• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Penangkapan dan Penahanan Sewenang-Wenang Kasus Monika Zonggonau

LARANGAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG DITINJAU DARI HAK ATAS KEADILAN

3. Kasus Penangkapan dan Penahanan Sewenang-Wenang Kasus Monika Zonggonau

Sekitar tanggal 6 April 2009 pukul 08.00 WIT, Ibu Monika Zonggonau yang datang hendak bergabung bersama kepala-kelapa suku di Kabupaten Nabire untuk menyelesaikan persoalan pembubaran massa yang mendirikan pondok di Taman Gizi dan penangkapan 15 tersangka yang diduga melakukan tindak pidana makar dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire sekitar jam 5.00 WIT, namun saat tiba ditempat tersebut masih terjadi keributan akibat pembubaran massa oleh aparat Kepolisian Resort Nabire yang menyebabkan situasi tidak dapat dikendalikan lagi, selanjutnya Ibu Monika berdiri di pasar Karang Tumaritis Kabupaten Nabire, sekitar jam 10.00 WIT saat berdiri di pasar tersebut Ibu Monika mendengar ada Polisi yang mengatakan, “ Itu ibu yang orasi di Kantor KPU, tangkap dia !!!, kemudian datang aparat kepolisian dari Kepolisian Resort Nabire dalam jumlah yang cukup banyak lalu menangkap Ibu Monika Zonggonau tanpa surat tugas, surat perintah penangkapan, kemudian aparat kepolisian tersebut melakukan pemukulan terhadap ibu Monika di bagian belakang kepala dan tangan yang mengakibatkan luka dibagian kepala dan tangan, selanjutnya dibawah ke Markas Polres Nabire di tempat ini penyiksaan oleh Ibu Monika berlanjut, oleh aparat Polisi Wanita, ibu dipukul oleh aparat tersebut dengan sepatu yang dilempar kearah alis mata yang menyebabkan luka robek pada bagian alis. Saat pemeriksaan di Kepolisian Ibu Monika memberikan keterangan dibawa paksaan aparat penyidik Kepolisian Resort Nabire dan sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk membaca Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selain itu pemeriksaan ibu Monika tidak didampingi pengacara, padahal pasal yang dituduhkan kepadanya yakni Pasal 160 KUHP yakni PENGHASUTAN didepan umum yang ancaman diatas 6 (enam) tahun

77 Ibid,hlm.159

78 Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”)

79 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2006

80 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No.8 Tahun 1981,LN Tahun 1981 No.76,TLN No.3209,Pasal 1 angka 20.

yang mana wajid didampingi oleh Pengacara. Ibu Monika telah ditahan di Kepolisian selama 60 hari (7 April – 03 Juni 2009) dan kini penahanannya dilanjutkan oleh Kejaksaan Negeri Nabire selama 20 hari (03 Juni-22 Juni 2009), ketika penahanannya telah habis di Kepolisian pihak penyidik telah menerbitkan surat pengeluaran penahanan dengan Nomor Polisi : SPP-.HAN/56.c/VI/2009/Reskrim namun hal ini tidak diikuti oleh aparat kepolisian untuk mengeluarkan yang bersangkutan, bahkan yang anehnya meskipun ada surat tersebut yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian, pihak kepolisian sendirilah yang melimpahkan kepada kejaksaan untuk diproses.81

Kasus Bupati Sumedang Ade Irawan

Pada Kasus Kedua Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar dinyatakan dilakukan secara sewenang-wenang. Karena disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala daerah. Guru Besar Fakultas Hukum Unpad I Gde Pantja Astawa menjelaskan dalam hal penahanan terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah, acuannya sama, yakni Undang Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Gde, dalam UU tersebut ditegaskan untuk menahan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diduga melakukan tindak pidana, terlebih dahulu harus ada izin dari Mendagri. "Apa reasoningnya harus ada izin dari Mendagri? Karena yang mengangkat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Kabupaten/Kota) adalah Mendagri atas nama Presiden," ujar Gde Pantja Karena itu, menurut Gde Pantja, penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah pun harus se-izin Mendagri. Gde Pantja yang juga diminta legal opinion atas kasus bupati Sumedang ini menyatakan izin mendagri diperlukan karena juga menyangkut tugas dan tanggung jawab kepala daerah dan/wakil kepala daerah. "Tidak bisa begitu saja dilepaskan tanpa ada kejelasan tentang bagaimana kelangsungan tugas dan tanggung jawab pejabat tersebut bila yang bersangkutan ditahan tanpa ada izin dari Mendagri," ujarnya.

Dari itulah menurut Gde Pantja, apa yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tanpa ada izin dari Mendagri, maka tindakan penegak hukum tersebut menjadi tidak sah. Karena bertentangan dengan UU No.23/2014. Bahkan dapat dikatakan penegak hukum tersebut bertindak sewenang-wenang sebagai suatu hal yang dilarang. Gde Pantja, juga memaparkan dalam kasus dugaan korupsi ada penanganan yang berbeda antara jajaran Kejaksaan Agung dan Kejati Jabar. "Pada satu sisi, Bupati Sumedang ditahan tanpa ada izin dari Mendagri, sementara pada sisi lain Kejagung tidak atau belum menahan Algothas (wakil Bupati Cirebon) karena belum ada izin Mendagri," ujarnya. "Pertanyaannya, bagaimana mungkin kejaksaan sebagai satu kesatuan bisa melakukan "treatment" yang berbeda terhadap subyek hukum dan norma hukum yang sama," katanya. Inilah, menurut Pantja, salah satu bentuk penegakan hukum yang "ambigue" di negeri yang penuh ironi dan anomali ini. "Dengan kata lain,

tindakan Kejati menahan Pa Ade Irawan tanpa izin adalah tindakan sewenang-wenang, karena-nya tindakan kejati tersebut menjadi tidak sah yang berakibat batal demi hukum (nietige van rechtwege)," ujarnya. Sementara saat dikonfirmasi Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jabar, Suparman menyatakan bahwa penahanan Ade Irawan itu sudah sesuai prosedur. "Menurut kita penahanan sudah sesuai prosedur," ujar Suparman. Kalau ada pihak lain ada yang mempermasalahkannya silahkan saja itu hak mereka. "Kalau ada yang mempermasalahkannya silahkan saja, ada hak dari pengacara atau tsk untuk di praperadilankan," katanya.82

Kasus Bambang Widjojanto

Pada kasus ketiga Bambang Widjojanto ditangkap Bareskrim Polri dengan cara sewenang-wenang. Pimpinan KPK itu diborgol, diangkut bersama anaknya, sambil diberi tekanan teror sepanjang perjalanan. Sejumlah pihak memprotes keras penangkapan ini, termasuk KPK. Dorongan kepada Polri agar segera membebaskan Bambang dari segala urusan hukum pun disampaikan.Tak sedikit juga yang menyuarakan kekecewaan pada Presiden Joko Widodo terkait peryataannya yang dinilai kurang 'terang'.83

4. Analisis

Sebagaimana yang telah diketahui jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dalam peraturan hukum acara dalam rangkaian proses dari pidana ini menjurus kepada pembatasan Hak Asasi Manusia seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasan-pembatasan Hak Asasi Manusia84 dalam hal ini bahwa Tindakan-tindakan aparat Kepolisian Resort Nabire dan Kejaksaan yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Ibu Monika Zonggonau merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang mana dalam Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1 mengenai larangan penahanan sewenang-wenang, tidak hanya itu pelanggaran tersebut juga telah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 9 ICCPR, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Adapun fakta yang terungkap diatas bahwa yang dilakukan aparat penegak hukum merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, terdapat beberapa hal menyimpangi hak atas keadilan diantaranya adalah bahwa pada fakta pertama Ibu Monika Zonggonau ditangkap dan ditahan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire tidak sesuai dengan prosedur dan bertentangan dengan hukum. Karena jelas bahwa

82 Yedi Supriadi, “Tahan Bupati Sumedang, Kejati Dinilai Sewenang-Wenang”, http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/04/13/323406/tahan-bupati-sumedang-kejati-dinilai-sewenang-wenang, pada 25 November 2016

83 Detiknews, Kronologi Penangkapan Teror Bambang Widjojanto”, http://news.detik.com/berita/d-2812254/kronologi-penangkapan-teror-bambang-widjojanto pada 25 November 2016

84 Purnomo,Pokok-pokok Tata Cara Peradlilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang

pada faktanya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian Resort Nabire melanggar prinsip legalitas karena wewenang yang diberikan oleh undang-undang tidak dilaksanakan dengan benar, hal ini jelas terlihat bahwa penangkapan dan penahanan Monika Zonggonau yang seharusnya berdasarkan pasal 18 ayat 1 dan pasal 20 ayat 2 KUHAP harus adanya surat perintah. Namun, hal ini tidak ada pada saat dilakukannya penangkapan dan penahanan sehingga hal ini juga telah melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa setiap orang

berhak atas kebebasan, keamanan pribadi dan tak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Selain itu dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada pasal 9 disebutkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan wenang. Selain itu, penahanan sewenang-wenang juga diatur dalam the Body of Principles foe Protection of All Persons under

any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya disebut the Body of Principles. The Body of Priciples menyatakan bahwa penangkapan, penahanan atau

pemenjaraan hanya boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan ketentuan hukum dan oleh para pejabat yang diberikan wewenang untuk itu. Dalam prinsip tersebut tersirat bahwa seseorang ditangkap atau ditahan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan tidak boleh melanggar atau mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.85 Berdasarkan fakta yang ada penahanan yang dilakukan terhadap Monika Zonggonau tidak sesuai dengan aturan hukum, sehingga dapatlah dikatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap Monika Zonngonau dilakukan secara sewenang-wenang. Negara dalam hal ini belum dapat menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia khususnya hak atas keadilan.

Pada fakta kedua bahwa saat pemeriksaan tersangka Monika Zonggonau tidak didampingi pengacara padahal tindak pidana yang disangkakan adalah pasal 160 KUHP yang ancaman hukumannya lebih dari 5 (lima) tahun dan Monika Zonggonau adalah orang tidak mampu. Dalam hal ini telah melanggar hak atas keadilan. Yang seharusnya Monika Zonggonau didampingi oleh pengacara sesuai dengan hak-haknya sebagai tersangka yang diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP86

bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Pada fakta ini jelas, penegak hukum dalam hal ini aparat Kepolisian Resort Nabire tidak hanya telah melanggar prinsip legalitas seperti yang telah diungkapkan pada fakta sebelumnya, tetapi penegak hukum juga tidak memberikan hak-hak tersangka yang diatur dalam KUHAP pada bab VI. Sehingga dalam hal ini jelas telah melanggar hak atas keadilan, karena sebagai tersangka seseorang tetap memiliki hak yangmana hak tersebut telah dijamin dalam undang-undang. Perlu dipahami bahwa tersangka adalah seseorang

85 http://digilib.unila.ac.id/18289/2/BAB%20I.pdf diakses pada 3 April 2016

86 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 56

yang patut diduga berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ia bukanlah seseorang terpidana yang sudah secara sah dinyatakan bersalah. Selama ia masih memiliki status tersangka seharusnya tidak diperlakukan selayaknya terpidana. Dalam fakta ini seharusnya Negara yang memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi sudah seharusnya dapat memenuhi hak-hak tersangka yang sudah diatur dalam KUHAP. Namun, hal ini kembali tidak dijalankan oleh Negara.

Fakta berikut bahwa tersangka tidak dikeluarkan dari tahanan walaupun ada perintah pengeluaran tahanan87 dengan Nomor Polisi : SPP.Han/56.c/VI/2009/Reskrim. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh aparat kepolisian justru aparat kepolisian melimpahkan ke Kejaksaan untuk melakukan penahanan lanjutan. Hal ini melanggar hak atas keadilan karena seharusnya. Hal ini sangat bertentangan dengan Hak Atas Keadilan, dimana penahanan merupakan tindakan menghentikan kemerdekaan seseorang, sedangkan kemerdekaan itu adalah hak asasi manusia. KUHAP merupakan undang-undang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, oleh karena itu terdapat pembatasan jangka waktu penahanan.88 Dengan adanya fakta bahwa tersangka tetap ditahan walaupun sudah ada surat perintah pengeluaran tahanan hal ini jelas tidak sejalan dengan cara penahanan yang dilakukan penyidik dalam Pasal 21 ayat 2 dan 3 KUHAP,89 yang mensyaratkan bahwa penahanan harus ada surat perintah penahanan atau surat penetapan. Namun, hal ini tidak ada justru kebalikannya. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan sehingga mencederai hak asasi Monika Zonggonau yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh Negara tapi hal ini tidak terwujud. Hal ini bertentangan dengan prinsip legalitas yang seharusnya penyelenggara Negara menyadari bahwa untuk mewujudkan hak asasi manusia Negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi. Untuk itu berdasarkan fakta ini hak atas keadilan telah terlanggar.

Tidak hanya itu, pada fakta selanjutnya bahwa tindakan pengkapan dan penahanan tersebut dilakukan secara tidak pantas, karena terjadi pemukulan dan penyiksaan. Yang hal ini sebenarnya tidak dapat dilakukan oleh aparat kepolisian adapun alasan penangkapan dan penahanan seseorang harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup maksudnya adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan pasal 1 angka 14 KUHAP yang dalam hal ini pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.90 Dengan kata lain , tanpa bukti permulaan yang cukup, penyidik tidak dapat melakukan penangkapan.91 Yang dalam hal ini tidak dilakukan oleh aparat kepolisian justru dalam pemeriksaan aparat melakukan penyiksaan agar tersangka mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Hal ini melanggar hak atas keadilan yang seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena fakta ini menunjukan terlanggarnya

87 Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor, 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 10 (b.29)

88 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm.19.

89 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 21 ayat 2 dan ayat 3

90 Yahya Harahap,Loc.Cit,hlm.157

91 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan

prinsip nessesitas yang memiliki hubungan yang erat dengan prinsip proporsionalitas. Dimana dalam hal penangkapan dan penahan tidak perlu dilakukan penyiksaan dan pemukulan itu sendiri, karena pada dasarnya penangkapan dan penahanan harus ada bukti permulaan yang cukup dimana dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tidak boleh dilakukan kekerasan karena tercantum dalam prinsip 1- 38 mengenai perlindungan semua orang dalam segala bentuk penahanan92. Bahwa tersangka tidak boleh dipaksa mengakui suatu kesalahan karena hal ini bertentangan dengan prinsip self incrimination. Selain itu, terdapat konvensi anti penyiksaan adalah untuk melindungi tersangka atau terdakwa dari adanya penyiksaan ataupun dugaan penyiksaan yang dimuat di dalam pasal 1 yang berbunyi “untuk tujuan konvensi ini, penyiksaan adalah setiap perbuatan dengan mana sakit parah atau penderitaan, apakah fisik atau mental, sengaja ditimpakan pada seseorang untuk tujuan seperti memperoleh darinya atau dari orang ketiga informasi atau pengakuan, menghukumnya atas suatu perbuatan dia atau orang ketiga yang telah dilakukan atua diduga telah dilakukan, atau mengintimidasi atau memaksa dia atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi dalam bentuk apapun, ketika rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan oleh atau atas hasutan dengan persetujuan atau persetujuan resmi atau umum lainnya yang bertindak dalam kapasitas resmi. Ini tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat atau yang terkait dengan sanksi hukum.93 Dengan demikian berdasarkan fakta yang ada pelakuan berupa penyiksaan dan pemukulan agar Monika Zonggonau mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya telah melanggar hak atas keadilan yang berupa larangan penahanan sewenang-wenang. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia.

Dan fakta terakhir dari kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang adalah akibat dari penyiksaaan Ibu Monika Zonggonau mengalami luka-luka tetapi sejak ditahan dari tingkat kepolisian hingga kejaksaan tidak pernah diizinkan untuk menghubungi dokter yang hal ini melanggar hak atas keadilan yang seharusnya dalam hak-hak tersangka memiliki akses untuk itu berdasrkan pasal 58 KUHAP94 bahwa apabila tersangka atau terdakwa sakit, maka mempunyai hak untuk dikunjungi dokter pribadi untuk kepentingan kesehatannya. Dalam fakta ini jelas setelah Monika Zonggonau disiksa saat pemeriksaan sekarang tidak diizinkan untuk mengobati luka-luka yang didapat dari siksaan tersebut. Dengan demikian berdasarkan fakta yang ada pelakuan tidak dizinkanya menghubungi dokter telah melanggar hak atas keadilan dimana sebenarnya hak itu tidak dapat dibatasi ataupun dikurangi walaupun ia menjadi seorang tersangka. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia.

92Universitas Kristen Satya

Wacana,http://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2673/1/T1_312008059_Judul.pdf diakses pada 3 April 2016

93 Universitas Kristen Satya Wacana,Ibid

94 Indonesia, Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN. 76, TLN No. 36, Pasal 58

Pada fakta kasus kedua menunjukan bahwa penahanan terhadap seorang Bupati Sumedang dilakukan oleh jaksa dengan sewenang-wenang. Dalam hal ini Penahanan Bupati Sumedang Ade Irawan oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar disinyalir tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Padahal izin tersebut menjadi hal yang krusial bagi penegak hukum untuk menahan seorang kepala daerah. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada kasus ini jelas terlanggarnya prinsip legalitas yang seharusnya segala tindakan Negara harus ada dasar yang mengaturnya. Dalam hal ini Negara yang dalam bertindaknya dibatasi oleh Undang-Undang justru melanggarnya. Untuk itu Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia.

Pada fakta kasus ketiga penangkap yang dilakukan oleh polisi sebenarnya juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Hal ini dikarenakan Pimpinan KPK itu diborgol, diangkut bersama anaknya, sambil diberi tekanan teror sepanjang perjalanan. Seharusnya hal ini tidak perlu dilakukan karena dalam hal ini Negara penangkapan terdapat waktu untuk menangkapnya. Mengapa ditangkap pada saat bersama anaknya. Hal ini merupakan hal yang tidak perlu dilakukan tentu pada kasus ini melanggar prinsip nesesitas dimana sebenarnya masih ada upaya lain untuk ditangkapnya tapi pada saat yang kurang tepat justru ia ditangkap hal ini jelas bahwa Negara telah melanggar kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ICCPR setiap orang mempunyai hak atas kebebasan dan keamanan dirinya sehingga tidak seorang pun dapat ditangkap dan ditahan sembarangan. Dalam pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta KUHAP juga mengatur hal tersebut. Untuk memastikan terlindunginya hak tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan atas penahanan yang terjadi oleh hakim yang tidak memihak. Setiap individu yang ditahan berhak atas segera diinformasikan penahanannya kepada keluarga secara jelas dan tepat mengenai alasan-alasan atas penangkapan atau penahanannya dan juga hak-haknya, serta diizinkan untuk menghubungi seorang pengacara, secara langsung atau melalui keluarga/orang yang dipercaya.95

Ketentuan yang mengatur mengenai larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang memberikan perhatian terhadap perlindungan dan kemerdekaan individu dari ancaman penyalahagunaan kekuasaan dalam keadaan apapun. Namun yang terpernting adalah konsep keseimbangan antara kebebasan dan keamanan yang harus dijamin oleh penguasa dalam hubungan antara Negara dengan warga negaranya.96

SIMPULAN

95 Human Rights Watch, Human Rights Watch: Langkah Awal yang Tersiksa, Jakarta: Human Rights Watch,2004,hlm.22

96 Mufti Makaarim, Wendy Andika Prajuli dan Fitri Bintang Timur,(ed), Almanak Hak Asasi

Hak Asasi Manusia adalah merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.

Pada dasarnya semua orang berhak untuk bebas dari penangkapan, penahanan dan pembuangan sewenang-wenang.97 Dalam kerangka hukum internasional tindakan penangkapan dan/atau penahanan sewenang-wenang merupakan sebuah tindakan yang tidak yang tidak saja melanggar hukum tetapi juga menciderai sejumlah hak terutama hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).98 Hukum HAM internasional mengartikan kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini dipahami mengandung unsur-unsur ketidakadilan (injustice), ketidakpastian (unpredictable), ketidakwajaran (unreasonable), ketidakakuratan (capriciousness) dan ketidakberimbangan (disproportionality).

Fakta-fakta menunjukan bahwa hak atas keadilan belum terwujud terhadap Monika Zonggonau, Bupati Sumedang, Bambang Widjoyanto, serta Kakek Ngamatu karena penangkapan dan penahanan yang dilakukan adalah secara sewenang-wenang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Dikaitkan dengan hak asasi manusia, bahwa banyak instrument hukum yang mengatur seperti pasal 9 ICCPR dan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat di pasal 18 ayat 1 mengenai larangan penahanan sewenang-wenang. Namun, instrument tersebut dilanggar juga oleh penegak hukum. Yang seharusnya menegakan hukum secara benar, perlu dipahami bahwa Negara memiliki kewajiban terhadap Hak Asasi Manusia yaitu, untuk menghormati, melindungi dan memenuhi. Tapi dengan adanya fakta-fakta diatas jelas Negara belum menjalankan kewajibannya terhadap hak asasi manusia.

SARAN

Hak Asasi Manusia sebagai hak mendasar untuk setiap individu haruslah

Dokumen terkait