• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Komponen Fitokimia S polycystum

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Kandungan Komponen Fitokimia S polycystum

Pengujian komponen bioaktif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan uji fitokimia. Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu

mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau manfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tanin. Kandungan senyawa fitokimia dalam ekstrak S. polycystum dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak S. polycystum

Uji Fitokimia Pelarut Standar (warna) Metanol Etil Asetat n-Heksana Alkoloid a. Meyer b. Wagner c. Dragendorff - - - - - - - - -

Endapan putih kekuningan Endapan cokelat

Endapan merah/jingga

Steroid + + + Perubahan merah menjadi

biru/hijau

Flavonoid + + + Lapisan amil alkohol

berwarna merah/kuning/hijau

Fenol hidrokuinon + + + Warna hijau/hijau biru

Saponin - - - Terbentuk busa

Tanin - - - Perubahan warna dari hijau

menjadi biru hingga hitam

Keterangan: - = tidak terdeteksi + = terdeteksi

Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak S. polycystum adalah senyawa steroid, flavonoid dan fenol hidrokuinon. Ekstrak

ketiga pelarut menghasilkan nilai kandungan yang berbeda pada setiap uji. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh yang sama, namun yang membedakan adalah intensitas kandungan senyawa fitokimia yang dihasilkan pada masing-masing ektrak. Secara kualitatif, senyawa fitokimia S. polycystum memiliki intensitas yang kuat pada ekstrak dengan pelarut

etil asetat. Hal ini mengidentifikasikan bahwa senyawa fitokimia dalam S. polycystum cenderung larut dalam larutan semipolar.

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dll). Tetapi kemudian makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Sterol umumnya terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Terdapat dalam tumbuhan rendah, tapi kadang-kadang terdapat juga dalam tumbuhan tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga cokelat (Harborne 1987). Hasil uji steroid dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil uji steroid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat

Uji steroid pada S. polycystum yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa komponen steroid terdeteksi pada semua jenis pelarut ekstrak kasar S. polycystum dengan intensitas yang cukup kuat. Prekursor dari

pembentukan steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar, sehingga n-heksana dan etil asetat dapat mengekstrak senyawa tersebut. Steroid juga

terekstrak pada pelarut metanol yang merupakan pelarut polar yang juga mampu mengekstrak komponen lainnya yang bersifat nonpolar dan semipolar. Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menyatakan bahwa senyawa streroid dan ester ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Smit (2004) menyatakan komponen seperti sterol dan fenol dapat menjadi bahan antibiotik.

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan

mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna (Harborne 1987).

Ektrak S. polycystum pada semua pelarut mengandung senyawa flavonoid dengan intensitas yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan ekstrak kasar dari metanol dan n-heksana memiliki kandungan flavonoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan etil asetat. Hasil pengujian ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah dan kuning pada lapisan amil alkohol yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil uji flavonoid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat

Intensitas flavonoid pada pelarut metanol menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang ada pada ekstrak S. polycystum memiliki kandungan flavonoid yang bersifat polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid yang bersifat polar dapat larut pada pelarut polar. Flavonoid yang larut pada etil asetat dan n-heksana diduga merupakan aglikon flavonoid yang bersifat kurang polar, sehingga dapat larut dalam kedua pelarut tersebut (Harborne 1987). Kandungan flavonoid jenis ini relatif kecil dalam S. polycystum karena jumlah terlarutnya yang kecil. Hasil uji Prajitno (2006) menunjukkan bahwa rumput laut Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin, epigallocathecin, cathecol, hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan.

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon (kuinon yang kromofor terdiri atas dua gugus karbonil yang

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon), naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna (Harborne 1987). Hasil uji senyawa fenol hidrokuinon pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Hasil uji fenol hidrokuinon ekstrak kasar (a) metanol,(b) n-heksana dan(c) etil asetat

Ekstrak S. polycystum pada masing-masing pelarut mengandung senyawa kuinon dengan intensitas yang lebih kuat pada ekstrak etil asetat dan metanol. Hal ini dapat dikarenakan senyawa kuinon yang terdapat dalam S. polycystum terbentuk dari berbagai jenis kuinon, dimana jenis kuinon yang larut dalam pelarut semipolar relatif lebih banyak dibanding pelarut lain. Kelompok benzokuinon dan naftokuinon dapat larut dengan pelarut semipolar atau non polar, sedangkan kuinon yang larut dalam metanol merupakan kelompok antrakuinon yang banyak hidrosilnya sangat polar sehingga larut dalam larutan polar (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin sedikit larut dalam air (polar), tetapi umumnya kuinon mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil.

Oleh karena itu keberadaan kuinon ditunjukkan dengan warna hijau. Untuk memastikan apakah suatu pigmen termasuk kuinon atau bukan, reaksi

warna sederhana masih tetap berguna, warna yang terlihat beragam, mulai dari jingga dan merah sampai ungu dan biru, bahkan beberapa kasus terbentuk warna hijau (Harborne 1987). Menurut Lincoln et al. (1991) dalam Smit (2004), banyak

Beberapa zat yang penting pada reaksi ini adalah komponen halogen seperti alkali dan alkena, alkohol, aldehida, hidrokuinon, dan keton.

Alkaloid merupakan senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid terbagi menjadi tiga bagian, yaitu elemen yang mengandung N terlibat pada pembentukan alkaloid dan reaksi yang terjadi untuk pengikatan khas elemen-elemen pada alkaloid (Sirait 2007). Uji fitokimia pada alkaloid ekstrak S. polycystum pada semua pelarut tidak terdeteksi. Suradikusumah (1989) menyatakan bahwa reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi Mannich, yaitu suatu aldehida berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina atau garam iminum diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu fenol. Tidak terdeteksinya alkaloid mengidentifikasikan bahwa tidak adanya kandungan amina dalam ekstrak S. polycystum.

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan (Harborne 1987). Glikosida saponin terdapat pada tanaman tinggi dan dapat membentuk larutan koloidal dalam air. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan disebabkan molekul saponin terdiri dari hidrofob dan hidrofil. Bagian hidrofob adalah aglikon, bagian hidrofil adalah glikon. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang bereaksi basa (Sirait 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan senyawa saponin pada ketiga ekstrak S. polycystum bernilai negatif. Hal ini mengidentifikasikan bahwa komponen saponin tidak terkandung dalam S. polycystum. Hal ini berbeda dengan penelitian Sahayaraj dan Kalidas (2011) yang mengidentifikasi adanya senyawa steroid, saponin dan komponen fenol pada ekstrak Padina pavonica dengan pelarut benzena dan kloroform.

Tanin adalah senyawa polifenol yang dapat membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dengan protein. Senyawa ini terdapat pada berbagai jenis tanaman yang digunakan baik untuk bahan pangan maupun pakan ternak (Harborne 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak S. polycystum tidak mengandung senyawa tanin. Cox et al. (2010) menyatakan kandungan tanin

pada tumbuhan terestrial berbeda dengan yang berasal dari laut. Florotanin merupakan komponen tanin yang hanya dapat ditemukan dari alga laut. Penelitian Tamat et al. (2007) pada uji fitokimia ekstrak metanol Ulva reticulata menunjukkan tidak adanya intensitas senyawa aktif alkaloid, saponin dan tanin.

Dokumen terkait