• Tidak ada hasil yang ditemukan

= (5) Hasil pengukuran biaya transaksi total akan digunakan untuk mengukur propors

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Koperas

3.2 Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperas

3.2.1 Kapasitas Akses Petan

Pengelolaan hutan rakyat membutuhkan iklim usaha yang mampu mendukung seluruh proses pengelolaan (enabling condition). Sebuah relasi diantara kelompok masyarakat, institusi, atau organisasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan sosial (social power), yang mana bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak (Clegg 1989; Lukes 1974; Wrong 1979). Proses penjualan kayu oleh petani harus dilakukan melalui relasi kepada aktor yang memiliki kapasitas dalam pemasaran kayu. Kondisi yang dihadapi oleh petani hutan rakyat pada umumnya adalah keterbatasan dalam hal informasi harga, suplai dan demand dari pasar kayu, serta pengetahuan dalam konteks sistem penjualan kayu (penaksiran dan satuan penjualan kayu). Keterbatasan tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketidakjelasan tingkat harga penawaran yang dilakukan tengkulak. Tabel 3.5 memperlihatkan bagaimana penguasaan masing- masing aktor dalam pengelolaan hutan rakyat pada konteks pasar kayu.

Tabel 3.5 Kapasitas akses para aktor pada pengelolaan hutan rakyat.

Unsur Petani Koperasi Tengkulak

Teknologi + + +

Tenaga Kerja + + +

Pengetahuan/informasi - + +

Permodalan - + +

Sumberdaya kayu + - -

Ket: (-) lemah; (+) kuat

Petani pada dasarnya memiliki kelemahan yang mendasar dalam hal permodalan dan pengetahuan/informasi. Kemampuan petani untuk memperoleh tenaga kerja dan teknologi dalam rangka penebangan kayu sangat besar, namun tidak dapat memanfaatkan karena lemahnya permodalan. Relasi yang dapat dibangun oleh petani dalam rangka mengusahakan hutan rakyat dapat dilakukan bersama koperasi dan tengkulak. Kedua pihak tersebut secara umum memiliki kekuatan akses yang memadai dibandingkan akses yang dimiliki petani. Fakta tersebut dapat bermakna bahwa sumberdaya hutan kayu yang dimiliki petani akan memiliki nilai manfaat yang lebih besar bila mempunyai akses yang kuat dalam pemanenan dan pemasaran. Terdapatnya kadar pengetahuan informasi yang berbeda-beda akan membentuk sebuah pola relasi kekuasaan (power) dalam sebuah skema transaksi (Williamson 1985). Kehadiran koperasi mampu memberikan tambahan akses yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Tambahan

23

akses memiliki makna bahwa koperasi mampu memberikan penguatan terhadap akses yang sebelumnya tidak dimiliki petani. Akses tersebut mencerminkan upaya petani untuk memaksimalkan nilai lahan dan kayu. Pemanfaatan akses pengelolaan sumberdaya tersebut merupakan suatu bundle of power milik petani (Ribot dan Peluso 2003; Nurrochmat et al. 2014; Maryudi et al. 2015).

Tabel 3.6 Karakteristik akses petani sebelum dan setelah menjadi anggota koperasi.

Jenis Akses Deskripsi KWLM KWML

Sebelum Setelah Sebelum Setelah

Teknologi Kemampuan petani dalam mencari dan menggunakan alat dalam proses pema- nenan (chainsaw dan truk angkutan).

+ + + ++

Tenaga Kerja Kemampuan petani untuk mencari tenaga kerja dalam proses pemanenan (pene- bangan, bucking, penyarad- an, hingga pengangkutan).

+ ++ + +

Pengetahuan

/Informasi Sumber pengetahuan/infor-masi pengelolaan hutan rakyat, terdiri dari:

1. Teknis pengelolaan hu- tan: Metode penaksiran potensi, standar kualitas kayu (grading/ bucking) dan tata usaha kayu (TUK).

2. Pasar (dinamika suplai/ demand dan harga)

- + - +

Permodalan Akses dalam mendapatkan

dukungan ekonomi. + ++ + + Keterangan: (+) ada; (-) tidak ada; (++) bertambah.

Akses yang dibutuhkan oleh petani bukan merupakan suatu bentuk kepemilikan atas barang/jasa, namun lebih dalam konteks hak pemanfaatan suatu barang/jasa (Ginger et al 2012). Keputusan petani untuk bergabung ke dalam koperasi sangat ditentukan oleh preferensi terhadap manfaat dan kerugian yang dapat diperoleh. Tingginya intensitas kegiatan produksi kayu mencerminkan kekuatan akses yang dimiliki oleh koperasi. Maka secara tidak langsung hal tersebut menciptakan enabling conditiondalam rangka peningkatan kapasitas dan kemampuan petani dalam pengelolaan hutan rakyat. Kehadiran koperasi mampu memberikan tambahan terhadap akses yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Tambahan akses dalam hal ini memiliki makna bahwa koperasi mampu memberikan penguatan terhadap akses yang pada dasarnya telah dimiliki petani sebelum berdirinya koperasi, selain itu juga mampu memberikan akses yang tidak dimiliki petani (Tabel 3.6).

24

Petani hutan rakyat di Kulon Progo dan Gunung Kidul pada dasarnya telah memiliki akses untuk memperoleh teknologi, tenaga kerja, tujuan pemasaran kayu, dan permodalan (peminjaman uang) meskipun tanpa koperasi. Kehadiran koperasi secara signifikan mampu memberikan akses untuk sumber pengetahuan dan informasi. Kehadiran koperasi yang mampu memberikan akses kepada petani sangat dipengaruhi oleh performa produksi koperasi. Koperasi Wana Lestari Menoreh secara umum mampu memberikan tambahan dan menciptakan akses bagi petani kepada sumber-sumber faktor produksi, yang mana belum dapat dilakukan oleh koperasi Wana Manunggal Lestari. Tidak berjalannya produksi koperasi Wana Manunggal Lestari berimplikasi pada pilihan tujuan penjualan kayu oleh petani. Pilihan kerja sama petani dalam penjualan kayu hanya bertumpu pada tengkulak.

Akses terhadap teknologi

Karakteristik pola tanam biasanya hanya berada pada pekarangan sekitar rumah, hal tersebut dirasa tidak memerlukan teknologi yang canggih. Petani anggota jarang yang memiliki alat canggih dalam hal penanaman. Namun untuk proses penebangan dan pemotongan kayu, petani pada umumnya menggunakan alat yang disediakan koperasi atau tengkulak. Petani yang memilih untuk menjadi anggota koperasi akan memiliki alternatif tambahan dalam menggunakan teknologi.

Bagi petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh, manfaat akses terhadap teknologi sebelum dan setelah koperasi berdiri hanya dibedakan pada bertambahnya pilihan yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Tidak ada perbedaan signifikan karena pembiayaan atas penggunaan teknologi tetap menjadi beban petani. Beban biaya penggunaan teknologi akan dikurangi pada harga yang disepakati. Perbedaannya terletak pada akuntabilitas dan transparansi penentuan biaya. Koperasi memberikan rincian biaya produksi kepada petani bersamaan dengan perencanaan pemanenan sedangkan perencanaan tidak dilakukan oleh tengkulak. Meskipun koperasi memiliki sawmill, namun status kepemilikan sawmilltersebut tidak berada di bawah koperasi. Kondisi itu menjadi kendala bagi petani anggota koperasi karena relasi antara pemilik sawmill dan koperasi adalah relasi bisnis.

Sawmillyang dimiliki oleh koperasi Wana Lestari Menoreh diorganisasikan oleh PT. Poros Nusantara Utama (PNU) Yogyakarta. PT. PNU merupakan hasil dari konsorsium antara beberapa pihak, antara lain yayasan Telapak (30%), KWLM (65%), dan Yabima (5%). Hasil dari pertemuan community logging (comlog) pada tahun 2013 menyarankan bahwa PT. PNU harus terpisah dengan koperasi. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa perkembangan koperasi masih sangat dipengaruhi oleh pihak luar, dalam hal ini lembaga induk koperasi. Sesuai dengan desain awal pendirian koperasi yang mana diinisiasikan oleh yayasan Telapak dalam rangka mengikuti program sertifikasi FSC.

Kondisi yang berbeda dialami oleh petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari yang telah memilikisawmillatas nama koperasi (Gambar 3.5). Meskipun dalam prakteknya petani anggota belum melakukan transaksi dengan optimal dengan koperasi, namun kehadiran koperasi yang mampu membangun

25

sawmill merupakan manfaat yang sangat signifikan dalam konteks kemudahan akses pemanfaatannya.

Gambar 3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh.

Kehadiran sawmill ini merupakan manfaat dari adanya bantuan dari pemerintah Jepang dalam membangun koperasi pada tahun 2013. Bantuan dana hibah tersebut merupakan bagian dari program Fasilitasi Pengembangan Usaha Pengolahan Kayu Rakyat Bersertifikat Eco Label di Kabupaten Gunungkidul. Program ini merupakan proyek bantuan hibah grassroots senilai USD 89,821 yang diberikan Pemerintah Jepang kepada Perhimpunan SHOREA. Proyek tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Jepang dan Perhimpunan SHOREA pada bulan Maret 2013. Pada proyek ini, dilaksanakan pembangunan sebuah bengkel kerja pengolahan kayu dan penyediaan mesin gergaji serta pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang kehutanan dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setempat, khususnya petani anggota koperasi.

26

Fakta bahwa koperasi Wana Manunggal Lestari mampu membangun sawmillmilik koperasi tidak dapat dipandang sebagai keunggulan koperasi dalam membangun relasi. Latar belakang desain pembangunan koperasi menjadi poin penting dalam menilai peforma koperasi. Pembangunan sawmill yang dimiliki koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan hasil dari bangunan relasi lembaga pendamping dengan jaringan pendanaan. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh ketua koperasi.

“Bantuan pembangunan koperasi sepenuhnya dilakukan oleh lembaga pendamping. Termasuk saat pengerjaan konstruksinya, kami (pengurus dan anggota) hanya terima jadi.”

Sawmill yang dimiliki koperasi memberikan kemudahan bagi petani anggota dalam mengolah kayu.Sawmillmilik koperasi tidak memiliki aturan yang rumit bagi petani anggota. Sawmill pada umumnya mengharuskan petani untuk menggunakansawmilldengan jumlah tertentu. Selain itu petani terkendala dengan sistem antrian yang lebih mendahulukan pengusaha besar pada sawmill umum. Setelah koperasi memiliki lokasi dan fasilitas yang memadai kemudian koperasi mampu membangun relasi dengan investor untuk membangun sawmill menggunakan sistem bagi hasil.

“Meskipun harganya sama, tapi kalau di koperasi jumlah yang bisa di gesek(diolah) bebas danngantrinyatidak lama.”

(AR, anggota koperasi) “Koperasi berhasil membawa investor untuk membangun gesekan (sawmill). Ada bantuan dari pemerintah Jepang melalui lembaga Shorea (pendamping). Alhamdulillah gesekan ini sangat membantu petanianggota karena bisa dianggap ini juga milik anggota.”

(Ketua koperasi) Akses terhadap tenaga kerja

Pengaruh kehadiran koperasi terhadap ketersediaan akses petani kepada sumber tenaga kerja secara umum tidak terlalu signifikan. Namun manfaat adanya koperasi, selain dari munculnya alternatif pilihan, adalah tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Kualitas tenaga kerja dalam konteks ini adalah kemampuan dalam melakukan proses pemanenan sesuai dengan metode yang tepat. Kendala yang dihadapi petani anggota sebelum adanya koperasi adalah proses pemanenan yang kurang efisien karena tidak menggunakan sistem penebangan dan pembagian batang (bucking) secara tepat.

Namun ketersediaan tenaga kerja dari koperasi tersebut pada dasarnya memiliki beban yang sama dengan tenaga kerja dari tengkulak. Beban tersebut berupa biaya produksi yang pada akhirnya akan dibebankan pada petani melalui harga penjualan. Meskipun demikian, apabila petani menggunakan tenaga kerja dari koperasi maka besaran biaya tersebut dihitung dan disepakati secara transparan. Proses tersebut merupakan bagian dari tujuan koperasi dalam memberikan pengetahuan bagi anggotanya. Besaran biaya tenaga kerja yang

27

ditawarkan oleh tengkulak pada umumnya sudah termasuk di dalam harga penawaran.

Perhitungan biaya tenaga kerja yang tidak transparan tersebut mem- pengaruhi keuntungan yang diterima petani pada masa sebelum koperasi berdiri. Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki akses penggunaan tenaga kerja yang lebih mapan (established) dibandingkan petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari. Kondisi tersebut merupakan dampak dari tidak optimalnya aktivitas produksi kayu koperasi Wana Manunggal Lestari. Pembiayaan tenaga kerja yang ditanggung oleh petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh akan memperoleh kompensasi dari adanya premium price. Sedangkan bagi anggota koperasi wana manunggal lestari, kompensasi tersebut belum muncul.

Akses terhadap pengetahuan dan informasi

Manfaat yang dirasakan paling signifikan adalah adanya akses pengetahuan dan informasi (Nurrochmat et al. 2013). Kehadiran koperasi dirasakan oleh petani mampu menambah akses dalam mencari pengetahuan dan informasi. Pengetahuan yang diberikan koperasi kepada petani terkait pada metode penaksiran potensi pohon dan standar kualitas kayu. Sebelum mengenal metode yang tepat dalam penaksiran potensi, petani menghadapi kendala dalam melakukan transaksi penjualan kayu. Tengkulak melakukan penaksiran dengan metode perkiraan tanpa ada pengukuran secara nyata dan petani dipaksa untuk menerima harga penawaran dari tengkulak tanpa ada kejelasan mengenai potensi kayu yang akan ditebang. Metode tersebut dirasakan sangat merugikan petani karena mempengaruhi jumlah keuntungan yang diterima. Selain metode penaksiran, petani juga telah mampu memperoleh pengetahuan dalam rangka memaksimalkan nilai jual melalui pengetahuan dalam halbucking(pembagian batang) dangrading(standar kualitas kayu). Pengetahuan penaksiran potensi, bucking dan grading akan membantu petani dalam memperkirakan nilai keuntungan yang akan diterima. Pengetahuan teknis budidaya dan informasi dinamika pasar kayu akan diberikan oleh koperasi secara aktual kepada petani. Relasi yang terbangun antara koperasi dan industri kayu, baik pasar bersertifikat maupun non-sertifikat, mampu memberikan pilihan kepada petani untuk menjual kayu. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi petani untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan. Meskipun koperasi memiliki aturan yang melarang anggotanya menjual kayu kepada pihak lain, namun kondisi karakteristik kebutuhan rumah tangga petani (subsisten) yang memaksa untuk melonggarkan aturan tersebut. Pilihan tersebut menyebabkan petani untuk membuat sebuah rencana bisnis. Penjualan kayu kepada tengkulak dapat dilakukan apabila terjadi momen kebutuhan yang mendesak, sedangkan penjualan kepada koperasi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang dapat direncanakan. Fakta tersebut menggambarkan bahwa premium price merupakan faktor utama yang mempengaruhi petani untuk menjual kayu kepada koperasi.

Mudahnya petani untuk mengakses pengetahuan/informasi dan pilihan pasar mampu memberikan iklim pengusahaan hutan rakyat yang relatif sehat (Tabel 3.7). Iklim pengusahaan yang sehat tersebut mencatat bahwa terdapat penyesuaian oleh tengkulak terhadap tingkat harga penawaran. Harga penawaran yang dilakukan tengkulak sebelum hadirnya koperasi menggunakan sistem penaksiran per pohon, yang berkisar Rp 800,000 – Rp 1,000,000/pohon.

28

Penaksiran tersebut hanya dilakukan berdasarkan besar atau kecilnya pohon. Setelah petani memiliki kemampuan untuk mengukur dan menilai potensi pohon, maka penaksiran yang dilakukan tengkulak saat ini juga dengan menggunakan pengukuran fisik. Harga pasar juga menjadi patokan dalam negosiasi transaksi penjualan pohon dengan menggunakan harga per meter kubik.

Tabel 3.7 Dampak meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan hutan rakyat kepada iklim usaha.

Perubahan Sebelum Setelah Dampak Sistem penaksiran potensi Perkiraan subyekif dari tengkulak. Menimbulkan ketidaksesuaian antara keuntungan dan potensi kayu.

Petani mampu me- naksir potensi pohon sebelum dilakukan proses negosiasi. Tengkulak melakukan pengukuran potensi tebangan dengan metode yang sesuai. Sistem

penjualan kayu

Tengkulak melaku- kan penawaran harga dengan satuan per pohon atau per kebun.

Petani mampu mela- kukan negosiasi untuk melakukan transaksi berdasarkan harga per kubik dan kualitas log.

Keuntungan petani diperoleh sesuai ku- bikasi dan kualitas kayu yang dimiliki- nya. Perhitungan harga kini berda- sarkan kelas mutu kayu (grading) Tingkat

harga penawaran

Penawaran dilakukan atas dasar perhi- tungan tengkulak yang tidak diketahui petani. Menciptakan gap antara harga penawaran dan harga pasar.

Petani mampu mela- kukan negosiasi harga karena memi- liki patokan terhadap harga pada setiap kualitas kayu. Meminimalisir gap harga penawaran Harga yang ditawarkan oleh tengkulak mendekati harga pasar. Sebelum ada koperasi harga < Rp 900rb/m3dan

setelah ada koperasi + 1.8 Juta/m3

Akses terhadap permodalan

Salah satu alasan petani bergabung menjadi anggota koperasi adalah faktor ekonomi. Petani memiliki harapan yang tinggi bahwa koperasi mampu memberikan alternatif solusi dalam permasalahan finansial. Petani menyadari bahwa relasi antara petani dan rentenir merupakan solusi yang memiliki resiko tinggi. Resiko yang dihadapi petani adalah tingginya bunga pinjaman meskipun sistem pencairan uang pinjaman sangat mudah. Petani berharap bahwa dengan adanya koperasi, maka resiko tersebut dapat ditekan.

Koperasi Wana Lestari Menoreh dan koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas peminjaman uang bagi para anggotanya. Namun diantara kedua koperasi tersebut terdapat perbedaan yang mendasar dalam mekanisme organisasinya. Koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki relasi dengan koperasi simpan pinjam CUKATA. Syarat utama untuk dapat melakukan peminjaman adalah harus menjadi anggota CUKATA. Maka dari itu koperasi memiliki aturan yang menyatakan bahwa anggota koperasi Wana Lestari Menoreh juga merupakan

29

anggota CUKATA. Peminjaman yang dilakukan anggota koperasi dibebankan bunga rendah (5%) sesuai dengan aturan yang berlaku.

Namun kondisi tersebut justru menimbulkan permasalahan yang kompleks. Permasalahan muncul saat konteks ketersediaan dan kepemilikan anggaran uang pinjaman. Perbedaan aset antara koperasi CUKATA dan koperasi Wana Manunggal Lestari menimbulkan perdebatan terkait jaminan (agunan) yang digunakan untuk melakukan peminjaman. Kondisi yang kini terjadi adalah besarnya hutang koperasi wana lestari menoreh kepada koperasi cukata, yang pada akhirnya terjadi kredit macet. CUKATA kemudian melakukan penyesuaian terhadap persyaratan peminjaman. Dampak dari penyesuaian tersebut membuat petani tidak lagi dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Kondisi yang kurang kondusif juga terjadi karena keterbatasan koperasi Wana Lestari Menoreh dalam penyediaan uang kas yang dapat di pinjam oleh anggota.

Koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki fasilitas simpan pinjam yang langsung dikelola koperasi (tidak terpisah). Sistem yang digunakan merupakan adaptasi dari sistem tengkulak pada umumnya, yaituijon. Petani anggota koperasi dapat menggunakan pohon sebagai agunan. Besaran pinjaman disesuaikan dengan potensi pohon agunan dan lamanya pinjaman tersebut. Namun berbeda dengan kondisi koperasi menoreh yang terkendala dengan berbedanya lembaga pinjaman, kendala yang dihadapi koperasi Wana Manunggal Lestari terletak pada gagal produksinya kayu bersertifikat. Dampak dari tidak bersedianya koperasi untuk melakukan produksi kayu non sertifikat menyebabkan status koperasi menjadi idle. Status koperasi yang tidak berjalan berimplikasi pada tidak tersedianya uang kas yang siap digunakan (ready stock).

Dokumen terkait