• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tepi Kiri Tengah 91,12 91,12 9,12 0,56 0,56 0,56 8,32 8,32 8,32 P P P Stasiun II Tepi Kanan Tepi Kiri Tengah 9,12 72,12 89,12 0,56 18,56 2,56 0,32 9,32 8,32 P LP PL Stasiun III Tepi Kanan Tepi Kiri Tengah 9,12 90,12 91,12 0,56 1,56 0,56 8,32 8,32 8,32 P P P Keterangan : Lempung berpasir : LP Pasir : P Pasir berlempung : PL Parameter Stasiun I II III U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 Suhu (oC) 23 24 24 28 25 23 24 25 25 Arus (m/s) 0,5 0,55 1 0,083 0,16 0,22 0,13 0,26 0,71 Kedalaman (m) 1-1,5 1-1,5 1,2 1-2 1 1-2 1,5 2 2-3 Kecerahan(cm) 40-60 10-30 30-50 20-60 10-30 10-20 60 30 60-80 pH 6,4 6,7 6,7 8,4 7,1 7,8 5-6 6-7 6-7 DO (mg/l) 4,4 5,8 4,8 4 4,2 4 4,6 4,2 4,2 BOD5 (mg/)l 1,2 0,8 0,6 1,6 0,4 1,4 1,4 1,2 1,8 Bahan Organik (%) 0,37 0,17 0,49 0,45 0,44 0,21 0,35 0,08 0,18

Pembahasan

Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil pada Tabel 3 didapatkan bahwa pada stasiun 1 diperoleh nilai kepadatan populasi tertinggi sebesar 6,0 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi terdapat pada genus Tarebia sebesar 39,70% dan nilai fekuensi kehadiran tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tarebia dan Pleurocera. Hasil analisis substrat pada Tabel 6 menampilkan stasiun 1 memiliki substrat pasir. Kondisi lapangan pada stasiun 1 menunjukkan tipe substrat stasiun 1 merupakan daerah bebatuan kerikil dan sedikit berlumpur. Tarebia merupakan genus yang masuk ke dalam kelas Gastropoda yang menyukai substrat bebatuan, kerikil dan sedikit berlumpur. Hal ini sesuai dengan Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi organisme ini cenderung menyukai subsrat dasar pasir dan sedikit berlumpur. Kondisi ini yang menyebabkan Tarebia dapat berkembangbiak secara baik dan melimpah pada stasiun 1 karena substrat pada lokasi terseut sesuai dengan kebutuhan hidup Tarebia.

Nilai kepadatan populasi terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Glossiphonia, nilai kepadatan relatif terendah terdapat pada genus Glossiphonia dengan nilai sebesar 1,47% dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 22,22% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Neophemera. Keberadaan Glossiphonia yang termasuk lintah di stasiun ini sangat sedikit dikarenakan kecepatan arus pada lokasi ini paling cepat dibandingkan stasiun lainnya. Menurut

Siahaan (2012) Glossiphonia yang termasuk lintah merupakan makrozoobenthos yang hidup pada kondisi arus yang tenang dan lambat serta perairan yang dangkal.

Nilai kepadatan populasi tertinggi pada stasiun 2 terdapat pada genus Tubifex dengan nilai sebesar 11,80 ind/m2, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 42,95% terdapat pada genus Tubifex dan nilai frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tubifex. Hasil analisis substrat pada Tabel 6 menunjukkan tipe substrat pada stasiun 2 beragam yaitu pasir, lempung berpasir dan pasir berlempung. Kepadatan populasi Tubifex tertinggi pada lokasi ini dikarenakan substrat pada stasiun 2 merupakan lumpur yang sesuai dengan habitat hidup jenis makrozoobentos ini. Kondisi lingkungan perairan stasiun 2, yaitu perairan keruh, kandungan bahan organik tertinggi dibandingkan stasiun lain dan kandungan DO yang rendah. Menurut Siahaan (2012) Tubifex hidup pada perairan sungai dengan bahan organik tinggi, keruh, berlumpur dan kandungan oksigen terlarut yang rendah.

Kepadatan populasi terendah pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 0,18 ind/m2 terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,67% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium, dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 11,11% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium. Menurut Hamalainen (1985) Makromia hidup pada perairan bebatuan berpasir dengan cara hidup membenamkan diri pada substrat. Hal ini yang menyebabkan genus Makromia memiliki kepadatan populasi yang rendah. Menurut Siregar (2009) genus Sphaerium hidup baik pada pH < 6, sedangkan stasiun 3 memiliki nilai pH 5 – 8 sehingga kepadatan populasi Sphaerium rendah.

Nilai kepadatan tertinggi pada stasiun 3 sebesar 53,44 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 76,47% terdapat pada genus Tarebia, dan nilai frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 100% terdapat pada genus Goniobasis. Stasiun 3 memiliki kondisi perairan yang hampir sama dengan stasiun 1 yaitu perairan berarus sedang, jernih dan substrat kerikil berpasir. Menurut Fisesa, dkk. (2014) genus Goniobasis melimpah pada perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir. Kondisi substrat yang sesuai menjadikan Goniobasis memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada stasiun 3.

Nilai kepadatan terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Progomphus, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,32 % terdapat pada genus Progomphus dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 11.11% terdapat pada Genus Progomphus dan Neophemera. Rendahnya kepadatan populasi Progomphus dan Neophemera pada stasiun 3 dikarenakan rendahnya kandungan bahan organik yang rendah dengan kisaran 0,08 – 0,35 %. Menurut Siregar (2009) Progomphus dan Neophemera hidup pada perairan yang memiliki perairan jernih, kandungan organik tinggi dan oksigen terlarut yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan genus Progomphus dan Neophemera ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasiun 3.

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Hasil pada Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berkisar 0,767 – 1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767. Berdasarkan literatur Krebs (1989) yang mengklasifikasikan nilai indeks

keanekaragaman (H’) dengan nilai 0 < H’ < 2,302 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman rendah, nilai 2,302 < H’ < 6,907 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman sedang dan nilai H’ > 6,907 menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobentos pada sungai Batang Gadis tergolong rendah. Menurut Odum (1994) keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam setiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah.

Selain itu, menurut Brower et al (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah yang relatif merata pada setiap spesies. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan komunitas makrozoobentos di sungai Batang Gadis hanya terdiri dari 13 genus dengan jumlah yang tidak merata sehingga keanekaragaman makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong rendah.

Hasil indeks keseragaman (E) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,753 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,428. Menurut Fachrul (2007) yang mengklasifikasikan nilai indeks keseragaman dengan E = 0 yang menunjukkan kemerataan antara spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda dan nilai E = 1 menunjukkan bahwa kemeratan antar spesies relatif

merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Hasil ini menunjukkan bahwa jenis makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun penelitian memiliki jumlah yang tidak merata sehingga nilai indeks keseragaman antar stasiun tergolong rendah dan terdapat dominansi spesies tertentu.

Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan Suhu

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan nilai kisaran suhu air pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 23 – 28 °C. Suhu air tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 28 oC dan terendah pada stasiun 1 sebesar 23 oC. Menurut Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas toleransi hewan terhadap suhu tergantung kepada spesiesnya. Umumnya suhu di atas 30 ºC dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos. Hal ini menunjukkan bahwa suhu secara keseluruhan pada stasiun penelitian masih mendukung kehidupan bentos.

Kecepatan Arus

Nilai kecepatan arus pada ketiga stasiun penelitian berbeda-beda berkisar antara 0,083 – 1 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 1 m/s dan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,083 m/s. Menurut Odum (1994) yang menyatakan bahwa kecepatan arus air di sungai tergantung pada kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman dan lebar sungai. Hal ini sesuai dengan kondisi lapangan yang menunjukkan stasiun 1 merupakan daerah hulu sehingga memiliki kemiringan yang berbeda dibandingkan stasiun lainnya yang memungkinkan arus air mengalir lebih cepat. Menurut Welch (1980) diacu Anzani (2012) kecepatan arus perairan mengalir dapat diklasifikasikan

sebagai berikut < 10 cm/detik tergolong berarus sangat lambat, 10 – 25 cm/detik berarus lambat, 25 – 50 cm/detik berarus sedang, 50 – 100 cm/detik berarus cepat, > 100 cm/detik berarus sangat cepat. Hal ini memperlihatkan bahwa kecepatan arus di sungai Batang Gadis bervariasi dari berarus sangat lambat sampai sangat cepat.

Kecerahan

Nilai kecerahan pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 10 – 80 cm. Kecerahan yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 60 – 80 cm dan kecerahan yang paling rendah tedapat pada stasiun 2 sebesar 10 – 20 cm. Sastrawijaya (1991), menyatakan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu, menurut Mahadi (1993) kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera.

Kedalaman

Nilai kedalam pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 1 – 3 m. Kedalaman yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2 – 3 m dan kedalaman yang paling rendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1 m. Kedalaman maksimum adalah 2 – 3 m yang disebabkan tingginya permukaan air akibat turunnya hujan pada saat pengamatan sehingga sedimen menumpuk ditengah sungai yang mengakibatkan terhalangnya aliran air sehingga meningkatkan permukaan air. Sedangkan kedalaman minimum adalah 1 m yang disebabkan

adanya bendungan yang berpengaruh pada dangkalnya perairan akibat menumpuknya sedimen pada stasiun 2. Kedalaman perairan yang dalam juga sebagai faktor rendahnya keanekaragaman makrozoobentos karena sebagian besar bentos hidup pada perairan yang dangkal.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH pada ketiga stasiun penelitian berkisar 5 – 8,4. Nilai pH pada ketiga stasiun pengamatan bebeda-beda, tergantung kondisi perairan pada masing-masing stasiun penelitian. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 8,4 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 5 – 6. Secara keseluruhan, nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan perkembangan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan Barus (2004) yang menyatakan bahwa kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan mempunyai kisaran pH 7 – 8,4. Selanjutnya menurut Anzani (2012) makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda-beda. Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH > 7 sedangkan kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5 – 8,5.

DO (Dissolved Oxygen)

Nilai oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 4 – 5,8 mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 5,8 mg/l dan terendah pada stasiun 2 sebesar 4 mg/l. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat ditolerir makrozoobentos. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas

respirasi dari organisme akuatik. Menurut Barus (2004) menyatakan bahwa kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Selanjtunya menurut Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa 2ehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,4 – 1,8 mg/l. dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesarr 1,8 dan terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,4 mg/l. Perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan nilai BOD5 meningkat. Menurut Brower, dkk. (1990) menyatakan bahwa nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi oksigen selama peroide lima hari bekisar sampai 5 mg/l oksigen. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai BOD5 pada sungai Batang Gadis masih mendukung kehidupan makrozoobentos.

Bahan Organik

Nilai bahan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,08 – 0,49%. Kandungan bahan organik tertinggi didapatkan pada stasiun 1 sebesar 0,49%, sedangkan terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,08%. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian di Sungai Batang Gadis tergolong

sangat rendah. Menurut pusat penelitian tanah (1983) diacu Djaenuddin, dkk. (1994), yang mengatakan bahwa kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut.

<1% = sangat rendah 1%-2% = rendah 2,01%-3% = sedang 3%-5% = tinggi >5,01% = sangat tinggi Tekstur Substrat

Berdasarkan hasil substrat yang dapat dilihat pada Tabel 6 terdapat perbedaan tekstur substrat pada setiap stasiun penelitian. Pada stasiun 1 dan 3 memiliki tekstur substrat yang sama yaitu pasir, sementara pada stasiun 2 memiliki tekstur substrat yaitu pasir dan lempung berpasir. Perbedaan tekstur substrat tersebut karena pada Sungai Batang Gadis terdapat bendungan sehingga sedimen yang masuk ke perairan menumpuk pada satu wilayah.

Tekstur substrat yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berupa pasir dan lempung berpasir. Tekstur substrat tersebut merupakan lingkungan hidup yang kurang baik bagi makrozoobentos sehingga menghasilkan kepadatan dan keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Koesbiono (1979) yang menyatakan bahwa dasar perairan yang berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Keanekaragaman makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong rendah dengan nilai berkisar 0,767 – 1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman makrozoobentos pada kondisi musim yang berbeda di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.

Dokumen terkait