• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

PAHRURROZI

100302008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PAHRURROZI

100302008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BATANG

GADIS KABUPATEN MANDAILING

NATAL

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PAHRURROZI

100302008

Skripsi Diajukan Sebagai Satu dari Beberapa Syarat untuk dapat Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara.

Nama Mahasiswa : Pahrurrozi

NIM : 100302008

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut. M.Sc Ani Suryanti, S.Pi. M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir. Yunasfi, M.Si

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Pahrurrozi

NIM : 100302008

menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Komunitas Makrozoobentos di Sungai

Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara” adalah benar

merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir skripsi ini.

Medan, Januari 2015

(6)

ABSTRAK

PAHRURROZI. Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan ANI SURYANTI.

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal. Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Keanekaragaman makrozoobentos dan pengukuran faktor fisika dan kimia merupakan salah satu parameter yang yang di ukur pada saat penelitian di Sungai Batang Gadis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014 di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dari hasil penelitian didapatan 5 kelas yaitu Gastropoda, Chaetopoda, Insect,Hirudinae dan Oligochaeta yang terdiri dari 13 genus makrozoobentos seperti Terebia, Sphaerium, Pila, Goniobasis, Pleurocera, Tryonia, Tubifex, Chironomus, Neophemera, Progompus, Macromia, Glossiponia dan Branchiura. Nilai kepadatan tetinggi didapatkan dari genus Tarebia sebesar 53,44 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun 3 dan terendah dari genus progompus dan glossiphonis masing-masing sebesar 0,22 ind/m2 yang ditemukan pada syasiun 1 dan 3. Nilai keanekaragaman (H) makrozoobentos tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,761.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Desa Batu Loting, Provinsi

Sumatera Utara pada tanggal 17 Januari 1992 dari

Ayahanda Hamsyar dan Ibunda Bisma Nasution.

Penulis merupakan anak ketiga dari enama

bersaudara.

Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri

147565 Batu Loting Mandailing Natal pada tahun 1998-2004, penulis

meneruskan pendidikan menengah pertama dari tahun 2004-2007 di MTsN

Negeri 1 Simpanggambir. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di

MA Negeri 1 Simpanggambir dengan jurusan IPA pada tahun 2007-2010.

Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui

jalur (PMP) Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Stasiun

Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM)

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat

rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten

Mandailing Natal Sumatera Utara”, yang merupakan tugas akhir dalam

menyelesaikan studi pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayahanda Hamsyar dan Ibunda

Bisma Nasution yang selalu memberi motivasi dan dukungan sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada

kakanda Syarifah Hannum dan Safrida Henni dan adinda Syahrur Rizki, Purnama

Hairani dan Khoirur Rozak.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Pindi Patana,

S.Hut. M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Ani Suryanti, S.Pi. M. Si

selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan

masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi,

M.Si selaku Ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dan Bapak

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku sekretaris Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan dan seluruh staf pengajar serta pegawai Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan. Terimakasih kepada Adzri Qori Nullah,

(9)

Maulana, Hilman Zarkasih, Muhammad Fadli Lubis, Rizki Amalia Putri, Latifa

Sari dan seluruh teman-teman seperjuangan di angkatan 2010 Program Studi

Manajemen Sumberdaya Perairan.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang manajemen sumberdaya perairan.

Medan, Januari 2015

(10)

DAFTAR ISI

Rumusan Permasalahan……… 2

Kerangka Penelitian ……… 4

Tujuan Penelitian……….. 4

Manfaat Penelitian……… 4

TINJAUAN PUTAKA Sungai……… 5

Makrozoobenthos……….. 6

Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos……... 8

Suhu…….………. 8

Disolved Oxygen (DO)……….. 9

Biochemical Oxygen Demand (BOD)……….. 9

Bahan Organik………...……… 10

pH………. 11

Substrat Dasar………... 11

Arus………... 12

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat……… 13

Alat dan Bahan………... .. 13

Prosedur Penelitian………... 14

Penentuan Stasiun………. 14

Stasiun I……… 14

(11)

Stasiun III………. 15

Metode Pengambilan Sampel……… 16

Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan……… 16

Metode Pengukuran……….. 17

Kepadatan Populasi (K)……… 17

Kepadatan Relatif (KR)……… 18

Frekuensi Kehadiran (FK)………. 18

Indeks Diversitas Shannon (H')……….… 19

Indeks Equitabilitas (E)……… 19

Analisis Data………... 20

HASIL DAN PEMBAHAN Hasil……….. 22

Klasifikasi Makrozoobentos………. 22

Ciri-ciri Makrozoobentos………. 23

Pengukuran Indikator Fisika dan Kimia Perairan……….. 39

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian……….. 30

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos……… 33

Pembahasan……… 34

Pengukuran Indikator Fisika dan Kimia Perairan……….. 34

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian……….. 49

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobentos……… 42

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 44

Saran………. 45

DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian……… 4

2. Lokasi Penelitian………... 13

3. Tarebia………. 23

4. Sphaerium……… 24

5. Pila………... 24

6. Tubifex………. 25

7. Goniobasis……… 25

8. Pleurocera………. 26

9. Tryonia………. 26

10. Chironomus……… 26

11. Neophemera……… 27

12. Progomphus……… 27

13. Macromia………... 28

14. Glossiphonia……….. 28

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Metode Pengukuran Parameter Fisika, Kimia

Perairan……… 17

2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Batang Gadis Sumatera Utara. 22

3. Nilai Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan yang Diukur pada Setiap Lokasi Pengambilan Sampel……….. 29

4. Hasil Substrat yang Didapat pada Setiap Lokasi Pengambilan

Sampel……… 30

5. Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relative (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FR) Makrozoobentoz Pada Setiap

Stasiun Penelitian……… 31

6. Nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobentos pada setiap stasiun

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Bagan Kerja Pengukuran Kelarutan Oksigen (DO) ... 50

Lampiran 2. Bagan Kerja Pengukuran BOD5 ... 51

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuan Bahan Organik ... 52

Lampiran 4. Jenis Substrat Berdasarkan Segitiga Millar ... 53

Lampiran 5. Foto Kegiatan di Lapangan... 54

Lampiran 6. Foto Alat yang digunakan ... 56

Lampiran 7. Foto Bahan yang digunakan ... 59

Lampiran 8. Anggaran Biaya Penelitian ... 60

Lampiran 9. Jadwal Kegiatan ... 61

(15)

ABSTRAK

PAHRURROZI. Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan ANI SURYANTI.

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal. Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Keanekaragaman makrozoobentos dan pengukuran faktor fisika dan kimia merupakan salah satu parameter yang yang di ukur pada saat penelitian di Sungai Batang Gadis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014 di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Dari hasil penelitian didapatan 5 kelas yaitu Gastropoda, Chaetopoda, Insect,Hirudinae dan Oligochaeta yang terdiri dari 13 genus makrozoobentos seperti Terebia, Sphaerium, Pila, Goniobasis, Pleurocera, Tryonia, Tubifex, Chironomus, Neophemera, Progompus, Macromia, Glossiponia dan Branchiura. Nilai kepadatan tetinggi didapatkan dari genus Tarebia sebesar 53,44 ind/m2 yang ditemukan pada stasiun 3 dan terendah dari genus progompus dan glossiphonis masing-masing sebesar 0,22 ind/m2 yang ditemukan pada syasiun 1 dan 3. Nilai keanekaragaman (H) makrozoobentos tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan terendah pada stasiun 3 sebesar 0,761.

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai merupakan suatu aliran air yang melintasi permukaan bumi dan

membentuk alur aliran atau morfologi aliran air. Morfologi sungai

menggambarkan keterpaduan antara karakteristik abiotik (fisik, hidrologi,

sedimen) dan karakteristik biotik (biologi atau ekologi flora dan fauna) daerah

yang dilaluinya. Faktor yang berpengaruh pada morfologi sungai tidak hanya

faktor biotik dan abiotik saja, namun juga campur tangan manusia dalam

kehidupannya. Pengaruh campur tangan manusia ini dapat mengakibatkan

perubahan morfologi sungai yang lebih cepat dari sebelumnya (Asdak, 2004).

Sungai Batang Gadis merupakan sungai utama terpanjang dan terbesar

bahkan aliran sungai ini mengalir hampir keseluruh Kabupaten Mandailing Natal.

Mulai dari hulu di Ulu Pakantan Muara Sipongi, melewati beberapa kecamatan

dan bermuara di Kecamatan Muara Batang Gadis. Aliran sungai ini melewati

kawasan pemukiman, peternakan, persawahan, tambang pasir, taman wisata dan

bendungan. Bendungan sungai selain digunakan untuk menahan arus juga

dimanfaatkan untuk keperluan irigasi/pengairan, keberadaan bendungan ini

diperkirakan akan merubah arus dan substrat perairan, sehingga akan

mempengaruhi organisme yang hidup di substrat.

Makrozoobentos adalah organisme yang hidup dan tinggal di endapan

dasar perairan, baik yang ada di atas maupun yang ada di bawah sedimen, hidup

sesil, merayap, atau menggali lubang. Makozoobenthos pada umumnya tidak

(17)

diidentifikasi dan habitatnya di dalam dan di dasar perairan, sehingga sifat yang

demikian akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos (Odum, 1994).

Kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos sangat dipengaruhi

oleh toleransi, aktivitas dan sensitivitas tehadap perubahan lingkungan. Kisaran

toleransi makrozoobenthos terhadap lingkungan adalah berbeda-beda (Marsaulina,

1994 diacu oleh Yeanny, 2007).

Penelitian tentang keanekaragaman makrozoobenthos di sungai Batang

Gadis masih sangat sedikit, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang

“Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing

Natal Sumatera Utara”.

Rumusan Permasalahan

Sungai Batang Gadis merupakan pertemuan antara dua sungai besar yaitu

Sungai Ulu Pungkut dan Sungai Lahantan. Berbagai aktivitas masyarakat

dilakukan di sepanjang aliran sungai Batang Gadis seperti mandi, cuci dan kakus

(MCK), kegiatan peternakan dan pertanian. Terdapat bendungan pada aliran

sungai Batang Gadis tepatnya di Desa Aek Godang Kecamatan Panyabungan

Barat, keberadaan bendungan ini diperkirakan akan merubah substrat dasar dan

arus sungai. Aktivitas masyarakat dan keberadaan bendungan pada aliran sungai

Batang Gadis dapat mempengaruhi faktor fisika dan kimia perairan sehingga

secara tidak langsung dapat mempengaruhi komunitas makrozoobenthos pada

lokasi tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, perumusan masalah penelitian ini adalah

Bagaimana komunitas makrozoobenthos di Sungai Batang Gadis Kabupaten

(18)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunitas

makrozoobenthos di sungai Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai komunitas makrozoobenthos di Sungai

Batang Gadis Mandailing Natal.

2. Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya maupun instansi yang

membutuhkan.

Kerangka Pemikiran

Sungai merupakan perairan lotik yang sangat berperan penting dalam

kehidupan makhluk hidup baik manusia maupun organisme yang hidup di

dalamnya termasuk makroozoobenthos. Makrozoobenthos merupakan salah satu

organisme akuatik yang menetap di dasar perairan yang memiliki pergerakan

relatif lambat. Aliran sungai Batang Gadis terdapat bendungan yang digunakan

untuk meningkatkan muka air. Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan

tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk

menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan

menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk (PP No. 37 Tahun 2010).

Adanya bendungan di Sungai Batang Gadis akan mempengaruhi substrat

dasar serta arus sungai. Aliran sungai yang berada sebelum bendungan memiliki

jenis substrat pasir berbatu, aliran sungai yang tepat pada bendungan bersubstrat

(19)

Perubahan substrat dan arus diduga akan mempengaruhi komunitas

makrozoobenthos. Kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Sungai

Bendungan

Substrat

Lumpur Batu Berpasir

Komunitas Makrozoobenthos

Arus

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Sungai

Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

(catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehinggga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan. Perairan sungai

mempunyai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk

ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen ekosistem sungai akan

terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan

mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Junaidi dkk.,2010).

Sungai merupakan tempat berkumpulnya air dari lingkungan sekitarnya

yang mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Daerah sekitar sungai yang

mensuplai air ke sungai dikenal dengan daerah tangkapan air atau daerah

penyangga. Kondisi suplai air dari daerah penyangga dipengaruhi aktivitas dan

perilaku penghuninya (Wiwoho, 2005).

Sungai berperan sebagai jalur transportasi terhadap aliran permukaan yang

mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat. Sungai merupakan habitat bagi

berbagai jenis organisme akuatik yang memberikan gambaran kualitas dan

kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat didalamnya termasuk terhadap

perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (Barus, 2004).

Makrozoobenthos

Makrozoobenthos adalah salah satu organisme akuatik menetap di dasar

(21)

Makrozoobenthos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar,

mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang

panjang. Oleh karena itu peran makrozoobenthos dalam keseimbangan suatu

ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan

tertentu (Petrus dan Andi, 2006 diacu oleh Purnami dkk., 2010). Menurut Barnes

(1980) diacu oleh Ruswahyuni (2010) Hewan makrozoobenthos mendapatkan

makanan dari dua bagian yaitu mikroalga benthik dan guguran dasar atau detritus

yang suatu saat juga dapat tersuspensi oleh adanya pergerakan air.

Makrozoobentos merupakan zoobenthos berukuran lebih dari 1 mm.

makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3-5 mm saat

pertumbuhannya maksimum. organisme yang termasuk makrozoobentos

diantaranya adalah Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Moluska,

Nematoda dan Annelida (Suartini dkk., 2006).

Habitat makrozoobenthos dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu infauna

dan epifauna. Infauna adalah makrozoobenthos yang hidupnya barada di dalam

substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut

hidup sesil. Sedangkan epifauna adalah makrozoobenthos yang hidup di

permukaan dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan

sedimen yang lunak atau menempel pada substrat yang keras (Nybakken, 1992).

Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam

ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai biota kunci dalam

jaring makanan, dan berfungsi sebagai degradator bahan organik . Kondisi

(22)

kondisi nutrisi lingkungan dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan

kondisi lingkungan diwilayah perairan (Andri dkk., 2012).

Makrozoobenthos memiliki sifat istimewa di mana kondisi

makroskopisnya memungkinkan untuk digunakan sebagai biomonitor. Beberapa

jenis dari makrozoobentos salah satunya berasal dari kelas gastropoda diketahui

memiliki peran sebagai bioremidiator lingkungan dengan salah satunya

ditunjukkan dengan kemelimpahan jumlah/kerapatan untuk sepesies tertentu pada

perairan tercemar Selain itu makrozoobenthos juga efektif sebagai bioindikator

dikarenakan memiliki respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang

masuk dalam perairan sungai dan bersifat immobile (Indrowati dkk., 2012).

Makrozoobenthos umumnya sangat sensitif terhadap perubahan

lingkungan perairan yang ditempatinya, karena itulah makrozoobenthos ini sering

dijadikan sebagai indikator biologis di suatu perairan karena cara hidupnya,

ukuran tubuh, dan perbedaan kisaran toleransi diantara spesies di dalam

lingkungan perairan. Kelebihan penggunaan makrozoobenthos sebagai indikator

pencemaran adalah karena :

1. Mudah ditemukan di habitat perairan.

2. Jumlahnya sangat banyak pada lingkungan yang berbeda jenis benthos yang

hidup berbeda pula.

3. Perpindahan atau mobilitasnya sangat terbatas (immobil), sehingga mudah

diawasi.

4. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan dan diidentifikasi.

(23)

6. Benthos adalah konsumsi sebagaian besar ikan, sehingga perubahan pada

komunitas benthos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di perairan

(Nugroho, 2006).

Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos

Menurut Nybakken (1992) faktor fisik kimia perairan sangat penting

dalam ekologi, oleh karena itu selain malakukan pengamatan terhadap faktor

biotik, seperti makrozoobenthos, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor

fisik-kimia perairan karena antara faktor saling berinteraksi. Faktor fisika dan

kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos di antaranya

adalah sebagai berikut.

Suhu

Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis

dan fisiologis di dalam ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu mempunyai

pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen di dalam air, apabila suhu air

naik maka kelarutan oksigen di dalam air menurun. Bersamaan dengan

peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme

akuatik, sehingga kebutuhan akan oksigen juga meningkat (Sastrawijaya, 2000).

Organisme air mempunyai kisaran toleransi yang berbeda terhadap nilai

suhu air. Organisme mempunyai kisaran toleransi yang luas (euryterm) dan ada jenis yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit (stenoterm). Suhu juga sangat mempengaruhi laju pertumbuhan dari organisme air. Laju pertumbuhan

pada benthos umumnya akan berlangsung selama 3 minggu pada suhu 15°C,

(24)

Kenaikan suhu air yang demikian akan berakibat pada percepatan masa

perkembangan hewan sampai 3 kali lipat (Barus, 2004).

Disolved Oxygen (DO)

Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting dalam ekosistem

perairan terutama untuk proses respirasi bagi sebagian besar

organisme-organnisme air (Barus, 2004).

Oksigen terlarut didalam air dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan

air dan udara yang masuk melalui proses difusi yang secara lambat menembus

permukaan air. Kelarutan oksigen di dalam air bergantung pada keadaan suhu,

pegolakan di permukaan air, luasnya permukan air yang terbuka bagi atmosfer

dan persentase oksigen di udara sekelilingnya (Sinaga, 2009).

Menurt Sastrawijaya (1991) kehidupan oganisme dapat bertahan jika ada

oksigen terlarut minimal sebanyak 5 mg/l seta selebihnya tergantung pada

ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemaran, temperatur dan

sebaliknya.

Biochemical Oxigen Demand (BOD)

Nilai BOD (Biochemichal Oxgen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisma aerobi dalam proses penguraian senyawa

organik, yang diukur pada temperatur 20°C. Untuk menguraikan senyawa organik

yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisma

membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20

hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran, beberapa hasil penelitian

(25)

mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah

setelah 5 hari (BOD5). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD

adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme

anaerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut dan tersedianya

jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian (Barus, 2004).

Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih

tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai

5 ml/l O2 maka perairan tersebut tergolong baik apabila konsumsi O2 berkisar 10

ml/l-20 mg/l O2 akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang

tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower

dkk., 1990).

Bahan Organik

Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan

sumber makanan bagi hewan bentos. Bahan tersebut biasanya berasal dari

dekomposisi organisme yang masuk ke sungai. Substrat yang kaya bahan organik

dapat melimpahkan hewan bentos yang didominasi oleh deposit feeder. Karakter substrat suatu perairan sangat menentukan keberadaan makrozoobentos di

perairan tersebut. Substrat dasar perairan berupa batuan-batuan didominasi oleh

makrozoobentos yang mampu menempel dan melekat. Substrat dasar perairan

yang lunak dan selalu berubah-ubah biasanya membatasi makrozoobentos untuk

berlindung. Substrat berpasir biasanya kandungan oksigennya lebih tinggi

dibandingkan dengan substrat yang lebih halus, hal ini disebabkan pada substrat

(26)

yang lebih intensif, pertukaran air ini akan mengakibatkan terjadinya distribusi

oksigen kandungan oksigen terlarut lebih tinggi (Setiawan, 2008).

pH

Derajat keasaman atau kadar ion H dalam air merupakan salah satu faktor

kimia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme yang hidup di

suatu lingkungan perairan. Tinggi atau rendahnya nilai pH air tergantung dalam

beberapa faktor yaitu : kondisi gas-gas dalam air seperti CO2, konsentrasi

garam-garam karbonat dan bikarbonat, proses dekomposisi bahan organik di dasar

perairan (Sutika, 1989).

Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai

nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah.

Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara

7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa

akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan

terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan

meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme

(Barus, 2004).

Substrat Dasar

Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan

makrozoobentos, dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi

makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu perairan umumnya

akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi hewan bentos dan sebagai

(27)

pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi

hewan bentos (Koesoebiono, 1979).

Substrat batu menyediakan tempat bagi spesies yang melekat sepanjang

hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang bergerak sebagai tempat perlindungan

dari predator. Substrat dasar yang halus seperti lumpur, pasir dan tanah liat

menjadi tempat makanan dan perlindungan bagi organisme yang hidup di dasar

perairan (Lailli dan Parsons, 1993 diacu oleh Sinaga, 2009). Dasar perairan yang

berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik

untuk hewan bentos (Koesoebiono, 1979). Substrat dasar yang berupa batu-batu

pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi

makrozoobentos sehingga bisa mempunyai kepadatan dan keanekaragaman yang

besar (Odum, 1994).

Arus

Arus merupakan faktor pembatas utama pada aliran yang deras, kecepatan

arus mempengaruhi keadaan substrat dasar yang merupakan faktor yang sangat

menentukan komposisi hewan benthik. Substrat berbatu dapat menyediakan

permukaan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobentos (Simamora, 2009).

Kecepatan arus air dari suau badan air ikut menentukan penyebaran

organisme yang hidup di badan air tersebut, penyebaran organisme paling

ditentukan oleh aliran air. Tingkah laku hewan air juga ikut ditentukan oleh aliran

air. Selain itu, aliran air juga ikut berpengaruh terhadap terhadap kelarutan udara

dan garam-garam dalam air, sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh

(28)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan juni 2014

dengan tiga kali pengambilan sampel dan interval waktu pengambilan 2 minggu.

Identifikasi jenis makrozoobenthos akan dilakukan di Laboratorium Terpadu

Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pengukuran Bahan Organik dan Substrat akan dilakukan di Laboratorium Riset

dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 2. Lokasi Tempat Penelitian

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah : keping sechii,

(29)

System), Kantong plastik, pinset, baki, pipet tetes, botol sampel, ember plastik, plastik bening, saringan bertingkat, ketas label, kamera digital, buku identifikasi,

alat tulis, meteran rol, botol BOD, bola pelampung, stop watch, tali penduga,

peralatan titrasi, tali meteran, books pendingin. Sedangkan bahan yang digunakan

adalah sampel makrozoobenthos, aquades, es batu untuk mengawetkan substrat

formalin 10%, alkohol 70%, air, tissue dan bahan yang digunakan untuk analisis

kualitas air adalah bahan kimia untuk titrasi adalah MnSO4 KOH-KI H2SO4

Na2S2O3 dan lain-lain.

Prosedur Penelitian

Penentuan Stasiun

Stasiun pengambilan sampel ditentukan dengan metode Purposive Random Sampling yang dibagi menjadi 3 stasiun. Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak 3 stasiun dan masing-masing stasiun dilakukan dengan tiga kali

pengulangan. Lokasi stasiun sebelum bendungan pada bendungan dan sesudah

bendungan. Jarak antara stasiun satu ke stasiun dua 2 km dan dari stasiun dua ke

stasiun tiga 3 km.

a. Stasiun 1

Stasiun ini terletak di Desa Sipapaga, Kecamatan Panyabungan Barat,

Kota Panyabungan. Stasiun ini berada sebelum bendungan yang secara geografis

terletak pada 0004736,66’’ LU 990 3459,82’’ LS. Lokasi ini memiliki substrat berupa pasir berbatu. Aktivitas yang ada pada stasiun 1 adalah pemukiman dan

(30)

Gambar 3. Stasiun 1

b. Stasiun 2

Stasiun ini terletak di Desa Aek Godang, Kecamatan Panyabugan Barat,

Kota Panyabungan. Stasiun ini berada pada bendungan yang secara geografis

terletak pada 00°48'21,96'' LU 99°3414,16'' LS. Lokasi ini mempunyai substrat

lumpur. Aktivitas yang ada pada stasiun 2 adalah bendungan, wisata dan

pemukiman.Lokasi stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gamabar 4. Stasiun 2

c. Stasiun 3

Stasiun ini terletak di Desa Aek Godang, Kecamatan Panyabugan Kota,

Kota Panyabungan. Stasiun ini berada sesudah bendungan yang secara geografis

(31)

batu berpasir (kerikil). Aktivitas yang ada pada stasiun 3 adalah pemukiman,

perkebunan, dan galundung. Lokasi stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Stasuin 3

Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan

Eckman grabb dan surber net. Pengambilan sampel dengan Eckman grabb digunakan pada lokasi yang dengan substrat lumpur dan pasir, sedangkan

pengambilan sampel dengan menggunakan surber net dilakukan pada lokasi dengan substrat berbatu. Pengambilan sampel dengan Eckman grabb dilakukan dengan cara menurunkannya hingga ke dasar sungai dengan kondisi terbuka,

pada saat mencapai dasar sungai tali ditarik sehingga Eckman grabb menutup bersama dengan masuknya substrat, sedangkan pengambilan sampel dengan

menggunakan surber net dilakukan dengan meletakkan surber net di dasar sungai, kemudian substrat dikeruk sehingga makrozoobenthos masuk ke dalam jaring.

Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan metode hand sorting dengan bantuan ayakan/saringan bertingkat. Selanjutnya sampel dibersihkan

dengan air dan direndam dengan formalin 10% selama 1 hari, kemudian dicuci

(32)

telah diisi alkohol 70% sebagai pengawet, lalu diberi label sebagai tanda. Sampel

dibawa ke laboratorium Terpadu Fakultas Petanian Sumatera Utara untuk

diidentifikasi.

Metode Pengukuran

Kepadatan Populasi (K)

Kepadatan populasi merupakan jumlah individu dari suatu spesies yang

terdapat dalam satu satuan luas atau volume. Penghitungan kepadatan populasi

dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Brower dkk. (1990) sebagai berikut:

K = Jumlah individu suatu jenis Luas Area

Kepadatan Relatif (KR)

Perbandingan antara kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan

seluruh individu yang tertangkap dalam suatu komunitas, yang dapat dihitung

dengan menggunakan rumus Brower dkk. (1990) sebagai berikut:

KR = Ni

Σ N

x 100%

Keterangan :

KR : Kelimpahan Relatif

Ni : Jumlah individu spesies ke-i

N : Jumlah individu seluruh spesies

Frekuensi Kehadiran (FK)

Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran

suatu spesies dalam sampling plot yang ditentukan, yang dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut :

FK =

Jumlah titik yang ditempati suatu jenis

(33)

Keterangan nilai FK : 0-25% = Sangat Jarang

25-50% = Jarang

50-75% = Sering

>75% = Sangat Sering

Indeks Keanekaragaman (H')

Indeks keanekaragaman menggambarkan keadaan populasi organisme

secara matematis agar mempermudah menganalisis informasi jumlah individu

masing-masing jenis pada suatu komunitas. Untuk itu dilakukan perhitungan

dengan menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut :

H’ =− ∑�=1 ������

Keterangan :

H' = Indeks Diversitas

pi = Jumlah individu masing-masing jenis (i=1,2,3,..)

s = Jumlah jenis

Ln = Logaritma nature

Pi = ∑ ��/� (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan

jenis)

Keterangan nilai H' :

0 < H' < 2,302 = Keanekaragaman rendah

2,302 < H' < 6,907 = Keanekaragaman sedang

H' > 6,907 = Keanekaragaman tinggi

Indeks Keseragaman (E)

Untuk mengetahui keseimbangan komunitas digunakan indeks

(34)

komunitas. Semakin mirip / sama besar jumlah individu antar spesies (semakin

merata penyebarannya) maka semakin besar derajat keseimbangan komunitas,

yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus Krebs (1989) sebagai berikut:

E = H′

H′maks

Keterangan :

E = Indeks Keseragaman

H = Indeks diversitas Shannon-Wienner

H' max = Keanekaragaman spesies maximum

Keterangan nilai E:

0–1 atau mendekati 1 = penyebaran merata dan keseragaman rendah

>1 = penyebaran tidak merata dan keseragaman tinggi

Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Alat dan metode pengukuran parameter fisika kimia perairan disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Metode Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Satuan Metode Keterangan

Fisika

Suhu O C Pemuaian in situ

Arus m/s Bola Penduga in situ

Kedalaman m Tongkat Penduga in situ

(35)

Analisis Data

Deskriptif

Data lapangan yang didapatkan meliputi faktor fisika dan kimia perairan,

data makrozoobenthos yang diperoleh dari hasil penghitungan data kepadatan

populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas shennon, dan

indeks equitabilitas dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Metode

deskriptif adalah metode yang berfungsi untuk mendeskriptifkan atau memberi

gambaran terhadap objek yang di teliti melalui data atau sample yang telah terkumpul sebagaimana adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Klasifikasi Makrozoobentos

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh klasifikasi makrozoobentos yang

didapatkan pada lokasi penelitian terdiri dari 13 genus dalam 4 kelas yang

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Batang Gadis Sumatera Utara

Kelas Ordo Famili Genus

Chaetopoda Oligochaeta Tubificidae Branchiura

Tubifex Gastropoda Archacegastropoda Helicidae Pila

Heterodonta Sphaeriidae Sphaerium

Thiaridae Tarebia

Mesogastropoda Pleuroceridae Goniobasis Pleurocera Neotaenioglossa Hydrobiidae Tryonia Hirudinae Rhynchodelida Glossiponiidae Glossiponia

Insekta Diptera Chironomidae Chironomus

Ephenoptera Neophemeridae Neophemera

Odonata Gamphidae Progomphus

Macromidae Macromia

Ciri Morfologi

Berdasarkan hasil identifikasi makrozoobentos dengan menggunakan buku

acuan Pennak (1978), Mc Caperty (1983) dan Edmondson (1963) didapatkan ciri

morfologi makrozoobentos yang didapatkan pada lokasi penelitian sebagai

berikut:

a. Tarebia

Genus ini memiliki ukuran tubuh berkisar 5 – 25 mm dengan memiliki dua

(37)

berwarna gelap dipuncak cangkangnya dan pada cangkang sepenuhnya berwarna

coklat tua sampai hampir hitam, sampel Tarebia dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tarebia

b. Sphaerium

Genus ini kebanyakan hidup di laut dan beberapa hidup di air tawar,

memiliki ukuran tubuh berkisar antara 1 – 2,5 cm, memiliki cangkang yang terdiri

dari 2 keping atau 2 valve, cangkang pipih, simetri, bilateral, berwarna kuning

dengan bercak-bercak hitam, sampel Sphaerium dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sphaerium

c. Pila

Genus ini memiliki ukuran tubuh berkisar antara 3 – 10 cm, bagian atas

cangkangnya pendek sedangkan bagian bawahnya membengkak serta warna

tubuh kuning kecoklatan, cangkang besar, memiliki 4 garis bertautan, celah mulut

(38)

Gambar 8. Pila

d. Tubifex

Cacing air ini memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, memanjang dengan

panjang tubuh berkisar antara 1 – 3 cm yang terdiri dari 76 – 85 segmen atau

cincin dengan diameter tubuh berkisar antara 1 – 2 mm, pada segmen tubuh

terdapat setae bersifat hermaprodit, reproduksi secara seksual. Cacing ini hidup di

dasar perairan dengan membuat tabung, sampel Tubifex dapat dilihat pada

Gambar 9.

Gambar 9. Tubifex

e. Goniobasis

Ukuran tubuh berkisar antara 2 – 3 cm, tipe cangkang memanjang,

berwarna coklat dengan garis-garis coklat, cangkal kecil, bagian permukaan

cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan, celah mulut sempit tipe

(39)

Gambar 10. Goniobasis

f. Pleurocera

Ukuran tubuh berkisar antara 3 – 3,5 cm, tipe cangkang memanjang,

memiliki 8 garis bertautan, cangkangnya berwarna hitam, tebal dan pada bagian

permukaan bergelombang, bagian apeks meruncing, celah mulut lebar dengan tipe

apeks tumpul, sampel Pleurocera dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Pleurocera

g. Tryonia

Ukuran tubuh berkisar antara 5,75 – 6,50 mm dengan tinggi 3,45 – 4,80

mm, lebar 1,56 – 1,90 mm, tinggi lingkaran tubuh 1,83 – 2,29 mm, lebar lingkaran

tubuh 1,46 – 1,82 mm, tinggi lubang 1,06 – 1,29 mm, lebar lubang 0,86 – 1,06

mm dan rata-rata jumlah ulir 5 – 7 Hershler, dkk (2011), sampel Tryonia dapat

(40)

Gambar 12. Tryonia

h. Chironomus

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 5 cm, bagian kepala

terdiri dari tiga segmen dan perut. Seluruh luasan kepala mengeras terdiri dari

kapsul. Bagain tubuh yang termasuk struktur kepala adalah antena, rahang, dan

mulut. Bagian kaki tidak sejati dan terdapat dua pasang tubulus pada again anal.

Tubuh lunak, memanjang bagian permukaan tubuh licin, sampel Chironomus

dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Chironomus

i. Neophemera

Genus ini memiliki panjang tubuh 2 – 3 cm, jumlah kaki ada 3 pasang,

(41)

warna tubuh coklat, metamorphosis tidak sempurna dan nimfa ini di akuatik,

sampel Neophemera dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Neophemera

j. Progomphus

Genus ini memiliki panjang tubuh 2 – 4 cm, jumlah kaki ada dua pasang,

memiliki mata majemuk, terdapat garis pada tubuhnya. Tubuhnya berwarna

coklat, tipe mulutnya menguyah, terdapat ekor yang disebut cerci, sampel

Progomphus dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Progomphus

k. Macromia

Ciri morfologi genus ini diantaranya kepala dengan luas di seluruh mata

7,3 mm dengan warna hijau tua, labium dengan warna coklat kekuningan,

mentum dan squame dengan warna dasar kuning, rahang yang menyatu dengan

(42)

kuning sampai bagian posterior. Kaki berbentuk panjang dan ramping dengan

warna hitam atau coklat kehitaman, ujung again kaki berwarna coklat pucat,

lateral dengan permukaan otot coklat gelap dan kuning, sampel Macromia dapat

dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Macromia

l. Glossiphonia

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 7 cm, tubuh lunak,

licin, memanjang dan berukuran sedang, sampel Glossiphonia dapat dilihat pada

Gambar 17.

Gambar 17. Glossiphonia

m. Branchiura

Spesies ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2 – 9 cm, bentuk tubuh

memanjang, permukaan tubuh berlendir, tubuh memiliki segmen, mulut yang

(43)

Gambar 18. Branchiura

Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai Kepadatan Populasi (K),

Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) makrozoobentos pada

setiap stasiun penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) makrozoobentos pada setiap stasiun penelitian

Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman

Shannon-Wiener (H) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobentos pada setiap

(44)

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Indeks Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Keanekaragaman Shannon-Wiener (H)

1,35 1,709 0,767

Keseragaman (E) 0,753 0,742 0,428

Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata parameter fisika

kimia perairan yang disajikan pada Tabel 5 dan hasil analisis jenis substrat

disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Rata-rata Parameter Fisika Kimia Perairan yang Diukur pada Setiap Lokasi Pengambilan Sampel

Tabel 6. Analisis Jenis Substrat

Substrat Parameter Tekstur Hydrometer

(45)

Pembahasan

Kepadatan Populasi, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos pada Setiap Stasiun Penelitian

Hasil pada Tabel 3 didapatkan bahwa pada stasiun 1 diperoleh nilai

kepadatan populasi tertinggi sebesar 6,0 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi terdapat pada genus Tarebia sebesar 39,70% dan nilai

fekuensi kehadiran tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tarebia dan

Pleurocera. Hasil analisis substrat pada Tabel 6 menampilkan stasiun 1 memiliki

substrat pasir. Kondisi lapangan pada stasiun 1 menunjukkan tipe substrat stasiun

1 merupakan daerah bebatuan kerikil dan sedikit berlumpur. Tarebia merupakan

genus yang masuk ke dalam kelas Gastropoda yang menyukai substrat bebatuan,

kerikil dan sedikit berlumpur. Hal ini sesuai dengan Sinaga (2007) yang

menyatakan bahwa Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran

penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi

organisme ini cenderung menyukai subsrat dasar pasir dan sedikit berlumpur.

Kondisi ini yang menyebabkan Tarebia dapat berkembangbiak secara baik dan

melimpah pada stasiun 1 karena substrat pada lokasi terseut sesuai dengan

kebutuhan hidup Tarebia.

Nilai kepadatan populasi terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Glossiphonia, nilai kepadatan relatif terendah terdapat pada genus Glossiphonia

dengan nilai sebesar 1,47% dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 22,22%

terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Neophemera. Keberadaan

Glossiphonia yang termasuk lintah di stasiun ini sangat sedikit dikarenakan

(46)

Siahaan (2012) Glossiphonia yang termasuk lintah merupakan makrozoobenthos

yang hidup pada kondisi arus yang tenang dan lambat serta perairan yang dangkal.

Nilai kepadatan populasi tertinggi pada stasiun 2 terdapat pada genus

Tubifex dengan nilai sebesar 11,80 ind/m2, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 42,95% terdapat pada genus Tubifex dan nilai frekuensi kehadiran

tertinggi sebesar 66,66% terdapat pada genus Tubifex. Hasil analisis substrat pada

Tabel 6 menunjukkan tipe substrat pada stasiun 2 beragam yaitu pasir, lempung

berpasir dan pasir berlempung. Kepadatan populasi Tubifex tertinggi pada lokasi

ini dikarenakan substrat pada stasiun 2 merupakan lumpur yang sesuai dengan

habitat hidup jenis makrozoobentos ini. Kondisi lingkungan perairan stasiun 2,

yaitu perairan keruh, kandungan bahan organik tertinggi dibandingkan stasiun lain

dan kandungan DO yang rendah. Menurut Siahaan (2012) Tubifex hidup pada

perairan sungai dengan bahan organik tinggi, keruh, berlumpur dan kandungan

oksigen terlarut yang rendah.

Kepadatan populasi terendah pada stasiun 2 dengan nilai sebesar 0,18

ind/m2 terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,67% terdapat pada genus Makromia,

Glossiphonia dan Sphaerium, dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar

11,11% terdapat pada genus Makromia, Glossiphonia dan Sphaerium. Menurut

Hamalainen (1985) Makromia hidup pada perairan bebatuan berpasir dengan cara

hidup membenamkan diri pada substrat. Hal ini yang menyebabkan genus

Makromia memiliki kepadatan populasi yang rendah. Menurut Siregar (2009)

genus Sphaerium hidup baik pada pH < 6, sedangkan stasiun 3 memiliki nilai pH

(47)

Nilai kepadatan tertinggi pada stasiun 3 sebesar 53,44 ind/m2 terdapat pada genus Tarebia, nilai kepadatan relatif tertinggi sebesar 76,47% terdapat pada

genus Tarebia, dan nilai frekuensi kehadiran tertinggi sebesar 100% terdapat pada

genus Goniobasis. Stasiun 3 memiliki kondisi perairan yang hampir sama dengan

stasiun 1 yaitu perairan berarus sedang, jernih dan substrat kerikil berpasir.

Menurut Fisesa, dkk. (2014) genus Goniobasis melimpah pada perairan dengan

substrat dasar yang berbatu dan berpasir. Kondisi substrat yang sesuai menjadikan

Goniobasis memiliki kepadatan populasi yang tinggi pada stasiun 3.

Nilai kepadatan terendah sebesar 0,22 ind/m2 terdapat pada genus Progomphus, nilai kepadatan relatif terendah sebesar 0,32 % terdapat pada genus

Progomphus dan nilai frekuensi kehadiran terendah sebesar 11.11% terdapat pada

Genus Progomphus dan Neophemera. Rendahnya kepadatan populasi

Progomphus dan Neophemera pada stasiun 3 dikarenakan rendahnya kandungan

bahan organik yang rendah dengan kisaran 0,08 – 0,35 %. Menurut Siregar (2009)

Progomphus dan Neophemera hidup pada perairan yang memiliki perairan jernih,

kandungan organik tinggi dan oksigen terlarut yang tinggi. Hal ini yang

menyebabkan genus Progomphus dan Neophemera ditemukan dalam jumlah yang

sedikit pada stasiun 3.

Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E)

Hasil pada Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H)

makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berkisar 0,767 –

1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan

indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767.

(48)

keanekaragaman (H) dengan nilai 0 < H < 2,302 menunjukkan bahwa tingkat

keanekaragaman rendah, nilai 2,302 < H < 6,907 menunjukkan bahwa tingkat

keanekaragaman sedang dan nilai H > 6,907 menunjukkan bahwa tingkat

keanekaragaman tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman

makrozoobentos pada sungai Batang Gadis tergolong rendah. Menurut Odum

(1994) keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran

individu dalam setiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya

tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis

dinilai rendah.

Selain itu, menurut Brower et al (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila

terdapat banyak spesies dengan jumlah yang relatif merata pada setiap spesies.

Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies

dengan jumlah individu yang merata, maka komunitas tersebut mempunyai

keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang

menunjukkan komunitas makrozoobentos di sungai Batang Gadis hanya terdiri

dari 13 genus dengan jumlah yang tidak merata sehingga keanekaragaman

makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong rendah.

Hasil indeks keseragaman (E) pada Tabel 4 menunjukkan bahwa indeks

keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,753 dan terendah pada

stasiun 3 sebesar 0,428. Menurut Fachrul (2007) yang mengklasifikasikan nilai

indeks keseragaman dengan E = 0 yang menunjukkan kemerataan antara spesies

rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat

(49)

merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Hasil ini

menunjukkan bahwa jenis makrozoobentos yang didapat pada setiap stasiun

penelitian memiliki jumlah yang tidak merata sehingga nilai indeks keseragaman

antar stasiun tergolong rendah dan terdapat dominansi spesies tertentu.

Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan

Suhu

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan nilai kisaran suhu air pada ketiga stasiun

penelitian berkisar antara 23 – 28 °C. Suhu air tertinggi terdapat pada stasiun 2

sebesar 28 oC dan terendah pada stasiun 1 sebesar 23 oC. Menurut Sinaga (2007) yang menyatakan bahwa suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan

hewan bentos. Batas toleransi hewan terhadap suhu tergantung kepada spesiesnya.

Umumnya suhu di atas 30 ºC dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos.

Hal ini menunjukkan bahwa suhu secara keseluruhan pada stasiun penelitian

masih mendukung kehidupan bentos.

Kecepatan Arus

Nilai kecepatan arus pada ketiga stasiun penelitian berbeda-beda berkisar

antara 0,083 – 1 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 1

m/s dan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,083 m/s.

Menurut Odum (1994) yang menyatakan bahwa kecepatan arus air di sungai

tergantung pada kemiringan, kekasaran substrat, kedalaman dan lebar sungai. Hal

ini sesuai dengan kondisi lapangan yang menunjukkan stasiun 1 merupakan

daerah hulu sehingga memiliki kemiringan yang berbeda dibandingkan stasiun

lainnya yang memungkinkan arus air mengalir lebih cepat. Menurut Welch (1980)

(50)

sebagai berikut < 10 cm/detik tergolong berarus sangat lambat, 10 – 25 cm/detik

berarus lambat, 25 – 50 cm/detik berarus sedang, 50 – 100 cm/detik berarus cepat,

> 100 cm/detik berarus sangat cepat. Hal ini memperlihatkan bahwa kecepatan

arus di sungai Batang Gadis bervariasi dari berarus sangat lambat sampai sangat

cepat.

Kecerahan

Nilai kecerahan pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 10 –

80 cm. Kecerahan yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 60 – 80 cm

dan kecerahan yang paling rendah tedapat pada stasiun 2 sebesar 10 – 20 cm.

Sastrawijaya (1991), menyatakan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus

dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya

akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam sungai tersebut. Selain itu,

menurut Mahadi (1993) kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid

yaitu zat yang terapung serta zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus

sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat, dan adanya zat-zat koloid yang tidak

mengendap dengan segera.

Kedalaman

Nilai kedalam pada ketiga stasiun penelitian berbeda berkisar antara 1 – 3

m. Kedalaman yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2 – 3 m dan

kedalaman yang paling rendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1 m. Kedalaman

maksimum adalah 2 – 3 m yang disebabkan tingginya permukaan air akibat

turunnya hujan pada saat pengamatan sehingga sedimen menumpuk ditengah

sungai yang mengakibatkan terhalangnya aliran air sehingga meningkatkan

(51)

adanya bendungan yang berpengaruh pada dangkalnya perairan akibat

menumpuknya sedimen pada stasiun 2. Kedalaman perairan yang dalam juga

sebagai faktor rendahnya keanekaragaman makrozoobentos karena sebagian besar

bentos hidup pada perairan yang dangkal.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH pada ketiga stasiun penelitian berkisar 5 – 8,4. Nilai pH pada

ketiga stasiun pengamatan bebeda-beda, tergantung kondisi perairan pada

masing-masing stasiun penelitian. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 8,4

dan terendah pada stasiun 1 sebesar 5 – 6. Secara keseluruhan, nilai pH yang

didapatkan dari ketiga stasiun penelitian masih mendukung kehidupan dan

perkembangan makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan Barus (2004) yang

menyatakan bahwa kehidupan dalam air masih dapat bertahan apabila perairan

mempunyai kisaran pH 7 – 8,4. Selanjutnya menurut Anzani (2012)

makrozoobentos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda-beda.

Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH > 7 sedangkan

kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5 – 8,5.

DO (Dissolved Oxygen)

Nilai oksigen terlarut (DO) pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 4

– 5,8 mg/l. Nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 5,8 mg/l dan

terendah pada stasiun 2 sebesar 4 mg/l. Secara keseluruhan nilai kandungan

oksigen terlarut di lokasi penelitian masih dapat ditolerir makrozoobentos.

Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara

permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan

(52)

respirasi dari organisme akuatik. Menurut Barus (2004) menyatakan bahwa

kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Suhu

mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika temperatur naik maka

oksigen di dalam air akan menurun. Selanjtunya menurut Sastrawijaya (1991)

menyatakan bahwa 2ehidupan organisme perairan dapat bertahan jika oksigen

terlarut sebanyak 5 mg/l dan tergantung juga terhadap daya tahan organisme.

BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,4 – 1,8 mg/l.

dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesarr 1,8 dan terendah terdapat

pada stasiun 2 sebesar 0,4 mg/l. Perbedaan nilai BOD5 di setiap stasiun penelitian

disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun

yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut digunakan oleh

mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik sehingga mengakibatkan

nilai BOD5 meningkat. Menurut Brower, dkk. (1990) menyatakan bahwa nilai

konsentrasi BOD menunjukkan suatu perairan yang masih tergolong baik apabila

konsumsi oksigen selama peroide lima hari bekisar sampai 5 mg/l oksigen. Hasil

ini menunjukkan bahwa nilai BOD5 pada sungai Batang Gadis masih mendukung

kehidupan makrozoobentos.

Bahan Organik

Nilai bahan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun

pengamatan berkisar antara 0,08 – 0,49%. Kandungan bahan organik tertinggi

didapatkan pada stasiun 1 sebesar 0,49%, sedangkan terendah terdapat pada

stasiun 3 sebesar 0,08%. Secara keseluruhan nilai kandungan organik substrat

(53)

sangat rendah. Menurut pusat penelitian tanah (1983) diacu Djaenuddin, dkk.

(1994), yang mengatakan bahwa kriteria tinggi rendahnya kandungan organik

substrat atau tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut.

<1% = sangat rendah

1%-2% = rendah

2,01%-3% = sedang

3%-5% = tinggi

>5,01% = sangat tinggi

Tekstur Substrat

Berdasarkan hasil substrat yang dapat dilihat pada Tabel 6 terdapat

perbedaan tekstur substrat pada setiap stasiun penelitian. Pada stasiun 1 dan 3

memiliki tekstur substrat yang sama yaitu pasir, sementara pada stasiun 2

memiliki tekstur substrat yaitu pasir dan lempung berpasir. Perbedaan tekstur

substrat tersebut karena pada Sungai Batang Gadis terdapat bendungan sehingga

sedimen yang masuk ke perairan menumpuk pada satu wilayah.

Tekstur substrat yang didapat pada setiap stasiun penelitian yaitu berupa

pasir dan lempung berpasir. Tekstur substrat tersebut merupakan lingkungan

hidup yang kurang baik bagi makrozoobentos sehingga menghasilkan kepadatan

dan keanekaragaman yang rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Koesbiono

(1979) yang menyatakan bahwa dasar perairan yang berupa pasir dan sedimen

(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Keanekaragaman makrozoobentos di sungai Batang Gadis tergolong

rendah dengan nilai berkisar 0,767 – 1,709. Indeks keanekaragaman tertinggi

terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,709 dan indeks keanekaragaman terendah

terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,767.

Saran

Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai keanekaragaman

makrozoobentos pada kondisi musim yang berbeda di Sungai Batang Gadis

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anzani, Y. M. 2012. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan Ketiga (revisi). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Astirin, Setyawan dan Harini. 2002. Keragaman Plankton Sebagai Indikator Kualitas Sungai di Kota Surakarta. Jurnal Biodiversitas. 3 (2) : 236 – 241.

Barnes, K. S. K dan K. H. Mann. 1987. Fundamental Of Aquatic Ecology.Blackw ell Scientific Publications Oxford.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press. Medan.

Brower, J. E. H. Z., Jerrold Car. I. N., Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methoda for General Ecology. Thad Edition. USA, Wm.C. Brown Publisher. New York.

Cole, G.A. 1983. Buku Teks Limnologi. Dewan Pustaka dan Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta. Kansius.

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.

Fisesa, E. D., I. Setyobudiandi, M. Krisanti. 2014. Kondisi Perairan dan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Depik. 3 (1): 1 – 9.

Hamalainen, M. 1985. Macromia chaiyaphumensis (Odonata, Corduliidae) from Northeast Thailand. Annales Entomologici Fennici. 51: 105 – 107.

Hughes, M. E., O. M. Fincke. 2012. Reciprocal Effects between Burying Behavior of a Larval Dragonfly (Odonata: Macromia illioiensis) and Zebra Mussel Colonization. Department of Biology, Wesleyen University. USA.

Hynes, H. B. N. 1976. The Ecology With Of Running Water. Livverpool University. Press. England.

Indrowati, M., Tjahjadi, P., Estu, R., Raras, I.Y., Siti, N. Dwito, P., Pandu, H. W. 2012. Identifikasi Jenis, Kerapatan dan Diversitas Plankton Bentos Sebagai Bioindikator Perairan Sungai Pepe Surakarta. Jurnal Bioedukasi. 5 (2): 81 – 91.

Junaidi, E., Effendi, P., Joko. 2010. Kelimpahan Populasi dan Pola Distribusi Remis (Corbicula Sp) di Sungai Borang Kabupaten Banyuasin. Jurnal penelitian sains. 13 (3): 50 – 54.

(56)

Krebs, C. J. 1989. Experimentalanalysis Of Distribution And Abundand. Third Edition. Harper & Prow Publisher. New York.

Mahadi, U. N. 1993. Pencemaran Air Dan Pemanfaatan Limbah Industry. Edisi IV. PT. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta.

Mc Caferty, W. P. 1983. Aquatic Entomology. Publishers. Inc Boston: Jones and Bartlett .

Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti. Jakata.

Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pennak, R. 1978. Fresh Water Invertebrates Of The United States Protozoa To Mollusca. Colorado. University Of Colorado. Boulder.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 37 Tahun 2010. Tentang Bendungan.

Purnami, A. T., Sunarto, P. Setyono. 2010. Study of Benthos Community Based on Diversity and Similarity Index in Cengklik Dam Boyolali. Jurnal Ekosains. 2 (2): 50 – 65.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.

Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta.

Setiawan, H. 2008. Struktur Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan Perairan Hilir Sungai Musi. [Tesis]. Program Pasca Sajana. IPB.

Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [Skripsi]. Departemen Biologi. USU.

Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. [Tesis]. Program Pasca Sarjana. USU.

Siregar, T. R. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Suartini, Sudatri, Pharmawati, Raka, D. 2006. Identifikasi Makrozoobenthos di Tukad Bausan, Desa Pererenan, Kabupaten Badung, Bali. Jurnal Ecotrophic. 5 (1): 41 – 44.

Sugiono, 2009. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Suin, N. M. 2002.Metode Ekologi.Universitas Andalas. Padang.

Sutika, N. 1989. Ilmu Air. Penerbit Universitas Padjadjaran. Bandung.

(57)

Wargadinata, E. L. 1995. Makrozoobentos Sebagai Indikator Di Sungai Percut. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pasca Sarjana Ilmu Pengetahuan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. USU. Medan.

Wiwoho. 2005. Model Identifikasi Daya Tampung Beban Cemaran Sungai Dengan Qual2e (Study Kasus Sungai Babon). [Tesis]. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.

Yeanny, M. S. 2007. Keanekaragaman Makrozoobentos di Muara Sungai Belawan. Jurnal Biologi Sumatera. 2 (2): 37 – 41.

(58)

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

Diambil sebanyak 100 ml Dititrasi Na

yang terpakai (= nilai DO akhir)

Sampel Air

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

Larutan Sampel Berwarna Coklat

Sampel Berwarna

Kuning Pucat

Sampel Berwarna

Sampel Bening

(59)

Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

Diinkubasi selama 5 hari Dihitung nilai

pada temperatur 20°C DO awal

Dihitung nilai DO akhir

DO akhir DO awal

Keterangan :

• Cara kerja penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan

penghitungan nilai DO metode Winkler

(60)

Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Di homogenkan

Dikeringkan dalam oven 45o C

Dihaluskan/digerus dengan lumping

Dikeringkan dalam oven 45o C selama 1 jam

Ditimbang sebanyak 5 gram

Dibakar di dalam tungku pembakaran pada suhu

600o C selama 3 jam Substrat dasar pada

titik pengamatan

100 gram substrat dasar

Berat konstan tanah

5 gram tanah

Abu

(61)

Lampiran 4. Bagan Kerja Pengukuran Substrat

Gambar Segitiga Millar (USDA, 2009)

Keterangan:

• Tekstur substrat sangat dipengaruhi oleh komposisi dari butiran liat, debu dan pasir. Misalkan hasil analisis laboratorium menyatakan bahwa persentase liat (Y) 42%, debu (Z) 26% dan pasir (X) 32%.

• Tarik garis dari persentase garis liat (Y) 42% sejajar dengan persentase garis debu.

• Tarik garis dari persentase garis debu (Z) 26% sejajar dengan persentase garis pasir.

• Tarik garis dari persentase garis pasir (X) 32% sejajar dengan persentase garis liat.

• Untuk melihat analisis tersebut dilihat dari perpotongan antara garis persentase liat, debu dan pasir.

(62)

Lampiran 5. Foto Kegiatan Lapangan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.

(63)

Keterangan:

a. Pengambilan sampel dengan menggunakan Eckman grab. b. Pengambilan sampel dengan menggunakan Surber net. c. Sampel disortir menggunakan saringan.

d. Sampel disortir menggunakan saringan bertingkat.

e. Sampel yang didapatkan dimasukkan ke dalam botol sampel. f. Sampel yang dimasukkan ke dalam botol sampel.

(64)

Lampiran 6. Alat dan Bahan

a. b.

c. d.

e. f.

g. h.

(65)

Lampiran 6. Lanjutan

Keterangan:

a. Surber net. b. Eckman grab. c. Saringan besar. d. Saringan kecil. e. Termometer. f. pH meter. g. Secchi disk.

h. Kertas label dan selotip. i. Tali plastik.

j. Plastik.

k. Formalin 10%. l. Es batu.

m. Zat metode winkler: MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, Amilum.

n. Alkohol 70%.

k. l.

Gambar

Gambar                                       Teks
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.  Lokasi Tempat Penelitian
Gambar 3. Stasiun 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Arus sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan Garing, arus pada stasiun IV sangat tinggi dan pergerakan airnya lambat sehingga ikan Garing yang terdapat pada stasiun IV

Hasil pengamatan histologi jaringan insang pada Gambar 8, 9 dan 10 tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua insang ikan cencen yang diambil dari perairan Sungai Batang Gadis

Penelitian mengenai komunitas makrozoobentos di sungai Batang Ombilin Sumatera Barat telah dilaksanakan dari bulan November 2012 sampai Maret 2013.. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos serta kondisi faktor fisika-kimia air di Sungai Batang Hari Kabupaten Solok

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan Program Kreativitas (PKM) Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Pada PKM-M (Masyarakat) dan PKM- Kewirausahaan.. Tahun

Penilaian potensi obyek dan daya tarik wisata alam dilakukan dengan cara pengamatan langsung di sepanjang jalur Sungai Batang gadis. Komponen yang dinilai adalah

PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN MANDAILING NATAL

Jenis-jenis ikan yang tertangkap dan taksonominya di Tiga Stasiun Sungai Batang Pelepat Kabupaten Bungo No Filum Ordo Famili Genus Spesies Nama Daerah Jumlah Ekor ekor 1