dan alat-alat musiknya.

Tahun 1935, tercatat Kusbini yang adalah seorang musisi keroncong menulis syair lagu keroncong Moresco, sebuah adaptasi dari varian Moresco oleh Manusama, yang kemudian memunculkan Genre Keroncong Asli dalam perkembangan musik keroncong pada saat itu. Pada tahun 1940, seorang musisi keroncong, Gesang, menciptakan lagu Bengawan Solo, yang merupakan bentuk lagu strophic yang membedakan keroncong asli dengan keroncong Langgam (permainan bebas), yang keduanya sekarang dianggap masyarakat Indonesia sebagai pengembangan musik keroncong modern.

Pada tahun 1971, UNESCO memberikan sebuah kesempatan sebagai bentuk pengahargaan kepada Moresco Tugu Ensemble, di hari jadinya yang ke 30, yang mana UNESCO mensponsori pembuatan album rekaman “Kroncong De Tugu” dengan repertoar Hindia mereka yang termasuk lagu-lagu seperti Schoon ver van jou dan Oud Batavia, dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang berumur tujuh puluh tahun yakni Om Waash dan Oma Christine. Pada saat itu keroncong tugu dipimpin oleh Jacobus Quiko yang juga adalah seorang pemain biola. Turut serta pimpinan pertama Joseph Quiko pada gitar melodi, Frans Abrahams pada gitar rhytm, Arends Michiels di pizzicato cello, Samuel Quiko pada macina, Marthen Sopaheluwakan pada frunga, Fernando Quiko pada

49

rebana, Elpido Quiko pada triangle dan Om Dudung dari kemayoran pada mandolin.

Kelompok Keroncong Moresco Tugu generasi ke 3 (Samuel Quiko) tahun 1889, juga telah diundang untuk tampil setiap tahunnya di Bazaar Pasar Malam Besar Tong Tong Fair Festival di Den Haag, Belanda hingga tahun 2002. Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan oleh keroncong Tugu adalah kerap tampil di program televisi nasional dan swasta dalam apresiasi seni budaya baik pementasan dan wawancara, serta mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat Indonesia bahkan negara lain.

Sama halnya seperti apa yang sudah dilakukan oleh para pendahulu mereka yaitu berusaha mempertahankan selama berabad-abad, alunan musik dan juga sejarah dari Keroncong Tugu dengan keunikannya, bagaimana kemampuan beradaptasi, karakter asimilatif dan relevansi sejarah, serta upaya untuk selalu berkumandang ke masa depan, demikian jugalah yang dilakukan oleh Guido Quiko sebagai pemegang warisan budaya sekaligus pimpinan Keroncong Tugu generasi ke-4 yang kini disebut dengan nama Keroncong Tugu Cafrinho. Guido mengatakan penerus Keroncong Tugu adalah penerus warisan budaya musik Kampung Tugu yang harus tetap menjaga dan melestaraikan kemurnian serta keasliannya, agar keberadaannya tetap diakui hingga tongkat estafet budaya ini bergulir pada anak cucu di Kampung Tugu, dan di masa yang akan datang keroncong tugu tidak rusak oleh peradaban warna musik luar yang semakin mewabah di Negara Indonesia.

50

Hal itu dia buktikan dengan membuat semakin harum nama Keroncong Tugu Cafrinho yang dia lakukan dengan cara mengisi acara-acara pementasan yang dilaksanakan baik di televisi ataupun di ruang terbuka, mengisi acara pemerintahan ataupun swasta, mendidik serta membimbing para junior yang dipersiapkan sebagai penerus dari Keroncong Tugu Cafrinho, merekam kembali lagu-lagu Keroncong Tugu yang lama, dan membangun kerjasama dengan banyak pihak baik pemerintah, swasta bahkan internasional.

Hal lain yang dilakukan Guido adalah latihan rutin pada selasa malam sebagai upaya membangun kekompakan dan penguasaan terhadap lagu-lagu yang ikut berkembang di jaman sekarang, ini dimaksudkan agar pendewasaan musik keroncong tugu terhadap perkembangan musik jaman sekarang dapat berjalan seirama atas dasar selera masyarakat yang mendengarnya.

Dokumen terkait