• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Karakter Citra LANDSAT TM

Citra LANDSAT TM dirancang meliputi daerah yang luas untuk pandangan secara keseluruhan. Keberadaan atau arti ciri-ciri geologi yang besar dapat nampak jelas pada citra LANDSAT TM, tetapi mudah diabaikan pada fotografi konvensional karena dibutuhkan jumlah foto udara yang banyak untuk meliputi suatu kawasan yang sama. Frekuensi yang tinggi dalam ulangan pengambilan liputan yang dilakukan oleh citra LANDSAT TM lebih cukup untuk

 

Kegunaan Utama

Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.

Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman yang tidak sehat.

Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan klorofil. 

Tabel 1 Saluran Citra LANDSAT

Saluran yang peka terhadap biomasa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman. Memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air. 

Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah.

mendapatkan peta tahunan yang terbaru dan untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang waktu (Paine 1992)

Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, citra LANDSAT TM mempunyai kelebihan baik dari segi resolusi spasial maupun resolusi spektral, resolusi spasial 30x30 m dan resolusi spektral sebanyak 7 (tujuh) band. Selain itu kepekaan radiometriknya dengan laju pengiriman data yang lebih cepat dan fokus penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi (Lo 1996)

1 0,45 ~ 0,52

2 0,52 ~ 0,60

3 0,63 ~ 0,69

4 0,76 ~ 0,90

5 1,55 ~ 1,75

Untuk membedakan formasi batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi. Pembedaan kelembaban tanah, dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal.

Kegunaan Utama

6 2,08 ~ 2,35

7 10,40 ~ 12,50

Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)

Dwi (2010) menjelaskan bahwa interpretasi citra merupakan kegiatan mengidentifikasi objek melalui citra inderaja. Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting dalam inderaja. Untuk dapat mengidentifikasi objek melalui citra perlu dibantu dengan unsur-unsur interpretasi yang terdiri dari rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi.

1. Rona dan warna. Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra, dengan demikian rona merupakan tingakatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Warna adalah wujud yang tampak pada mata, menunjukkan tingkat kegelapan yang beragam warna biru, hijau, kuning, merah, jingga dan lainnya.

2. Bentuk. Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek. Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari luar (umum), maupun menyangkut susunan atau struktur yang lebih rinci. Contoh: gedung perkantoran biasanya berbentuk huruf I, L, atau U. Pohon kelapa berbentuk bintang, sedang pinus berbentuk kerucut.

3. Ukuran. Ukuran merupakan atribut obyek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Sebagai contoh: ukuran suatu rumah dibedakan apakah rumah hunian, kantor atau pabrik. Rumah hunian biasanya ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan perkantoran atau pabrik.

4. Tekstur. Tekstur biasanya dinyatakan dalam wujud kasar, halus atau bercak-bercak. Contoh: hutan biasanya tampak bertekstur kasar, sedangkan belukar

Saluran Kisaran Gelombang (μm)

 

bertekstur sedang, dan semak bertekstur halus. Permukaan air bertekstur halus, tanaman pekarangan bertekstur sedang, dan sawah bertekstur halus.

5. Pola. Pola merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek buatan manusia dan beberapa obyek alamiah yang membentuk susunan ruang. Contoh : perumahan real estate dikenali dengan pola yang teratur, sedangkan perkampungan menyebar tidak teratur, perkebunan polanya teratur dan dapat dibedakan dengan vegetasi yang lain.

6. Bayangan. Bayangan objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang tampak samar-samar. Namun demikian merupakan faktor penting untuk mengamati obyek-obyek yang tersembunyi. Contoh: cerobong asap pabrik, menara, bak air yang dipasang tinggi akan tampak dari bayangan, lereng yang terjal akan tampak jelas dari bayangan.

7. Situs. Situs merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objek di lingkungan sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain, jadi bukan mencirikan suatu objek secara langsung. Contoh: sitius kebun kopi terletak di tanah miring karena tanaman kopi memerlukan pengaturan air yang baik, kompleks pemukiman biasanya memanjang disepanjang jalan, pada tanggul alam, dan pinggir bentang pantai.

8. Asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain. Berdasarkan asosiasi bila telah dikenali satu objek tertentu, maka dapat dijadikan petunjuk bagi obyek yang lain. Contoh: jalan kereta api tentu berasosiasi dengan jalan rel kereta api yang berderet, lapangan sepak bola berasosiasi dengan tiang gawang, tribun penonton untuk stadion yang besar.

Menurut Wasit (2010), kaitannya dengan pengaturan band citra merupakan langkah penting untuk interpretasi obyek. Pengaturan band citra pada dasarnya merupakan upaya mencirikan kenampakan obyek berdasarkan rona dan warna sebagai unsur dasar interpretasi. Setiap obyek pada dasarnya memiliki kenampakan tertentu berdasarkan rona dan warna, baik warna alami maupun warna palsu. Petunjuk pengenalan obyek dari perbandingan band citra untuk citra LANDSAT berikut :

Seperti kombinasi 4 5 1 vegetasi akan muncul, hijau, dan kuning coklat. Vegetasi yang sehat tampak hijau dan ungu muda, permukiman berwarna merah muda, tubuh air atau tanah yang berair tampak biru.

Kombinasi ini akan memunculkan tekstur topografi. Seperti halnya kombinasi 5,4,1 kenampakan obyek vegetasi hijau, coklat dan kuning terang, permukiman tampak merah muda, tubuh air atau daerah yang berair tampak biru sangat gelap

R, G, B Informasi Obyek Permukaan Lahan

3,2,1 4,3,2 3,4,2 4,5,1 4,5,3 5,4,3 . 5,4,2 5,3,1 Sumber : Wasit (2010)

Kenampakan obyek berdasarkan perbandingan band tersebut tergantung pada band citra yang tersedia dan resolusi dari citra satelit. Pada citra dengan komposit band 543, dapat dengan mudah dibedakan antara obyek vegetasi dengan non vegetasi. Obyek bervegetasi dipresentasikan dengan warna hijau, tanah kering dengan warna merah, komposit ini paling popular untuk penerapan di bidang

Kombinasi warna alami, menampakkan vegetasi hutan berwarna hijau, dan tanaman pertanian berwarna coklat kuning, jalan berwarna abu abu, air tampak biru muda atau putih.

Daerah bervegetasi berwarna merah, permukiman berwarna biru cyan, dan tanah terbuka bervariasi dari coklat gelap ke terang. Es, salju dan awan berwarna putih atau cyan.

Daerah bervegetasi hijau muda, permukaan tanah terbuka tampak coklat, coklat kemerahan, permukiman tampak ungu, sungai tampak biru tua dan awan tampak putih.

Vegetasi berwarna hijau teduh, kuning merah, coklat atau kuning, obyek tanah berwarna coklat, permukiman tampak biru terang, putih, cyan atau abu-abu, lahan baru dibuka atau vegetasi yang tumbuh jarang

Kombinasi juga memunculkan vegetasi berwarna hijau teduh, coklat dan kuning merah, daerah permukiman tampak biru muda, air tampak biru tua, daerah yang berair tampak biru dan tanah tampak coklat

Vegetasi tampak hijau, coklat dan kuning terang, permukiman tampak merah muda, tubuh air atau daerah yang berair tampak biru sangat gelap. Tabel 2 Petunjuk pengenalan obyek dari perbandingan band Citra LANDSAT  

 

kehutanan (Kementerian Kehutanan). Citra dengan komposit band 543, mempunyai kelebihan mudah untuk membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap secara kontras (Martono 2010)

2.3 Karakteristik ALOS PALSAR

ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit Jepang yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency pada Januari 2006. Dalam bahasa Jepang satelit ini diberi nama DAICHI. ALOS mengelilingi bumi pada ketinggian 691,65 km dengan sudut inklinasi 98,16°. Untuk mengelilingi bumi ALOS memerlukan waktu 100 menit atau 14 kali sehari dan kembali pada titik awal setiap 46 hari. ALOS mempunyai tiga instrumen penginderaan jauh yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan ketinggian, AVNIR-2 (Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2) untuk pengamatan lahan dan daerah coastal, dan PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) sebuah sensor gelombang mikro yang dapat melakukan pengamatan lahan pada siang dan malam hari tanpa dipengaruhi awan.

PALSAR mempunyai 3 metode observasi, yaitu High Resolution Mode, ScanSAR Mode dan Polarimetry Mode. Secara umum karakteristik PALSAR disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik utama PALSAR

Mode Fine ScanSAR Polarimetric

Bandwidth 28MHz 14MHz 14,28MHz 14MHz Polarization HH or VV HH+HV or VV+VH HH or VV HH+HV+VH+VV Incidence Angle

8 -60deg. 8 -60deg. 18 -43deg. 8 -30deg.

Range Resolution

7 -44m 14 -88m 100m 24 -89m

Swath 40 -70km 40 -70km 250 -350km 20 -65km

Quantization 5bits 5bits 5bits 3 or 5bits

Date Rate 240 Mbps 240Mbps 120Mbps, 240Mbps 240 Mbps Center Frequency  1270MHz(L-band) Sumber: ERSDAC (2006)

JAXA (2006) menjelaskan bahwa sensor PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu metode observasinya, yakni

ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas 250 hingga 350 km. Bentuk dari 6 instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Gambar 1

Sumber: JAXA (2006) Gambar 1 Prinsip geometri PALSAR.

Polarisasi dari sinyal radar merupakan bentuk gelombang yang diterima ke arah radar atau backscatter yang dapat berupa polarisasi horisontal (H) atau vertikal (V). Beberapa sistem radar dapat memancarkan kedua arah tersebut.

 

Dengan demikian terdapat empat kombinasi dari pemancaran dan penerimaan polarisasi sebagai berikut :

HH – Memancarkan dan menerima secara horisontal VV – Memancarkan dan menerima secara vertikal

HV – Memancarkan secara horisontal dan menerima secara vertikal VH – Memancarkan secara vertikal dan menerima secara horisontal

Purwadhi (2001) menjelaskan bahwa kecerahan dari kenampakan objek pada citra radar terkait dengan pancaran energi yang dikembalikan ke sensor oleh benda-benda permukan bumi (target). Pada prinsipnya semakin besar tenaga gelombang yang dipantulkan oleh suatu objek maka warna atau penampakan objek pada citra radar akan semakin cerah, demikian juga untuk sebaliknya. Intensitas atau kekuatan tenaga pantulan tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh dua sifat utama yaitu sifat objek yang diindera dan sistem sensor radar yang digunakan.

Sifat objek citra radar dipengaruhi oleh:

(1) Aspek/arah lereng yang menyebabkan perbedaan arah menghadap ke sensor; (2) Kekasaran permukaan yang menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar; (3) Perbedaan complex dielectrik constant (ukuran kemampuan objek atau benda

untuk memantulkan 4 atau meneruskan pulsa/tenaga radar) dari objek;

(4) Arah objek berhubungan dengan sudut pengamatan antena terutama terhadap arah pantulan pulsa radar.

Pada permukaan kasar, energi microwave akan dipencarkan (scatter) ke beberapa arah sekaligus, ini disebut sebagai difuse atau reflektansi tersebar. Permukaan vegetasi akan menyebabkan hal ini dan terlihat lebih cerah pada citra radar. Pencaran diskrit dicirikan oleh bentuk geometri sederhana seperti bangunan. Bentuk pencaran yang terjadi biasanya seperti reflektor sudut, biasanya terbentuk oleh bentuk yang saling interseksi.

Tingkat kekasaran permukaan ditentukan oleh panjang gelombang yang digunakan dan sudut pandang. Secara umum sebuah permukaan dianggap halus apabila variasi ketinggiannya lebih kecil dari panjang gelombang (1/2 panjang gelombang). Pada sebuah permukaan tertentu, kenampakan kekasaran akan terlihat meningkat apabila sudut pandang meningkat. Permukaan kasar akan terlihat lebih cerah di atas citra radar dibanding permukaan yang halus, sekalipun materialnya sama. Sebuah objek kecil dapat terlihat sangat cerah pada citra radar. Hal ini dapat terjadi tergantung dari konfigurasi geometrik objek tersebut. Dinding bangunan atau jembatan, dengan kombinasi reflektansi dari tanah dapat membentuk reflektor sudut. Apabila dua buah objek membentuk sudut dan mengarah pada radar, maka dapat terjadi reflektor sudut dihedral yang kuat kalau permukaan refleksinya tegak lurus dengan arah sensor radar. Reflektansi kuat juga terjadi apabila timbul reflektansi sudut trihedral. Peneliti seringkali menempatkan reflektor sudut di lapangan sebagai titik acuan koreksi bagi citra radar.

2.4 Penggunaan Citra LANDSAT untuk Identifikasi Tutupan Lahan

Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra LANDSAT telah dilakukan sebelumnya. Harjadi Beny, C. Nugroho, S.P. dan Teguh Setiaji (1999) dalam penelitiannya menggunakan citra LANDSAT resolusi 30 m tahun 1997 di Provinsi Jambi. Penelitian ini mengidentifikasi sebanyak 7 (tujuh) kelas tutupan lahan, yaitu : non kelas, badan air, hutan gambut, tegalan, semak belukar, hutan kering, dan non hutan.

Menurut Ikhwan (1999) dalam penelitiannya mengenai deteksi perubahan penutupan hutan dan lahan akibat kebakaran di Provinsi Riau menggunakan citra LANDSAT kombinasi band 5-4-3 tahun 1997 didapat hasil identifikasi sebanyak 8 (delapan) kelas penutupan lahan, yaitu : logged-over forest, tanah kosong, perkebunan, padang rumput/semak, lahan terbuka tak bervegetasi dengan tunggak-tunggak kayu hangus, awan, bayangan awan, dan penutupan air.

Penelitian Priyatna (2007) di Kabupaten Bogor menggunakan citra LANDSAT TM Multi waktu, interpretasi visual citra dapat diidentifikasi sebanyak 13 kelas tutupan lahan dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3. Tutupan lahan tersebut, yaitu : badan air, sawah, tanah kosong, padang rumput,

 

pemukiman, semak, kebun campuran, kebun karet, kebun teh, tegakan pinus, hutan daun lebar, awan dan bayangan awan.

Hasil penelitian Laksono (2008) di Kabupaten Rembang menggunakan citra LANDSAT TM resolusi 30 m tahun 1996 mampu mengidentifikasi sebanyak 7 kelas tutupan lahan, yaitu : hutan rapat, hutan kerapatan sedang, hutan jarang, lahan pertanian, pemukiman, pemukiman + kebun campuran, dan tambak.  

Dalam penelitian Wasit (2010) mengenai interpretasi citra, citra LANDSAT dapat mengidentifikasi sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan, yaitu : hutan rakyat, hutan sekunder, kebun campuran, lahan terbuka (galian c), permukiman penduduk, semak belukar, lahan sawah, tegalan, tubuh air (sungai) dan jalan.

2.5 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan

Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra ALOS PALSAR juga telah dilakukan sebelumnya. Hendrayanti (2008) dalam penelitiannya menggunakan citra komposit HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Jawa mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas penutupan lahan yaitu : tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi biomassa rendah, dan hutan atau vegetasi biomassa tinggi.

Riswanto (2009) menggunakan citra komposit yang sama, HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang, dan vegetasi rapat.

Hasil penelitian Radityo (2010) menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Pulau Kalimantan terdapat 8 obyek penutupan lahan yang mampu dibedakan, yaitu : badan air, lahan terbuka, lahan terbangun, belukar rawa, hutan mangrove, pertanian/kebun campuran/semak, perkebunan sawit, dan hutan.

Pada penelitian Bainnaura (2010) dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, landasan udara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit,

perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar, dan tanah terbuka.

Penelitian Puminda (2010) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggunakan citra komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) mampu mengklasifikasikan obyek dalam 8 (delapan) kelas, yaitu : badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah, dan kebun kelapa.

Salman (2011) dalam penelitiannya menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan komposit HH-HV-HH/HV di Provinsi Bali mampu mengidentifikasi citra sebanyak 11 kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, landasan udara, hutan lahan kering, hutan mangrove, kebun campuran, lahan terbuka, padang rumput, pemukiman, pertanian lahan kering, sawah, dan tambak.

Hasil penelitian Nurhadiyatin (2011) di Kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas, dan Ciamis menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m dengan komposit HH-HV-HH/HV mampu mengidentifikasi 9 (Sembilan) kelas penutupan lahan, yaitu : badan air, hutan tanaman sedang-tua, hutan tanaman muda, kebun campuran, perkebunan karet sedang-tua, perkebunan karet muda, pemukiman, sawah diolah/digenangi air, dan sawah bervegetasi.

 

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur, sedangkan kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Data

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: GPS, kompas, kamera digital, dan alat tulis sebagai peralatan di lapangan. Sedangkan

software dan hardware yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : komputer pribadi, Erdas Imagine 9.1, Arcview 3.2, Minitab 14, Microsoft Excel 2007, dan Microsoft Word 2007 untuk analisis data.

3.2.2 Data

Data utama yang digunakan adalah :

a. Citra ALOS PALSAR dengan resolusi spasial 50 m daerah Jawa Barat tahun perekaman 2009

b. Citra LANDSAT TM Path 122 Row 65 Tahun perekaman 2008 c. Peta Rupa Bumi Indonesia Jawa Barat Skala 1 : 25.000 Tahun 2010

3.3 Tahapan Pelaksanaan

3.3.1 Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan, meliputi : Citra ALOS PALSAR 50 m tahun perekaman 2009, citra LANDSAT TM Path 122 Row 65 tahun perekaman 2008, dan Peta Rupa Bumi Indonesia Daerah Jawa Barat skala 1 : 25.000 Tahun 2010.

3.3.2 Pra-Pengolahan Citra 3.3.2.1 Mosaik Citra

Mosaik citra merupakan proses menggabungkan beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Tujuan dari kegiatan mosaik adalah menghasilkan citra gabungan yang mempunyai kualitas kekontrasan yang baik, sehingga citra hasil (output) tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, terorganisir, solid, dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2007).

3.3.2.2 Menambah Band Sintesis pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m

Data citra satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki polarisasi, yaitu : HH dan HV yang dapat diperlakukan sebagai band. Sehingga perlu ditambahkan band sintesis untuk menambah informasi pada citra. Menurut hasil penelitian Bainnaura (2010) penambahan band sintetis yang memberikan variasi informasi lebih banyak adalah rasio HH-HV-(HH/HV).

3.3.2.3 Penajaman Citra

Teknik penajaman citra (image enhancement) adalah teknik yang dipergunakan untuk meningkatkan perbedaan tone dan tekstur citra. Tujuan dari proses ini adalah untuk meningkatkan kekontrasan objek guna mempermudah pendeteksiannya atau meningkatkan variasi spektralnya. Prosesnya dapat mencakup peningkatan atau perbaikan kontras, pendeteksian garis atau tepi, penajaman gambar, penghalusan, pengurangan noise dan sebagainya. Penajaman radiometrik merupakan salah satu teknik dari penajaman citra. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan kontras dengan hanya melakukan manipulasi pada piksel-piksel yang akan ditajamkan (Pixel Specific Enhancement).

 

|

r

ij|+|

r

jk|+|

r

ik| 3.3.2.4 Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan suatu proses melakukan transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Area yang terekam oleh sensor pada satelit maupun pesawat terbang sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri sehingga perlu adanya koreksi geometrik. (Jaya 2007)

Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m merupakan Ortho Image, di mana gambaran objek pada image itu posisinya benar sesuai dengan proyeksi orthogonal. Oleh karena itu, koreksi geometrik pada citra LANDSAT TM mengacu pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.

3.3.2.5 Pemilihan Kombinasi RGB Terbaik pada Citra LANDSAT 30 m Menurut Jaya (2007), OIF (Optimum Index Factor) merupakan ukuran banyaknya informasi atau yang dimuat pada suatu citra komposit. Ukuran ini merupakan perbandingan antara total simpanan baku dari ketiga band yang digunakan dengan tiga koefisien korelasi dari masing-masing pasangan band yang digunakan. Secara matematis, OIF diformulasikan dengan rumus, sebagai berikut :

OIFijk = Si + Sj + Sk

Di mana Si, Sj, Sk adalah simpangan baku (standar deviasi) dari band I, j, dan k. sedangkan rij, rjk, rik menyatakan koefisien korelasi antar bandnya.

=  

Komposit yang memiliki informasi lebih baik, memiliki OIF lebih besar dari yang lain. Menurut hasil penelitian Wahyunto, Sri, dan Sofyan (2010) berdasarkan hasil perhitungan nilai OIF citra satelit LANDSAT TM yang dianalisis dan digunakan dalam indentifikasi lahan sawah, nilai OIF tertinggi hasil perhitungan adalah kombinasi band 5,4, dan 3. Komposit band 5-4-3 juga merupakan komposit warna standar yang sering

digunakan di bidang kehutanan (Kementerian Kehutanan). Komposit ini dibuat dengan menggunakan panjang gelombang atau spektrum infra merah sedang (λ 1,2~3,2 ), infra merah dekat (λ 0,7~0,9 ) dan spektrum merah atau hijau (λ 0,6~0,7 atau 0,5~0,6 ) secara berturut-turut pada bidang warna red, green, blue pada saat men-display citra. Tampilan dari komposit ini mendekati alam, sehingga variasi informasi lebih banyak dibandingkan dengan komposit warna palsu standar. Hal ini disebabkan karena informasi yang disajikan mencakup band infra merah sedang, infra merah dekat, dan sinar tampak. Sinar infra merah sedang merekam variasi kelembaban (water content) dari vegetasi. Infra merah dekat terkait dengan informasi biomas, sedangkan sinar tampak terkait dengan informasi kehijauan daun (chlorophyll). Pada komposit ini vegetasi dan kerapatan vegetasi relatif lebih mudah dibedakan (dideliniasi) dibandingkan dengan warna komposit warna palsu standar.

3.3.2.6 Orthorektifikasi Citra LANDSAT Resolusi 30 m

Orthorektifikasi adalah proses memposisikan kembali citra sesuai lokasi sebenarnya, dikarenakan pada saat pengambilan data terjadi pergeseran (displacement) yang diakibatkan adanya variasi topografi.

Pada prinsipnya, orthorektifikasi sama dengan rektifikasi. Hanya saja metode ini digunakan untuk daerah yang mempunyai kontur bervariatif, dan dalam pemprosesannya dibutuhkan data DEM (Digital Elevation Model) yang mempunyai interval gridspacing yang makin kecil dan ketelitian vertikal yang makin besar (Leksono dan Susilowati 2008).

Proses perekaman citra satelit dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari Bumi sehingga memiliki distorsi geometrik absolut berkisar 10 hingga ratusan meter. Hal ini terjadi karena proses perekamannya dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari bumi, pada wahana satelit yang bergerak dengan posisi yang tidak selalu tegak