• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Kolon

Pada umumnya, kanker kolon dapat ditangani dengan pembedahan, dan harus dilakukan terapi non invasif lainnya. Kemoterapi disertakan apabila penyakit tersebut telah menyebar ke nodus limfa dan jaringan lain (Yeatman, 2001). Terapi menggunakan sulindac yang merupakan obat golongan Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) (Waddel and Loughry, 1989) atau inhibitor COX-2 lainnya menunjukan penurunan jumlah polip sebesar 30% dalam enam bulan pemakaian (Steinbach et al, 2000).

Kekurangan dalam terapi NSAID untuk pengobatan kanker antara lain pada penggunaan aspirin dengan dosis relatif yang kecil dapat mengakibatkan efek samping yang serius pada ginjal dan saluran pencernaan (Ranke et al., 1994). Efek samping tersebut meningkat pada pasien dengan usia lanjut. Efek samping yang biasa terjadi adalah dyspepsia, ulkus peptikus, dan perdarahan gastrointestinal (Scheiman, 1996). Pengobatan kanker merupakan pengobatan dalam jangka panjang dan oleh sebab itu, terapi dengan NSAID tidak disarankan dan perlu terus dikembangkan usaha pengembangan obat yang aman dan efektif, salah satunya melalui eksplorasi bahan alam.

Indonesia memiliki kekayaan bahan alam yang beragam, dan beberapa diantaranya telah diketahui memiliki aktivitas antikanker, salah satunya tanaman keladi tikus. Tanaman keladi tikus telah sejak lama digunakan di Malaysia secara oral dalam bentuk juice atau serbuk untuk mengatasi kanker usus, payudara dan hati (Chan, 2005). Kemampuan tanaman keladi tikus dalam menyembuhkan

beberapa kanker seperti kanker payudara dan kanker rahim telah banyak dibuktikan secara ilmiah, namun sampai saat ini pengujian yang memberikan bukti ilmiah mengenai kemampuan tanaman keladi tikus yang dapat menyembuhkan kanker kolon belum banyak dilakukan.

Farida, Wahyudi, Wahono, dan Hanafi (2012) berhasil mengisolasi glikosida flavonoid dari ekstrak etil asetat daun keladi tikus. Senyawa glikosida flavonoid yang didapatkan adalah 6-glucosyl apigenine. Wang et al (2011) dalam penelitiannya membuktikan bahwa apigenin memiliki aktivitas menginduksi apoptosis terhadap sel kanker kolon namun besarnya nilai inhibitory concentration (IC50)tidak disebutkan. Penelitian ini menguji aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr (Colorectal adenocarcinoma cell line).

Sel WiDr dipilih karena memiliki kelebihan yaitu mudah dikulturkan dan memiliki doubling time yang singkat bila dibandingkan dengan kultur sel kanker kolon lainnya. Sel ini juga memiliki platting efficiency yang tinggi (Noguchi et al., 1979) dan mengekspresikan COX-2 dengan jumlah yang tinggi (Palozza et al., 2005).

Uji thiazoyl blue tetrazolium bromide atau uji MTT yang merupakan uji sitotoksisitas yang dilakukan secara in vitro dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui kemampuan antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr. Uji ini dipilih karena memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dari uji sitotoksik lainnya yaitu lactate dehydrogenase (LDH) assay,

berupa data absorbansi yang menggambarkan viabilitas dari sel yang diuji dan kemudian digunakan untuk menentukan inhibitory concentration 50 (IC50), yang merupakan konsentrasi minimal ekstrak daun keladi tikus yang dapat menghambat 50% sel kanker kolon.

Kriteria yang perlu diperhatikan dalam eksplorasi bahan alam tidak hanya potensinya namun juga selektifitasnya. Suatu agen antikanker dikatakan selektif apabila dapat menginduksi apoptosis pada sel target (Cui, Wang, Wang, Zhao, and Peng, 2013) sehingga penelusuran jalur kematian sel perlu dilakukan. Metode yang dilakukan dalam uji apoptosis dalam penelitian ini adalah double staining, yaitu dengan menggunakan dua buah reagen pewarna sel yang memiliki karakteristik pewarnaan yang berbeda (Helberstadt and Emerich, 2007).

Apoptosis dalam suatu sel dapat dihambat oleh beberapa faktor antara lain mutasi yang berakibat ketidaknormalan jalur pengaturan apoptosis dan keberadaan protein tertentu yang juga menghambat terjadinya apoptosis, menyebabkan sel berproliferasi secara terus-menerus. Penghambatan apoptosis yang terjadi pada kanker kolon diperantarai oleh COX-2 yang banyak terkandung pada kanker kolon. COX-2 yang berlebih meningkatkan prostaglandin (PGE -2) yang dapat memicu ekspresi BCl -2 antiapoptosis (Damstrup et al., 1999). COX-2 dalam kanker kolon dapat dijadikan sebagai target terapi antikanker. Jika COX-2 dihambat, maka sel kanker kehilangan kemampuannya untuk terhindar dari apoptosis dan mengalami kematian. Uji imunositokimia dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak etil asetat daun keladi tikus dalam menghambat ekspresi protein COX-2.

Doksorubisin merupakan agen kemoterapi yang telah banyak dipakai dalam pengobatan berbagai jenis kanker. Bersifat sitostatik dan menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon melalui fosoforilasi p53, induksi p21, penghambatan siklus sel pada fase Gap-2 (G2) dan meningkatkan ekspresi protein proapoptosis yaitu BCl -2 associated X Protein (BAX) (Lupertz, Watjen, Kahl, and Chovolou, 2010). Hal tersebut mendasari pemilihan doksorubisin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk menguji ekstrak etil asetat daun keladi tikus secara in vitro menggunakan metode uji sitotoksik MTT assay, yang diperkuat oleh uji apoptosis double staining dan uji

immunocytochemistry (ICC) serta membandingkan kemampuannya dengan doksorubisin.

1. Perumusan masalah

a. Berapa IC50 ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr?

b. Apakah ekstrak etil asetat daun keladi tikus menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon WiDr?

c. Apakah aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus diperantarai oleh penghambatan ekspresi COX-2?

2. Keaslian penelitian

Penelitian terkait daun keladi tikus :

1.Muhammad Da’i (2007) melaporkan bahwa terdapat aktivitas sitotoksik pada ekstrak etanolik, etil asetat dan kloroform tanaman keladi tikus terhadap sel kanker HeLa.

2.Penelitian yang dilakukan Choo, Chan, Sam, Hitotsunayagi, dan Takeya (2001) melaporkan bahwa ekstrak kloroform batang dan daun tanaman keladi tikus menunjukan adanya daya sitotoksisitas dengan IC50 sebesar 15g/mL pada sel kanker leukemia P388.

3.Aksi farmakologis dari keladi tikus telah diteliti oleh Zhong et al (2001). Semua ekstrak air, alkohol dan ekstrak ester keladi tikus memiliki efek meredakan batuk, menghilangkan dahak, anti asma, analgesia, anti peradangan dan obat penenang. Toleransi maksimum untuk toksisitas akut adalah 720 g/kg (ekstrak etil asetat), 900 g/kg (ekstrak alkohol), dan 3.240 g/kg (ekstrak ester).

Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai uji aktivitas sitotoksik ekstrak etil asetat dari tanaman ini terhadap sel kanker kolon WiDr belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para peneliti khususnya dalam bidang penemuan dan pengembangan obat kanker tentang potensi daun keladi tikus sebagai salah satu bahan alam yang berpotensi sebagai pengobatan alternatif kanker kolon.

b. Manfaat praktis

Memberikan bukti ilmiah mengenai kemampuan antikanker daun keladi tikus berupa nilai IC50, kemampuan menginduksi apoptosis dan kemampuan menghambat COX-2.

B. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui nilai IC50, kemampuan induksi apoptosis dan penghambatan enzim siklooksigenase-2 (COX-2) ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Kolon 1. Definisi dan karsinogenesis kanker kolon

Kanker kolon adalah suatu kanker yang timbul pada sel epitel usus besar dan rektum dan disebabkan oleh terjadinya mutasi genetik kumulatif yang merubah proses dalam sel yang secara normal membatasi pembelahan yang berlebihan, migrasi, dan diferensiasi yang berakibat terjadinya proliferasi, invasi dan metastatis suatu sel. Ketidakstabilan genetis terus terjadi dan menyebabkan perubahan yang lebih lanjut, dan mempengaruhi sensitivitas terhadap terapi pada tumor yang ganas (Steinberg, 2012).

Perkembangan suatu sel menjadi sel tumor yang ganas merupakan proses yang memilliki tahapan dari mukosa normal menjadi adenoma dan pada akhirnya menjadi adenoma invasif. Perkembangan malignan pada kolon dapat diketahui dengan mempelajari sekuen adenoma-karsinoma. Sebagian besar karsinoma berkembang dari suatu lesi polip pre-neoplastik adenomatous, kemudian terakumulasi dan terjadi perubahan di dalam sel epitel usus (Brown, 2007).

Perubahan genetik yang paling sering terjadi dalam karsinogenesis kanker kolon adalah mutasi Adenomatous Polyposis Coli (APC), Kirsten rat sarcoma (K-Ras), small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (SMAD4), tumor protein p53 (TP53) dan gen mismatch repair (MMR) yaitu Mutl Homolog 1

2. Jalur Adenomatus Polyposis Coli (APC)/-catenin

APC adalah suatu komponen pembentuk sinyal jalur Drosophila melanogaster wingless gene (WNT). Sinyal ini memiliki fungsi untuk mengkode sebuah protein yang mengikat berkas mikrotubulus, meningkatkan migrasi dan perlekatan sel, dan mengatur kadar β-katenin, suatu mediator penting pada jalur sinyal Drosophila melanogaster wingless gene (WNT)/β-katenin. Pembentukan sinyal WNT diperlukan bagi sel-sel induk hematopoietik untuk memperbarui diri.

WNT memberi sinyal melalui suatu famili reseptor permukaan sel yang disebut

frizzled (FRZ), dan merangsang beberapa jalur dengan salah satu jalur sentral yang melibatkan β-katenin dan APC (Markowitz and Bertagnolii, 2009).

Mutasi APC ditemukan pada 80% adenoma dan karsinoma dan terjadi di awal rantai urutan karsinogenesis. Mutasi pada protein APC mengakibatkan terjadinya pemotongan protein APC sehingga kemampuannya berubah dan tidak lagi dapat mendegradasi β-catenin, sehingga terjadi penumpukan β-catenin

didalam sitoplasma dan nukleus yang mengakibatkan terjadinya WNT signaling pathway secara terus menerus. Inaktifasi APC merupakan jalur utama terbentuknya adenoma (Arends, 2013).

β-katenin membentuk suatu kompleks dengan T cell transcription factor

(TCF), yang merupakan faktor transkripsi di dalam nukleus yang mengakibatkan peningkatkan proliferasi sel dengan meningkatkan transkripsi cellular myc ( c-MYC), SIKLIN D1, dan gen lain yang menyebabkan proliferasi pada sel (Markowitz and Bertagnolli, 2009).

3. Mutasi Kirtsten rat sarcoma (K-RAS)

Mutasi yang mengaktivasi kirtsten rat sarcoma (K-Ras) ditemukan pada 40% sampai 45% adenoma dan karsinoma kanker kolon dan diduga muncul pada tahapan awal pembentukan adenoma. Mutasi biasanya terjadi pada protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras) pada posisi kodon nomor 12, 13 dan 61 dan beberapa bagian lain. Protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras) yang mengalami mutasi memiliki substitusi asam amino yang asli dengan asam amino yang lain yang berpengaruh pada fungsi enzimatik protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras), yaitu mengurangi atau mencegah pemotongan enzimatik pada ujung gugus fosfat pada guanosin trifosfat (GTP), yang secara normal dapat dikonversikan menjadi guanosin difosfat (GDP) yang merupakan bentuk inaktif.

Gen kirtsten rat sarcoma (K-Ras) mengalami mutasi akan membentuk protein K-Ras mutan yang teraktivasi secara permanen meskipun tanpa adanya ikatan antara faktor pertumbuhan dengan reseptor di permukaan membran.

Kirtsten rat sarcoma (K-Ras) mutan menimbulkan pertumbuhan dan penyebaran tumor yang terus menerus dan tak terkontrol (Sriwidyani, 2013).

4. Gen Small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (Smad4) dan Tumor Supressor Gene 53 (TP 53)

Gen Small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (Smad4) mengalami inaktivasi pada 60% sel kanker oleh adanya mutasi atau delesi dalam jumlah banyak pada kromosom 18q tempat gen SMAD4 berada. Smad4 berperan dalam transduksi sinyal pada jalur penghambatan beta-tumor necrosis factor (TNF-),

sehingga dengan adanya ketidakmampuan SMAD4 dalam jalur penghambatan tersebut, sel tumor dapat terus tumbuh (Arends, 2013).

Tumor suppressor gene TP53 mengode protein p53 yang merespon pada kerusakan DNA dengan upregulation inhibitor Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor (CDK) p21 yang memperbaiki kerusakan DNA atau dengan

upregulation BCl -2 associated X Protein (BAX) dan juga protein apoptosis lain yang menginduksi kematian sel melalui jalur apoptosis. Mutasi yang menginaktivasi fungsi protein p53 ditemukan pada lebih dari 60% kanker kolon dan mutasi ini sering mengakibatkan terjadinya fase akhir yaitu terbentuknya karsinoma (Arends, 2013). Tahapan karsinogenesis pada kanker kolon secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1.Tahapan Karsinogenesis pada Kanker Kolon (Arends, 2013).

Dokumen terkait