• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Sertifikasi Bagi Petani Hutan Rakyat Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Sertifikasi Bagi Petani Hutan Rakyat Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SERTIFIKASI BAGI PETANI HUTAN RAKYAT

DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HANDYAN ATYANTO PUTRO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(3)

RINGKASAN

HANDYAN ATYANTO PUTRO. Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh SUDARSONO SOEDOMO dan IIN ICHWANDI.

Sertifikasi hutan berupaya untuk memastikan bahwa produksi kayu dilakukan secara legal dan memenuhi asas kelestarian. Sertifikasi juga diterapkan pada hutan milik (hutan rakyat). Sertifikasi hutan rakyat menyaratkan untuk membentuk kelompok/koperasi. Kondisi tersebut menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu untuk melihat manfaat akses, korbanan biaya transaksi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam skema sertifikasi hutan.

Penelitian ini dilaksanakan di Koperasi Wana Lestari Menoreh Kabupaten Kulon Progo dan Wana Manunggal Lestari Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan focus group discussion. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kualitatif. Hasil studi menunjukkan bahwa keberadaan koperasi memberikan beban biaya transaksi, namun koperasi juga mampu meningkatkan kapasitas akses bisnis petani. Keputusan petani dalam bisnis hutan rakyat dipengaruhi oleh momen kebutuhan rumah tangga. Koperasi dipandang sebagai bentuk asuransi terhadap nilai kayu karena ada harapan terhadap harga premium.

(4)

SUMMARY

HANDYAN ATYANTO PUTRO. The Role of Private Forest Certification for Farmers in Yogyakarta Province. Under Supervisions of SUDARSONO SOEDOMO and IIN ICHWANDI.

Forest certification goal is to ensure legal logging in order to fulfil the principle of sustainabilities. Certification is also applied to private forests (small scale forestry). Forest certification scheme requires a farmers group / cooperatives. Based on these condition, the objectives of this study are to understand the influence of forest certification schemes to benefits of access, the impact on transaction costs, and the factors that affect farmers’ decision-making.

This study was conducted in Wana Menoreh Lestari and Wana Manunggal Lestari Cooperative. The Data collected by interviews and focus group discussions. The data was analyzed descriptively and qualitatively. The study results showed that the presence of cooperatives provide higher transaction costs. However, the cooperative is able to increase the farmers' bussiness access capacity. Farmers’ business decisions is strongly influenced by the needs. Cooperative seen as a form of insurance against the value of the timber by the farmers, because there is hope for a premium price.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(6)

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERAN SERTIFIKASI BAGI PETANI HUTAN RAKYAT

DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HANDYAN ATYANTO PUTRO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini mampu terselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah sertifikasi kayu pada hutan rakyat, dengan judul Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tempat pelaksanaan penelitian ini pada Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul.

Seluruh kegiatan penelitian berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F selaku pembimbing, Bapak Sugeng (Ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari), dan Bapak Windratmo (Ketua Koperasi Wana Lestari Menoreh), dan pihak lain yang telah membantu. Ungkapan terima kasih disampaikan atas bimbingan, baik secara substansial penelitian maupun mentalitas. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pelaku dan pemerhati sertifikasi hutan secara khusus, dan aktivis hutan rakyat secara umum.

Semoga bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 6

2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 6

2.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data 8

2.3.1 Analisis kapasitas akses petani 10 14

2.3.2 Analisis biaya transaksi 12 15

3. PEMBAHASAN 15

3.1 Karakteristik Koperasi 15

3.1.1 Koperasi Wana Lestari menoreh 16

3.1.2 Koperasi Wana Manunggal Lestari 19

3.2 Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi 21

3.2.1 Kapasitas Akses Petani 22

3.2.1 Biaya Transaksi 29

3.3 Pengambilan Keputusan 33

3.3.1 Keputusan Bergabung Menjadi Anggota Koperasi 34 3.3.2 Keputusan dalam Kerja Sama Penjualan Kayu 36

4. SIMPULAN DAN SARAN 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 42

RIWAYAT HIDUP 48

DAFTAR TABEL

2.1 Deskripsi data analisis akses dan metode pengumpulannya 7

2.2 Deskripsi data analisis biaya transaksi 8

2.3 Pendekatan teori, tujuan analisis penelitian, dan metodologi penelitian 9 2.4 Matrikulasi analisis kapasitas akses petani anggota 12 3.1 Perbandingan kondisi manajemen di dua koperasi 15

3.2 Daftar desa anggota KWLM 18

3.3 Jatah tebangan tahunan (JTT) dan realisasi produksi kayu

bersertifikat tahun 2013 18

3.4 Jumlah anggota berdasarkan wilayah pengelolaan masing-masing

(12)

3.5 Kapasitas akses para aktor pada pengelolaan hutan rakyat 22 3.6 Karakteristik akses petani sebelum dan setelah menjadi anggota koperasi 23 3.7 Implikasi meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan

hutan rakyat kepada iklim usaha 28

3.8 Proporsi biaya transaksi petani dalam bekerja sama dengan koperasi 30 3.9 Proporsi biaya transaksi petani dalam bekerja sama dengan tengkulak 30 3.10 Biaya sertifikasi FSC oleh koperasi Wana Lestari Menoreh 31 3.11 Sumber pembiayaan sertifikasi koperasi Wana Lestari Menoreh 32 3.12 Rincian biaya sertifikasi koperasi Wana Manunggal Lestari 32 3.13 Pengaruh biaya transaksi terhadap keuntungan petani 33 3.14 Pertimbangan petani dalam mengambil keputusan 34

DAFTAR GAMBAR

1.1 Permasalahan petani dalam skema sertifikasi hutan rakyat 3 1.2 Implikasi pilihan kerjasama penjualan kayu oleh petani. 5

2.1 Tahapan analisis data 10

2.2 Struktur analisis biaya transaksi 13

3.1 Sketsa wilayah penelitian 16

3.2 Peta wilayah pengelolaan KWLM dan lokasi sebaran anggota

serta kondisi tutupan lahan 17

3.3 Peta wilayah pengelolaan KWML 19

3.4 Pola pengambilan keputusan pilihan kerjasama oleh

petani anggota 21

3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh 25

3.6 Sawmill koperasi Wana Manunggal Lestari 25

3.7 Kurva utilitas petani dalam bergabung dengan koperasi 35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Lestari

Menoreh dalam berkoperasi 42

2 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Manunggal

Lestari dalam berkoperasi 42

3 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Lestari

Menoreh dalam bekerja sama dengan tengkulak 43 4 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Manunggal

Lestari dalam bekerja sama dengan tengkulak 43 5 Keuntungan riil petani apabila bekerja sama dengan Koperasi Wana

Lestari Menoreh 44

6 Dampak pencairan hasil penjualan kayu terhadap keuntungan

riil petani anggota KWLM 44

7 Keuntungan riil petani apabila bekerja sama dengan

Koperasi Wana Manunggal Lestari 44

8 Dampak pencairan hasil penjualan kayu terhadap keuntungan

(13)
(14)
(15)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(16)

RINGKASAN

HANDYAN ATYANTO PUTRO. Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh SUDARSONO SOEDOMO dan IIN ICHWANDI.

Sertifikasi hutan berupaya untuk memastikan bahwa produksi kayu dilakukan secara legal dan memenuhi asas kelestarian. Sertifikasi juga diterapkan pada hutan milik (hutan rakyat). Sertifikasi hutan rakyat menyaratkan untuk membentuk kelompok/koperasi. Kondisi tersebut menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini, yaitu untuk melihat manfaat akses, korbanan biaya transaksi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam skema sertifikasi hutan.

Penelitian ini dilaksanakan di Koperasi Wana Lestari Menoreh Kabupaten Kulon Progo dan Wana Manunggal Lestari Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan focus group discussion. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kualitatif. Hasil studi menunjukkan bahwa keberadaan koperasi memberikan beban biaya transaksi, namun koperasi juga mampu meningkatkan kapasitas akses bisnis petani. Keputusan petani dalam bisnis hutan rakyat dipengaruhi oleh momen kebutuhan rumah tangga. Koperasi dipandang sebagai bentuk asuransi terhadap nilai kayu karena ada harapan terhadap harga premium.

(17)

SUMMARY

HANDYAN ATYANTO PUTRO. The Role of Private Forest Certification for Farmers in Yogyakarta Province. Under Supervisions of SUDARSONO SOEDOMO and IIN ICHWANDI.

Forest certification goal is to ensure legal logging in order to fulfil the principle of sustainabilities. Certification is also applied to private forests (small scale forestry). Forest certification scheme requires a farmers group / cooperatives. Based on these condition, the objectives of this study are to understand the influence of forest certification schemes to benefits of access, the impact on transaction costs, and the factors that affect farmers’ decision-making.

This study was conducted in Wana Menoreh Lestari and Wana Manunggal Lestari Cooperative. The Data collected by interviews and focus group discussions. The data was analyzed descriptively and qualitatively. The study results showed that the presence of cooperatives provide higher transaction costs. However, the cooperative is able to increase the farmers' bussiness access capacity. Farmers’ business decisions is strongly influenced by the needs. Cooperative seen as a form of insurance against the value of the timber by the farmers, because there is hope for a premium price.

(18)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(19)

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERAN SERTIFIKASI BAGI PETANI HUTAN RAKYAT

DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HANDYAN ATYANTO PUTRO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(20)
(21)

Judul Tesis : Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nama : Handyan Atyanto Putro

NRP : E151110051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA Dr Ir Iin Ichwandi, MScF

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr Tatang Tiryana, SHut, MScF Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(22)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini mampu terselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah sertifikasi kayu pada hutan rakyat, dengan judul Peran Sertifikasi bagi Petani Hutan Rakyat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tempat pelaksanaan penelitian ini pada Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul.

Seluruh kegiatan penelitian berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F selaku pembimbing, Bapak Sugeng (Ketua Koperasi Wana Manunggal Lestari), dan Bapak Windratmo (Ketua Koperasi Wana Lestari Menoreh), dan pihak lain yang telah membantu. Ungkapan terima kasih disampaikan atas bimbingan, baik secara substansial penelitian maupun mentalitas. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pelaku dan pemerhati sertifikasi hutan secara khusus, dan aktivis hutan rakyat secara umum.

Semoga bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(23)
(24)

DAFTAR ISI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 6

2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 6

2.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data 8

2.3.1 Analisis kapasitas akses petani 10 14

2.3.2 Analisis biaya transaksi 12 15

3. PEMBAHASAN 15

3.1 Karakteristik Koperasi 15

3.1.1 Koperasi Wana Lestari menoreh 16

3.1.2 Koperasi Wana Manunggal Lestari 19

3.2 Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi 21

3.2.1 Kapasitas Akses Petani 22

3.2.1 Biaya Transaksi 29

3.3 Pengambilan Keputusan 33

3.3.1 Keputusan Bergabung Menjadi Anggota Koperasi 34 3.3.2 Keputusan dalam Kerja Sama Penjualan Kayu 36

4. SIMPULAN DAN SARAN 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 42

RIWAYAT HIDUP 48

DAFTAR TABEL

2.1 Deskripsi data analisis akses dan metode pengumpulannya 7

2.2 Deskripsi data analisis biaya transaksi 8

2.3 Pendekatan teori, tujuan analisis penelitian, dan metodologi penelitian 9 2.4 Matrikulasi analisis kapasitas akses petani anggota 12 3.1 Perbandingan kondisi manajemen di dua koperasi 15

3.2 Daftar desa anggota KWLM 18

3.3 Jatah tebangan tahunan (JTT) dan realisasi produksi kayu

bersertifikat tahun 2013 18

3.4 Jumlah anggota berdasarkan wilayah pengelolaan masing-masing

(25)

3.5 Kapasitas akses para aktor pada pengelolaan hutan rakyat 22 3.6 Karakteristik akses petani sebelum dan setelah menjadi anggota koperasi 23 3.7 Implikasi meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan

hutan rakyat kepada iklim usaha 28

3.8 Proporsi biaya transaksi petani dalam bekerja sama dengan koperasi 30 3.9 Proporsi biaya transaksi petani dalam bekerja sama dengan tengkulak 30 3.10 Biaya sertifikasi FSC oleh koperasi Wana Lestari Menoreh 31 3.11 Sumber pembiayaan sertifikasi koperasi Wana Lestari Menoreh 32 3.12 Rincian biaya sertifikasi koperasi Wana Manunggal Lestari 32 3.13 Pengaruh biaya transaksi terhadap keuntungan petani 33 3.14 Pertimbangan petani dalam mengambil keputusan 34

DAFTAR GAMBAR

1.1 Permasalahan petani dalam skema sertifikasi hutan rakyat 3 1.2 Implikasi pilihan kerjasama penjualan kayu oleh petani. 5

2.1 Tahapan analisis data 10

2.2 Struktur analisis biaya transaksi 13

3.1 Sketsa wilayah penelitian 16

3.2 Peta wilayah pengelolaan KWLM dan lokasi sebaran anggota

serta kondisi tutupan lahan 17

3.3 Peta wilayah pengelolaan KWML 19

3.4 Pola pengambilan keputusan pilihan kerjasama oleh

petani anggota 21

3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh 25

3.6 Sawmill koperasi Wana Manunggal Lestari 25

3.7 Kurva utilitas petani dalam bergabung dengan koperasi 35

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Lestari

Menoreh dalam berkoperasi 42

2 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Manunggal

Lestari dalam berkoperasi 42

3 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Lestari

Menoreh dalam bekerja sama dengan tengkulak 43 4 Rincian biaya transaksi petani anggota Koperasi Wana Manunggal

Lestari dalam bekerja sama dengan tengkulak 43 5 Keuntungan riil petani apabila bekerja sama dengan Koperasi Wana

Lestari Menoreh 44

6 Dampak pencairan hasil penjualan kayu terhadap keuntungan

riil petani anggota KWLM 44

7 Keuntungan riil petani apabila bekerja sama dengan

Koperasi Wana Manunggal Lestari 44

8 Dampak pencairan hasil penjualan kayu terhadap keuntungan

(26)
(27)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingginya laju deforestasi dalam beberapa dekade terakhir menimbulkan perdebatan terhadap paradigma Sustainable Forest Mangement (SFM). Perdebatan terhadap paradigma SFM ini terkait dengan hubungan antara hutan dengan ekonomi, sosial, dan ekologi (Cubbage et al 2009). Diskusi terhadap paradigma ini muncul akibat dari tingginya laju deforestasi. FAO (2010) mencatat bahwa secara global, deforestasi masih berada pada angka 13 juta ha/tahun dengan Amerika Selatan dan Afrika yang masih mendominasi. Laju deforestasi hutan Indonesia meningkat sejak tahun 1980 dari satu juta hektar per tahun, meningkat hingga 1.7 juta ha/tahun pada periode tahun 1990 (FWI/GFW 2001), kemudian menurun hingga 450,000 ha/tahun pada periode tahun 2012 (Kemenhut 2014). Data statistik tersebut menunjukkan menurunnya ketersediaan hutan dalam upaya pemenuhan kebutuhan manusia akan berimplikasi pada meningkatnya laju konversi hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman (Pimentel et al 1996); Sunderland 2011).

Dinamika tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat dunia untuk berpikir tentang kelestarian hutan tanpa harus menghentikan kegiatan eksploitasi. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan terhadap kayu, kini masyarakat dunia menuntut kepada produsen kayu untuk memproduksi kayu secara legal dan lestari (green product). Tuntutan masyarakat tersebut terkait dengan maraknya praktek illegal loggingyang dipandang menjadi salah satu faktor rusaknya hutan. Sejalan dengan tuntutan masyarakat dunia tersebut terhadap SFM, maka sejak tahun 1993 berbagai skema sertifikasi semakin berkembang (Cubbage et al2009; FSC 2008). Hutan yang telah tersertifikasi hingga tahun 2008 mencapai 322.6 juta hektar (FSC 2008). Sertifikasi hutan merupakan sebuah mekanisme verifikasi proses produksi yang sesuai dengan standar, dalam hal ini sesuai dengan pengelolaan hutan secara lestari (Nussbaum dan Simula 2005).

Sertifikasi hutan tidak hanya diterapkan pada unit manajemen berskala besar saja, tetapi juga mulai dikenalkan dan bahkan diterapkan pada skala kecil, dalam hal ini hutan rakyat (Nurrochmat et al. 2014a). Fakta bahwa perkembangan hutan rakyat mulai berkembang pesat berimplikasi pada semakin banyaknya kebijakan yang menyentuh ranah hutan hak milik. Banyak pandangan pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah ini. Pemerintah mempunyai fungsi diantaranya mengelola pelayanan publik, mempengaruhi perilaku masyarakat, membentuk kelembagaan sosial dan ekonomi, mempengaruhi pemanfaatan sumberdaya, mempengaruhi distribusi pendapatan, mengontrol jumlah uang yang beredar dan fluktuasi ekonomi, serta memastikan lapangan pekerjaan dan mempengaruhi investasi (Welch dan Nuru 2006). Penerapan sertifikasi hutan pada hutan rakyat dianggap sebagai logika pemerintah yang sesat dalam menjalankan fungsinya. Sertifikasi hutan rakyat memberikan disinsentif bagi petani.

Luas hutan rakyat di Indonesia hingga tahun 2011 mencapai 7.025 juta hektar (Ditjen BP DAS-PS Kemenhut 2014), jumlah tersebut meningkat dari tahun 2004 yang mencapai 1.5 juta ha dengan potensi kayu 39.4 juta m3 (Hinda

(28)

2

melengkapi kebutuhan kayu dari hutan alam. Hutan rakyat di Pulau Jawa menyumbang sekitar 900,000 m3/tahun atau 11% dari total suplai kayu industri

(Suprapto 2010).

Program sertifikasi hutan mampu berperan sebagai alat untuk menarik minat para petani hutan untuk berkomitmen pada usaha hutan rakyat karena memliki market benefit (Maryudi 2005; Bass et al. 2001;). Namun kondisi di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya (Susilawati 2013; Nurrochmat et al. 2013). Namun dari sisi lain, sertifikasi juga memiliki additional cost dalam prosesnya, termasuk di dalamnya juga termasuk biaya penilikan (surveillance) yang cukup signifikan dalam penambahan biaya produksi. Carlsen et al. (2012) menyatakan bahwa ada dua pertimbangan yang digunakan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi, yaitu kebutuhan pasar dan biaya. Pelaku usaha yang memiliki keberatan terhadap besarnya biaya setifikasi lebih memilih untuk tidak melakukan sertifikasi. Sertifikasi hutan dengan skema voluntary di Indonesia secara umum terdiri dari Forest Stewardship Council (FSC) dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) – LEI (Nurrochmat et al. 2014a). Kedua jenis sertifikasi ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam konteks standar yang digunakan dalam menilai hutan, meskipun metode penilaiannya sama-sama menggunakan pendekatan performa (performance based) (Purbawiyatna dan Simula, 2008). Artinya peran sertifikasi terhadap hutan rakyat, baikmonetary gain maupun non-monetary gain harus dipandang secara menyeluruh. Secara hakiki, mekanisme sertifikasi hutan ini merupakan upaya dalam perbaikan pembangunan, terutama pembangunan kehutanan.

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi tidak mendapatkan dukungan dari kondisi pasar yang ada. Kondisi pasar kayu bersertifikat yang relatif belum stabil menciptakan gap yang besar antara pengeluaran dan keuntungan. Kondisi itu akan mempengaruhi kinerja petani dalam upaya optimalisasi nilai lahan dan kayu. Petani harus mempunyai strategi yang baik dalam pengambilan keputusan penjualan kayu. Petani memiliki dua pilihan untuk bekerja sama dalam menjual kayu, yaitu kepada koperasi dan tengkulak. Penjualan kayu kepada koperasi hanya dapat dilakukan apabila petani bergabung menjadi anggota. Setiap pilihan kerja sama akan memberikan biaya transaksi. Namun besaran biaya transaksi akan sangat relatif dengan tingkat manfaat yang diterima petani. Beban biaya transaksi dan kekuatan akses yang dapat diberikan masing-masing pihak akan menjadi pertimbangan yang digunakan petani dalam mengambil keputusan.

1.2 Perumusan Masalah

(29)

3

produk yang ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, pemilihan terhadap produk kayu bersertifikat oleh konsumen sangat tergantung pada preferensi (willingness to pay) setiap individu. Faktor yang mempengaruhi konsumen dalam membeli produk kayu adalah kualitas dan harga, sedangkan sertifikat kayu tidak mempengaruhi dalam keputusan tersebut (Yamamoto, Takeuchi, dan Shinkuma 2014). Untuk skala kecil, hingga saat ini belum dirasakan adanya premium price (Susilawati 2013; Nurrochmat et al. 2013). Manfaat yang dirasakan oleh petani dengan adanya sertifikasi hutan adalah meningkatnya pengetahuan terhadap pasar kayu dan kemampuan petani dalam teknik pengelolaan hutan secara lestari. Sertifikasi kayu mampu memberikan manfaat hanya kepada pelaku usaha besar, meskipun dalam skala nasional maupun lokal, manfaat tersebut masih menjadi sebuah harapan semu (Foretika 2011).

Skema sertifikasi pada umumnya menyaratkan untuk membentuk lembaga atau kelompok. Biaya transaksi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan sebuah sistem ekonomi yang tidak hanya mencakup pada dimensi pasar saja, tetapi juga mencakup pada biaya-biaya manajemen, sosial-politik, lingkungan, dan opportunity cost yang hilang akibat alternatif pilihan keputusan (Williamson 1985; Richter dan Furubotn 2005; UNDP 2003). Lebih jauh lagi, Williamson (1985) menyatakan bahwa biaya transaksi memiliki keterkaitan erat dengan permasalahan di dalam sebuah sistem. Biaya transaksi memiliki peran penting dalam sebuah desain kebijakan, terutama dalam konteks aturan main dalam pasar di negara berkembang (Williamson 1985).

(30)

4

Besarnya biaya sertifikasi pada akhirnya akan mempengaruhi biaya transaksi. Tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam upaya memperoleh sertifikat belum sesuai dengan tingkat harga yang diharapkan (premium price). Kondisi tersebut merupakan disinsentif bagi petani hutan rakyat sehingga memungkinkan adanya konversi lahan hutan rakyat menjadi penggunaan lain yang lebih menguntungkan (Nugroho dan Tiryana 2013). Dampak yang paling nyata adalah biaya transaksi tersebut akan mempengaruhi jumlah keuntungan riil yang diterima petani. Pasar kayu bersertifikat yang belum kondusif memberikan kendala pada koperasi dalam memaksimalkan nilai kayu. Kondisi tersebut memaksa petani untuk tetap menjaga relasi kepada tengkulak. Setiap pilihan kerja sama memberikan biaya transaksi dan akses yang berbeda. Pertanyaan yang muncul adalah

1. Seberapa besar biaya transaksi pada setiap pilihan kerja sama?

2. Akses apa yang dapat dimanfaatkan petani dari masing-masing pilihan? 3. Pertimbangan apa yang digunakan petani untuk menentukan pilihan kerja

sama?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menemukan solusi dari perdebatan terkait urgensi sertifikasi pada pengelolaan hutan skala kecil, dalam hal ini hutan rakyat. Pendekatan yang digunakan untuk menemukan solusi tersebut adalah dengan menghimpun data dan informasi yang dapat menggambarkan perubahan-perubahan yang muncul akibat sertifikasi hutan rakyat. Perubahan yang diamati melingkupi aspek manfaat dan kerugian yang dirasakan oleh petani hutan rakyat. Manfaat dan kerugian dalam penelitian ini bukan hanya dalam konteks finasial/ekonomi, namun juga dalam peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam memaksimalkan sumberdaya. Tujuan khusus penelitian ini akan menjawab peran sertifikasi hutan pada pengelolaan hutan rakyat, seperti:

1. Mengetahui manfaat skema sertifikasi hutan dalam konteks perubahan kapasitas akses,

2. Mengetahui korbanan petani dalam skema sertifikasi hutan yang berupa biaya transaksi penjualan kayu oleh petani, dan

3. Mengetahui pola pengambilan keputusan petani dan faktor yang mempengaruhinya dalam kegiatan produksi kayu.

1.4 Manfaat Penelitian

(31)

5

Pasar kayu bersertifikat Pasar kayu non-sertifikat

Akses yang diperoleh

Proses pengelolaan dan pengusahaan hutan rakyat yang melibatkan berbagai pihak mengharuskan adanya analisis yang komprehensif. Petani memiliki dua pilihan bekerja sama dalam penjualan kayu, yaitu koperasi dan tengkulak. Setiap pilihan tersebut memiliki implikasi yang berbeda. Implikasi yang mungkin terjadi akan menyentuh pada konteks upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga. Masyarakat desa pada umumnya lebih memilih untuk menanam tanaman pangan dan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman kayu menjadi prioritas terakhir karena merupakan manifestasi dari tabungan. Maka dari itu pada dasarnya pilihan kerja sama penjualan kayu milik petani harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor kehati-hatian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori akses dan biaya transaksi. Analisis akses digunakan untuk mengukur perubahan-perubahan kapasitas petani hutan rakyat jika bergabung dengan koperasi. Perubahan tersebut berusaha menggambarkan manfaat dan korbanan petani. Biaya transaksi menggambarkan besaran korbanan yang harus ditanggung petani dalam melakukan transaksi kerja sama penjualan kayu. Sedangkan akses merupakan bentuk manfaat yang diperoleh dari pilihan kerja sama. Karakteristik petani yang subsisten akan mempengaruhi pola pengambilan keputusan dalam menjalin relasi pemasaran. Nilai kepuasan yang dicari oleh petani dalam menjual kayu bersifat subjektif. Adanya keterbatasan terhadap faktor-faktor produksi membuat petani lebih cenderung menghindari resiko kerugian (Milner 1994).

(32)

6

Pendekatan biaya transaksi digunakan untuk melihat perbandingan antara hasil penjualan kayu yang di terima petani dengan beban biaya transaksi yang harus dikeluarkan dalam proses kerjasama penjualan kayu. Kedua pendekatan tersebut akan menghasilkan gambaran perbandingan manfaat dan kerugian yang diperoleh petani dalam pengusahaan hutan rakyat. Pendekatan yang komprehensif tersebut akan menjelaskan hubungan antara berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya. Kadar pengetahuan dan informasi yang berbeda-beda akan membentuk sebuah pola relasi kekuasaan (power) dalam sebuah skema transaksi(Williamson 1985).

2 METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) di Kabupaten Kulon Progo dan Koperasi Wana Manunggal Lestari di Kabupaten Gunung Kidul, keduanya terletak di Propinsi D.I Yogyakarta. Pemilihan lokasi penelitian yang dilakukan secarapurposive karena terkait dengan jenis sertifikasi hutan rakyat yang diperoleh. Pemilihan lokasi terkait dengan upaya untuk melihat dinamika dua koperasi yang memiliki jenis sertifikat berbeda dalam satu karakteristik petani yang relatif sama. KWLM memiliki sertifikasi dari Forest Stewardship Council (FSC) sedangkan KWML memiliki sertifikasi PHBML – LEI dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei–Juni 2014.

2.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Metode kualitatif digunakan untuk menggali informasi terkait fenomena akar permasalahan. Dalam aspek kualitatif kemudian digunakan metode Triangulasi sebagai metode validasi data. Metode ini adalah teknik pengumpulan data dengan menggabungkan tiga sumber data (Sugiyono 2008). Data tersebut diperoleh melalui pengamatan secara langsung di lapangan (observasi), melakukan wawancara (wawancara mendalam dan Focus Goup Discussion), penelusuran dokumen/laporan dari stakeholders terkait, dan telaah hasil penelitian (literatur) yang telah dilakukan sebelumnya. Jumlah contoh yang akan diambil sebagai sumber informasi tidak dibatasi dengan jumlah tertentu, namun lebih ditentukan oleh dinamika informasi yang diperoleh. Apabila dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka pengumpulan informasi tersebut sudah cukup (Bungin 2006). Selain itu juga dilakukan validasi data melalui studi literatur dari hasil penelitian yang sejenis yang telah dilakukan sebelumnya.

(33)

7

1. Pengurus Koperasi,

2. Anggota koperasi (petani hutan rakyat), 3. Pengepul/tengkulak,

4. Pembeli (industri/pabrik), dan 5. Lembaga pendamping sertifikasi.

Data sekunder akan dikumpulkan melalui studi literatur dan studi data laporan dari hasil penelitian yang telah ada, dokumen koperasi, dan pihak terkait lainnya seperti Badan Pusat Statistik (BPS) setempat, Dinas Kehutanan setempat, Bappeda, dan instansi-instansi yang lain. Tabel 2.1 menjelaskan jenis dan metode pengumpulan data dalam penelitian ini. Responden yang menjadi tujuan wawancara merupakan petani anggota koperasi, namun dalam teknis pertanyaan akan ditanyakan dua jenis pertanyaan. Pertanyaan tersebut akan dikaitkan pada kondisi sebelum dan setelah menjadi anggota koperasi. Metode pengumpulan data pada dasarnya terdiri dari tiga tahap, yaitu observasi lapang, wawancara, dan FGD. Diskusi FGD merupakan tahapan dalam konteks klarifikasi dan konfirmasi terhadap hasil wawancara dan observasi lapang.

Tabel 2.1 Deskripsi data analisis akses dan metode pengumpulannya.

Jenis Akses Deskripsi Metode Pengumpulan

Teknologi Kemampuan petani dalam mencari dan menggunakan alat dalam proses pemanenan (chainsawdan truk angkutan,)

Observasi lapang dan wawancara

Tenaga Kerja Kemampuan petani untuk mencari tenaga kerja

dalam proses pemanenan. Observasi lapang danwawancara Pengetahuan

/Informasi Sumber pengetahuan/informasi pengelolaanhutan rakyat, terdiri dari: Observasi lapang danwawancara 1. Teknis pengelolaan hutan: Metode

penaksiran potensi, standar kualitas kayu (grading/ bucking) dan tata usaha kayu (TUK). 2. Pasar (dinamika suplai/ demand dan harga)

Permodalan Akses dalam mendapatkan dukungan ekonomi. Observasi lapang dan wawancara

(34)

8

transportasi dan komunikasi diukur dari jumlah kunjungan dan kegiatan komunikasi (telepon dan pesan singkat).

Analisis biaya transaksi dilakukan berdasarkan persepsi dari petani anggota. Kegiatan pemasaran produksi kayu yang dilakukan oleh petani anggota dilakukan kepada dua pihak, yaitu koperasi dan tengkulak. Analisis ini menggunakan harga bayangan (shadow price). Untuk menghitung biaya transaksi ini menggunakan asumsi berupa:

1. SMS rate : Rp 150/pesan 2. Call rate : Rp 1,000/panggilan

3. Suku bunga : 7.50% (Bank Indonesia, 11 September 2014) 4. Transportasi : kendaraan bermotor roda dua

5. Rasio BBM : 1 Liter / 30 km

6. Jarak Tempuh : Perjalanan pulang pergi = 40 km = 1.3 liter 7. Harga BBM : Rp 6500/liter

8. Fotokopi : Rp 100/Lembar

9. Kayu yg dijual : Kayu Jati ; diameter 21–30 cm 10. Harga dasar : Rp 1,800,000/m3

11. Jumlah transaksi : Satu kali dalam satu tahun kegiatan. 12. Waktu perhitungan : Satu kali transaksi.

Tabel 2.2 Deskripsi data analisis biaya transaksi.

Jenis Biaya Kegiatan

Deskripsi Data

Information cost Biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk mencari dan memanfaatkan informasi.

Biaya yang dikeluarkan petani untuk melaksanakan kewajiban dalam proses kontrak (kesepakatan) kerjasama di antara pelaku.

Enforcing cost Biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam proses pengawasan dan penegakan kesepakatan di antara pelaku.

2.3 Metode pengolahan dan analisis data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Setiap keluaran (outputs) dari sebuah kebijakan akan memberikan dampak (impacts) kebijakan (Dunn 1994). Keluaran dari kebijakan sertifikasi hutan rakyat dalam penelitian ini adalah kewajiban untuk membentuk kelompok tani/koperasi, sedangkan dampaknya adalah perubahan-perubahan yang dihasilkan oleh kewajiban dalam membentuk sebuah kelompok. Analisis dilakukan terhadap konsekuensi yang harus diterima petani dalam mengikuti sertifikasi hutan, yang mana konsekuensi tersebut adalah bergabung dengan koperasi.

(35)

9

menentukan kerja sama penjualan kayu. Analisis akses merupakan pendekatan untuk menelaah manfaat yang diperoleh petani dari adanya koperasi. Manfaat tersebut berupa akses yang dapat dimanfaatkan petani dalam rangka memaksimalkan nilai lahan dan kayu. Tabel 2.3 merinci pada pendekatan teori, tujuan analisis, dan metodologi yang digunakan untuk mengetahui pola hubungan dan fenomena yang terjadi.

Tabel 2.3 Pendekatan teori, tujuan analisis penelitian, dan metodologi penelitian.

Pendekatan

Teori Tujuan analisis Metodologi Teori akses (Ribot

dan Peluso 2003) Melihat sejauh mana akses yang dapatdimanfaatkan petani untuk me-maksimalkan nilai lahan dan kayu. Pemanfaatan akses tersebut menjadi sebuah kesatuan dalam pengelolaan sumberdaya dalam suatu bundle of power.

Kategorisasi hasil wa-wancara responden ke dalam Teori Akses. Maneggunakan skala

Adanya persyaratan sertifikasi untuk berkelompok (organisasi/lembaga), maka akan memperpanjang rantai pengambilan keputusan untuk tataran individu petani hutan rakyat. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk biaya transaksi yang muncul akibat sertifikasi kayu.

Analisis hasil wawanca-ra dan observasi kepada petani hutan. Sasaran dalam analisis ini ter-pisah dari sasaran ana-lisis akses (power).

Analisis data kemudian dilakukan dalam dua tahap (Gambar 2.1), yang pertama adalah analisis informasi dalam konteks akses dan biaya transaksi dan tahap kedua adalah sintesa hasil analisis akses dan biaya transaksi untuk meng-gambarkan perubahan kapasitas dan pengetahuan petani dalam menjalankan bisnis hutan rakyat. Kapasitas bisnis hutan rakyat tersebut diukur untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan informasi yang diberikan koperasi mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh petani. Keuntungan petani dari hasil penjualan kayu ditentukan oleh sistem penjualan (penaksiran potensi dan satuan penjualan kayu). Penelaahan dilakukan dengan membandingkan sistem penjualan kayu sebelum ada koperasi dan pasca kehadiran koperasi.

(36)

10

Gambar 2.1 Tahapan analisis data.

2.3.1 Analisis kapasitas akses petani

Faktor yang menentukan dalam analisis ini menitikberatkan kepada seberapa jauh akses yang dimiliki dan yang dapat dimanfaatkan oleh petani dalam upaya memaksimalkan nilai dari sumberdaya yang dimiliki. Akses yang dapat dimanfaatkan oleh petani akan berhubungan dengan pihak-pihak yang memiliki penguasaan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan rakyat. Maka dari itu analisis kapasitas akses petani dilakukan dengan terlebih dahulu memetakan penguasaan setiap aktor terhadap faktor-faktor produksi dalam bisnis hutan rakyat.

Pengukuran kapasitas akses petani dilakukan melalui tujuh poin akses dalam Theory of Accessoleh Ribot and Peluso (2003):

1. Akses terhadap teknologi. Akses terhadap teknologi menjadi sebuah instrument yang kuat untuk menguasai suatu sumberdaya. Penggunaan teknologi dapat diartikan sebagai sebuah bahasa yang menyatakan penguasaan seseorang terhadap teknologi.

2. Akses terhadap kapital. Adanya akses terhadap kapital (modal) akan menentukan pihak yang dapat memanfaatkan sumberdaya dengan cara mempertahankannya. Akses terhadap kapital dapat diartikan sebagai sebuah akses menuju kesejahteraan dalam konteks finansial dan peralatan. Akses ini dapat digunakan untuk mengontrol suatu hak terhadap sumberdaya, baik itu

• Analisis karakteristik akses petani dalam pengelolaan dan pengusahaan hutan rakyat. Melihat perubahan-perubahan yang terjadi setelah berdirinya koperasi. Perubahan tersebut dalam konteks kapasitas bisnis petani hutan rakyat (posisi tawar dan sistem penjualan kayu).

Analisis Akses

•Analisis biaya/korbanan dan manfaat yang diterima oleh petani, baik

dengan koperasi maupun tengkulak.

Information searching, decision making (coordination),danenforcing cost Analisis Biaya Transaksi

•Analisis posisi tawar (kekuatan/power) petani dalam memaksimalkan nilai

lahan dan kayu.

•Akses + Biaya transaksi (cost/benefit) = pertimbangan pengambilan keputusan.

Decision making process

Keterangan:

(37)

11

hak kepemilikan maupun untuk intervensi kepada pihak yang mengendalikan sumberdaya tersebut. Dalam konteks pengelola UMHR, kapabilitas pengurus koperasi (SDM) dilihat dari kemampuan para pengurus dalam mengelola pemanenan dan pengiriman kayu serta mekanisme lain dalam rangka memenuhidemand.

3. Akses terhadap pasar. Akses terhadap pasar akan mempengaruhi perilaku suatu pihak dalam hal penguasaan suatu sumberdaya. Kemampuan suatu pihak dalam memasarkan produk menjadibargaindalam pemanfaatan suatu sumberdaya. Kemampuan ini termasuk didalamnya adalah akses terhadap capital, seperti peralatan, kredit, fasilitasi aktor di dalam pasar dan aktor lain terkait dalam pemasaran.

4. Akses terhadap buruh. Kepemilikan akses terhadap tenaga kerja akan menentukan manajemen dari suatu sumberdaya. Pihak-pihak yang memiliki kontrol terhadap tenaga kerja mempunyai kekuatan terkait distribusi (penyediaan) tenaga kerja, sehingga pihak ini mempunyai bargain yang kuat dalam produksi. Pihak yang memiliki akses terhadap tenaga kerja akan berelasi secara kuat dengan pihak yang menguasai sumberdaya.

5. Akses terhadap pengetahuan. Untuk sumberdaya tertentu, akses akan ditentukan lebih dari sekedar faktor ekonomi atau normatif dalam konteks pemenuhan kebutuhan subsisten petani, tetapi lebih ditentukan kepada faktor sosial, politik, dan budaya. Penguasaan terhadap pengetahuan dan informasi memiliki manfaat langsung terhadap sumberdaya, seperti keistimewaan suatu pihak dalam ketenagakerjaan, jaringan antar pihak, atau akses secara fisik. Status seseorang sebagai tenaga ahli memberikan kesempatan untuk memanipulasi kepercayaan pihak lain terkait pemanfaatan sumberdaya.

6. Akses terhadap kewenangan. Akses ini merupakan suatu bentuk kemampuan dari individu untuk menggunakan kekuatannya dalam konteks legal terhadap sumberdaya. Memiliki akses terhadap kewenangan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah jaring-jaring kekuasaan guna memperoleh manfaat dari sumberdaya. Pihak yang memiliki kewenangan tersebut pada dasarnya memiliki kunci utama dalam mekanisme pengendalian penguasaan sumberdaya.

(38)

12

Tabel 2.4 Matrikulasi analisis kapsitas akses petani anggota.

Akses

Deskripsi Kondisi

Jenis Bentuk Sebelum Setelah

Akses

Teknologi PenggunaanTeknologi Kemudahan dalam meng-gunakan alat pemanenan (chainsaw dan truk

ang-Tenaga Kerja PemanfaatanTenaga Kerja Kemudahan mencari danmenggunakan tenaga kerja dalam proses pemanenan (penebangan, penyaradan,

Ketersediaan sumber pe-ngetahuan dan informasi terkait :

1. Teknis pengelolaan hu-tan: Metode penaksiran potensi, standar kualitas kayu (grading/bucking) dan tata usaha kayu (TUK). 2. Pasar (dinamika suplai/ demand dan harga)

Penyederhanaan variabel akses terhadap pengetahuan, informasi, pasar, dan kewenangan dilakukan atas dasar sinkronisasi terhadap karakteristik petani. Konteks yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang memiliki modal kecil. Hasil pengumpulan data kemudian dilakukan kategorisasi dalam bentuk skala pengukuranGuttman.Skala pengukuran ini berupa jenis skala untuk menentukan dua jenis jawaban, yaitu “ada” dengan lambang ( + ) atau “tidak” dengan lambang (- ) (Sugiyono 2008).

2.3.2 Analisis biaya transaksi

(39)

13

2013). Dimensi biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu biaya yang keluar dalam proses perencanaan/persiapan (ex ante) dan biaya yang harus dikeluarkan setelah kegiatan dilakukan (ex post). Biaya informasi merupakan biaya yang muncul dalam dimensi ex antesedangkan biaya koordinasi dan biaya penegakan kesepakatan (enforcing) merupakan biaya ex post (Williamson 1985; Abdullah et al 1998).

Biaya informasi adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam rangka mencari (searching cost) dan menggunakan informasi. Biaya yang harus dikeluarkan oleh petani dalam proses koordinasi merupakan cerminan dari korbanan terhadap usaha petani dalam menjalankan kesepakatan dalam kerjasama. Korbanan tersebut dapat berupa korbanan dalam sistem administrasi, dan biaya dalam berpartisipasi sebagai anggota koperasi atau dalam menjalin relasi kepada tengkulak. Enforcing cost dapat dijelaskan sebagai biaya yang harus dikeluarkan oleh petani untuk memastikan dilaksanakannya kesepakatan, seperti jumlah harga jual dan waktu pencairan hasil penjualan kayu. Biaya sertifikasi pada dasarnya merupakan biaya yang dikeluarkan oleh koperasi, namun dalam prakteknya merupakan biaya kolektif dari seluruh kegiatan anggota koperasi. Biaya sertifikasi ini terdiri dari biaya persiapan (pada awal sertifikasi) dan biaya penilikan (surveillance). Faktor tersebut merupakan salah satu variabel perhitungan di dalam biaya koordinasi yang mencerminkan konsekuensi atau kewajiban petani sebagai anggota koperasi.

Gambar 2.2 Struktur analisis biaya transaksi.

Pemanfaatan akses dan besaran biaya transaksi akan menentukan seberapa kuatnya kemampuan petani dalam mencapai nilai optimal atas sumberdaya. Kemampuan tersebut merupakan cerminan dari modal sosial. Modal sosial sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka mencapai tujuan penghidupan (Thorburn 2004; Putnam 2000). Proses tersebut pada akhirnya akan menciptakan sebuah hubungan timbal balik yang bermanfaat secara kolektif. Hubungan timbal balik tersebut merupakan cerminan dari kekuatan posisi tawar (power) suatu pihak pengelolaan sumberdaya alam (Williamson 1985).

Pendekatan terhadap biaya transaksi dilakukan untuk mengukur efektivitas dalam pengambilan keputusan terkait produksi kayu milik petani (Pavola dan Adger 2005). Kedua konsep ini membandingkan terhadap pilihan-pilihan

(40)

14

kerjasama, antara tengkulak dan koperasi, yang dimiliki oleh petani. Bentuk performa sosial merupakan indikator dari manfaat ataupun kerugian pasca berdirinya koperasi dan adanya sertifikasi hutan pada pengelolaan hutan skala kecil. Analisis biaya transaksi akan dihitung dengan rumus:

= + + ... (1) Dimana :

TrC : Total biaya transaksi (Rp) Ci : Biaya informasi (Rp), Cc : Biaya koordinasi (Rp), dan Ce : Biaya penegakan kontrak (Rp).

Setiap variabel biaya transaksi (TrC) akan dihitung dengan rumus:

= + + ... (2) = + + ... (3) = + ... (3.1) = + + ... (4) Dimana :

: Biaya administrasi (Rp) zc : Biaya komunikasi (Rp), tc : Biaya transportasi (Rp), pc : Biaya partisipasi (Rp),

mc : Iuran bulanan (sukarela + wajib) (Rp), dan Cr : Biaya sertifikasi (Rp)

Rasio setiap variabel terhadap total biaya transaksi dihitung dengan rumus:

=

...

(5) Hasil pengukuran biaya transaksi total akan digunakan untuk mengukur proporsi biaya transaksi terhadap total hasil penjualan. Perhitungan tersebut menggunakan rumus:

= 100%

...(6)

Dimana:

(41)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Koperasi

Koperasi Wana Lestari Menoreh dan Koperasi Wana Manunggal Lestari memiliki dua kondisi manajemen yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada kondisi produksi kayu, kapasitas SDM, permodalan, dan dukungan lembaga pendamping (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Perbandingan kondisi manajemen di dua koperasi.

Kondisi Koperasi

Wana Lestari Menoreh Wana Manunggal Lestari Produksi

Kayu Menggunakan sertifikat FSCyang notabene lebih memiliki permintaan pasar yang relatif baik. Sudah melakukan produksi kayu bersertifikat sebesar 757.939 m3/tahun.

Belum melakukan produksi kayu. Tidak adanya pasar kayu yang membutuhkan kayu bersertifikat PHBML atau VLK menjadi faktor utama tidak berproduksinya koperasi.

Kemampuan

SDM Pengurus koperasi secara rutinmendapatkan pelatihan manajemen, selain itu aktifnya pengurus dalam proseslearning by doing. permodalan yang kuat. Kondisi itu terjadi karena desain pembentukan

pendamping dan berasal dari iuran wajib anggota.

Dukungan

Pendamping Lembaga pendamping koperasimemiliki fokus yang sangat besar terhadap keberlangsungan

(42)

16

proses produksi koperasi secara keseluruhan. Minimnya pasar kayu bersertifikat pada akhirnya mempengaruhi kondisi aliran uang kas koperasi. Kondisi itu berdampak pada tidak maksimalnya peran koperasi bagi kemajuan bisnis hutan rakyat para anggota.

Gambar 3.1 Sketsa wilayah penelitian.

3.1.1 Koperasi Wana Lestari Menoreh Sejarah

(43)

17

Gambar 3.2 Peta wilayah pengelolaan KWLM dan lokasi sebaran anggota serta kondisi tutupan lahan.

Anggota

Jumlah perkembangan anggota koperasi menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2013. Tahun 2011 koperasi memiliki jumlah anggota sebanyak 809 orang, kemudian pada tahun 2012 meningkat menjadi 1,088 anggota, dan pada akhir 2013 mendapatkan tambahan anggota sebanyak 605 orang menjadi 1,149 orang anggota. Tahun 2013 terdapat anggota yang dinyatakan keluar dari keanggotaan karena meninggal dunia sebanyak empat orang. Pertambahan anggota tersebut juga secara langsung menambah jumlah luasan areal pengelolaan.

SertifikasiForest Stewardship Council(FSC)

(44)

18

Tabel 3.2 Daftar desa anggota KWLM.

No Kecamatan Samigaluh Kecamatan Kalibawang Kecamatan Girimulyo 1 Desa kebonharjo Desa Banjaroya Desa Giripurwo

2 Desa Banjarsari Desa Banjarharjo Desa Jatimulyo 3 Desa Pagerharjo Desa Banjarasri Desa Pendoworejo 4 Desa Ngargosari Desa Banjararum Desa Purwasari 5 Desa Gerbosari

6 Desa Sidoharjo 7 Desa Purwoharjo

Sejak tahun 2012 hingga 2013 terjadi penambahan anggota yang juga berarti penambahan luasan areal pengelolaan. Penambahan tersebut juga disertai dengan penambahan areal yang disertifikasi. Maka dari itu apabila luasan penambahan tersebut memenuhi syarat untuk dilakukan sertifikasi, maka pihak auditor akan kembali melakukan verifikasi. Syarat minimum dilakukan verifikasi tambahan pada umumnya disesuaikan melalui perhitungan antara nilai potensial calon lahan dan biaya verifikasi. Apabila dirasa tidak mencukupi, maka anggota baru harus menunggu hingga terjadi akumulasi jumlah anggota baru dan lahan yang cukup. Proses menunggu akumulasi jumlah tersebut dapat terjadi hingga satu tahun.

Pelaksanaan usaha kayu bersertifikat memilliki aturan main yang cukup ketat. Selain syarat terhadap jenis juga diberlakukan syarat minimum diameter di masing-masing jenis dan kepastian legalitas kepemilikan lahan. Terkait batas minimum diameter kayu FSC, diameter minimum untuk jenis selain Jati (Mahoni, Sengon, dan Sonokeling) yaitu sebesar 25 cm sedangkan untuk jenis Jati sebesar 10 cm. Kayu dengan besaran diameter yang tidak memenuhi syarat akan dijual sebagai kayu non-sertifikasi. Secara keseluruhan, dengan adanya sertifikasi FSC maka jumlah produksi koperasi juga dibatasi. Jumlah produksi kayu koperasi harus sesuai dengan Jatah Tebang Tahunan (JTT). Jatah tebang JTT tersebut hanya berlaku pada produksi kayu bersertifikat (Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Jatah Tebang Tahunan (JTT) dan realisasi produksi kayu bersertifikat tahun 2013.

Hingga tahun 2013, luas lahan yang telah diinventarisasi sejumlah 700.36 hektar. Dari seluruh areal, produksi (pemanenan) yang telah dilakukan sebanyak 937 pohon jati dengan volume 493.956 m3, mahoni sebanyak 433 pohon (230.806

m3), dan sengon (albasia) sebanyak 36 pohon (30.769 m3). Sesuai dengan

(45)

19

3.1.2 Koperasi Wana Manunggal Lestari Sejarah

Permintaan kayu jati yang tinggi sejak tahun 1998 menyebabkan banyak industri besar yang langsung mendatangi petani. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas kayu jati di Kabupaten Gunung Kidul. Melihat potensi kerusakan tersebut maka, PKHR, ARUPA, dan Shorea mencoba menginisiasi sebuah alternatif dalam rangka mencapai hutan lestari. Momen tersebut dimanfaatkan bersamaan dengan program pendampingan Gerakan Penghijauan (Gerhan) pada tahun 2004.

Gambar 3.3 Peta wilayah pengelolaan KWML.

(46)

20

Anggota

Jumlah petani anggota pada saat berdirinya koperasi hingga tahun 2010 sebanyak 635 orang. Jumlah anggota tersebut terbagi menjadi tiga kelompok tani pada tiga wilayah pengelolaan (Tabel 3.4), yaitu KTHR Sekar Pijer (Zona selatan) sebanyak 324 orang, KTHR Ngudi Lestari (zona tengah) sebanyak 209 orang, dan KTHR Margomulyo 119 (zona utara) sebanyak orang. Seiring berjalannya waktu, koperasi KWML mampu menjaring lebih banyak anggota hingga mencapai 652 petani pada tahun 2013.

Tabel 3.4 Jumlah anggota berdasarkan wilayah pengelolaan masing-masing kelompok tani.

Kecamatan Panggang KTHR Sekar Pijer 324

Tengah Desa Dengok,

Kecamatan Playen KTHR Ngudi Lestari 209

Utara Desa Kedungkeris,

Kecamatan Nglipar KTHR Margomulyo 119

Jumlah 652

Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML)

Inisiasi lembaga pendamping Gerhan dalam menciptakan pilot project pengelolaan hutan lestari diapresiasi oleh masyarakat. Kegiatan tersebut kemudian diawali dengan membangun sebuah wacana dan praktek Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RB-UMHRL). Program ini bertujuan untuk menggambarkan satuan kelola hutan rakyat dalam basis unit manajemen dan aspek pengelolaan hutan rakyat yang sesuai dengan SFM. Kemudian pada tahun 2006, koperasi KWML secara resmi mendapatkan sertifikat PHBML dengan Lembaga sertifikasi adalah TUV International Indonesia. Unit pengelolaan yang termasuk dalam areal sertifikasi terdiri dari tiga zona dengan total luas sebesar 815 hektar, yaitu:

1. Zona selatan dengan luas 401.83 ha. Terletak pada Desa Giriksekar, Kecamatan Panggang. Zona ini dikelola oleh KTHR Sekar Pijer yang meliputi dusun Pijenan, Jeruken, dan Blimbing.

2. Zona tengah dengan luas 229.10 ha. Terletak pada Desa Dengok, Kecamatan Playen. Zona ini dikelola oleh KTHR Ngudi Lestari yang meliputi dusun Dengok IV, Dengok V, dan Dengok VI.

(47)

21

3.2 Pola Kerja Sama Penjualan Kayu Petani Anggota Koperasi

Karakteristik dalam pengusahaan hutan rakyat di lingkungan Gunung Kidul dan Kulonprogo masih sangat dipengaruhi oleh momen kebutuhan tertentu. Pola tebang butuh masih dipertahankan sebagai pola yang lebih efisien dalam pemenuhan kebutuhan besar. Sedangkan pertanian masih menjadi tumpuan dalam pemenuhan hidup sehari-hari. Pola tebang butuh dipandang sebagai bentuk tabungan yang lebih baik dibandingkan tabungan dalam konsep perbankan (Nurrochmat et al. 2013). Menurut pemahaman petani, ketersediaan uang dalam bentuk tunai (tabungan) akan mendorong pola hidup yang konsumtif, sehingga dengan menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan penting dalam jumlah yang besar, dirasa akan mampu mengendalikan konsumsi yang berlebihan.

Petani anggota memiliki dua alternatif dalam menjual kayu, yaitu koperasi dan tengkulak. Meskipun pada dasarnya pihak koperasi memliki aturan yang melarang anggota untuk menjual kayu kepada pihak lain selain koperasi, namun pada prakteknya preferensi personal petani lah yang menentukan tujuan penjualan kayu. Secara umum, pertimbangan petani dalam menentukan pilihan kerjasama penjualan kayu sangat dipengaruhi apakah kebutuhan tersebut mendesak atau tidak (Gambar 3.4).

(48)

22

Setiap pilihan kerjasama tujuan penjualan kayu akan memberikan manfaat dan atau korbanan yang berbeda. Masing-masing pilihan kerjasama akan memberikan biaya transaksi yang berbeda. Biaya transaksi akan menjadi sebuah beban besar apabila tidak disertai dengan manfaat yang cukup, sehingga akan terjadi pola pengusahaan yang efisien dan efektif (Williamson 1985). Biaya transaksi tambahan muncul seiring kewajiban petani dalam melaksanakan atau mengikuti program koperasi. Namun petani juga mendapatkan manfaat berupa semakin luasnya akses yang dapat dimanfaatkan petani dalam rangka memaksimalkan nilai lahan dan kayu.

3.2.1 Kapasitas Akses Petani

Pengelolaan hutan rakyat membutuhkan iklim usaha yang mampu mendukung seluruh proses pengelolaan (enabling condition). Sebuah relasi diantara kelompok masyarakat, institusi, atau organisasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan sosial (social power), yang mana bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak (Clegg 1989; Lukes 1974; Wrong 1979). Proses penjualan kayu oleh petani harus dilakukan melalui relasi kepada aktor yang memiliki kapasitas dalam pemasaran kayu. Kondisi yang dihadapi oleh petani hutan rakyat pada umumnya adalah keterbatasan dalam hal informasi harga, suplai dan demand dari pasar kayu, serta pengetahuan dalam konteks sistem penjualan kayu (penaksiran dan satuan penjualan kayu). Keterbatasan tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketidakjelasan tingkat harga penawaran yang dilakukan tengkulak. Tabel 3.5 memperlihatkan bagaimana penguasaan masing-masing aktor dalam pengelolaan hutan rakyat pada konteks pasar kayu.

Tabel 3.5 Kapasitas akses para aktor pada pengelolaan hutan rakyat.

Unsur Petani Koperasi Tengkulak

(49)

23

akses memiliki makna bahwa koperasi mampu memberikan penguatan terhadap akses yang sebelumnya tidak dimiliki petani. Akses tersebut mencerminkan upaya petani untuk memaksimalkan nilai lahan dan kayu. Pemanfaatan akses pengelolaan sumberdaya tersebut merupakan suatu bundle of power milik petani (Ribot dan Peluso 2003; Nurrochmat et al. 2014; Maryudi et al. 2015).

Tabel 3.6 Karakteristik akses petani sebelum dan setelah menjadi anggota koperasi.

Jenis Akses Deskripsi KWLM KWML

Sebelum Setelah Sebelum Setelah

Teknologi Kemampuan petani dalam mencari dan menggunakan alat dalam proses pema-nenan (chainsaw dan truk angkutan).

+ + + ++

Tenaga Kerja Kemampuan petani untuk mencari tenaga kerja dalam proses pemanenan (pene-bangan, bucking, penyarad-an, hingga pengangkutan).

+ ++ + +

Pengetahuan

/Informasi Sumber pengetahuan/infor-masi pengelolaan hutan rakyat, terdiri dari:

1. Teknis pengelolaan hu-tan: Metode penaksiran potensi, standar kualitas kayu (grading/ bucking) dan tata usaha kayu (TUK).

2. Pasar (dinamika suplai/ demand dan harga)

- + - +

Permodalan Akses dalam mendapatkan

dukungan ekonomi. + ++ + + Keterangan: (+) ada; (-) tidak ada; (++) bertambah.

(50)

24

Petani hutan rakyat di Kulon Progo dan Gunung Kidul pada dasarnya telah memiliki akses untuk memperoleh teknologi, tenaga kerja, tujuan pemasaran kayu, dan permodalan (peminjaman uang) meskipun tanpa koperasi. Kehadiran koperasi secara signifikan mampu memberikan akses untuk sumber pengetahuan dan informasi. Kehadiran koperasi yang mampu memberikan akses kepada petani sangat dipengaruhi oleh performa produksi koperasi. Koperasi Wana Lestari Menoreh secara umum mampu memberikan tambahan dan menciptakan akses bagi petani kepada sumber-sumber faktor produksi, yang mana belum dapat dilakukan oleh koperasi Wana Manunggal Lestari. Tidak berjalannya produksi koperasi Wana Manunggal Lestari berimplikasi pada pilihan tujuan penjualan kayu oleh petani. Pilihan kerja sama petani dalam penjualan kayu hanya bertumpu pada tengkulak.

Akses terhadap teknologi

Karakteristik pola tanam biasanya hanya berada pada pekarangan sekitar rumah, hal tersebut dirasa tidak memerlukan teknologi yang canggih. Petani anggota jarang yang memiliki alat canggih dalam hal penanaman. Namun untuk proses penebangan dan pemotongan kayu, petani pada umumnya menggunakan alat yang disediakan koperasi atau tengkulak. Petani yang memilih untuk menjadi anggota koperasi akan memiliki alternatif tambahan dalam menggunakan teknologi.

Bagi petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh, manfaat akses terhadap teknologi sebelum dan setelah koperasi berdiri hanya dibedakan pada bertambahnya pilihan yang dapat dimanfaatkan oleh petani. Tidak ada perbedaan signifikan karena pembiayaan atas penggunaan teknologi tetap menjadi beban petani. Beban biaya penggunaan teknologi akan dikurangi pada harga yang disepakati. Perbedaannya terletak pada akuntabilitas dan transparansi penentuan biaya. Koperasi memberikan rincian biaya produksi kepada petani bersamaan dengan perencanaan pemanenan sedangkan perencanaan tidak dilakukan oleh tengkulak. Meskipun koperasi memiliki sawmill, namun status kepemilikan sawmilltersebut tidak berada di bawah koperasi. Kondisi itu menjadi kendala bagi petani anggota koperasi karena relasi antara pemilik sawmill dan koperasi adalah relasi bisnis.

Sawmillyang dimiliki oleh koperasi Wana Lestari Menoreh diorganisasikan oleh PT. Poros Nusantara Utama (PNU) Yogyakarta. PT. PNU merupakan hasil dari konsorsium antara beberapa pihak, antara lain yayasan Telapak (30%), KWLM (65%), dan Yabima (5%). Hasil dari pertemuan community logging (comlog) pada tahun 2013 menyarankan bahwa PT. PNU harus terpisah dengan koperasi. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa perkembangan koperasi masih sangat dipengaruhi oleh pihak luar, dalam hal ini lembaga induk koperasi. Sesuai dengan desain awal pendirian koperasi yang mana diinisiasikan oleh yayasan Telapak dalam rangka mengikuti program sertifikasi FSC.

(51)

25

sawmill merupakan manfaat yang sangat signifikan dalam konteks kemudahan akses pemanfaatannya.

Gambar 3.5 Sawmill koperasi Wana Lestari Menoreh.

Kehadiran sawmill ini merupakan manfaat dari adanya bantuan dari pemerintah Jepang dalam membangun koperasi pada tahun 2013. Bantuan dana hibah tersebut merupakan bagian dari program Fasilitasi Pengembangan Usaha Pengolahan Kayu Rakyat Bersertifikat Eco Label di Kabupaten Gunungkidul. Program ini merupakan proyek bantuan hibah grassroots senilai USD 89,821 yang diberikan Pemerintah Jepang kepada Perhimpunan SHOREA. Proyek tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Jepang dan Perhimpunan SHOREA pada bulan Maret 2013. Pada proyek ini, dilaksanakan pembangunan sebuah bengkel kerja pengolahan kayu dan penyediaan mesin gergaji serta pelatihan untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang kehutanan dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat setempat, khususnya petani anggota koperasi.

(52)

26

Fakta bahwa koperasi Wana Manunggal Lestari mampu membangun sawmillmilik koperasi tidak dapat dipandang sebagai keunggulan koperasi dalam membangun relasi. Latar belakang desain pembangunan koperasi menjadi poin penting dalam menilai peforma koperasi. Pembangunan sawmill yang dimiliki koperasi Wana Manunggal Lestari merupakan hasil dari bangunan relasi lembaga pendamping dengan jaringan pendanaan. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh ketua koperasi.

“Bantuan pembangunan koperasi sepenuhnya dilakukan oleh lembaga pendamping. Termasuk saat pengerjaan konstruksinya, kami (pengurus dan anggota) hanya terima jadi.”

Sawmill yang dimiliki koperasi memberikan kemudahan bagi petani anggota dalam mengolah kayu.Sawmillmilik koperasi tidak memiliki aturan yang rumit bagi petani anggota. Sawmill pada umumnya mengharuskan petani untuk menggunakansawmilldengan jumlah tertentu. Selain itu petani terkendala dengan sistem antrian yang lebih mendahulukan pengusaha besar pada sawmill umum. Setelah koperasi memiliki lokasi dan fasilitas yang memadai kemudian koperasi mampu membangun relasi dengan investor untuk membangun sawmill menggunakan sistem bagi hasil.

“Meskipun harganya sama, tapi kalau di koperasi jumlah yang bisa di gesek(diolah) bebas danngantrinyatidak lama.”

(AR, anggota koperasi)

“Koperasi berhasil membawa investor untuk membangun gesekan (sawmill). Ada bantuan dari pemerintah Jepang melalui lembaga Shorea (pendamping). Alhamdulillah gesekan ini sangat membantu petanianggota karena bisa dianggap ini juga milik anggota.”

(Ketua koperasi) Akses terhadap tenaga kerja

Pengaruh kehadiran koperasi terhadap ketersediaan akses petani kepada sumber tenaga kerja secara umum tidak terlalu signifikan. Namun manfaat adanya koperasi, selain dari munculnya alternatif pilihan, adalah tersedianya tenaga kerja yang berkualitas. Kualitas tenaga kerja dalam konteks ini adalah kemampuan dalam melakukan proses pemanenan sesuai dengan metode yang tepat. Kendala yang dihadapi petani anggota sebelum adanya koperasi adalah proses pemanenan yang kurang efisien karena tidak menggunakan sistem penebangan dan pembagian batang (bucking) secara tepat.

(53)

27

ditawarkan oleh tengkulak pada umumnya sudah termasuk di dalam harga penawaran.

Perhitungan biaya tenaga kerja yang tidak transparan tersebut mem-pengaruhi keuntungan yang diterima petani pada masa sebelum koperasi berdiri. Petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh memiliki akses penggunaan tenaga kerja yang lebih mapan (established) dibandingkan petani anggota koperasi Wana Manunggal Lestari. Kondisi tersebut merupakan dampak dari tidak optimalnya aktivitas produksi kayu koperasi Wana Manunggal Lestari. Pembiayaan tenaga kerja yang ditanggung oleh petani anggota koperasi Wana Lestari Menoreh akan memperoleh kompensasi dari adanya premium price. Sedangkan bagi anggota koperasi wana manunggal lestari, kompensasi tersebut belum muncul.

Akses terhadap pengetahuan dan informasi

Manfaat yang dirasakan paling signifikan adalah adanya akses pengetahuan dan informasi (Nurrochmat et al. 2013). Kehadiran koperasi dirasakan oleh petani mampu menambah akses dalam mencari pengetahuan dan informasi. Pengetahuan yang diberikan koperasi kepada petani terkait pada metode penaksiran potensi pohon dan standar kualitas kayu. Sebelum mengenal metode yang tepat dalam penaksiran potensi, petani menghadapi kendala dalam melakukan transaksi penjualan kayu. Tengkulak melakukan penaksiran dengan metode perkiraan tanpa ada pengukuran secara nyata dan petani dipaksa untuk menerima harga penawaran dari tengkulak tanpa ada kejelasan mengenai potensi kayu yang akan ditebang. Metode tersebut dirasakan sangat merugikan petani karena mempengaruhi jumlah keuntungan yang diterima. Selain metode penaksiran, petani juga telah mampu memperoleh pengetahuan dalam rangka memaksimalkan nilai jual melalui pengetahuan dalam halbucking(pembagian batang) dangrading(standar kualitas kayu). Pengetahuan penaksiran potensi, bucking dan grading akan membantu petani dalam memperkirakan nilai keuntungan yang akan diterima. Pengetahuan teknis budidaya dan informasi dinamika pasar kayu akan diberikan oleh koperasi secara aktual kepada petani. Relasi yang terbangun antara koperasi dan industri kayu, baik pasar bersertifikat maupun non-sertifikat, mampu memberikan pilihan kepada petani untuk menjual kayu. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi petani untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan. Meskipun koperasi memiliki aturan yang melarang anggotanya menjual kayu kepada pihak lain, namun kondisi karakteristik kebutuhan rumah tangga petani (subsisten) yang memaksa untuk melonggarkan aturan tersebut. Pilihan tersebut menyebabkan petani untuk membuat sebuah rencana bisnis. Penjualan kayu kepada tengkulak dapat dilakukan apabila terjadi momen kebutuhan yang mendesak, sedangkan penjualan kepada koperasi digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang dapat direncanakan. Fakta tersebut menggambarkan bahwa premium price merupakan faktor utama yang mempengaruhi petani untuk menjual kayu kepada koperasi.

(54)

28

Penaksiran tersebut hanya dilakukan berdasarkan besar atau kecilnya pohon. Setelah petani memiliki kemampuan untuk mengukur dan menilai potensi pohon, maka penaksiran yang dilakukan tengkulak saat ini juga dengan menggunakan pengukuran fisik. Harga pasar juga menjadi patokan dalam negosiasi transaksi penjualan pohon dengan menggunakan harga per meter kubik.

Tabel 3.7 Dampak meningkatnya pengetahuan dan informasi pengelolaan hutan rakyat kepada iklim usaha.

Salah satu alasan petani bergabung menjadi anggota koperasi adalah faktor ekonomi. Petani memiliki harapan yang tinggi bahwa koperasi mampu memberikan alternatif solusi dalam permasalahan finansial. Petani menyadari bahwa relasi antara petani dan rentenir merupakan solusi yang memiliki resiko tinggi. Resiko yang dihadapi petani adalah tingginya bunga pinjaman meskipun sistem pencairan uang pinjaman sangat mudah. Petani berharap bahwa dengan adanya koperasi, maka resiko tersebut dapat ditekan.

Gambar

Gambar 1.1 Permasalahan petani dalam skema sertifikasi hutan rakyat.
Gambar 1.2 Implikasi pilihan kerjasama penjualan kayu oleh petani.
Gambar 2.1 Tahapan analisis data.
Tabel 2.4  Matrikulasi analisis kapsitas akses petani anggota.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik hutan rakyat di Desa Semoyo terdiri dari berbagai macam hutan rakyat yaitu hutan rakyat swadaya yaitu hutan yang pengelolaannya berasal dari petani

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran dan fungsi KWLM dalam sertifikasi kayu hutan rakyat di pengelolaan hutan lestari Desa Banjararum,

penelitian pertanian organik lebih lanjut karena masih sangat sedikitnya laporan penelitian mengenai pertanian organik, khususnya tentang program sertifikasi organik. 3)

Darusman (1995) menegaskan bahwa bahwa hutan rakyat dan industri pengolahan hasilnya merupakan pilihan teknologi budidaya dan industri yang tepat guna

Persepsi petani mengenai pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri tergolong tinggi, karena itu petani beranggapan bahwa pengelolaan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan

Persepsi petani mengenai pengelolaan hutan rakyat pola agroforestri tergolong tinggi, karena itu petani beranggapan bahwa pengelolaan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa inovasi teknologi TBS dipersepsi positif oleh petani di DIY, sebagian besar petani mempunyai persepsi

Berdasarkan pemaparan tersebut maka, penelitian ini bertujuan unutk menganalisis: perilaku wirausaha pada petani muda horikultura, peran orangtua dalam mengembangkan perilaku wirausaha