• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang hukum. Pada penelitian bidang hukum, terdapat dua jenis penelitian yaitu normatif dan empiris. Penelitian bidang hukum merupakan suatu bentuk penelitian ilmiah, yang mendasarkan setiap kegiatannya pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk menganalisa beberapa gejala hukum tertentu52.

Penelitian menggunakan metode yuridis-normatif adalah bentuk kegiatan penelitian ilmiah di bidang hukum yang dilakukan dengan menggunakan cara meneliti data sekunder atau bahan kepustakaan53. Dalam penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif, bahan pustaka merupakan sumber bahan hukum utama dan dasar yang dalam penelitian hukum termasuk ke dalam data sekunder, sehingga jenis data yang dicari adalah data sekunder. Karena sifat dari kegiatan penelitian ilmiah yang dilakukan adalah berupa penelitian normatif, maka metode kepustakaanlah yang paling sesuai dengan sifat penelitian hukum ini.

Pada penelitian yang menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif diperlukan pendekatan penelitian agar peneliti mendapatkan informasi melalui pendekatan yang digunakan untuk menemukan jawaban atas isu terbaru yang

49 Indung Wijayanto, “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi,” (Tesis Master Universitas Diponegoro, Semarang, 2008), hlm. 52.

50 “Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980, hal.5

51 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124.

52 Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari, Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian

Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1, 2016.

53 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

menjadi bahannya. Pendekatan penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Pendekatan Perundang-undangan atau Pendekatan Yuridis merupakan pendekatan yang mutlak harus digunakan dalam penelitian yuridis-normatif, sebab isu utama yang dibahas adalah menyangkut berbagai aturan perundang-undangan dalam penelitian ini54.

b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Pendekatan ini beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam Ilmu Hukum. Peneliti diharapkan akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan bidang Ilmu Hukum55. Konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini mengenai bidang Ilmu Hukum Empiris, yaitu kriminologi yang mengkaji sebab-musabab terjadinya kejahatan.

Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum yang bersifat yuridis-normatif selalu menitikberatkan pada sumber data sekunder. Data sekunder pada penelitian dapat dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier56. Dalam penelitian ini, sumber dari data sekunder adalah sebagai berikut:

a) Bahan Hukum Primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat.

b) Bahan-bahan Hukum Sekunder adalah sumber bahan hukum yang berhubungan dengan dan mendukung bahan hukum primer. Fungsi bahan hukum sekunder sebagai bahan analisis dan pemahaman akan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini terdiri dari buku-buku, hasil penelitian, hasil seminar, jurnal dan internet yang berkaitan dengan “kejahatan kerah putih” dan kriminologi.

c) Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung maupun menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian diolah, serta disajikan melalui langkah-langkah penelusuran hukum dengan metode deduktif rasional yakni menarik kesimpulan dari suatu pernyataan yang bersifat umum.

PEMBAHASAN

Makna Yuridis White Collar Crime di Indonesia

Negara Indonesia merupakan negara hukum, di mana setiap tindakan warga negaranya diatur oleh hukum. Dewasa ini kejahatan kerah putih (white collar crime)

54 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. 55 Ibid.

56 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11-12

banyak terjadi diberbagai aspek, di mana tindakan kejahatan kerah putih (white

collar crime) dilakukan oleh para aktor yang tidak pernah disangka oleh masyarakat

awam melakukan suatu pelanggaran hukum.

Aspek pencegahan terjadinya kejahatan kerah putih (white collar crime) salah satunya didunis perbankan, pemerintah telah menerbitkan suatu undang – undang yang mengatur tentang perbankan yaitu Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Di dalam undang–undang ini pemerintah telah menyelipkan di dalam pasal – pasal tersebut sebagai upaya pencegahan terjadinya kejahatan kerah putih, yaitu pasal yang mengenai sanksi–sanksi yang akan diberikan oleh negara kepada setiap orang yang melanggar peraturan perbankan. Pasal yang mengandung sanksi – sanksi dalam upaya pencegahan kejahatan kerah putih (white collar crime) tersebut terdapat pada Pasal 49 dan Pasal 50 Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, di dalam pasal inilah pemerintah berupaya untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan kerah putih (white collar crime) serta memberikan perlindungan terhadap para nasabah.

Peraturan tersebut memberikan makna bahwa white collar crime merupakan kejahatan yang harus menekankan pada aspek pencegahan daripada pemberian hukuman, Indonesia sebagai negara hukum memberikan makna yang jelas bahwa kejahatan kerah putih termasuk kejahatan yang menjadi prioritas dalam aspek pencegahan.

Masalah Penanganan White Collar Crime di Indonesia

Pelaku sulit diidentifikasi, Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar, Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu. Maka, seringkali pelaku tidak mendapat hukuman karena kurangnya bukti dipengadilan serta saksi ahli yang sulit untuk mengungkapkan tindakan yang dilakukan pelaku white collar crime.

Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Pelemparan tanggung jawab ini membuat sulit aparat penegak hukum untuk mencari pelaku utama sebagai orang yang seharusnya mendapat hukuman yang paling berat.

Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan, dalam banyak kasus white collar crime sangat sulit menemukan korban dari tindakan tersebut, contohnya dalam kasus korupsi secara filosofis yang menjadi korban adalah seluruh rakyat, namun hal ini akan bias bila kasus tersebut berupa gratifikasi.

Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak, hal ini sering ditemukan pada ranah kesehatan. Dokter yang seharusnya melayani pasien berdasarkan kebutuhan medis, seringkali lebih mementingkan kebutuhan keuagan. Seperti membuat rujukan kepada dokter spesialis yang dapat memberikan masukan atau timbal balik berupa uang. Tindakan tersebut jelas melanggar hukum, namun tidakan tersebut sangat sulit untuk dibuktikan terutama dalam aspek kesengajaan.

Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. Pelemparan tanggungjawab antara atasan dan bawahan dalam suatu perusahaan membuat bukti dipengadilan sangat minim dan hal itu berdampak pada menentukan pelaku utama.

Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. Terdapat beberapa faktor terjadinya hal ini, pertama, pelaku white collar crime dapat membayar pengacara yang mahal, sehingga pembelaan hukum terhadap kejahatannya akan lebih kuat. Kedua, Pengadilan Indonesia belum kuat secara konsekuen untuk menegakan keadilan, kejadian penyuapan hakim merupakan tindakan yang sangat mencederai makna keadilan, bila hal ini merupakan suatu kebiasaan yang peradilan Indonesia, sudah barang tentu pelaku white collar crime akan dapat keluar dari ancaman hukuman.

Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu. Hal ini dikarenakan sangat sulit mencari aspek kesengajaan dalam tindakan white collar

crime pelaku dapat dengan mudah menyatakan bahwa tindakan yang dilakukannya

semata-mata hanya untuk menjalankan profesi.

Kebijakan Nonpenal White Collar Crime

Kerumitan dalam membawa pelaku white collar crime ke pengadilan membuat aspek pencegahan menjadi sangat penting untuk lebih dimaksimalkan. Dalam membuat kebijakan nonpenal maka harus ada penggolongan white collar

crime yang nantinya akan menentukan perlakuan terhadap kejahatan tersebut. White collar crime dibagi menjadi empat golongan. Pertama, kejahatan yang

dilakukan oleh organisasi atau perusahaan. Kedua, kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, kejahatan yang berkenaan dengan profesi. Keempat, kejahatan yang dilakukan oleh individu.

Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh organisasi, yaitu dengan cara pengontrolan pemerintah secara langsung terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Kecenderungan yang sering dilakukan oleh perusahaan industri yaitu pembuangan limbah pabrik sembarangan, pemerintah pusat maupun daerah harus mengawasi pembuangan limbah pabrik tersebut serta memberikan alternatif untuk tempat pembuangan akhir, tindakan seperti ini dapat dilakukan pemerintah, ketika perusahaan meminta izin kegiatan. Kontribusi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mengawasi kegiatan perusahaan tersebut, masyarakat yang melihat kejanggalan dalam kegiatan perusahaan harus dengan segera melaporkan kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah. Secara tata negara, sudah seharusnya komisi pemberantas korupsi lebih memperkuat aspek pencegahan dengan cara pengawasan yang lebih intensif diberbagai tingkat pemerintahan. Selain itu, aspek keterbukaan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan seharusnya diberitahuan secara periodik kepada

masyarakat. Hal itu akan mencegah kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang berkenaan dengan profesi, menerapkan kebijakan ini merupakan yang paling sulit karena profesi sangat erat kaitannya dengan suatu tindakan yang legal dengan keprofesiannya. Contoh, pegawai bank mempunyai akses yang sah dalam mengatur keuangan, bila terjadi suatu penyelewangan sangat sulit untuk mencari faktor kesengajaan untuk melanggar hukum. Sama halnya dengan dokter umum yang merujuk pasien kepada dokter spesialis yang didasarkan bukan karena kebutuhan medis, namun karena faktor keuangan. Maka untuk mencegah tindakan tersebut menurut hemat penulis yaitu dengan penguatan pada ranah pendidikan moral, aspek-aspek yang berkaitan dengan moral harus dipelajari dan diajarkan secara utuh dalam lembaga pendidikan yang menaungi berbagai profesi.

Kebijakan nonpenal untuk mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh individu. Pemahaman yang beragam dari setiap individu mengenai tindakan hukum sangat dipengaruhi oleh pemahamannya mengenai hukum dan budaya yang ada dimasyarakat. Pemahaman mengenai hukum akan berbanding lurus dengan kesadaran hukum individu, maka pembelajaran mengenai hukum harus diajarkan pada setiap jenjang pendidikan. Selain itu, budaya masyakrakat sangat menentukan tindakan hukum individu, bila budaya masyarakat dalam suatu lingkungan cenderung menganggap bahwa pelanggaran hukum merupakan suatu hal yang biasa, maka individu tersebut akan menganggap hal yang sama. Maka perlu perekayasaan budaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya patuh pada hukum.

Kesemua pencegahan terhadap white collar crime harus melibatkan aspek pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Hal itu dikarenakan kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang memiliki kompleksitas yang rumit untuk ditangani. Ketika pranata sosial sudah kuat, maka segala kejahatan baik kejahatan kerah putih maupun kejahatan tradisional dapat dicegah dan dihilangkan dari masyarakat.

KESIMPULAN

Kesulitan dalam penanganan white collar crime dikarenakan pelaku sulit diidentifikasi dan diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu. Kejahatan yang menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah atasan. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.

Pembuatan kebijakan nonpenal harus disesuaikan dengan kategori white

collar crime, kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, pemerintah, yang berkenaan

dengan profesi serta individu.

SARAN

White collar crime sangat sulit untuk ditentukan siapa yang menjadi pelaku

utama, maka harus ada kajian yang mendalam mengenai karakteristik pelaku white

collar crime. Pemerintah Indonesia senantiasa harus memperkuat kebijakan

nonpenal yang bertujuan untuk mencegah tindak kejahatan tersebut. Masyarakat harus memahami yang kejahatan yang perlu menjadi prioritas untuk dihilangkan adalah kejahatan white collar crime karena mempuyai dampak yang luas daripada kejahatan tradisional.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Edelhertz, H. The nature, impact, and prosecution of white-collar crime. Washington, DC: U.S. Department of Justice, 1970.

Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.

Miller, J. Mitchell. 21th Century Criminology A Reference Handbook. California: SAGE Publications Inc, 2009.

Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern, Government, Ethics, and Managers, Penyelewengan Aparat Pemerintahan. Bandung: Remaja Rosalakarya Bandung, 1999.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Sutherland, E. H. White collar crime. New York: Dryden Press, 1949.

Sutherland, E. H. .White-collar criminality. American Sociological Review, 5, 1–12, 1950.

Rosoff, S., Pontell, H. N., & Tillman, R. Profit without honor: White-collar crime and the looting of America (4th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2006. Wijayanto, Indung. “Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Jurnal

Firman Firdausi dan Asih Widi Lestari. 2016. Eksistensi ‘White Collar Crime’ Di Indonesia: Kajian Kriminologi Menemukan Upaya Preventif. Jurnal Reformasi, Vol. 6 No. 1.

Artikel

“Crime Trends and Crime Prevention Strategies,” Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders 1980.

LARANGAN PENAHANAN SEWENANG-WENANG DITINJAU DARI HAK ATAS

Dokumen terkait