• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan, preparasi dan ekstraksi bahan baku

MAWADDAH RENHORAN C3408

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengambilan, preparasi dan ekstraksi bahan baku

Pengambilan sampel S. polycystum dilakukan pada tanggal 03 Maret 2012, di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu yang kemudian dikeringkan. Lokasi ini dipilih karena kondisi perairan laut yang relatif lebih bersih, sehingga S. polycystum tumbuh melimpah. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan langsung memetik S. polycystum dari substratnya secara mekanik menggunakan tangan. S. polycystum diisi ke dalam wadah berisi air laut yang kemudian ditransportasikan ke tempat penelitian untuk selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari selama tiga hari dan diekstraksi. Sebelum diekstraksi, sampel kering terlebih dahulu dibersihkan dari komponen-komponen pengotor seperti pasir, garam, kayu, ranting, dan rumput laut jenis lain.

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bahan aktif. Metode ekstraksi yang

digunakan adalah metode ekstraksi tunggal yang mengacu pada (Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995). Pelarut yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu pelarut polar (metanol), semi polar (etil asetat) dan non polar (n-heksana).

Sampel yang telah dihancurkan ditimbang sebanyak 50 gram dan dimaserasi dengan pelarut polar (metanol), semipolar (etil asetat) dan nonpolar (n-heksana) sebanyak 250 mL selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring sehingga didapat filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan

rotary vacuum evaporator pada suhu kurang dari 50oC. Diagram alir tahap

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian

3.3.2 Uji fitokimia

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar S. polycystum. Uji fitokimia yang dilakukan

• Uji Fitokimia

• Uji Total Fenol

• Uji aktivitas antioksidan

• Uji aktivitas antimikroba Rendemen (%) Sampel kering (50 g) Penambahan pelarut (1:5) Sampel + n-heksana Sampel + etil asetat

Sampel + metanol Maserasi Penyaringan Evaporasi Ekstrak kasar n-heksana Ekstrak kasar etil asetat Ekstrak kasar metanol

merupakan modifikasi dari Harborne (1987) yang meliputi uji alkaloid,

1) Alkaloid

steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon dan tanin .

Sebanyak 0,05 mg sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan cokelat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

2) Steroid/triterpenoid

Sebanyak 0,05 mg sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Kemudian ditambahkan 10 tetes anhidrat asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwana merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukan reaksi positif.

3) Flavonoid

Sebanyak 0,05 mg sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campurkan dikocok. Terbentuk warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.

4) Saponin

Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Sebanyak 0,05 mg sampel dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi air panas 20 mL.

Busa yang sudah stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.

5) Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3

Sebanyak 0,05 mg sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl

)

3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.

6) Tanin

Sebanyak 0,05 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Air panas yang telah diseduh diteteskan ke dalam tabung reaksi kemudian didihkan dalam wadah berisi air. Larutan ekstrak yang medidih kemudian disaring. Filtrat ekstrak ditambahkan FeCl3

3.3.3 Uji total fenol

10% dan divorteks sampai terlihat perubahan warna. Perubahan warna reaksi menjadi hitam menunjukkan adanya kandungan tanin dalam ekstrak.

Kandungan total fenol ditentukan dengan menggunakan prosedur Folin-Ciocalteau yang dimodifikasi dari Pambayun et al. (2007) dimana uji

kandungan total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang terdapat pada sampel. Ekstrak kasar dengan berat sekitar 5-10 mg ditimbang lalu dilarutkan dengan 2 mL etanol 95%. Kemudian larutan ditambahkan 5 mL akuades dan 0,5 mL reagen Folin-Ciocalteau 50% (v/v). Campuran didiamkan selama 5 menit dan ditambahkan 1 mL Na2CO3

3.3.4Uji aktivitas antioksidan

5% (b/v). Selanjutnya campuran dihomogenkan dan diinkubasi dalam kondisi gelap selama satu jam. Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 725 nm. Asam galat digunakan sebagai standar dengan konsentrasi 5, 10, 15, 25, dan 50 mL/L. Kandungan total fenol diinterpretasikan sebagai milligram ekivalen asam galat (GAE = Galic Acid Equivalent) per 100 g sampel (mg GAE/100 g sampel).

Metode uji aktivitas antioksidan yang digunakan dimodifikasi dari Ebrahimzadeh et al. (2010) yaitu metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Masing-masing ekstrak kasar dilarutkan dalam etanol dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu 31,25, 62,5, 125, 250 dan 500 ppm. Antioksidan Vitamin C digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif. Vitamin C dilarutkan dalam pelarut etanol dengan konsentrasi 12,5, 6,25, 3,12, 1,56, 0,78 dan 0,39 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan dibuat dengan menggunakan kristal DPPH dalam pelarut etanol dengan konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.

Uji aktivitas antioksidan dilakukan berdasarkan kemampuan sampel yang digunakan dalam mereduksi radikal bebas stabil DPPH. Sebanyak 1 mg ekstrak kasar dan Vitamin C sebagai kontrol positif ditimbang dan kemudian ditambahkan dengan etanol dengan perbandingan 1:1000. Selanjutnya 1,3 mg DPPH diencerkan dengan 25 mL etanol. Sebanyak 1 µL etanol diisikan ke dalam microplate yang telah disiapkan. Setelah itu dilakukan pengisian ekstrak dengan beberapa konsentrasi dan penambahan larutan DPPH. Campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37o

Persentase penghambat aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai absorben sampel. Persamaan regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi sampel dan persentase penghambat aktivitas radikal bebas. Nilai konsentrasi penghambat aktivitas radikal bebas sebanyak 50% (IC

C selama 30 menit. Serapan yang dihasilkan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang 517 nm.

50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi. Nilai IC50 diperoleh dengan memasukkan Y=50 serta nilai A dan B yang telah diketahui. Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung dengan persamaan. Aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding vitamin C dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut:

Y= A+B Ln(x) Keterangan: Y= persen inhibisi

A = slope B = intercept

x = konsentrasi sampel

3.3.5 Uji aktivitas antimikroba

Uji aktivitas antimikroba dilakukan terhadap ekstrak S. polycystum. Uji ini meliputi persiapan media padat TSA, persiapan media cair NB, persiapan suspensi mikroba, persiapan media padat MHA, prosedur uji aktivitas antimikroba dengan berbagai konsentrasi dan pengukuran zona hambat. Mikroba uji yang digunakan adalah E. coli dan S. aureus, B. subtilis dan C. maltosa. Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan metode difusi agar.

a) Persiapan media padat TSA

Penyegaran mikroba uji, yaitu E. coli dan S. aureus, B. subtilis dan

C. maltosa dilakukan pada media Trypticase Soy Agar (TSA). Media TSA

dibuat dengan melarutkan sebanyak 8 gram media TSA bubuk dalam akuades hingga volume 200 mL, lalu dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih. Sebanyak 9 mL TSA dipipet dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Media lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o

b) Persiapan media cair NB

C selama 15 menit. Setelah itu media dimiringkan sekitar 45 derajat dan dibiarkan hingga membeku. Setelah membeku media selanjutnya disimpan dalam refrigerator.

Media Nutrient Broth (NB) dibuat dari 2,6 gram media NB bubuk yang dilarutkan dalam akuades hingga volume 200 mL, selanjutnya dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih. Sebanyak 9 mL NB dipipet ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan aluminium foil. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o

c) Persiapan suspensi mikroba

C selama 15 menit. Setelah itu media didinginkan ditempat yang steril pada suhu ruang.

Sebanyak 1 ose mikroba uji digoreskan pada media TSA dengan pola zig-zag secara aseptik, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Setelah itu 1-2 ose bakteri uji dari media TSA dimasukkan ke dalam media NB yang telah dingin secara aseptik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Optical Density (OD600 nm

d) Persiapan media padat MHA

) dihitung menggunakan spektrofotometer untuk menentukan fase hidup bakteri yang digunakan. Nilai OD bakteri setelah inkubasi selama 12-18 jam tiap mikroba berbeda yaitu E. coli 0,607 nm, S. aureus 0,808 nm, B. subtilis 0,540 nm, dan C. maltosa 0,663 nm.

Media padat yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba adalah

media Mueller Hinton Agar (MHA). MHA dibuat dengan melarutkan 7,6 gram media MHA bubuk dalam akuades hingga volume 200 mL,

kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih. Larutan dipipet 15 mL, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121o

e) Uji aktivitas antimikroba (modifikasi Darusman et a.l 1995)

C selama 15 menit. Media didinginkan pada suhu ruang sampai agar membeku. Setelah membeku, media disimpan dalam refrigerator.

Media MHA cair sebanyak 15 mL ditambah dengan 20 µL mikroba uji yang telah diukur OD-nya (Optical Density) antara 0,5-0,8 pada panjang gelombang 600 nm. Media yang telah ditambah dengan mikroba uji dihomogenkan dengan vorteks, kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan digoyangkan membentuk angka delapan agar menyebar secara merata. Media agar tersebut didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit atau sampai agar membeku.

Dalam uji aktivitas antimikroba, setiap sumur diberi ekstrak S. polycystum sebanyak 20 µL dengan konsentrasi 2 mg/mL, 1 mg/mL dan 0,5 mg/mL. Sumur juga diisi dengan kloramfenikol sebagai kontrol positif dengan konsentrasi 2 mg/mL dan pelarut ekstrak sebagai kontrol negatif. Setelah seluruh ekstrak pada sumur dimasukkan dalam cawan petri yang telah berisi agar dan mikroba kemudian cawan petri dilapisi dengan plastik wrapping untuk menghindari kontaminasi dan disimpan dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 37o

f) Pengukuran zona hambat

C selama 18-20 jam. Aktivitas antimikroba dapat dilihat dengan mengamati zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur. Diagram alir uji aktivitas antimikroba disajikan pada Gambar 4.

Aktivitas antimikroba dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambatan berupa zona bening di sekeliling sumur dan aktivitas antimikroba dinyatakan negatif apabila tidak terbentuk zona bening. Diameter zona hambat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Zona hambat = A – B Keterangan :

A = Diameter zona hambat yang terbentuk (mm) B = Diameter sumur (mm)

Gambar 4 Tahapan uji aktivitas antimikroba ekstrak S. polycystum (modifikasi Darusman et al.1995)

Pengamatan dan pengukuran zona bening Zona bening

Inkubasi pada suhu 37oC selama 18-20 jam dalam posisi terbalik

Pemberian 20 µL ekstrak pada sumur dengan konsentrasi 2 mg/mL, 1 mg/mL dan 0,5 mg/mL serta kontrol positif dan kontrol negatif

Pembuatan sumur dalam media agar

Pendinginan selama 15 menit atau sampai agar membeku Penuangan agar ke dalam cawan petri steril

homogenisasi dengan vorteks

Inokulasi mikroba 20 µL dalam 20 mL media MHA Mikroba uji

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan pada penelitian ini adalah dengan penggunaan jenis pelarut

yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu metanol, etil asetat dan n-heksana. Semua perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Model

rancangan yang digunakan untuk menganalisis data rendemen hasil ekstrak, total fenol dan aktivitas antioksidan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan model dan hipotesis sebagai berikut:

Yij = µ + αi + є Keterangan:

ij

Yij

µ = rataan umum

= hasil pengamatan rendemen ekstrak, total fenol, aktivitas antioksidan dan jenis pelarut (i) pada ulangan ke-j

αi = pengaruh jenis pelarut єij

Analisis ragam digunakan untuk menganalisis data. Uji lanjut Duncan digunakan jika analisis ragam menunjukkan hasil berbeda nyata.

= sisaan akibat jenis pelarut taraf ke-I pada ulangan ke-j

Sy =

(KTS ) r

Rp = qa′ x Sy Keterangan:

Sy = significant range KTS = kuadran tengah sisa r = ulangan

qa′ = significant stidientized range

Rp = wilayah nyata terkecil dari nilai rata-rata

H0 : Jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rendemen, total fenol dan aktivitas antioksidan (αi = 0)

H1 : Jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rendemen, total fenol dan aktivitas antioksidan (αi ≠ 0)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Perairan Ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu merupakan daerah yang terletak di lepas pantai Jakarta dengan posisi memanjang dari Utara ke Selatan yang ditandai dengan pulau-pulau kecil berpasir putih dan gosong-gosong karang. Kepulauan Seribu terdiri atas 110 pulau dan 11 diantaranya dihuni penduduk. Kawasan ini memiliki tofografi datar hingga landai dengan ketinggian sekitar 0-2 meter dan luas daratan dapat berubah oleh pasang surut dengan ketinggian pasang antara 1-1,5 meter. Dengan demikian, morfologi Kepulauan Seribu merupakan dataran rendah pantai dengan perairan laut ditumbuhi karang. Sebagai salah satu ekosistem laut di perairan Utara Jakarta, wilayah ini didominasi oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun dan daratan pulau-pulau karang yang menjadi habitat penting berbagai jenis biota perairan laut (Noor 2003). Kondisi perairan ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kondisi perairan ekosistem S. polycystum di Kepulauan Seribu

Rumput laut Sargassum umumnya merupakan tanaman perairan yang berukuran relatif besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar yang kuat. Bagian atas tanaman menyerupai semak yang berbentuk simetris bilateral atau radial serta dilengkapi bagian sisi pertumbuhan. Umumnya rumput laut tumbuh secara liar dan masih belum dimanfaatkan secara baik. Sargassum merupakan alga cokelat yang tersebar luas di Indonesia dan tumbuh di perairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu. Pada umumnya

Seribu, terutama di daerah rataan pasir (sand flat). Daerah ini kering pada saat surut rendah, mempunyai dasar berpasir dan terdapat pula pada karang hidup atau mati. Pada batu-batu ini tumbuh dan melekat rumput laut cokelat (Atmadja dan Soelistijo 1998).

4.2 Rendemen Ekstrak S. polycystum

Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur (Nur dan Adijuwana 1989). Proses ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif (Harborne 1987).

Metode ekstraksi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu maserasi tunggal menggunakan pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu metanol (polar), etil asetat (semipolar), dan n-heksana (nonpolar). Tujuan dari penggunaan ketiga pelarut tersebut adalah untuk mengetahui rendemen dan mendapatkan senyawa aktif dari S. polycystum berdasarkan tingkat kepolarannya. rendemen ekstrak kasar S. polycystum disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Rendemen ekstrak kasar S. polycystum

Diagram batang pelarut metanol (a) yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap etil asetat dan n-heksana (b) dalam menghasilkan rendemen

Pada proses maserasi, ekstrak kasar masing-masing pelarut dari hasil evaporasi menghasilkan karakteristik yang berbeda-beda. Ekstrak dari ketiga jenis pelarut ini berbentuk pasta dengan aroma yang khas. Pada karakteristik warna

menunjukkan warna yang relatif sama pada tiap pelarut yaitu hijau kecokelatan. Rendemen yang dihasilkan pada ekstraksi dengan tiga pelarut menunjukkan nilai yang berbeda. Rendemen ekstrak adalah perbandingan jumlah ektrak dan hasilnya dinyatakan dalam persen.

Data nilai rendemen ekstrak kasar S. polycystum pada Gambar 6 menunjukkan bahwa jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai rendemen. Rendemen ekstrak tertinggi terdapat pada ekstrak metanol sebesar 17,93%, diikuti dengan etil asetat sebesar 1%, dan terakhir n-heksana sebesar 0,57%. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen senyawa aktif yang bersifat polar banyak terdapat dalam jaringan S. polycystum karena banyaknya ekstrak dari pelarut metanol yang dihasilkan. Sebaliknya, komponen senyawa aktif yang

bersifat semipolar dan nonpolar terdapat dalam jumlah kecil dalam jaringan S. polycystum karena sedikitnya ekstrak yang dihasilkan dari pelarut etil asetat dan

n-heksana. Berdasarkan data tersebut, dapat diidentifikasi bahwa S. polycystum mengandung senyawa-senyawa aktif yang relatif larut dalam pelarut polar.

Wijayanto (2010) melaporkan bahwa penggunaan pelarut metanol lebih

efektif dalam ekstraksi alga merah Kappaphycus alvarezii dan Euchema denticullatum dibandingkan dengan etanol yang memiliki tingkat

kepolaran yang lebih rendah. Hal ini dapat mempertegas adanya sifat kelarutan senyawa-senyawa aktif pada rumput laut yang relatif larut pada pelarut yang bersifat polar.

Ekstrak dengan pelarut etil asetat dan n-heksana menghasilkan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan metanol. Hal ini dapat dikarenakan adanya senyawa flavonoid yang merupakan salah satu metabolit sekunder terbanyak di alam yang umumnya terikat pada glukosa. Proses glikosilasi ini menyebabkan

flavonoid menjadi kurang reaktif dan relatif larut dalam pelarut polar (Markham 1988).

4.3 Kandungan Komponen Fitokimia S. polycystum

Pengujian komponen bioaktif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan uji fitokimia. Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu

mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya. Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau manfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan tanin. Kandungan senyawa fitokimia dalam ekstrak S. polycystum dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Hasil uji fitokimia ekstrak S. polycystum

Uji Fitokimia Pelarut Standar (warna) Metanol Etil Asetat n-Heksana Alkoloid a. Meyer b. Wagner c. Dragendorff - - - - - - - - -

Endapan putih kekuningan Endapan cokelat

Endapan merah/jingga

Steroid + + + Perubahan merah menjadi

biru/hijau

Flavonoid + + + Lapisan amil alkohol

berwarna merah/kuning/hijau

Fenol hidrokuinon + + + Warna hijau/hijau biru

Saponin - - - Terbentuk busa

Tanin - - - Perubahan warna dari hijau

menjadi biru hingga hitam

Keterangan: - = tidak terdeteksi + = terdeteksi

Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam ekstrak S. polycystum adalah senyawa steroid, flavonoid dan fenol hidrokuinon. Ekstrak

ketiga pelarut menghasilkan nilai kandungan yang berbeda pada setiap uji. Perbedaan jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh yang sama, namun yang membedakan adalah intensitas kandungan senyawa fitokimia yang dihasilkan pada masing-masing ektrak. Secara kualitatif, senyawa fitokimia S. polycystum memiliki intensitas yang kuat pada ekstrak dengan pelarut

etil asetat. Hal ini mengidentifikasikan bahwa senyawa fitokimia dalam S. polycystum cenderung larut dalam larutan semipolar.

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dll). Tetapi kemudian makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Sterol umumnya terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Terdapat dalam tumbuhan rendah, tapi kadang-kadang terdapat juga dalam tumbuhan tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga cokelat (Harborne 1987). Hasil uji steroid dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Hasil uji steroid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat

Uji steroid pada S. polycystum yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan bahwa komponen steroid terdeteksi pada semua jenis pelarut ekstrak kasar S. polycystum dengan intensitas yang cukup kuat. Prekursor dari

pembentukan steroid adalah kolesterol yang bersifat non polar, sehingga n-heksana dan etil asetat dapat mengekstrak senyawa tersebut. Steroid juga

terekstrak pada pelarut metanol yang merupakan pelarut polar yang juga mampu mengekstrak komponen lainnya yang bersifat nonpolar dan semipolar. Hasil penelitian Swantara et al. (2009) menyatakan bahwa senyawa streroid dan ester ditemukan pada ekstrak Sargassum ringgoldianum. Smit (2004) menyatakan komponen seperti sterol dan fenol dapat menjadi bahan antibiotik.

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang umumnya terdapat pada tumbuhan, terikat pada gula sebagai glukosida dan aglikon. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan

mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna (Harborne 1987).

Ektrak S. polycystum pada semua pelarut mengandung senyawa flavonoid dengan intensitas yang berbeda. Tabel 2 menunjukkan ekstrak kasar dari metanol dan n-heksana memiliki kandungan flavonoid yang lebih sedikit dibandingkan dengan etil asetat. Hasil pengujian ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah dan kuning pada lapisan amil alkohol yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hasil uji flavonoid ekstrak kasar (a) metanol, (b) n-heksana dan (c) etil asetat

Intensitas flavonoid pada pelarut metanol menunjukkan bahwa komponen flavonoid yang ada pada ekstrak S. polycystum memiliki kandungan flavonoid yang bersifat polar. Hal ini diduga karena flavonoid tersebut berikatan dengan gula sebagai glikosida, sehingga flavonoid yang bersifat polar dapat larut pada pelarut polar. Flavonoid yang larut pada etil asetat dan n-heksana diduga merupakan aglikon flavonoid yang bersifat kurang polar, sehingga dapat larut dalam kedua pelarut tersebut (Harborne 1987). Kandungan flavonoid jenis ini relatif kecil dalam S. polycystum karena jumlah terlarutnya yang kecil. Hasil uji Prajitno (2006) menunjukkan bahwa rumput laut Halimeda opuntia mengandung senyawa flavonoid yang terdiri dari quercitrin, epigallocathecin, cathecol, hesperidia, miricetin dan morin. Epigallocathecin merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas antioksidan.

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon (kuinon yang kromofor terdiri atas dua gugus karbonil yang

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon), naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna (Harborne 1987). Hasil uji senyawa fenol hidrokuinon pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Hasil uji fenol hidrokuinon ekstrak kasar (a) metanol,(b) n-heksana dan(c) etil asetat

Ekstrak S. polycystum pada masing-masing pelarut mengandung senyawa kuinon dengan intensitas yang lebih kuat pada ekstrak etil asetat dan metanol. Hal ini dapat dikarenakan senyawa kuinon yang terdapat dalam S. polycystum

Dokumen terkait