• Tidak ada hasil yang ditemukan

REBRANDING SISTEM PEMILU

3. PEMBAHASAN 1 Memotret NTT

3.4 Kapitalisasi Politik

Pertanyaannnya sekarang adalah seberapa pentingkah peran politik bagi pemberantasan kemiskinan di NTT? Pertanyaan ini menjadi penting karena dalam ruang politik keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan terkait kehidupan orang banyak (kesejahteraan, keadilan, dsb) dieksekusi. Ruang politik adalah ruang komunikasi, karena di dalamnya orang bisa dengan bebas mengemukakan pikiran dan pandangan demi kebaikan dan kemajuan bersama. Politik hemat saya adalah raja yang menguasai bidang-bidang lain. Politik merambah ke bidang, ekonomi, sosial, hukum, budaya, hingga kebiasaan masyarakat. Kualitas bidang-bidang ini

103 Cypri J. Paju Dale, Kuasa Pembangunan dan Kemiskinan Sitemik, (Labuan Bajo: Sunspirit Books, 2013), p.225.

ditentukan oleh seberapa dalamnya kualitas kehidupan politik di NTT. Stabilitas politik menjadi titik tolak pembangunan dalam kehidupan masyarakat. Stabilitas politik itu sendiri dibentuk oleh syarat-syarat dalam bidang politik seperti penyederhanaan partai politik, pembatasan partisipasi politik, dihapuskannya oposisi politik, penerapan asas kebebasan bertanggungjawab bagi pers, dan penciptaan massa mengambang pada tingkat di bawah kecamatan. Dari titik tolak stabilitas politik inilah pembangunan itu mulai bergerak.105

Gagalnya pembangunan bisa ditafsir karena pembangunan yang selalu bertitik tolak dari kehidupan ekonomi. Padahal stabilitas politiklah yang menjamin pembangunan dan dengan demikian menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut Max Corden, krisis pembangunan yang terjadi di Indonesia bersumber dari kesalahan pengelolaan pemerintahan (misgovernment), korupsi, masalah transisi politik, tidak adanya rasa aman bagi masyarakat beretnis, dan jatuhnya harga minyak.106 Maka mengabaikan bidang ini, berarti mengabaikan kehidupan itu sendiri sebagai konsekuensi dari hidup bernegara.

Namun demikian politik dibawah naungan demokrasi, telah menjadikan ajang Pemilihan Umum, Pemilihan Kepala Daerah, Gubernur ataupun Dewan Perwakilan Rakyat sebagai ajang utang-piutang, ajang investasi, awal dari proses pemiskinan rakyat. Untuk pemilihan seorang bupati saja, dana kampanye yang dihabiskan bisa mencapai 5-20 miliyar, gubernur bisa mencapai 10-400 milyar, dan lain sebagainya. Membayar 2-3 miliyar kepada partai politik supaya seorang calon bupati bisa didukung dalam sebuah pilkada merupakan praktik yang biasa terjadi.107

Dalam ketentuan pembatasan dana kampanye terbaru pun masih cukup mahal. Ketentuan itu diatur rigid dalam peraturn KPU Nomor 8 Tahun 2015 tentanga dana kampanye. Sumber dana kampanye bisa berasal dari pasangan calon, partai politik atau sumber lain yang sah. Bentuknya bisa berupa uang, barang, atau jasa. Pasal 7 peraturan KPU itu menyebut, dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan nilainya paling bayak Rp.50 juta rupiah. Dana kampenye yang berasal dari kelompok atau badan hokum swasta nilainya paling banyak Rp.500 juta rupiah. Tentang pembatasannya, pasal 12 ayat 1 menjelaskan, KPU Daerah menetapkan pembatasan pengeluaran dana kampenye dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik dana manajemen kampanye/konsultan.108

Pertanyaannya sekarang adalah darimana seorang calon kepala daerah memperoleh dana sebesar itu? Di NTT, besarnya dana kampanye itulah yang menjadikan seorang Sebastian Salang, (seorang bakal calon bupati Manggarai) mengundurkan diri dari bursa calon bupati Manggarai beberapa periode yang lalu.

105 Ignas Kleden, Konstruksi Sosial Pemimpin, (Opini Kompas Edisi 29 Oktober 2015). P. 6. 106 Ibid. p. 304.

107 (Bdk.http://.kendariekspres.com/news.php?newais=6252).

Demokrasi yang dijunjung tinggi pada gilirannya menjadi sebuah sistem yang mahal dan boros. Sistem yang mahal dan boros inilah yang kemudian dieksploitasi oleh sistem kapitalisme melalui kaum pemilik modal-dalam hal ini adalah korporasi-korporasi asing-untuk menjalin hubungan asmara dengan para calon pemimpin tersebut dengan sebuah deal bahwa seorang pengusaha atau pemilik korporasi akan membiayai seluruh dana kampanye seorang calon asalkan jika calon terpilih, maka korporasi bersangkutan mendapat izin untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah kekuasaan sang calon dengan bebas. Inilah yang terjadi di NTT.

Efek lain dari hal ini adalah tendensi untuk menjadikan jabatan sebagai lahan mencari nafkah dan memperkaya diri. Tak pelak, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) terjadi dimana-mana. Seorang bupati menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Di pihak lain, visi dan misi yang didengungkan selama masa kampanye menjadi janji yang tidak pernah dibuktikan. Banyak bupati yang belum menyadarai bahwa menjadi bupati bukannya untuk memperkaya diri dan keluarga, melainkan membangun struktur dan infrastruktur ekonomi daerahnya.109 Maka sampai pada titik seperti ini, masyarakatlah yang menjadi kambing hitam. Menjamurnya korporasi-korporasi tambang di NTT sudah menjadi bukti semuanya itu. Korporasi tersebut bergerak semau gue saja, menutup diri terhadap lingkungan sosial, dan menjadi organisasi yang kebal hukum. Lalu timbul kecurigaan: Jangan-jangan sistem yang telah dianut selama ini, baik nasional maupun di wilayah lokal NTT diciptakan oleh korporasi-korporasi asing ini?

Politik di NTT akhirnya tidak bebas nilai dan jauh dari cita-cita awal Aristoteles untuk bonum commune, bahkan politik itu sendiri berada di bawah kendali total bidang ekonomi. Maka politik pun tidak lain adalah sarana meluruskan dan memuluskan jalan bagi korporasi-korporasi tambang yang oleh Ferdy Hasiman disebut sebagai monster. Pertambangan menghancurkan sumber hidup dan masa depan masyarakat.110 Tambang yang digadang-gadang mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah isapan jempol belaka. Tambang mempunyai daya destruksi yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat. Inilah yang kemudian dinamakan kapitalisasi politik. Politik dipretel hanya pada tujuan ekonomis semata. Hal ini dipraktikkan secara murni dan konsekuen oleh para penguasa wilayah NTT.

Demokrasi dan pemilihan umumnya hanyalah sandiwara ciptaan kaum kapitalis. Kaum kapitalis telah lama mencampuri urusan politik di lingkup NTT, barangkali sejak diberlakukannya undang-undang tentang Otonomi Daerah. Lantas, penguasa terjebak dalam lingkaran setan ciptaan kaum korporasi. Maju salah, mundur salah. Yang bisa dilakukan hanyalah terus memperkaya diri dengan mempecundangi rakyat yang telah memilihnya. Jelaslah pepatah Cina kuno yang dikutip pada awal tulisan ini: Ketika seseorang menjadi pejabat, bahkan kucing dan

anjingnya pun masuk surga. Binatang piaraan para penguasa terus bertambah

gemuk dan sehat, sementara masyarakat NTT terus-menerus berkubang dalam jurang kemiskinan dan ketidakadilan. Menyitir Cypri J.P. Dale: ‘NTT for Sale’.

109 Zakaria J, Ngelow dkk, Teologi Politik, (Makasar: Oase Intim, 2013), p. 144. 110 Ferdy Hasiman, Op.Cit. p. 158.

Pemerintah, mulai dari seluruh perangkat kerja dan wewenang yang ada padanya menjadi tenaga penjual dari properti yang bernama Indonesia umumnya dan NTT khususnya.111

Dokumen terkait