PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL
ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN
CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM
MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN
(Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Cianjur)
NUR ILLIYYINA SYARIF
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
NUR ILLIYYINA SYARIF. E14063341. Perbandingan Penafsiran Visual antara Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan Citra LANDSAT Resolusi 30 m dalam Mengidentifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur). Dibimbing oleh Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.
Posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis merupakan salah satu kendala dalam menggunakan citra LANDSAT resolusi 30 m. Adanya awan dan asap sangat mengganggu dalam proses identifikasi objek di permukaan bumi. Untuk mengatasi kelemahan dari citra optik tersebut, maka tersedia suatu sistem radar, salah satunya adalah sensor PALSAR. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh kondisi cuaca. Oleh karena itu, butuh penelitian lebih lanjut mengenai kemampuan Citra ALOS PALSAR dibandingkan dengan Citra LANDSAT dalam mengidentifikasi penutupan lahan.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. Analisis kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan citra LANDSAT resolusi 30 m dilakukan secara visual dan digital. Analisis visual dilakukan berdasarkan elemen interpretasinya, sedangkan analisis digital dilakukan dengan metode diskriminan. Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan uji akurasi serta separabilitas.
Secara visual, hasil analisis menunjukkan bahwa citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dapat diklasifikasikan dalam 14 kelas tutupan lahan dengan akurasi Kappa 83,27%, sedangkan pada citra LANDSAT resolusi 30 m tutupan lahan mampu diklasifikasikan sebanyak 18 kelas tutupan lahan dengan akurasi Kappa 94,38%. Secara digital, diperoleh 6 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, vegetasi pohon, perkebunan sawit, pemukiman, pertanian lahan kering, dan sawah dengan
proportion correct 38,6% pada citra ALOS PALSAR dan 54,5% pada citra LANDSAT.
SUMMARY
NUR ILLIYYINA SYARIF. E14063341. Comparison Between The Visual Interpretation of ALOS PALSAR Image 50 m Resolution with LANDSAT Image 30 m Resolution For Land Cover Identification (Case site in Bogor, Sukabumi, and Cianjur District). Under supervision by : Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS
Indonesia’s geographic position in tropical area is a constraints in using LANDSAT image with 30 m resolution. Clouds and smoke extremely disturb in indentify objects on the earth’s surface. To solve the weakness of optical image there is a radar system, such as PALSAR censor. This censor is a microwave active censor which could observate in day and night time without influenced by the weather. Therefore, need a further research to compare the ability between ALOS PALSAR image and LANDSAT image in indentify land cover.
This research was conducted in Bogor, Sukabumi and Cianjur Regency. Ability analisys of ALOS PALSAR image 50 m resolution and LANDSAT 30 m resolution done by visually and digitally. Visual analysis based on element interpretation, while digital analysis based on diskriminant method. Evaluation of analysis interpretation done by accuracy and separability test.
Visually, result of analysis show ALOS PALSAR 50 m resolution could classified 14 land cover classes with 83,27% Kappa accuracy, while LANDSAT could classified 18 land cover classes with 94,38% Kappa accuracy. Digitally there are 6 land cover classes, they are water body, tree vegetation, palm plantation estate, seattlement, dry land agriculture, rice field with 38,6% proportion correct in ALOS PALSAR image and 54,5% in LANDSAT image.
PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL
ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN
CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM
MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN
(Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Cianjur)
NUR ILLIYYINA SYARIF
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Perbandingan
Penafsiran Visual antara Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan Citra
LANDSAT Resolusi 30 m dalam Mengidentifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus
di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur) adalah
benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Judul Skripsi : Perbandingan Penafsiran Visual antara Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan Citra LANDSAT Resolusi 30 m dalam Mengidentifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur)
Nama Mahasiswa : Nur Illiyyina Syarif
Nomor Pokok : E14063341
Menyetujui :
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS NIP. 19571005 198303 1 002
Mengetahui :
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sinjai, 14 Maret 1988, dan merupakan anak kedua
dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Syarifuddin MS, S.H.,M.H. dengan
Ibu Hj. Huzaemah, S.H.,M.H. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK
Aisyiah Bustanul Akhfal Sungguminasa pada tahun 1993~1994, kemudian
melanjutkan ke tingkat Sekolah Dasar di SD Negeri 6 Bontokamase
Sungguminasa tahun 1994~2000. Pada tahun 2000~2003, penulis melanjutkan
pendidikannya di SLTP Negeri 1 Sungguminasa. Pendidikan menengah atas
ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Sungguminasa pada tahun 2003~2006. Pada
tahun 2006, penulis diterima di program Strata 1 di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur USMI (Ujian Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis
diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Selama masa studi, penulis pernah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di Sancang-Kamojang, Jawa Barat,
dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat-Sukabumi pada tahun
2009. Tahun 2010 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Inhutani
II Pontianak dengan areal kerja di Kecamatan Mandor, Tunang, dan Samandaka,
Kalimantan Barat. Dari tahun 2007~2008, penulis tergabung dalam Himpunan
Mahasiswa Forest Management Student Club (FMSC). Penulis beberapa kali mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Program Pengembangan
Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM). Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai
kegiatan pelatihan yang diadakan oleh Laboratorium Remote Sensing dan GIS
serta aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut
Pertanian Bogor.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
penulis menyusun Skripsi berjudul Perbandingan Penafsiran Visual antara
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan,
pengarahan, ilmu, kesabaran, motivasi dan waktu selama penyusunan Skripsi.
2. Dr. Ir. Nining Puspaningsih, MSi selaku ketua sidang dan Ibu Ir. Rita Kartika
Sari, MSi selaku dosen penguji atas kebijaksanaan, ilmu, dan motivasi yang
diberikan.
3. Ir. Yulius Hero, M.Sc yang telah meluangkan waktu membaca dan
mengkoreksi penulisan Skripsi penulis.
4. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku Kepala Lab. Remote Sensing
dan GIS atas motivasi dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
5. Bpk. Uus Saepul M. dan Edwine Setia P, S.Hut atas segala kesabaran, ilmu,
dan pengarahan yang telah diberikan.
6. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan atas ilmu dan
bantuannya.
7. Kedua orang tua, kakak, dan adik tersayang, serta seluruh keluarga besar
penulis atas doa, pengorbanan, dan kesetiaan dalam mendampingi penulis.
8. Muh. Yusran Fajar, S.H. atas perhatian, motivasi, dukungan, serta
kepercayaan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis.
9. Teman-teman seperjuangan dan keluarga selama di IPB : Wulan, Chika, Nila,
Shinta, dan Ana yang tak henti-hentinya memberikan dukungan kepada
penulis.
10.Keluarga besar Lab. RS dan GIS : Dian, Puan, Ade, Ratih, Anom, Indra, Kak
Pipit, Kak Puut, Oma Dian, Kak Bejo, Kak Noi, Kak Fatah, Kak Icha, Kak
Poche, dan seluruh Keluarga Besar Lab. Remote Sensing yang tidak bisa
disebutkan satu per satu terima kasih atas motivasi, dukungan, dan hari-hari
yang penuh keceriaan dan kebersamaan.
11.Seluruh teman-teman Manajemen Hutan angkatan 43 yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga Skripsi dengan judul “Perbandingan
Penafsiran Visual antara Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dengan Citra
LANDSAT Resolusi 30 m dalam Mengidentifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus
di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur)” di bawah
bimbingan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berisi perbandingan kemampuan antara citra
ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan citra LANDSAT resolusi 30 m dalam
mengindentifikasi tutupan lahan khususnya di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan Skripsi ini. Penulis berharap Skripsi ini
dapat bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak,
khususnya untuk pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Manfaat ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. SIG (Sistem Informasi Geografi) ... 3
2.2. Karakteristik Citra LANDSAT ... 3
2.3. Karakteristik Citra ALOS PALSAR ... 8
2.4.Penggunaan Citra LANDSAT untuk Identifikasi Tutupan Lahan 11 2.5. Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan ... 12
III. METODOLOGI ... 15
3.1. Waktu dan Tempat ... 15
3.2. Alat dan Data ... 15
3.3. Tahapan Pelaksanaan ... 15
3.3.1. Pengumpulan Data ... 15
3.3.2. Pra-pengolahan Citra ... 16
3.3.2.1. Mosaik Citra ... 16
3.3.2.2. Menambahkan Band Sintesis pada Citra ALOS PALSAR ... 16
3.3.2.3. Penajaman Citra ... 16
3.3.2.4. Koreksi Geometrik ... 17
3.3.2.5. Pemilihan Kombinasi RGB Terbaik pada Citra LANDSAT ... 17
3.3.2.7. Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra LANDSAT
Resolusi 30 m ... 19
3.3.3. Pengamatan Lapangan ... 20
3.3.4. Analisis Hasil Pengamatan Lapangan ... 21
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 25
4.1. Kabupaten Bogor ... 25
4.1.1. Letak Geografis ... 25
4.1.2. Topografi ... 25
4.1.3. Iklim ... 26
4.1.4. Batuan ... 26
4.1.5. Tanah ... 26
4.1.6. Demografi ... 27
4.1.7. DAS ... 27
4.2. Kabupaten Sukabumi ... 28
4.2.1. Letak Geografis ... 28
4.2.2. Topografi ... 29
4.2.3. Iklim ... 29
4.2.4. Tanah ... 29
4.2.5. Demografi ... 29
4.3. Kabupaten Cianjur ... 30
4.3.1. Letak Geografis ... 30
4.3.2. Topografi ... 30
4.3.3. Iklim ... 31
4.3.4. Tanah ... 32
4.3.5. Demografi ... 32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
5.1. Identifikasi Obyek di Lapangan ... 33
5.2. Nilai Dijital (Digital Number) dan Analisis Diskriminan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 38
5.4. Analisis Separabilitas pada Citra ALOS PALSAR Resolusi
50 m dan Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 63
5.5. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 66
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
6.1. Kesimpulan ... 69
6.2. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Prinsip geometri PALSAR ... 9
2. Bentuk-bentuk refleksi atau backscatter SAR ... 10
3. Proses Orthorektifikasi Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 19
4. Bagan pengolahan data dan analisis data ... 23
5. Nilai dijital Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 39
6. Nilai dijital Citra LANDSAT Resolusi 50 m ... 40
7. (a). Landasan udara dan padang rumput pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 49
(b). Landasan udara dan padang rumput pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 49
8. (a). Badan air pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 50
(b). Badan air pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 50
9. (a). Hutan tanaman pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 50
(b). Hutan tanaman pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 50
10. (a). Kebun campuran pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 51
(b). Kebun campuran pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 51
11. (a). Pertanian lahan kering pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m 52 (b). Pertanian lahan kering pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 52
12. (a). Pemukiman pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 53
(b). Pemukiman pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 53
13. (a). Perkebunan karet pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 53
(b). Perkebunan karet pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 53
14. (a). Perkebunan sawit pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 54
(b). Perkebunan sawit pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 54
15. (a). Sawah pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 55
(b). Sawah diolah/baru tanam pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 55
(c). Sawah vegetatif-siap panen pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m 55 (d). Sawah bera panen pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 55
16. (a). Hutan lahan kering pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 56
(b). Hutan lahan kering pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 56
(b). Lahan terbuka pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 56
18. (a). Perkebunan teh pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 57
(b). Perkebunan teh pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 57
19. (a). Semak belukar pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 58
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Saluran Citra LANDSAT ... 4
2. Petunjuk pengenalan objek dari perbandingan band Citra LANDSAT………. 7
3. Karakteristik utama PALSAR ... 9
4. Objek tutupan lahan di lapangan ... 33
5. Proses/alur regroup pada analisis diskriminan ... 44
6. Nilai diskriminan ... 46
7. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 60
8. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi Citra ALOS LANDSAT Resolusi 30 m ... 61
9. Nilai separabilitas tutupan lahan pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 64
10. Nilai separabilitas tutupan lahan pada Citra LANDSAT Resolusi 30 m ... 65
11. Akurasi klasifikasi tutupan lahan pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m ... 67
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan paru-paru dunia yang dapat menetralisir karbondioksida
di udara. Hutan juga merupakan sarana untuk pengaturan sistem air di dalam
tanah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, jumlah penduduk beserta
kebutuhannya akan papan, sandang, dan pangan semakin meningkat. Hal ini
menimbulkan dampak besar pada lingkungan seperti semakin besarnya tingkat
konversi hutan khususnya pada perubahan hutan menjadi areal pemukiman,
industri, dan lahan pertanian. Dari segi kondisi penutupan lahan, hutan banyak
mengalami perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder ataupun tidak
berhutan. Lahan hutan digunakan untuk lahan pertanian, pemukiman, atau
transmigrasi. Laju perubahan fisik hutan menjadi tidak berhutan disebabkan oleh
berbagai aktivitas manusia yang semakin besar. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan pemantauan hutan secara kontinu, sehingga perlu dikembangkan
teknik pemantauan sumberdaya hutan yang cepat, murah, dan tepat.
Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra
optik LANDSAT TM yang digunakan untuk melakukan pemantauan sumberdaya
alam. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit
seperti LANDSAT TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka bumi.
Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan dengan
data-data lain yang mendukung ke dalam suatu Sistem Informasi Geografis (SIG).
Namun posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah
satu kendala dalam menggunakan data citra optik. Indonesia memiliki dua musim
tiap tahunnya, yaitu: musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan, awan
menjadi kendala dalam menggunakan citra optik. Sedangkan yang menjadi
kendala pada musim kemarau adalah asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan
dan lahan. Adanya awan dan asap sangat mengganggu dalam proses identifikasi
dan pemantauan objek di permukaan bumi. Hal ini seringkali membuat informasi
terbaru di bawah awan atau asap menjadi tidak tersedia. Untuk mengatasi
jauh aktif (radar). Radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman pada
segala cuaca, baik pada siang hari maupun malam hari, serta mampu mengatasi
kendala tutupan awan dan asap. Salah satu satelit yang membawa sensor radar
yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah satelit
ALOS (Advance Land Observation Satellite). ALOS membawa 3 jenis sensor, yaitu: PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advance Visible and Near Infrared Radiometer type-2).
Sensor PALSAR merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR
(Synthetic Apeture Radar). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh kondisi
cuaca. Salah satu metode observasi yang dimiliki ALOS PALSAR adalah
ScanSAR, yang memungkinkan sensor tersebut melakukan pengamatan
permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas antara 250-350 km. Pihak
Kementrian Kehutanan bersama dengan Japan International Cooperation Agency
(JICA) memanfaatkan citra ALOS PALSAR untuk kegiatan pemetaan dan
penutupan lahan. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian secara seksama tentang
kemampuan citra ALOS PALSAR dibandingkan dengan citra LANDSAT yang
telah lama digunakan dalam bidang pemetaan dan penutupan lahan.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbandingan penafsiran visual
antara citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan citra LANDSAT resolusi 30 m
dalam mengidentifikasi tutupan lahan di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan
Cianjur.
1.2 Manfaat
Dengan adanya hasil kajian mengenai perbandingan visual satelit citra
ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan citra LANDSAT resolusi 30 m diharapkan
dapat memberikan masukan yang benar bagi penggunaan data pemanfaatan citra
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SIG (Sistem Informasi Geografis)
Menurut Jaya (2002), SIG adalah sistem berbasis komputer yang terdiri
atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan, dan menganalisis informasi yang
bereferensi geografis. Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini
akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan SIG.
SIG didesain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari
berbagai sumber dan mengintregrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu
jenis data ini adalah data penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah imu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena
melalui analisis data yang diperoleh dengan satu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1979).
Wikantika (2008) menjelaskan bahwa secara garis besar tutupan lahan
(land cover) mengacu pada wilayah vegetasi atau non vegetasi dari sebagian permukaan bumi, sedangkan tata guna lahan (land use) merupakan wilayah yang digunakan untuk aktivitas manusia di sebagian permukaan bumi. Penutupan
tipe-tipe tata guna lahan dan tutupan lahan dapat dilakukan dengan cara pengamatan
dari citra satelit atau bisa juga dari foto udara, selain itu diperlukan juga
pengecekan ke lapangan.
2.2 Karakter Citra LANDSAT TM
Citra LANDSAT TM dirancang meliputi daerah yang luas untuk
pandangan secara keseluruhan. Keberadaan atau arti ciri-ciri geologi yang besar
dapat nampak jelas pada citra LANDSAT TM, tetapi mudah diabaikan pada
fotografi konvensional karena dibutuhkan jumlah foto udara yang banyak untuk
meliputi suatu kawasan yang sama. Frekuensi yang tinggi dalam ulangan
Kegunaan Utama
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan
lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan
vegetasi dan lahan.
Pengamatan puncak pantulan vegetasi
pada saluran hijau yang terletak diantara
dua saluran penyerapan. Pengamatan ini
dimaksudkan untuk membedakan jenis
vegetasi dan untuk membedakan
tanaman sehat terhadap tanaman yang
tidak sehat.
Saluran terpenting untuk membedakan
jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada
salah satu daerah penyerapan klorofil. Tabel 1 Saluran Citra LANDSAT
Saluran yang peka terhadap biomasa
vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis
tanaman. Memudahkan pembedaan tanah
dan tanaman serta lahan dan air.
Saluran penting untuk pembedaan jenis
tanaman, kandungan air pada tanaman,
kondisi kelembaban tanah.
mendapatkan peta tahunan yang terbaru dan untuk mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang waktu (Paine 1992)
Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, citra LANDSAT TM
mempunyai kelebihan baik dari segi resolusi spasial maupun resolusi spektral,
resolusi spasial 30x30 m dan resolusi spektral sebanyak 7 (tujuh) band. Selain itu
kepekaan radiometriknya dengan laju pengiriman data yang lebih cepat dan fokus
penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi (Lo 1996)
1 0,45 ~ 0,52
2 0,52 ~ 0,60
3 0,63 ~ 0,69
4 0,76 ~ 0,90
5 1,55 ~ 1,75
Untuk membedakan formasi batuan dan
untuk pemetaan hidrotermal.
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan
vegetasi. Pembedaan kelembaban tanah,
dan keperluan lain yang berhubungan
dengan gejala termal.
Kegunaan Utama
6 2,08 ~ 2,35
7 10,40 ~ 12,50
Sumber : Lillesand dan Kiefer (1990)
Dwi (2010) menjelaskan bahwa interpretasi citra merupakan kegiatan
mengidentifikasi objek melalui citra inderaja. Kegiatan ini merupakan kegiatan
terpenting dalam inderaja. Untuk dapat mengidentifikasi objek melalui citra perlu
dibantu dengan unsur-unsur interpretasi yang terdiri dari rona/warna, bentuk,
ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi.
1. Rona dan warna. Rona ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek
pada citra, dengan demikian rona merupakan tingakatan dari hitam ke putih
atau sebaliknya. Warna adalah wujud yang tampak pada mata, menunjukkan
tingkat kegelapan yang beragam warna biru, hijau, kuning, merah, jingga dan
lainnya.
2. Bentuk. Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka
suatu objek. Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari
luar (umum), maupun menyangkut susunan atau struktur yang lebih rinci.
Contoh: gedung perkantoran biasanya berbentuk huruf I, L, atau U. Pohon
kelapa berbentuk bintang, sedang pinus berbentuk kerucut.
3. Ukuran. Ukuran merupakan atribut obyek yang berupa jarak, luas, tinggi,
lereng dan volume. Sebagai contoh: ukuran suatu rumah dibedakan apakah
rumah hunian, kantor atau pabrik. Rumah hunian biasanya ukurannya relatif
lebih kecil dibandingkan dengan perkantoran atau pabrik.
4. Tekstur. Tekstur biasanya dinyatakan dalam wujud kasar, halus atau
bercak-bercak. Contoh: hutan biasanya tampak bertekstur kasar, sedangkan belukar
Saluran Kisaran Gelombang (μm)
bertekstur sedang, dan semak bertekstur halus. Permukaan air bertekstur halus,
tanaman pekarangan bertekstur sedang, dan sawah bertekstur halus.
5. Pola. Pola merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek buatan manusia
dan beberapa obyek alamiah yang membentuk susunan ruang. Contoh :
perumahan real estate dikenali dengan pola yang teratur, sedangkan
perkampungan menyebar tidak teratur, perkebunan polanya teratur dan dapat
dibedakan dengan vegetasi yang lain.
6. Bayangan. Bayangan objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan
umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang tampak samar-samar. Namun
demikian merupakan faktor penting untuk mengamati obyek-obyek yang
tersembunyi. Contoh: cerobong asap pabrik, menara, bak air yang dipasang
tinggi akan tampak dari bayangan, lereng yang terjal akan tampak jelas dari
bayangan.
7. Situs. Situs merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objek di
lingkungan sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain, jadi bukan
mencirikan suatu objek secara langsung. Contoh: sitius kebun kopi terletak di
tanah miring karena tanaman kopi memerlukan pengaturan air yang baik,
kompleks pemukiman biasanya memanjang disepanjang jalan, pada tanggul
alam, dan pinggir bentang pantai.
8. Asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara objek yang satu dengan objek
yang lain. Berdasarkan asosiasi bila telah dikenali satu objek tertentu, maka
dapat dijadikan petunjuk bagi obyek yang lain. Contoh: jalan kereta api tentu
berasosiasi dengan jalan rel kereta api yang berderet, lapangan sepak bola
berasosiasi dengan tiang gawang, tribun penonton untuk stadion yang besar.
Menurut Wasit (2010), kaitannya dengan pengaturan band citra
merupakan langkah penting untuk interpretasi obyek. Pengaturan band citra pada
dasarnya merupakan upaya mencirikan kenampakan obyek berdasarkan rona dan
warna sebagai unsur dasar interpretasi. Setiap obyek pada dasarnya memiliki
kenampakan tertentu berdasarkan rona dan warna, baik warna alami maupun
warna palsu. Petunjuk pengenalan obyek dari perbandingan band citra untuk citra
Seperti kombinasi 4 5 1 vegetasi akan muncul, hijau, dan kuning coklat.
Vegetasi yang sehat tampak hijau dan ungu muda, permukiman
berwarna merah muda, tubuh air atau tanah yang berair tampak biru.
Kombinasi ini akan memunculkan tekstur topografi. Seperti halnya
kombinasi 5,4,1 kenampakan obyek vegetasi hijau, coklat dan kuning
terang, permukiman tampak merah muda, tubuh air atau daerah yang
berair tampak biru sangat gelap
R, G, B Informasi Obyek Permukaan Lahan
3,2,1
4,3,2
3,4,2
4,5,1
4,5,3
5,4,3
.
5,4,2
5,3,1
Sumber : Wasit (2010)
Kenampakan obyek berdasarkan perbandingan band tersebut tergantung
pada band citra yang tersedia dan resolusi dari citra satelit. Pada citra dengan
komposit band 543, dapat dengan mudah dibedakan antara obyek vegetasi dengan
non vegetasi. Obyek bervegetasi dipresentasikan dengan warna hijau, tanah kering
dengan warna merah, komposit ini paling popular untuk penerapan di bidang Kombinasi warna alami, menampakkan vegetasi hutan berwarna hijau,
dan tanaman pertanian berwarna coklat kuning, jalan berwarna abu abu,
air tampak biru muda atau putih.
Daerah bervegetasi berwarna merah, permukiman berwarna biru cyan, dan tanah terbuka bervariasi dari coklat gelap ke terang. Es, salju dan
awan berwarna putih atau cyan.
Daerah bervegetasi hijau muda, permukaan tanah terbuka tampak coklat,
coklat kemerahan, permukiman tampak ungu, sungai tampak biru tua
dan awan tampak putih.
Vegetasi berwarna hijau teduh, kuning merah, coklat atau kuning, obyek
tanah berwarna coklat, permukiman tampak biru terang, putih, cyan atau
abu-abu, lahan baru dibuka atau vegetasi yang tumbuh jarang
Kombinasi juga memunculkan vegetasi berwarna hijau teduh, coklat dan
kuning merah, daerah permukiman tampak biru muda, air tampak biru
tua, daerah yang berair tampak biru dan tanah tampak coklat
Vegetasi tampak hijau, coklat dan kuning terang, permukiman tampak
kehutanan (Kementerian Kehutanan). Citra dengan komposit band 543,
mempunyai kelebihan mudah untuk membedakan obyek yang mempunyai
kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau
kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap secara
kontras (Martono 2010)
2.3 Karakteristik ALOS PALSAR
ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit Jepang yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency pada Januari 2006. Dalam bahasa Jepang satelit ini diberi nama DAICHI. ALOS mengelilingi bumi
pada ketinggian 691,65 km dengan sudut inklinasi 98,16°. Untuk mengelilingi
bumi ALOS memerlukan waktu 100 menit atau 14 kali sehari dan kembali pada
titik awal setiap 46 hari. ALOS mempunyai tiga instrumen penginderaan jauh
yaitu PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping) untuk pemetaan ketinggian, AVNIR-2 (Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2) untuk pengamatan lahan dan daerah coastal, dan PALSAR (Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar) sebuah sensor gelombang mikro yang dapat melakukan pengamatan lahan pada siang dan malam hari tanpa
dipengaruhi awan.
Tabel 3 Karakteristik utama PALSAR
Mode Fine ScanSAR Polarimetric
Bandwidth 28MHz 14MHz 14,28MHz 14MHz
Polarization HH or
VV
HH+HV or VV+VH
HH or VV HH+HV+VH+VV
Incidence Angle
8 -60deg. 8 -60deg. 18 -43deg. 8 -30deg.
Range Resolution
7 -44m 14 -88m 100m 24 -89m
Swath 40 -70km 40 -70km 250 -350km 20 -65km
Quantization 5bits 5bits 5bits 3 or 5bits
Date Rate 240
Mbps
240Mbps 120Mbps, 240Mbps
240 Mbps
Center
Frequency 1270MHz(L-band)
Sumber: ERSDAC (2006)
JAXA (2006) menjelaskan bahwa sensor PALSAR merupakan sensor
gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa
terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu metode observasinya, yakni
ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas 250 hingga 350 km. Bentuk dari 6
instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Gambar 1
Sumber: JAXA (2006)
Gambar 1 Prinsip geometri PALSAR.
Polarisasi dari sinyal radar merupakan bentuk gelombang yang diterima ke
Dengan demikian terdapat empat kombinasi dari pemancaran dan penerimaan
polarisasi sebagai berikut :
HH – Memancarkan dan menerima secara horisontal
VV – Memancarkan dan menerima secara vertikal
HV – Memancarkan secara horisontal dan menerima secara vertikal
VH – Memancarkan secara vertikal dan menerima secara horisontal
Purwadhi (2001) menjelaskan bahwa kecerahan dari kenampakan objek
pada citra radar terkait dengan pancaran energi yang dikembalikan ke sensor oleh
benda-benda permukan bumi (target). Pada prinsipnya semakin besar tenaga
gelombang yang dipantulkan oleh suatu objek maka warna atau penampakan
objek pada citra radar akan semakin cerah, demikian juga untuk sebaliknya.
Intensitas atau kekuatan tenaga pantulan tersebut pada dasarnya dipengaruhi oleh
dua sifat utama yaitu sifat objek yang diindera dan sistem sensor radar yang
digunakan.
Sifat objek citra radar dipengaruhi oleh:
(1) Aspek/arah lereng yang menyebabkan perbedaan arah menghadap ke sensor;
(2) Kekasaran permukaan yang menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar;
(3) Perbedaan complex dielectrik constant (ukuran kemampuan objek atau benda untuk memantulkan 4 atau meneruskan pulsa/tenaga radar) dari objek;
(4) Arah objek berhubungan dengan sudut pengamatan antena terutama terhadap
arah pantulan pulsa radar.
Pada permukaan kasar, energi microwave akan dipencarkan (scatter) ke beberapa arah sekaligus, ini disebut sebagai difuse atau reflektansi tersebar.
Permukaan vegetasi akan menyebabkan hal ini dan terlihat lebih cerah pada citra
radar. Pencaran diskrit dicirikan oleh bentuk geometri sederhana seperti
bangunan. Bentuk pencaran yang terjadi biasanya seperti reflektor sudut, biasanya
terbentuk oleh bentuk yang saling interseksi.
Tingkat kekasaran permukaan ditentukan oleh panjang gelombang yang
digunakan dan sudut pandang. Secara umum sebuah permukaan dianggap halus
apabila variasi ketinggiannya lebih kecil dari panjang gelombang (1/2 panjang
gelombang). Pada sebuah permukaan tertentu, kenampakan kekasaran akan
terlihat meningkat apabila sudut pandang meningkat. Permukaan kasar akan
terlihat lebih cerah di atas citra radar dibanding permukaan yang halus, sekalipun
materialnya sama. Sebuah objek kecil dapat terlihat sangat cerah pada citra radar.
Hal ini dapat terjadi tergantung dari konfigurasi geometrik objek tersebut.
Dinding bangunan atau jembatan, dengan kombinasi reflektansi dari tanah dapat
membentuk reflektor sudut. Apabila dua buah objek membentuk sudut dan
mengarah pada radar, maka dapat terjadi reflektor sudut dihedral yang kuat kalau permukaan refleksinya tegak lurus dengan arah sensor radar. Reflektansi kuat juga
terjadi apabila timbul reflektansi sudut trihedral. Peneliti seringkali menempatkan reflektor sudut di lapangan sebagai titik acuan koreksi bagi citra radar.
2.4 Penggunaan Citra LANDSAT untuk Identifikasi Tutupan Lahan
Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra
LANDSAT telah dilakukan sebelumnya. Harjadi Beny, C. Nugroho, S.P. dan
Teguh Setiaji (1999) dalam penelitiannya menggunakan citra LANDSAT resolusi
30 m tahun 1997 di Provinsi Jambi. Penelitian ini mengidentifikasi sebanyak 7
(tujuh) kelas tutupan lahan, yaitu : non kelas, badan air, hutan gambut, tegalan,
semak belukar, hutan kering, dan non hutan.
Menurut Ikhwan (1999) dalam penelitiannya mengenai deteksi perubahan
penutupan hutan dan lahan akibat kebakaran di Provinsi Riau menggunakan citra
LANDSAT kombinasi band 5-4-3 tahun 1997 didapat hasil identifikasi sebanyak
8 (delapan) kelas penutupan lahan, yaitu : logged-over forest, tanah kosong, perkebunan, padang rumput/semak, lahan terbuka tak bervegetasi dengan
tunggak-tunggak kayu hangus, awan, bayangan awan, dan penutupan air.
Penelitian Priyatna (2007) di Kabupaten Bogor menggunakan citra
LANDSAT TM Multi waktu, interpretasi visual citra dapat diidentifikasi
sebanyak 13 kelas tutupan lahan dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3.
pemukiman, semak, kebun campuran, kebun karet, kebun teh, tegakan pinus,
hutan daun lebar, awan dan bayangan awan.
Hasil penelitian Laksono (2008) di Kabupaten Rembang menggunakan
citra LANDSAT TM resolusi 30 m tahun 1996 mampu mengidentifikasi sebanyak
7 kelas tutupan lahan, yaitu : hutan rapat, hutan kerapatan sedang, hutan jarang,
lahan pertanian, pemukiman, pemukiman + kebun campuran, dan tambak.
Dalam penelitian Wasit (2010) mengenai interpretasi citra, citra
LANDSAT dapat mengidentifikasi sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan,
yaitu : hutan rakyat, hutan sekunder, kebun campuran, lahan terbuka (galian c),
permukiman penduduk, semak belukar, lahan sawah, tegalan, tubuh air (sungai)
dan jalan.
2.5 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan
Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra ALOS
PALSAR juga telah dilakukan sebelumnya. Hendrayanti (2008) dalam
penelitiannya menggunakan citra komposit HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau
Jawa mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas penutupan lahan yaitu :
tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi biomassa rendah, dan hutan atau
vegetasi biomassa tinggi.
Riswanto (2009) menggunakan citra komposit yang sama, HH-HV-HH
resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4
kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang, dan
vegetasi rapat.
Hasil penelitian Radityo (2010) menggunakan citra komposit
HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Pulau Kalimantan terdapat 8 obyek penutupan lahan
yang mampu dibedakan, yaitu : badan air, lahan terbuka, lahan terbangun, belukar
rawa, hutan mangrove, pertanian/kebun campuran/semak, perkebunan sawit, dan
hutan.
Pada penelitian Bainnaura (2010) dengan menggunakan citra komposit
HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu
mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, landasan udara,
perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar, dan
tanah terbuka.
Penelitian Puminda (2010) di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah
dengan menggunakan citra komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) mampu
mengklasifikasikan obyek dalam 8 (delapan) kelas, yaitu : badan air, hutan
tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan
terbangun, sawah, dan kebun kelapa.
Salman (2011) dalam penelitiannya menggunakan citra ALOS PALSAR
resolusi 50 m dengan komposit HH-HV-HH/HV di Provinsi Bali mampu
mengidentifikasi citra sebanyak 11 kelas tutupan lahan, yaitu : badan air, landasan
udara, hutan lahan kering, hutan mangrove, kebun campuran, lahan terbuka,
padang rumput, pemukiman, pertanian lahan kering, sawah, dan tambak.
Hasil penelitian Nurhadiyatin (2011) di Kabupaten Brebes, Cilacap,
Banyumas, dan Ciamis menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan
12,5 m dengan komposit HH-HV-HH/HV mampu mengidentifikasi 9 (Sembilan)
kelas penutupan lahan, yaitu : badan air, hutan tanaman sedang-tua, hutan
tanaman muda, kebun campuran, perkebunan karet sedang-tua, perkebunan karet
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011
dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan
Kabupaten Cianjur, sedangkan kegiatan pengolahan dan analisis data
dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Data
3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: GPS, kompas,
kamera digital, dan alat tulis sebagai peralatan di lapangan. Sedangkan
software dan hardware yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : komputer pribadi, Erdas Imagine 9.1, Arcview 3.2, Minitab 14, Microsoft Excel 2007, dan Microsoft Word 2007 untuk analisis data.
3.2.2 Data
Data utama yang digunakan adalah :
a. Citra ALOS PALSAR dengan resolusi spasial 50 m daerah Jawa
Barat tahun perekaman 2009
b. Citra LANDSAT TM Path 122 Row 65 Tahun perekaman 2008
c. Peta Rupa Bumi Indonesia Jawa Barat Skala 1 : 25.000 Tahun 2010
3.3 Tahapan Pelaksanaan
3.3.1 Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan, meliputi : Citra ALOS PALSAR 50 m
tahun perekaman 2009, citra LANDSAT TM Path 122 Row 65 tahun
perekaman 2008, dan Peta Rupa Bumi Indonesia Daerah Jawa Barat skala
3.3.2 Pra-Pengolahan Citra
3.3.2.1 Mosaik Citra
Mosaik citra merupakan proses menggabungkan beberapa citra
secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra
yang kohesif. Tujuan dari kegiatan mosaik adalah menghasilkan citra
gabungan yang mempunyai kualitas kekontrasan yang baik, sehingga citra
hasil (output) tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten,
terorganisir, solid, dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2007).
3.3.2.2 Menambah Band Sintesis pada Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m
Data citra satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m yang digunakan
dalam penelitian ini hanya memiliki polarisasi, yaitu : HH dan HV yang
dapat diperlakukan sebagai band. Sehingga perlu ditambahkan band sintesis
untuk menambah informasi pada citra. Menurut hasil penelitian Bainnaura
(2010) penambahan band sintetis yang memberikan variasi informasi lebih
banyak adalah rasio HH-HV-(HH/HV).
3.3.2.3 Penajaman Citra
Teknik penajaman citra (image enhancement) adalah teknik yang dipergunakan untuk meningkatkan perbedaan tone dan tekstur citra. Tujuan dari proses ini adalah untuk meningkatkan kekontrasan objek guna
mempermudah pendeteksiannya atau meningkatkan variasi spektralnya.
Prosesnya dapat mencakup peningkatan atau perbaikan kontras,
pendeteksian garis atau tepi, penajaman gambar, penghalusan,
pengurangan noise dan sebagainya. Penajaman radiometrik merupakan salah satu teknik dari penajaman citra. Teknik ini digunakan untuk
meningkatkan kontras dengan hanya melakukan manipulasi pada
|
r
ij|+|r
jk|+|r
ik| 3.3.2.4 Koreksi GeometrikKoreksi geometrik merupakan suatu proses melakukan
transformasi data dari suatu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Area yang terekam oleh sensor pada satelit maupun pesawat
terbang sesungguhnya mengandung kesalahan (distorsi) yang diakibatkan
oleh pengaruh kelengkungan bumi dan atau oleh sensor itu sendiri
sehingga perlu adanya koreksi geometrik. (Jaya 2007)
Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m merupakan Ortho Image, di mana gambaran objek pada image itu posisinya benar sesuai dengan proyeksi orthogonal. Oleh karena itu, koreksi geometrik pada citra LANDSAT TM mengacu pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.
3.3.2.5 Pemilihan Kombinasi RGB Terbaik pada Citra LANDSAT 30 m
Menurut Jaya (2007), OIF (Optimum Index Factor) merupakan ukuran banyaknya informasi atau yang dimuat pada suatu citra komposit.
Ukuran ini merupakan perbandingan antara total simpanan baku dari
ketiga band yang digunakan dengan tiga koefisien korelasi dari
masing-masing pasangan band yang digunakan. Secara matematis, OIF
diformulasikan dengan rumus, sebagai berikut :
OIFijk = Si + Sj + Sk
Di mana Si, Sj, Sk adalah simpangan baku (standar deviasi) dari
band I, j, dan k. sedangkan rij, rjk, rik menyatakan koefisien korelasi antar
bandnya.
=
Komposit yang memiliki informasi lebih baik, memiliki OIF lebih
besar dari yang lain. Menurut hasil penelitian Wahyunto, Sri, dan Sofyan
(2010) berdasarkan hasil perhitungan nilai OIF citra satelit LANDSAT
TM yang dianalisis dan digunakan dalam indentifikasi lahan sawah, nilai
OIF tertinggi hasil perhitungan adalah kombinasi band 5,4, dan 3.
digunakan di bidang kehutanan (Kementerian Kehutanan). Komposit ini
dibuat dengan menggunakan panjang gelombang atau spektrum infra
merah sedang (λ 1,2~3,2 ), infra merah dekat (λ 0,7~0,9 ) dan
spektrum merah atau hijau (λ 0,6~0,7 atau 0,5~0,6 ) secara
berturut-turut pada bidang warna red, green, blue pada saat men-display citra. Tampilan dari komposit ini mendekati alam, sehingga variasi informasi
lebih banyak dibandingkan dengan komposit warna palsu standar. Hal ini
disebabkan karena informasi yang disajikan mencakup band infra merah
sedang, infra merah dekat, dan sinar tampak. Sinar infra merah sedang
merekam variasi kelembaban (water content) dari vegetasi. Infra merah dekat terkait dengan informasi biomas, sedangkan sinar tampak terkait
dengan informasi kehijauan daun (chlorophyll). Pada komposit ini vegetasi dan kerapatan vegetasi relatif lebih mudah dibedakan (dideliniasi)
dibandingkan dengan warna komposit warna palsu standar.
3.3.2.6 Orthorektifikasi Citra LANDSAT Resolusi 30 m
Orthorektifikasi adalah proses memposisikan kembali citra sesuai
lokasi sebenarnya, dikarenakan pada saat pengambilan data terjadi
pergeseran (displacement) yang diakibatkan adanya variasi topografi. Pada prinsipnya, orthorektifikasi sama dengan rektifikasi. Hanya
saja metode ini digunakan untuk daerah yang mempunyai kontur
bervariatif, dan dalam pemprosesannya dibutuhkan data DEM (Digital Elevation Model) yang mempunyai interval gridspacing yang makin kecil dan ketelitian vertikal yang makin besar (Leksono dan Susilowati 2008).
Proses perekaman citra satelit dilakukan di antariksa berjarak
ratusan kilometer dari Bumi sehingga memiliki distorsi geometrik absolut
berkisar 10 hingga ratusan meter. Hal ini terjadi karena proses
perekamannya dilakukan di antariksa berjarak ratusan kilometer dari bumi,
pada wahana satelit yang bergerak dengan posisi yang tidak selalu tegak
lurus terhadap permukaan bumi. Di samping itu kesalahan geometrik juga
terjadi dari efek topografi muka bumi. Kualitas geometrik suatu citra
Citra Alos Palsar (Orthorektifikasi)
Citra LANDSAT TM (5-4-3) Citra LANDSAT
non orthorektifikasi
Geometrik citra yang tidak presisi akan berdampak pada kesalahan dalam
pengukuran parameter jarak, luas, atau sudut pada peta yang dihasilkan.
Selain itu koreksi geometrik lebih tepat dilakukan pada citra satelit dan
bukan pada peta vektor karena proses koreksi akan jauh lebih efisien.
Gambar 3 Proses Orthorektifikasi LANDSAT
Dari hasil orthorektifikasi citra LANDSAT resolusi 30 m di atas,
terlihat perbedaan antara citra LANDSAT non-orthorektifikasi dengan
citra LANDSAT orthorektifikasi setelah di-overlay-kan dengan hasil deliniasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang telah di-ortho.
3.3.2.7 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra LANDSAT Resolusi 30 m
Identifikasi awal ini dimaksudkan untuk memudahkan
pengelompokan tutupan lahan dengan menggunakan elemen interpretasi.
Elemen interpretasi yang paling mudah dilihat secara visual adalah rona
(warna/tone) yang merupakan tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra yang tergantung pada intensitas tenaga gelombang mikro yang
dipantulkan oleh objek dan langsung diterima oleh sensor. Intensitas
tersebut dipengaruhi oleh karakteristik objek, antara lain : kekasaran
Dem (Digital Elevation Model)
permukaan, complex dielectric constant, kelerengan dan arah objek. Selain itu, untuk citra radar dipengaruhi juga oleh sistem sensor radar yang
digunakan. Identifikasi berikutnya adalahbentuk.Bentuk ialah konfigurasi
atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas, sehingga
banyak yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya. Ketiga adalah ukuran,
ukuran adalah atribut objek yang merupakan fungsi dari skala. Oleh sebab
itu dalam interpretasi citra harus selalu memperhatikan skala yang
digunakan. Keempat adalah tekstur, tekstur adalah frekuensi perubahan
rona pada citra. Tekstur merupakan hasil gabungan dari unsur bentuk,
ukuran, pola, dan rona objek. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar,
sedang, dan halus. Kelima ialah pola, pola adalah hubungan susunan
spasial objek. Pengulangan bentuk umum tertentu merupakan karakteristik
dari banyak objek alamiah atau bangunan dan akan memberikan suatu pola
yang membantu penafsiran untuk mengenali objek yang bersangkutan.
Keenam ialah lokasi yang merupakan letak obyek dalam hubungannya
dengan obyek yang lain. Lokasi sangat berguna untuk membantu
pengenalan suatu obyek. Dan yang terakhir ialah asosiasi, asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang
lainnya. Karena keterkaitan inilah maka terlihatnya suatu obyek pada citra
sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain. Ketujuh elemen
tersebut merupakan urutan elemen-elemen citra dalam mengidentifikasi
lahan berdasarkan tingkat kemudahan dengan visual.
3.3.3 Pengamatan Lapangan
Pengamatan lapangan dilakukan dengan cara pengambilan titik
pada obyek-obyek yang telah ditentukan dalam identifikasi awal citra
ALOS PALSAR resolusi 50 m. Tujuannya adalah untuk mencocokkan
tutupan lahan yang telah diidentifikasi pada citra ALOS PALSAR 50 m
dan citra LANDSAT resolusi 30 m dengan keadaan sesungguhnya di
3.3.4 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan
Analisis hasil pengamatan lapangan dilakukan dengan 5 metode,
yaitu : metode pertama ialah identifikasi obyek di lapangan yang
membahas secara umum obyek-obyek yang ditemui di lapangan. Kedua
ialah analisis diskriminan yang berguna ketika ingin membentuk sebuah
model prediktif dari beberapa kelompok (group). Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan obyek-obyek tutupan lahan yang
memiliki persamaan karakteristik ciri fisik di lapangan. Pada citra ALOS
PALSAR resolusi 50 m, analisis diskriminan ini dilakukan dengan
menggunakan nilai digital dari HH dan HV. Sedangkan pada citra
LANDSAT resolusi 30 m, analisis diskriminan dilakukan menggunakan
bantuan nilai digital pada band-band yang dapat menampilkan tampilan
visual terbaik yaitu band 3, band 4, dan band 5. Proses analisis diskriminan
dilakukan hingga objek-objek yang ada tidak bisa dikelompokkan kembali.
Ketiga ialah analisis perbandingan perbandingan visual antara citra ALOS
PALSAR resolusi 50 m dengan citra LANDSAT resolusi 30 m, yang
dilakukan berdasarkan penampakan citra dilihat dari elemen-elemen
interpretasi yaitu warna, tekstur, bentuk, pola, site, dan asosiasi. Analisis perbandingan penafsiran visual ini merupakan hasil perbaikan dari hasil
identifikasi awal tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m
dan citra LANDSAT resolusi 30 m. Metode yang keempat ialah analisis
separabilitas yang dilakukan pada kedua citra, yaitu : citra ALOS
PALSAR resolusi 50 m dan citra LANDSAT resolusi 30 m dengan
mengambil sampling area pada masing-masing tutupan lahan. Analisis separabilitas digunakan untuk menujukkan keterpisahan secara statistik
antar kelas berdasarkan rata-rata nilai digital tiap kelas tutupan dan
penggunaan lahan dengan indikasi kemungkinan kemiripan warna/rona.
Analisis ini menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Metode terakhir ialah analisis akurasi hasil klasifikasi pada kedua citra untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi terhadap
kondisi yang sebenarnya di lapangan. Keakuratan tersebut, meliputi :
pemberian, nama secara benar, dan persentase banyaknya piksel dalam
masing-masing kelas serta persentase kesalahan total. Untuk menghitung
besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matrik
kesalahan (confusion matrix). Rumus Kappa accuracy yang digunakan sebagai berikut :
dimana:
= Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = Jumlah piksel dalam kolom ke-i
Mosaik citra
Menambah Band Sintetis
yaitu HH/HV (Rasio) Orthorektifikasi citra
Koreksi Citra
Memilih kombinasi band terbaik
Identifikasi awal tutupan lahan
Pengamatan lapangan
Analisis hasil pengamatan lapangan : Identifikasi objek di lapangan
Analisis diskriminan Analisis perbandingan visual
Analisis separabilitas Akurasi hasil klasifikasi citra Citra ALOS PALSAR (Ortho) 50
m dengan polarisasi HH dan HV
Peta Rupa Bumi Indonesia (Jawa Barat) Skala
1 : 25.000
Bagan Alir Pengolahan Data dan Analisis Data
[image:37.595.58.549.106.736.2]
Gambar 4 Bagan pengolahan data dan analisis data.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4. 1 Kabupaten Bogor 4.1.1 Letak Geografis
Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6⁰18’0”- 6⁰47’10” LS dan 106⁰23’45” - 107⁰13’30” BT. Kabupaten Bogor berdekatan dengan Ibukota Negara sebagai pusat pemerintahan jasa dan perdagangan dengan aktifitas
pembangunan yang cukup tinggi. Luas Kabupaten Bogor ± 297.101,868 ha
dengan batasan wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Tangerang (Provinsi Banten), Kabupaten/Kota
Bekasi dan Kota Depok ;
Sebelah Timur : Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Purwakarta;
Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur;
Sebelah Barat : Kabupaten Lebak (Provinsi Banten);
4.1.2 Topografi
Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi
wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian Utara hingga
dataran tinggi di bagian Selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang
menghadap ke Utara. Klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta persentasenya,
sebagai berikut :
a. Dataran rendah (15-100 m dpl) sekitar 29,28 %, merupakan kategori ekologi
hulu;
b. Dataran bergelombang (100-500 m dpl) sekitar 42,62% merupakan kategori
ekologi tengah;
c. Pegunungan (500-1000 m dpl) sekitar 19,53%, merupakan kategori ekologi
hulu;
d. Pegunungan tinggi (1000-2000 m dpl) sekitar 8,43% merupakan kategori
e. Puncak-puncak gunung (2000-2500 m dpl) sekitar 0,22% merupakan kategori
ekologi hulu;
4.1.3 Iklim
Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di
bagian Selatan dan iklim tropis basah di bagian Utara, dengan rata-rata curah
hujan tahunan 2500-5000 mm/tahun, kecuali wilayah bagian utara dan sebagian
kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. Suhu rata-rata
20-30⁰C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25⁰C, dan kelembaban udara 70%. Kecepatan angin cukup rendah, dengan rata-rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di
daerah terbuka rata-rata sebesar 146,2 mm/bulan.
4.1.4 Batuan
Secara umum wilayah Kabupaten Bogor terbentuk oleh batuan vulkanik
yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung
berapi, yaitu: Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan
umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari
pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang
relatif subur.
4.1.5 Tanah
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk
kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Tanahnya terdiri dari 22 jenis,
dengan persentase terbesar adalah Asosiasi Latosol Merah. Selanjutnya jenis
tanah Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit Air Tanah sebesar 20,20%
(60.439.627 ha). Sedangkan jenis tanah lainnya, yaitu : Andosol Coklat
Kekuningan (1%); Asosiasi Aluvial Coklat Kelabu dan Aluvial Coklat
Kekelabuan (4,71%); Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat (3,22%);
Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan (3,83%); Asosiasi Latosol
Coklat dan Regosol Kelabu (5,89%); Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan
Latosol Coklat (8,78%); Asosiasi Podsolik Kuning dan Hidromorf kelabu
regosol dan mediateran (5,81 %); Kompleks Latosol merah kekuningan, Latosol
coklat kemerahan, dan Litosol (6,71%); Kompleks Latosol Merah kekuningan,
latosol Coklat, Podsolik Merah Kekuningan (5,61%); Kompleks Latosol Merah
kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol (2,84%); Kompleks Regosol Kelabu
dan Litosol (1,69%); Kompleks Resina, Litosol Batu Kapur dan Brown Forest Soil (0,89%); Latosol Coklat (7,62%); Latosol Coklat Kekuningan (1,91%); Latosol Coklat Kemerahan (0,001%); Latosol Coklat Tua kemerahan (6,32 %);
Podsolik Kuning (1,57%); Podsolik merah (2,07%) dan Podsolik Merah
kekuningan (7,54%).
4.1.6 Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 menurut hasil Sensus
Daerah (SUSDA) sebanyak 4.215.585 jiwa dan pada tahun 2007 mencapai
4.237.962 jiwa atau 10,32 % dari jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat
(40.737.594 jiwa). Berarti dalam lingkup Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk
tersebut menempati urutan kedua setelah Kabupaten Bandung (4.399.128 jiwa).
Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Kabupaten Bogor tahun 2006-2007 adalah
0,53% lebih rendah dibandingkan dengan LPP tahun 2005-2006 yang mencapai
2,79%. Sementara LPP selama periode 200-2007, rata-rata mencapai 4% atau
masih berada di atas 2% per tahun. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya laju
pertumbuhan alami dan migrasi masuk ke Kabupaten Bogor.
4.1.7 DAS
Di wilayah Kabupaten Bogor terdapat 6 (enam) Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang posisinya membentang dan mengalir dari daerah pegunungan di
bagian selatan ke arah Utara, yaitu : DAS Cidurian, DAS Cimanceuri, DAS
Cisadane, DAS Ciliwung, DAS Kali Bekasi, dan DAS Citarum Hilir.
Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang
sangat strategis yaitu sebagai sumber air untuk irigasi, rumah tangga dan industri
serta berfungsi sebagai drainase utama wilayah. Di samping itu, Kabupaten Bogor
terdapat danau atau situ-situ sebanyak 93 buah dengan luas wilayah 496,28 ha dan
atau tempat peresapan air dan beberapa di antaranya dimanfaatkan sebagai objek
wisata atau tempat berekreasi, budidaya perikanan dan irigasi untuk pertanian.
Dengan kondisi ekologi dan morfologi tersebut di atas, sebagian besar
wilayah Kabupaten Bogor berfungsi lindung (non budidaya dan budidaya
terbatas), sehingga wilayah yang dapat digunakan untuk kegiatan budidaya
terbatas yakni hanya wilayah dataran rendah bagian utara. Selain itu, kondisi
morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan
pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung,
yang terdiri dari andesit, tufa, dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam
sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan
tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah
bila mendapatkan siraman curah huajn yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah
penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka
terhadap erosi, antara lain : latosol, alluvial, regosol, podsolik, dan andosol.
Dengan demikian beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor.
4.2 Kabupaten Sukabumi 4.2.1 Letak Geografis
Kabupaten Sukabumi terletak antara 106⁰49-107⁰ BT, 60⁰57’- 70⁰25’ LS dengan batas wilayah administrasi sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Bogor
Sebelah Timur : Kabupaten Cianjur
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Sebelah Barat : Kabupaten Lebak
Batas wilayah tersebut 40% berbatasan dengan lautan dan 60% merupakan
daratan. Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki areal yang cukup luas +
354.861,054 ha. Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi
wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagian besar merupakan wilayah
4.2.2 Topografi
Wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai bentuk lahan yang bervariasi
dari datar sampai gunung yaitu : datar (lereng 0-2%) sekitar 9,4%, berombak
sampai bergelombang (lereng 2-15%) sekitar 22 %, bergelombang sampai
berbukit (lereng 15-40%) sekitar 42,7 %, dan berbukit dari permukaan laut
wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 0-2.958 m, daerah datar umumnya
terdapat pada daerah pantai dan daerah kaki gunung yang sebagian besar
merupakan daerah persawahan. Sedangkan daerah bagian Selatan merupakan
daerah berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 300-1000 m dari
permukaan laut.
4.2.3 Iklim
Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropis dengan tipe iklim B
(Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan
144 hari. Suhu udara berkisar antara 20-30⁰C dengan kelembaban udara 85-89 %. Curah hujan antara 3000-4000 mm/tahun terdapat di daerah Utara, sedangkan
curah hujan antara 2000-3000 mm/tahun terdapat di bagian Tengah sampai
Selatan Kabupaten Sukabumi.
4.2.4 Tanah
Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Sukabumi sebagian besar
didominasi oleh tanah Latosol dan Podsolik yang terutama tersebar pada wilayah
bagian Selatan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Sedangkan jenis tanah
Andosol dan regosol umumnya terdapat di daerah pegunungan terutama daerah
Gunung Salak dan Gunung Gede, dan pada daerah pantai dan tanah alluvial
umumnya terdapat didaerah lembah dan daerah sungai.
4.2.5 Demografi
Jumlah penduduk di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 sebanyak
2.391.736 jiwa yang terdiri dari 1.192.038 orang laki-laki dan 1.199.698 orang
perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk 2,37% dan kepadatan penduduk
bervariasi. Kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Ciemas (183
jiwa per km persegi) dan tertinggi di Kecamatan Sukabumi (2.447 jiwa per km
persegi). Pemukiman padat penduduk umumnya terdapat di pusat kecamatan yang
berkarakteristik perkotaan dan di sepanjang jalan raya.
Suatu kondisi penting yang sedang terjadi sehubungan dengan
ketenagakerjaan adalah pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor
non pertanian. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian telah menurun.
4.3 Kabupaten Cianjur 4.3.1 Letak Geografis
Letak goegrafis Kabupaten Cianjur terletak pada 106°25′ – 107°25′ Bujur
Timur dan 6°21′ – 7°32′ Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Cianjur
350.148 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 2.138.465 jiwa.
Secara administratif Pemerintah kabupaten Cianjur terbagi dalam 32 kecamatan,
dengan batas-batas administratif :
Sebelah utara : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta.
Sebelah barat : Kabupaten Sukabumi.
Sebelah Selatan : Samudra Indonesia.
Sebelah Timur : Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Wilayah Kabupaten Cianjur secara administrasi memiliki luas 350.148 ha
atau 10,12 % dari luas total wilayah Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Cianjur
terbagi ke dalam 26 kecamatan pada tahun 2001 yang kemudian mengalami
pemekaran menjadi 32 kecamatan dengan luas wilayah kabupaten yang tetap pada
tahun 2008.
4.3.2 Topografi
Wilayah Kabupaten Cianjur terdiri dari daerah pegunungan, perbukitan,
dan sebagian merupakan dataran rendah, dengan ketinggian antara 0 - 2.962 m di
atas permukaan laut. Karakteristik topografi yang terdapat di Kabupaten Cianjur
a. Datar (Kemiringan 0-8%)
Daerah yang termasuk ke dalam karakteristik dataran, yaitu : Sukaresmi,
Cikalongkulon, Cianjur, Ciranjang, Bojongpicung, Sebelah utara Cibeber,
Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak, dan sepanjang Pantai Selatan.
b. Landai (Kemiringan 8-15%)
Daerah yang termasuk ke dalam karakteristik perbukitan dengan relief halus,
yaitu : daerah Utara Pacet, Warungkondang, Takokak sebelah Barat, dan
Cidaun.
c. Agak Curam (Kemiringan 15-25%)
Daerah yang termasuk ke dalam karakteristik perbukitan dengan relief sedang,
yaitu : Mande sebelah utara, Kadupandak sebelah selatan, dan Cibeber sebelah
selatan.
d. Curam (Kemiringan 25-40%)
Daerah yang termasuk ke dalam karakteristik perbukitan dengan relief agak
kasar, yaitu : Takokak, Kadupandak bagian Utara dan Selatan, Suka Negara
bagian Utara, Argabinta, Cidaun sebelah utara, Pagelaran bagian Selatan dan
Tanggeung bagian Utara.
e. Sangat Curam (Kemiringan >40%)
Daearah yang termasuk ke dalam karakteristik perbukitan dengan relief kasar,
yaitu : Bojongpicung bagian Selatan, Gunung Beleud, Gunung Gede
Pangrango, Takokak sebelah Timur dan Gunung Sambul.
4.3.3 Iklim
Secara umum Kabupaten Cianjur memiliki iklim tropis lembab dengan
suhu udara minimum sebesar 180 C (Maret-April) sedangkan suhu maksimal
adalah 240C (Oktober-November) dengan kelembaban nisbih antara 80-90 %.
Pada bulan November-Maret, angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya
berkaitan dengan musim hujan dan pada bulan Mei-September angin bertiup ke
arah barat laut yang menandai terjadinya musim kemarau. Puncak musim
kemarau terjadi pada bulan Agustus, sedangkan puncak musim hujan terjadi pada
4.3.4 Tanah
Wilayah Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah yang beragam, yaitu :
Alluvial, Andosol, Grumosol, Latosol, dan Podsolik. Sebagian besar wilayah
Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah Latosol sedangkan jenis tanah dengan
persentase terkecil adalah tanah Andosol.
4.3.5 Demografi
Menurut Sensus Penduduk 2000, jumlah penduduk Kabupaten Cianjur
sebanyak 1.931.480 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 982.164 jiwa
dan perempuan 949.676 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,23 %.
Kecamatan yang jumlah penduduknya terbesar adalah Kecamatan Pacet sebanyak
170.224 jiwa dan Kecamatan Cianjur sebanyak 140.374 jiwa. Kecamatan lainnya
yang jumlah penduduknya di atas 100.000 jiwa, yaitu : Kecamatan Cibeber
(105.0204 jiwa), Kecamatan Warungkondang (101.580 jiwa), dan Kecamatan
Karangtengah (123.158 jiwa). Kecamatan yang jumlah penduduknya terkecil
adalah Kecamatan Cikadu sebanyak 36.212 jiwa. Kecamatan lainnya yang jumlah
penduduknya antara 40.000 - 50.000 jiwa, yaitu : Kecamatan Sindangbarang,
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Objek di Lapangan
Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten
Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak
178 (seratus tujuh puluh delapan) titik dan diperoleh sebanyak 27 (dua puluh
tujuh) objek tutupan lahan yang rinciannya, sebagai berikut :
Tabel 4 Objek-objek tutupan lahan di lapangan
No. Objek tutupan lahan Jumlah titik yang ditemukan Foto
1. Landasan udara 1
2. Sungai 1
3. Waduk 1
Tabel 4 Lanjutan
No. Objek tutupan lahan Jumlah titik yang ditemukan Foto
5. Hutan Pinus 6
6. Hutan Rasamala 1
7. Hutan Agathis 1
8. Kebun campuran 45
9. Lahan terbuka 1
Tabel 4 Lanjutan
No. Objek tutupan lahan Jumlah titik yang ditemukan Foto
11. Pemukiman 34
12. Perkebunan cokelat 1
13. Perkebunan karet 2
14. Perkebunan sawit muda 2
15. Perkebunan sawit tua 3
Tabel 4 Lanjutan
No. Objek tutupan lahan Jumlah titik yang ditemukan Foto
17. Pertanian lahan kering 12
18. Tanaman kelapa-pisang 1
19. Tanaman singkong 4
20. Tanaman pisang 1
21. Tanaman kacang panjang 2
Tabel 4 Lanjutan
No. Objek tutupan lahan Jumlah titik yang ditemukan Foto
23. Tanaman kacang panjang-singkong 1
24. Sawah diolah/baru tanam 18
25. Sawah vegetatif 19
26. Sawah siap panen 4
27. Sawah pasca panen/sawah bera 7
5.2 Nilai Digital (Digital Number) dan Analisis Diskriminan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra LA