• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Aplication of ALOS PALSAR Image 50 m resolution and ALOS AVNIR 2 Image 50 m resolution for Land Cover Identification at Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Aplication of ALOS PALSAR Image 50 m resolution and ALOS AVNIR 2 Image 50 m resolution for Land Cover Identification at Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN

DI KABUPATEN TUBAN, BLORA, REMBANG, DAN BOJONEGORO

RATIH SOLICHIA MAHARANI E14063132

DEPARTEMENMANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

RINGKASAN

RATIH SOLICHIA MAHARANI. E14063132. Aplikasi Citra ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m dan Citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan Kabupaten Tuban, Blora, Rembang, dan Bojonegoro. Dibimbing Oleh : NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH.

ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA’s Tanegashima Space Center yang membawa 3 sensor di dalamnya yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi 2,5 meter yang memiliki sensor optik, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), resolusi 10 meter yang memiliki sensor optik dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) resolusi 10 meter dan 100 meter yang memiliki sensor radar.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk membandingkan kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 dalam mengidentifikasi penutupan lahan pada studi kasus di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan laju kerusakan hutan melalui penatagunaan lahan yang sesuai dan pengelolaan hutan yang lestari.

Metode yang digunakan adalah analisis identifikasi objek di lapangan, analisis diskriminan, analisis visual Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV skala 1:50.000 dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 skala 1:50000, analisis separabilitas dan analisis uji akurasi.

Hasil analisis secara visual citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 menampilkan 8 kelas tutupan lahan, yaitu tutupan lahan badan air, pertanian lahan kering, tambang kapur, bekas tebangan, sawah, kebun campuran, pemukiman, dan hutan tanaman jati, sedangkan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV hanya mampu menampilkan 7 kelas tutupan lahan, yaitu pemukiman, sawah, kebun campuran, pertanian lahan kering, lahan terbuka, badan air, dan hutan tanaman jati. Nilai uji akurasi kappa yang dihasilkan oleh citra ALOS PALSAR resolusi 50 m, yaitu sebesar 74,40%, sedangkan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m menghasilkan nilai uji akurasi kappa, yaitu sebesar 81,62%. Klasifikasi secara digital citra ALOS PALSAR resolusi 50 m menghasilkan hasil yang lebih baik dengan nilai N – Correct 79 dan proportion correct 58,5%.

(3)

SUMMARY

RATIH SOLICHIA MAHARANI. E14063132. The Aplication of ALOS PALSAR Image 50 m resolution and ALOS AVNIR-2 Image 50 m resolution for Land Cover Identification at Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro district. Under supervision : NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH.

ALOS (Advance Land Observing Satellite) is the biggest satelite imagery which is developed by JAXA’s Tanegashima Space Center. Its carried 3 sensor, there are optical sensor with 2,5 m resolution carried by Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) , optical sensor with 10 m resolution carried by Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2), and radar sensor with 10 m – 100 m resolution carried by Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR).

The objectives of this research are to compare optic and SAR data with same resolution for landcover identify. The research is located in Tuban, Blora, Rembang, and Bojonegoro district. The result of this research expected to solve the degradation of forest problems by land structuring and sustainable forest management.

The method of this research are analysis of field observation with discriminant analysis, ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution and ALOS AVNIR image 3-4-2 RGB combination with 50 m resolution visual analysis, separability analysis and accuration analysis.

Visual intrepretation of ALOS AVNIR-2 image showed better information than ALOS PALSAR image. It is shown by seeing the result of ALOS AVNIR-2 image 3-4-2 RGB combination with 50 m resolution landcover classification which has 8 type of landcover (water, dry land farming, mining limestone, logged, rice, mixed farms, settlements, and teak plantation) whereas ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution has seven type of landcover (water, dry land farming, rice, mixed farms, settlements, open area and teak plantation). The result of KAPPA accuration are 74,40% for ALOS PALSAR image HH-HV-HH/HV RGB combination with 50 m resolution and 81,62% for ALOS AVNIR-2 image 3-4-2 RGB combination with 50 m resolution.

Digital classification of ALOS PALSAR image is better than ALOS AVNIR-2 image. It is shown by the N – Correct and Proportion correct from digital number of each image, there are 79;58,5% for ALOS PALSAR image with 50 m resolution and 74;54,8% for ALOS AVNIR-2 image with 50 m resolution.

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahea skripsi berjudul Aplikasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m dan Citra ALOS AVNIR-2 Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang, dan Bojonegoro adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

(5)

APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M

DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 M

DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN

DI KABUPATEN TUBAN , BLORA, REMBANG, DAN BOJONEGORO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

RATIH SOLICHIA MAHARANI

E14063132

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes 9 Agustus 1988. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Ir. Muhammad Marzuki, MP dan Ibu Dra Endang Wahyuni. Penulis menjalani masa pendidikan SD di SD Negeri 1 Geuceu Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 1994-1997, SD Negeri 93 Meuraxa Nangroe Aceh Darussalam pada tahun 1997-1999 dan lulus pada tahun 2000 di SD Negeri 1 Gombong Jawa Tengah (1999-2000). Di jenjang SMP penulis menjalani masa pendidikannya di SMP Negeri 1 Gombong Jawa Tengah pada tahun 2000-2001 dan SMP Negeri 3 Kebumen Jawa Tengah pada tahun 2001-2004, kemudian penulis menjalani masa SMA di SMA Negeri 1 Kebumen Jawa Tengah. Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah tergabung dalam organisasi paduan suara Agriaswara IPB pada tahun 2006-2008. Di masa keanggotaannya, penulis aktif sebagai pengurus divisi kesekretariatan pada tahun 2007-2008. Penulis juga pernah mengikuti konser angkatan Agriaswara IPB “Le Baylere” pada tahun 2006. Selain itu, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sebagai anggota bidang Seni dan Olahraga pada tahun 2008-2009, Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan sebagai anggota bidang Hubungan Luar pada tahun 2008-2010, Sylva Indonesia cabang IPB sebagai anggota bidang Pengkaderan pada tahun 2009-2010, sebagai Dewan Pengawas pada tahun 2010-2011 dan sebagai Dewan Kehormatan pada tahun 2011 hingga sekarang. Selain itu, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di IPB mulai tahun 2006 s/d tahun 2008.

(7)

Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HT PT. Wirakarya Sakti Jambi pada tahun 2010.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berisi tentang perbedaan secara visual berdasarkan elemen interpretasi pada citra satelit yang memiliki sensor optik dengan citra satelit yang memiliki sensor radar. Selain itu dijelaskan pula perbedaan secara dijital yang terdapat pada citra citra satelit yang memiliki sensor optik dengan citra satelit yang memiliki sensor radar.

Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan sejauh mana kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV dan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 dalam mengidentifikasi penutupan lahan pada studi kasus di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si selaku dosen pembiimbing I atas segala bimbingan, pegarahan, ilmu, kesabaran, dan waktu selama penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, pegarahan, ilmu, kesabaran, dan waktu selama penyusunan skripsi.

3. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku dosen penguji penulis saat sidang dan Ir. Muhdin, MSc.F.Trop selaku moderator sidang.

4. JICA dan JAXA dalam pengambilan data penelitian dan penyediaan citra dalam penelitian penulis.

5. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr, Bpk. Uus Saepul M, Aa Edwine Setia P, S. Hut, Ka Faris Salman, S. Hut dan Ka Risa Desiana Syarif, S. Hut atas kesabaran dalam memberikan pengarahan dan ilmu. 6. Seluruh dosen dan staf Departemen Manajemen Hutan pada khususnya

(9)

7. Mandor KPH Kebonharjo, Bapak Umar dan Bapak Budi yang telah membantu penulis dalam pengambilan data penelitian.

8. Ayahanda Ir. Muhammad Marzuki, MP dan Ibunda Dra Endang Wahyuni, kakak penulis Tyanita Puti Marindah Wardani, ST , adik-adik penulis Rantidaista Ayunin Walidaini, Dyah Ajeng Syifa Aqmarina, dan Nabila Masaya Ramadhani serta seluruh keluarga besar Badjuri dan Atmo Prayitno, atas segala doa, nasehat, dukungan, serta kasih sayang yang tidak mungkin terbalas.

9. Sahabat tercinta Hangga Prihatmaja, S. Hut yang selalu memberikan dukungan, perhatian, dan bantuannya kepada penulis.

10.Sahabat tersayang Ade (nurindah), Lisa, Dika, Iffah, Ebi, Harai dan Akmal yang selalu ada untuk menjadi pendengar dan pemberi semangat untuk penulis.

11.Teman satu bimbingan Nurindah Ristiana, S. Hut dan Putu Ananta Wijaya, S. Hut yang telah memberikan semangat dan bantuannya kepada penulis.

12.Keluarga besar Laboraturium Remote Sensing dan GIS khususnya Ka Fatah, Ka Pipit, Ka Bejo, Ka Afiefah, Tulang, Wulan, Chika, Dian N, Ina, Ka Jojo, Ka Budi, Ka Aswin, Ka Puput, Pak Jaya, Pak Ayub, Pak Mukalil, Ria, Rudi, Tatan, Monic, Putu Arimbawa, Ade Cilik, Adit, Eri cowok dan cewek, dan Sani atas motivasi, dan kebersamaannya.

13.Seluruh teman-teman Manajemen Hutan angkatan 42 dan 43 atas kebersamaannya selama ini.

14.Sahabat-sahabat angkatan “Le-Baylere” Agriaswara IPB, khususnya Selly, Vitta, Andre, Yayoy, Hilaria dan Pipit atas motivasi dan kebersamaannya selama ini.

(10)

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu cara penulis untuk melatih keterampilan penulis dalam menyusun sebuah Karya Ilmiah. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tulisan ini karena penulis menyadari banyaknya kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2011

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... .. i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR. ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan. ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh. ... 3

2.1.1 Citra Satelit Pasif. ... 4

2.1.1.1 Citra ALOS AVNIR – 2 . ... 4

2.1.2 Citra Satelit Penginderaan Aktif. ... 7

2.1.2.1 Citra Radar. ... 7

2.1.2.1.1 Citra ALOS PALSAR... 11

2.2 Penutupan Lahan. ... 13

2.2.1 Penggunaan Citra Landsat Untuk Identifikasi Penutupan Lahan. ... 18

2.2.2 Penggunaan Citra Alos PALSAR Untuk Identifikasi Penutupan Lahan. ... 21

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat. ... 22

3.2 Alat dan Data. ... 22

3.2.1 Alat. ... 22

3.2.2 Data. ... 22

3.3 Tahapan Penelitian... 24

3.3.1 Pra – Pengolahan Citra. ... 24

3.3.1.1 Pengubahan Resolusi Citra ALOS AVNIR – 2 Resolusi 10 m Menjadi 50 m. ... 24

3.3.1.2 Koreksi Geometri. ... 24

3.3.1.3 Mosaik Citra. ... 24

(12)

3.3.2 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m Mengacu Pada Citra ALOS AVNIR – 2

Resolusi 50 m. ... 25

3.3.3 Pembuatan Lokasi Titik Pengamatan. ... 26

3.3.4 Pengambilan Data Lapangan. ... 26

3.3.5Analisis Hasil Pengamatan Lapangan . ... 27

BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak Geografis . ... 31

4.2 Topografi ... 32

4.3 Iklim ... 33

4.4 Tanah ... 33

4.5 Demografi ... 35

4.6 Tutupan Lahan ... 36

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan ... 37

5.2 Analisis Diskriminan ... 37

5.3 Analisis Visual Citra ... 57

5.4 Analisis Separabilitas ... 71

5.5 Uji Akurasi Citra ... 74

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA. ... 80

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Konsep pengamatan citra ALOS AVNIR – 2 . ... 6

2. Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1979), baur (a); sempurna (b); sudut (c) ... 7

3. Peta lokasi penelitian ... 22

4. Peta identifikasi awal tutupan lahan ... 24

5. Peta sebaran titik awal pengamatan ... 25

6. Peta sebaran plot di hutan tanaman jati ... 26

7. Peta sebaran titik hasil pengamatan ... 37

8. Kenampakan objek tutupan lahan badan air, sungai Bengawan Solo (a); danau (b) di lapangan ... 38

9. Kenampakan objek tutupan lahan hutan tanaman jati tiap kelas umur di lapangan ... 39

10. Kenampakan objek tutupan lahan tebu ... 39

11. Kenampakan objek tutupan lahan pemukiman di lapangan ... 40

12. Kenampakan tutupan lahan singkong (a); kacang (b); jagung (c) di lapangan ... 41

13. Kenampakan tutupan lahan sawah di lapangan ... 42

14. Kenampakan tutupan lahan pertanian lahan kering ... 43

15. Kenampakan tutupan lahan tambang kapur ... 43

16. Kenampakan tutupan lahan terbuka ... 43

17. Kenampakan tutupan lahan kebun campuran ... 44

18. Kenampakan tutupan lahan jembu mete ... 44

19. Kenampakan tutupan lahan mangga ... 45

20. Diagram analisis diskriminan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV ... 50

21. Diagram analisis diskriminan citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 ... 52

22. Kenampakan visual badan air citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 57

(14)

24. Kenampakan visual tambang kapur citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 59 25. Kenampakan visual pemukiman citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

(a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 60 26. Kenampakan visual sawah fase awal tanam citra ALOS PALSAR

resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 62 27. Kenampakan visual sawah fase vegetatif citra ALOS PALSAR

resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 62 28. Kenampakan visual sawah fase generatif citra ALOS PALSAR

resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 62 29. Kenampakan visual kebun campuran citra ALOS PALSAR resolusi

50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 64 30. Kenampakan visual hutan tanaman jati citra ALOS PALSAR

resolusi 50 m (a); citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m (b) ... 65 31. Kenampakan visual pertanian lahan kering citra ALOS PALSAR

(15)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Karakteristik citra ALOS AVNIR – 2. ... 5

2. Perbandingan klasifikasi penutupan lahan. ... 18

3. Skema perhitungan akurasi... 28

4. Batas wilayah lokasi penelitian ... 31

5. Kondisi topografi lokasi penelitian ... 32

6. Kondisi iklim lokasi penelitian ... 33

7. Kondisi tanah lokasi penelitian ... 34

8. Kondisi demografi lokasi penelitian ... 35

9. Kondisi tutupan lahan lokasi penelitian ... 36

10. Nilai diameter pohon jati (cm) pada tiap kelas umur ... 39

11. Rata-rata nilai dijital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV ... 46

12. Rata-rata nilai dijital tiap kelas tutupan lahan pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 ... 47

13. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV ... 68

14. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan elemen interpretasi pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 ... 69

15. Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV ... 70

16. Hasil analisis separabilitas citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 ... 71

17. Hasil uji akurasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m ... 75

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Laju penurunan kawasan hutan di Indonesia merupakan permasalahan yang tidak dapat diabaikan dan perlu dicari jalan keluarnya. Luas hutan pada tahun 1985-1997 untuk pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi berkurang seluas 21 juta ha. Pada tahun 1997-2000 laju penurunan luas hutan di dalam kawasan hutan Indonesia meningkat menjadi 2,84 juta ha/tahun. Selanjutnya pada tahun 2000-2005 laju penurunan luas hutan mencapai angka 1,08 juta ha/tahun atau sekitar 5,4 juta ha selama kurun waktu lima tahun (BAPLAN 2008). Laju kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang cukup pesat sehingga mengakibatkan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman atau areal industri (FWI 2003).

Salah satu pemecahan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengetahui kondisi penutupan lahan yang ada sehingga penatagunaan kawasan hutan yang sesuai dan pengelolaan hutan yang lestari dapat terwujud. Untuk mengetahui kondisi penutupan lahan pada suatu daerah dapat dilakukan secara lengkap, cepat dan relatif akurat melalui teknologi penginderaan jauh.

ALOS (Advance Land Observing Satellite) adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA’s Tanegashima Space Center Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 – 5 tahun. Satelit ini membawa 3 sensor di dalamnya yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang memiliki resolusi 2,5 meter dengan sensor optik, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang memiliki resolusi 10 meter dengan sensor optik dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang memiliki resolusi 10 meter dan 100 meter dengan sensor radar (Jaya 2000).

(17)

tutupan lahan. Salah satu perbedaan tersebut terletak pada resolusi radiometrik dan resolusi spektral. Pada sensor optik resolusi radiometriknya adalah sebesar 8 bit dengan rentang nilai digital 0-255. Pada sensor radar memiliki resolusi radiometrik sebesar 16 bit dengan rentang nilai digital 0-65536. Selain itu, sensor radar memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sensor optik yaitu pada penggunaan sumber energi yang dapat diatur terutama dalam kemampuannya menembus awan dan hujan serta dapat digunakan baik siang maupun malam (Jaya 2000).

Perbedaan lainnya adalah pada sensor optik terutama pada citra multispektral (citra ALOS AVNIR-2) memiliki fungsi untuk mengklasifikasi sifat kimia dan biofisisk dari objek di permukaan bumi, sedangkan pada citra ALOS PALSAR dengan sensor radar dan dikembangkan dengan sistem SAR berfungsi untuk mengklasifikasi tekstur dan ukuran dari objek di permukaan bumi (Prasad 2010).

Dengan identifikasi karakteristik citra baik dengan sensor optik maupun sensor radar terhadap kenampakan tutupan lahan di permukaan bumi, citra ALOS bisa digunakan secara optimal dalam klasifikasi tutupan lahan.

B. Tujuan Penelitian

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).

Penginderaan jauh dibedakan menjadi dua berdasarkan sumber energi elektromagnetik yang digunakan yaitu penginderaan jauh pasif (Passive Remote Sensing) dan penginderaan jauh aktif (Active Remote Sensing). Penginderaan jauh pasif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung). Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini diantaranya MESSR, IRS, JERS-1, OPS dan potret udara. Penginderaan jauh aktif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan (microwave). Beberapa sensor yang menggunakan sistem ini adalah RADAR, seperti RADARSAT, ERS-1,JERS-1, ALOS PALSAR. Sensor merupakan alat perekam objek bumi yang dipasang pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari objek yang diindera (Jaya 2009).

Sensor memiliki keterbatasan dalam mengindera objek kecil. Batas kemampuan memisahkan setiap objek dinamakan resolusi. Resolusi merupakan indikator kemampuan sensor dalam merekam objek. Terdapat empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor , yaitu resolusi spasial,resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi spasial adalah ukuran objek terkecil yang masih bias disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra. Semakin kecil ukuran objek yang dapat direkam maka semakin baik pula kualitas sensornya (Purwadhi 2001).

(19)

sinyal. Sedangkan resolusi temporal yaitu perbedaan kenampakan yang masih dapat dibedakan dalam waktu perekaman ulang (Purwadhi 2001).

2.1.1. Citra Optik

Citra optik memiliki beberapa karakteristik, yaitu merekam objek dengan menggunakan kamera sebagai sensornya dan film sebagai detektornya, sedangkan tenaga elektromagnetik yang digunakan pada spektrum tampak (spektrum tampak 0,4 mm – 0,7 mm, ultraviolet dekat 0,3 mm – 0,4 mm, dan inframerah dekat 0,7 mm – 1,2 mm). Citra optik bersifat continue-continue dimana pengolahan data nilai keabuan (rona) dinyatakan dengan presisi angka tak terhingga (Purwadhi 2001).

Karakteristik lain yang dimiliki citra optik yaitu termasuk ke dalam sistem penginderaan jauh pasif yang dengan sumber energi berupa reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung, sehingga memiliki waktu perekaman yang terbatas. Selain itu, citra optik terutama citra multispectral memiliki fungsi untuk mengklasifikasi sifat kimia dan biofisisk dari objek di permukaan bumi (Prasad 2010).

2.1.1.1. Citra ALOS AVNIR-2

AVNIR-2 merupakan salah satu citra optik yang termasuk ke dalam penginderaan jauh pasif dengan sensor High Resolution Optical (Jaxa 2011). High Resolution Optical yang dimiliki citra AVNIR-2 merupakan sistem sensor (sejenis sistem cross-track) yang bekerja pada dual mode yaitu multispectral dan pankromatik. Mode pankromatik memiliki resolusi spasial 10

m dengan domain panjang gelombang 500-730 nm (single spectral band [citra dijital keabuan, hitam-putih] di dalam keseluruhan domain visible [400 nm-700 nm]). Sedangkan mode multispectral merekam 3 data band yaitu hijau, merah dan NIR (Prahasta 2008).

(20)

IFOV pada umumnya menyatakan sudut kerucut yang membatasi tenaga datang yang terfokus pada detektor. Seluruh radiasi yang menuju instrumen di dalam IFOV menyebabkan tanggapan detektor pada tiap saat. Semakin luas IFOV maka jumlah tenaga yang dipusatkan pada detector radiometer lebih besar (Lillesand dan Kiefer 1979). Akibatnya berupa perbaikan dalam resolusi radiometrik. Resolusi radiometrik citra AVNIR-2 adalah 8 bit dengan rentang nilai dijital berkisar antara 0-255 sedangkan resolusi spasialnya adalah 10 m (Jaxa 2011).

Citra ALOS AVNIR-2 terdiri dari 4 band, 3 band reflectance visible dan 1 band inframerah dekat. Keempat band tersebut memiliki panjang gelombang yang berbeda satu sama lain, band 1 memiliki panjang gelombang 0,42-0,5 µm, band 2 memiliki panjang gelombang 0,52-0,6 µm, band 3 memiliki panjang gelombang 0,61-0,69 µ m, dan band 4 yang merupakan band inframerah dekat yang memiliki panjang gelombang 0,76-0,89 µ m. Band inframerah dekat pada citra ALOS AVNIR-2 sangat baik untuk mendefinisi vegetasi dan mengetahui keadaan tanah sehingga citra ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah deforestasi dan desertifikasi pada hutan tropis. Citra ini tersusun dari dua unit scanning radiometer unit dimana di dalamnya terdiri dari komponen optik dan electronic unit. Citra AVNIR-2 berfungsi dalam pengolahan data citra dan memiliki luasan cakupan rekaman (pointing angle) dari -44⁰ sampai +44⁰ (Jaxa 2011). Karakteristik citra ALOS AVNIR-2 dijelaskan dalam Tabel 1 dan Gambar 1.

Parameter Karekteristik

Band 1 : 0.42 to 0.50 mikrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 mikrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 mikrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 mikrometers 10 m

(21)

Gambar 1 Konsep pengamatan citra ALOS AVNIR-2. Sumber : Jaxa 2011

2.1.2. Citra Radar

Pencitraan radar telah berkembang kemampuanya sebagai instrumen penginderaan jauh sejak tahun 1978, ketika satelit SEASAT SAR diluncurkan. SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan teknik yang handal dan praktis untuk mendapatkan resolusi spasial yang tinggi dan mempunyai kemampuan melakukan pencitraan baik siang maupun malam dan pada segala cuaca. SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan sebuah sistem radar yang mengindera secara menyamping dan dapat menghasilkan citra resolusi tinggi. SAR mengindera sepanjang jalurnya dan dapat mengakumulasi data dan melalui cara ini, sebuah jalur permukaan bumi di iluminasi baik secara parallel maupun searah dengan jalur terbangnya. Dari data signal yang terekam, selanjutnya diproses untuk menghasilkan citra radar. Jarak yang menyamping tersebut disebut dengan “range”. Sehingga dikenal near range (sapuan dekat) yaitu yang terdekat dengan nadir (titik di bawah sensor radar) dan far range (sapuan jauh) yaitu jarak terjauh dari sensor radar. Sedangkan yang searah jalur disebut dengan azimuth. SAR menggunakan proses signal dijital untuk memfokuskan sinar dan membuat resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dapat diperoleh oleh radar konvensional (Fakultas Kehutanan IPB 2011).

(22)

yang dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran tenaga hingga kembali ke sensor serta mengukur dan mencatat intensitas tenaga balik (backscatter) pulsa radar. Intensitas atau kekuatan tenaga pantulan pada citra radar dipengaruhi sifat objek dan sifat sistem radarnya. Sifat objek citra radar dipengaruhi oleh lereng permukaan secara makro (topografi) menyebabkan perbedaan rona karena perbedaan arah menghadap ke sensor, kekasaran permukaan yang menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar, perbedaan complex dielectric constant (ukuran kemampuan objek atau benda untuk memantulkan atau meneruskan pulsa/tenaga radar) dari objek, dan arah objek berhubungan dengan sudut pengamatan antena terutama terhadap arah pantulan pulsa radar (Purwadhi 2001).

Semua sistem penginderaan jauh pasti melewati atmosfer dengan jarak atau panjang jalur tertentu. Di dalam atmosfer ada hambatan yang berupa hamburan pada spektrum tampak, serapan pada spektrum inframerah. Hamburan merupakan penyebaran arah radiasi oleh partikel-partikel di atmosfer yang tidak dapat diperkirakan. Pada citra radar, reflektansi sangatlah bergantung pada tingkat kekasaran permukaan objek di citra, sifat–sifat dielektrik serta slope local dari permukaan (Fakultas Kehutanan IPB 2011).

Kekasaran atau bentuk umum objek-objek yang ada di permukaan bumi akan mempengaruhi bentuk pantulan pulsa radar. Secara umum Lillesand dan Kiefer (1990) membagi bentuk pantulan pulsa radar menjadi tiga, yaitu pantulan baur, pantulan sempurna dan pantulan sudut.

Gambar 2 Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan

(23)

Benda atau objek yang permukaanya kasar akan menghasilkan pantulan baur, yaitu pantulan yang arahya serba berbeda atau acak (Gambar 1a). Karena arah pantulan pulsa yang menyebar acak ke segala arah, pantulan gelombang ada yang kembali ke sensor dan ada pula yang menjauhi sensor. Warna yang dihasilkan dari objek yang mempunyai permukaan yang kasar adalah beberapa tingkat kecerahan tergantung besarnya tenaga pantulan yang kembali kearah sensor.

Objek yang termasuk pemantul baur antara lain adalah lahan bervegetasi. Pantulan sempurna dihasilkan dari permukaan objek yang halus (Gambar 1b). Permukaan objek tersebut akan menjadi seperti cermin, sehingga membuat pantulan sempurna dengan sudut datang sama besar dengan sudut pantul. Arah gelombang pantulan akan menjauhi sensor sehingga tenaga gelombang yang diterima sensor sangat sedikit. Warna yang didapat dari objek akan berwarna gelap atau hitam. Objek-objek yang memantul secara sempurna antara lain permukaan air dan permukaan tanah yang diperkeas (Lillesand dan Kiefer 1990) .

Terdapat tiga macam hamburan yang terdapat di atmosfer, yaitu hamburan Rayleigh, hamburan Mie, dan hamburan non-selektif. Hamburan Rayleigh ini terjadi pada cuaca cerah yang menyebabkan langit berwarna biru. Hamburan ini merupakan penyebab utama timbulnya “kabut tipis” pada citra. Hamburan Mie terjadi akibat uap air dan debu di atmosfer dan sangat berpengaruh pada cuaca agak gelap. Hamburan non-selektif mengakibatkan panjang pada gelombang tampak cahaya biru, hijau, merah yang dihamburkan dalam jumlah yang sama dan menyebabkan awan dank abut tampak putih pada semua panjang gelombang (Purwadhi 2001).

(24)

Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR dapat dikelompokan kedalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target – objeknya. Dari sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu :

a.Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L dan P) Panjang gelombang sinar radar menentukan bentangan yang relatif dan/atau terpencar oleh atmosfer. Efek atmosferik yang parah pada sinyal radar terbatas pada yang bekerja dengan panjang gelombang lebih pendek. (Liliesand dan Kiefer 1990).

Pemilihan panjang gelombang radar tergantung kebutuhan aplikasinya, pada dasarnya panjang gelombang yang digunakan harus sesuai dengan ukuran dari objek yang ingin dikenali. Untuk membedakan objek yang kecil, maka digunakan band X, untuk pemetaan geologi atau objek yang besar dapat digunakan band L, untuk penetrasi tumbuhan (foliage) lebih baik digunakan frekuensi rendah seperti band P.

Pemilihan panjang gelombang juga tergantung sistem yang dikembangkan, antara lain :

a.Frekuensi rendah : biasanya lebih sulit progessingnya, membutuhkan antena yang lebih besar dan lebih kuat, dan elektronik lebih sederhana.

b.Frekuensi tinggi : biasanya membutuhkan tenaga lebih besar dan elektronik lebih rumit.

b. Polarisasi (HH, HV, VV, VH)

Polarisasi merupakan orientasi vektor listrik dari sebuah panjang gelombang elektromagnetik. Ketika gelombang radar berinteraksi dengan permukaan dan dipendarkan kembali, maka polarisasi dapat dimodifikasi, tergantung dari sifat-sifat permukaan tersebut.

c. Sudut pandang dan orientasi

(25)

kedua arah (arah objek dan arah pengamatan) akan semakin besar. Perbedaan yang paling besar dijumpai apabila sudut dari dua arah tersebut sebesar 15⁰ atau lebih kecil (Every dan Berlin 1985). Semakin kecil sudut dating pulsa radar, maka semakin besar hamburan baliknya dan sudut dating pulsa radar dapat diabaikan pada permukaan objek yang sangat kasar (Purwadhi 2001).

d. Resolusinya

Resolusi yang dimaksud dalam hal ini adalah resolusi menyilang dan resolusi azimuth. Pada resolusi menyilang, ukuran resolusi medan ditentukan oleh dua parameter yaitu panjang pulsa radar dan lebar sorot antena. Dengan demikian sistem radar dapat merekam secara terpisah dari dua kenampakan medan yang berdekatan satu sama lain pada arah yang menyilang. Semua bagian sinyal yang dipantulkan oleh dua objek dapat diterima oleh antena secara terpisah. Tiap tampalan waktu antara sinyal dari dua objek dapat diterima antena secara terpisah. Oleh karena itu, walaupun resolusi menyilang tidak dipengaruhi oleh jarak wahana, namun harus memperhitungkan efek dari sudut depresi antenanya (Purwadhi 2001).

Sedangkan yang berasal dari sistem target, faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR adalah :

a. Kekasaran, ukuran dan orientasi objek termasuk di dalamnya biomassa. b. Konstanta dielekrik (antara lain dapat berupa kelembaban atau

kandungan air).

c. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal, Local incident angle) (Fakultas Kehutanan IPB 2011).

2.1.2.1 ALOS PALSAR

(26)

dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) resolusi 10 meter dan 100 meter.

A. Resolusi Citra ALOS PALSAR

Resolusi merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam objek. Empat resolusi yang biasa digunakan sebagai parameter kemampuan sensor, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Resolusi tinggi dalam citra PALSAR diperoleh melalui tiga cara (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu :

a. Resolusi ke arah range dapat ditingkatkan dengan sistem beam yang lebih lebar dan pengulangan waktu yang lebih pendek.

b. Resolusi ke arah azimuth dapat ditingkatkan dengan beam yang lebih sempit dan pengulangan waktu yang lebih panjang.

c. Resolusi sebesar 10 m ke arah range dan 6, ke arah azimuth dapat diperoleh dengan PALSAR.

d.Secara umum, target merupakan objek yang dihasilkan dari sejumlah scatter dan menyebabkan speckle.

e. Sinyal yang diterima merupakan jarak antara target dengan radar.

Siklus pengamatan ulang satelit ALOS yang membawa sensor PALSAR adalah 46 hari sekali. Spesifikasi data PALSAR terdiri dari beberapa level produk (Fakultas Kehutanan IPB 2011), antara lain :

a. Level 1.0 : merupakan data mentah (uncompressed) dan data

tambahan (orbit, attitude dll)

b. Level 1.1 : yaitu data olahan slant range (compressed slant range)

c. Level 1.5 : data citra amplitudo (geocode, georeference)

d. Level TBD-1 : citra orthorectified ( slope correction, non slope) e. Level TBD-2 : Interferometrik-DEM

f. Level TBD-3 : PALSAR mosaic (slope correction, non slope)

(27)

tegakan pohon, dan lain-lain (Widjayanti dan Sutanta 2006). Citra yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Adapun karakteristik masing-masing tipe polarisasi tersebut antara lain :

a. HH

Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul hotizontal pada antenanya.

b. HV

Memiliki transmisi berupa gelombang horizontal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya.

c. VH

Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul horizontal pada antenanya.

d. VV

Memiliki transmisi berupa gelombang vertikal dan hanya menerima gelombang pantul vertikal pada antenanya. (Aster-Indonesia 2010). 2.2 Penutupan Lahan

Tutupan lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (sitis), yang diartikan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi, hidrologi dan biologi (Aldrich 1981 dalam Hendayanti 2008).

Secara nasional, peta penutupan lahan/penggunaan lahan tertua adalah peta penggunaan lahan tahun 1969 yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Dalam Negeri. Berdasarkan peta ini, penutupan lahan dibagi menjadi 14 tipe penggunaan lahan, pada skala 1:250000. Pada tahun 2003 dan 2008 Direktorat Planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer atau sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas (Fakultas Kehutanan IPB 2011).

(28)

penutupan lahan secara otomatis. Bentuk klasifikasi lain yaitu klasifikasi pola spasial, meliputi kategorisasi piksel citra dengan basis hubungan spasial antar piksel tersebut (Purwadhi 2001).

Klasifikasi spasial mencakup beberapa aspek atau dikenal dengan elemen interpretasi. Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara manual dan interpretasi secara dijital. Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan. Sedangkan interpretasi secara dijital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra.

Dasar interpretasi citra dijital berupa klasifikasi citra piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Dalam pengklasifikasian citra secara dijital, mempunyai tujuan khusus untuk mengkategorikan secara otomatis setiap piksel yang mempunyai informasi spektral yang sama dengan mengikutkan pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal yang akhirnya membentuk kelas atau tema keruangan (spasial) tertentu (Purwadhi 2001). Karakteristik objek dalam interpretasi citra secara manual dapat dikenali berdasarkan 7 unsur interpretasi (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu :

a. Tone dan Warna

(29)

b. Tekstur

Dalam interpretasi terbentuk dari variasi dan susunan tone dan atau warna yang ditampilkan oleh suatu objek atau sekumpulan objek pada citra. Tekstur kasar umumnya dibentuk oleh tone dengan variasi tinggi (belang-belang) dimana terjadi perubahan tone yang besar, sedangkan tekstur halus terbentuk dari variasi yang relative kecil.

c. Bentuk

Secara umum bentuk sebuah objek mengacu pada bentuk-bentuk umum bagian luar (eksternal), struktur, konfigurasi atau garis besar dari individu objek. Bentuk-bentuk umum yang digunakan adalah variasi bentuk polygon dan atau garis, seperti segi empat panjang, segitiga, lingkaran, garis lurus, garis melengkung, dan sebagainya. Bentuk-bentuk objek buatan manusia umumnya lebih teratur dibandingkan dengan bentuk-bentuk alam. Pada citra radar, bentuk-bentuk objek merupakan hasil rekaman dari posisi miring (oblique/side looking), jarak slant dari radar.

d. Ukuran

Ukuran suatu objek atau yang tampak dalam citra atau foto sangat bergantung pada skala, resolusi dan ukuran objek yang sebenarnya ada di alam.

e. Pola

Pola yang digunakan pada interpretasi visual umumnya mengacu pada tata ruang atau tata letak objek dalam suatu ruang. Pola merupakan susunan spasial suatu objek dalam suatu bentuk yang khas dan berulang. Pola sebaran objek dengan jarak yang teratur, tone yang sama akan menghasilkan tampilan pola yang berbeda dengan objek yang tersebar secara acak (random) dan tone yang relatif berbeda.

f. Bayangan

(30)

gelombang mikro yang dipancarkan sistem sensor dan bukan oleh geometri dari iluminasi matahari.

g. Site dan Asosiasi

Site atau tapak atau lokasi menunjukan kekhasan tempat objek tersebut berada. Sedangkan elemen asosiasi mempertimbangkan hubungan keberadaan antara objek yang satu dengan objek lainnya.

Setiap tutupan lahan memiliki karakteristik spektral yang berbeda. Hal ini terjadi karena bagi material-material yang mnjadi target sensor, jumlah radiasi sinar matahari yang dipantulkan, diserap, atau bahkan diteruskan kembali akan bervariasi sesuai dengan beberapa panjang gelombang yang dipancarkan. Karakter istik dari setiap materi tersebut diantaranya :

a. Nilai pantulan dari target clear water (unsur air jernih/bersih) pada umumnya rendah (cenderung berwarna biru-gelap). Walaupun demikian, pantulan ini akan mencapai nilai maksimum pada akhir spektrum biru dan kemudian menurun sejalan dengan meningkatnya panjang gelombang. Air jernih menyerap tenaga pada panjang gelombang kurang dari 0,6 µ m (Prahasta 2008).

b. Turbid water (air keruh), kemungknan besar , mengandung endapan atau sedimen (biasanya pada layer bagian atas perairan yang bersangkutan) yang dapat meningkatkan nilai pantulan pada domain merah-akhir spektrum hingga kenampakannya bisa jadi kecoklatan (nilai pantulannya “lebih baik” dan kenampakannya lebih cerah). Sementara warna kenampakannya akan memperlihatkan suatu pergeseran yang mulus ke arah gelombang yang lebih panjang.

(31)

c. Secara umum, pada wilayah perairan, radiasi elektromagnetik visible yang lebih panjang dan near-infrared lebih banyak diserap daripada radiasi elektromagnetik visible yang panjang gelombangnya lebih pendek. Oleh karena itu, wilayah perairan sering juga Nampak berwarna kebiruan atau kehijau-biruan karena pantulan yang lebih kuat dari gelombang yang lebih pendek tadi. Walaupun demikian, tubuh air akan Nampak lebih gelap jika menggunakan band-band merah (visible paling kanan [lebih panjang]) atau near-infrared. d. Beberapa faktor yang mempengaruhi pantulan tanah ialah kandungan

kelembaban tanah, tekstur tanah (susunan pasir, debu, dan lempung), Kekasaran permukaan, adanya oksidasi besi, dan kandungan bahan organik (Prahasta 2008). Adanya kelembaban di tanah akan mengurangi pantulanya. Pengaruh ini terjadi paling besar pada spektrum 1,4 µ m, 1,9 µ m dan 2,7 µ m. Kandungan kelembaban tanah berhubungan kuat dengan tekstur tanah. Misalnya pada tanah berpasir dengan tekstur kasar menghasilkan kandungan kelembaban tanah rendah dan pantulanya relatif tinggi. Dengan tidak adanya kandungan air tanah akan bertekstur kasar dan akan tampak lebih gelap pada tanah bertekstur halus. Dua faktor lain yang memperkecil pantulan tanah yaitu kekasaran permukaan dan kandungan bahan organik (Lillesand dan Kiefer 1990).

(32)

kuning (gabungan antara hijau dan merah karena pantulan pada spektrum merah bertambah) . Setelah panjang gelombang 1,3 µ m, tenaga yang datang pada vegetasi pada dasarnya akan diserap atau dipantulkan, dan tidak ada atau sedikit yang ditransmisikan. Penurunan pantulan pada daun akan terjadi pada panjang gelombang 1,4 µm, 1,9 µ m dan 2,7 µ m karena air yang terdapat pada daun pada panjang gelombang ini kuat sekali serapannya. Sehingga pada panjang gelombang ini sering disebut spektrum penyerap air (Lillesand dan Kiefer 1990).

2.2.1 Penggunaan Citra Landsat untuk Identifikasi Tutupan Lahan Penelitian yang pernah dilakukan mengenai identifikasi tutupan lahan dengan menggunakan citra optik baru dilakukan dengan menggunakan citra landsat resolusi 30 m, sedangkan untuk citra ALOS AVNIR-2, identifikasi tutupan lahan belum pernah dilakukan.

(33)

Sumber : Fakultas Kehutanan IPB 2011

Selanjutnya Riswandi pada tahun 2004 melakukan penelitian terhadap analisis penutupan lahan menggunakan citra Landsat ETM+ tahun rekaman

(34)

2004 studi kasus di Kota Pekanbaru, menghasilkan 7 kelas tutupan lahan, yaitu hutan, perkebunan, permukiman, semak, rumput, lahan terbuka dan tubuh air.

Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan pun dilakukan oleh Priyatna (2007) di Kabupaten Bogor menggunakan citra LANDSAT TM Multiwaktu. Interpretasi visual citra dapat mengidentifikasi sebanyak 13 kelas tutupan lahan dengan menggunakan kombinasi band 5-4-3. Tutupan lahan yang dimaksud adalah badan air, sawah, tanah kosong, padang rumput, permukiman, semak, kebun campuran, kebun karet, kebun teh, tegakan pinus, hutan daun lebar, awan dan bayangan awan.

Wasit (2010) dalam penelitiannya menggunakan citra LANDSAT mampu mengidentifikasi sebanyak 10 (sepuluh) kelas tutupan lahan, yaitu hutan rakyat, hutan sekunder, kebun campuran, lahan terbuka (galian c), permukiman penduduk, semak belukar, lahan sawah, tegalan, tubuh air (sungai) dan jalan.

2.2.2 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap citra ALOS sejak diluncukan pada tahun 2007. Khususnya pada citra ALOS PALSAR, terdapat beberapa penelitian penutupan lahan yang telah dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Riswanto (2009) dengan menggunakan citra komposit, yaitu HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat.

Selanjutnya Bainnaura (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, bandara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar dan tanah terbuka.

(35)

kelas, yaitu badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah dan kebun kelapa.

Salman (2011) berhasil mengklasifikasikan 11 kelas tutupan lahan yang dilakukan di Provinsi Bali dengan citra, komposit dan resolusi yang sama. Kesebelas tutupan lahan tersebut, yaitu badan air, bandara, hutan lahan kering, hutan mangrove, kebun campuran, lahan terbuka, padang rumput, permukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai dengan Mei 2011. Observasi lapangan dilaksanakan pada tanggal 18-28 November 2011 dengan cakupan citra seluas 40 km x 40 km yang meliputi Kabupaten Blora, Tuban, Rembang dan Bojonegoro. Selanjutnya pengolahan data dan analisis data dilakukan dari bulan Januari – Mei 2011 di Laboraturium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat Dan Data 3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu: GPS, kompas, alat tulis , tally sheet, Suunto, kamera digital sebagai peralatan di lapangan. Untuk analisis data,

digunakan satu unit peralatan komputer dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.2, Minitab 15, Microsoft Excel 2003, dan Microsoft Word 2003.

3.2.2 Data

(37)

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

(38)

3.3 Tahapan Penelitian 3.3.1 Pra Pengolahan Citra

3.3.1.1 Pengubahan Resolusi Citra ALOS AVNIR – 2 Resolusi 10 m Menjadi 50 m

Pada penelitian ini resolusi citra ALOS AVNIR-2 resolusi 10 m ditransformasi ke resolusi 50 m menggunakan software Erdas Imagine 9.1 dengan metode nearest neighborhood. Pengubahan resolusi ini bertujuan untuk mendapatkan resolusi yang sama dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m, sehingga dapat diperoleh hasil perbandingan yang setara.

3.3.1.2 Koreksi Geometri Citra

Koreksi geometri merupakan proses transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometri (Jaya 2009). Salah satu tujuan dilakukannya koreksi geometri adalah untuk melakukan retifikasi (pembetulan) agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi (Purwadhi 2001).

Pada penelitian ini proses koreksi geometri dilakukan pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m. Koreksi geometri melalui pembuatan ground control point (GCP) yang dilakukan dengan mencocokkan koordinat citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang koordinat geografisnya telah terkoreksi.

3.3.1.3 Mozaik Citra

Mozaik citra merupakan proses menggabungkan beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Dalam penelitian ini mozaik citra dilakukan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Tujuan dari kegiatan mosaik adalah menghasilkan citra gabungan yang mempunyai kualitas kekontrasan yang baik sehingga citra hasil (output) tampak menjadi citra yang kohesif (kontrasnya konsisten, teroganisir, solid dan koordinatnya ter-interkoneksi) (Jaya 2009).

(39)

3.3.1.4 Pemotongan Citra

Setelah dilakukan mozaik diperoleh Citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2 dengan luasan se Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selanjutnya dilakukan pemotongan kedua citra tersebut sesuai dengan lokasi penelitian yaitu Kabupaten Rembang, Tuban, Blora, dan Bojonegoro seluas 40 km x 40 km.

3.3.1.5 Identifikasi Awal Tutupan Lahan Citra

Identifikasi awal citra ALOS PALSAR skala 1:50.000 dilakukan dengan bantuan citra ALOS AVNIR-2 skala 1:50.000 (Gambar 4). Hal ini karena pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m kombinasi RGB 3-4-2 menunjukkan kenampakan yang hampir sama dengan kenampakan objek sesungguhnya di permukaan bumi. Proses ini dilakukan untuk memudahkan klasifikasi tutupan lahan secara visual menggunakan elemen-elemen interpretasi.

3.3.2 Pembuatan Titik Lokasi Pengamatan

Lokasi titik pengamatan ditentukan dengan metode systematic sampling with random start. Dimana peletakan titik dalam areal dilakukan dengan

(40)

Gambar 5 Peta titik awal pengamatan.

sampling sistematik yang dimulai secara acak. Pengambilan titik pengamatan ini menggunakan ekstensi IHMB-Jaya versi 6 pada Arc View 3.2. Selanjutnya dilakukan buffering jalan selebar 500 m. Titik-titik yang telah diperoleh tadi kemudian dipilih secara purposive dengan intensitas sampling sebesar 5%. Jumlah titik pengamatan pada masing-masing tutupan lahan disesuaikan dengan luas masing-masing tutupan lahan (Gambar 5).

3.3.3 Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan dua metode, yaitu pengambilan titik dan pembuatan plot. Pengambilan titik digunakan pada objek-objek yang telah ditentukan sesuai dengan identifikasi awal tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m. Tujuan dari pengambilan data lapangan ialah mencocokkan tutupan lahan yang telah diidentifikasi sebelum ke lapangan dengan keadaan kenampakan tutupan lahan sesungguhnya di lapangan.

(41)

Tujuannya yaitu untuk mengetahui pengaruh kerapatan dan diameter area yang didominasi tegakan pada satelit radar dan optik terhadap nilai digital tiap piksel citra serta pengaruhnya terhadap kenampakan visual citra.

3.3.4 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan

Setelah dilakukan pengambilan data lapangan, maka selanjutnya dilakukan analisis hasil pengamatan. Adapun analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis identifikasi objek di lapangan, analisis diskriminan, analisis visual citra ALOS PALSAR skala 1:50.000 dan citra ALOS AVNIR-2 skala 1:50.000, analisis separabilitas dan analisis uji akurasi.

Analisis visual dilakukan berdasarkan elemen-elemen interpretasi. Hubungannya terhadap karakteristik visual citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2.

Analisis diskriminan adalah salah satu metode interpretasi digital yang merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Informasi spektral tersebut diperoleh dari nilai digital setiap pixel yang terdapat dalam citra. Tiap piksel menggambarkan bagian wilayah permukaan bumi dengan nilai intensitas dalam bentuk 2 dimensi. Nilai piksel biasa disebut intensitas citra (image intensity) atau derajat keabuan (grey level). Masing-masing derajat keabuan dihubungkan ke suatu spektrum band (nilai spectral). Derajat keabuan (rona) dari suatu citra merupakan salah satu elemen yang

(42)

secara visual dapat menginterpretasikan suatu objek dengan mudah. Dalam hal ini nilai digital dari setiap piksel merupakan suatu variable prediktor yang digunakan pada metode analisis diskriminan kelas tutupan lahan.

Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan objek-objek pada tiap tutupan lahan yang memiliki persamaan karakteristik ciri fisik di lapangan dan kemiripan nilai digital tiap tutupan lahan pada band komposit HH dan HV untuk citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan nilai digital tiap tutupan lahan pada band 3, band 4, dan band 2 pada citra ALOS AVNIR-2 resolusi 50 m . Proses analisis diskriminan dilakukan hingga objek-objek yang ada tidak dapat dikelompokkan kembali.

Proses pengklasifikasian tidak dapat dilakukan hanya dengan membandingkan nilai digitalnya saja melalui analisis diskriminan. Namun perlu juga dilakukan analisis visual yang dapat meningkatkan keakuratan klasifikasi tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR dan ALOS AVNIR-2 melalui analisis visual citra menggunakan elemen interpretasi. Setelah diperoleh klasifikasi kelas tutupan lahan berdasarkan hasil analisis visual citra ALOS PALSAR dan citra ALOS AVNIR-2 selanjutnya dilakukan analisis keterpisahan tiap kelas tutupan lahan menggunakan analisis separabilitas.

Analisis separabilitas merupakan analisis yang di lakukan dari hasil pernyataan kuantitatif/statistik antara pola spektral tiap jenis tutupan lahan yang tampak secara visual pada citra satelit dan dihitung dalam suatu bentuk matrik yang biasa disebut “matrik divergensi”.

Hasil analisis separabilitas diukur berdasarkan beberapa kriteria yang dikelompokkan ke dalam lima kelas dimana setiap kelasnya mendeskripsikan kuantitas keterpisahan tiap tutupan lahan. Kelima kelas yang diklasifikasikan menurut Kobayasi (1995) dan Jensen (1986) yang diacu dalam Jaya (2009) tersebut yaitu :

(43)

Pada penelitian ini untuk mengetahui keakuratan klasifikasi tutupan lahan dari hasil interpretasi citra dilakukan uji akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi merupakan akurasi sering dianalisis menggunakan suatu matrik kontingensi, yaitu suatu matrik bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi. Matrik ini juga sering disebut dengan error matriks atau confusion matriks.

Kumar (2003) menjelaskan bahwa matriks kontingensi menjelaskan seberapa baik perwakilan piksel sebuah citra yang digunakan dalam proses pengambilan area contoh terhadap kondisi sebenarnya dalam klasifikasi terbimbing.

Akurasi yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi kappa. Akurasi kappa dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

dimana:

Xii = nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-I dan kolom ke-i

Xi+ = jumlah piksel dalam kolom ke-i X +1 = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya titik contoh

Interpretasi

Awal Hasil Verifikasi Lapangan

Jumlah

Piksel

Akurasi

Pengguna

A B C Total Piksel

A X11 X12 X13 X1+ X11/X1+

B X21 X22 X23 X2+ X22/X2+

C X31 X32 X33 X3+ X33/X3+

Total Piksel X+1 X+2 X+3 N

Akurasi

Pembuat X11/X+1 X12/X+2 X13/X+3

Sumber : Jaya 2009

(44)

Dalam matriks kontingensi ini, dapat pula diperoleh besarnya akurasi pembuat (Producer’s accuracy/PA) dan akurasi penggunanya (user accuracy/UA).

Menurut Congalton dan Green (1999) yang diacu dalam Rany (2010) producer’s accuracy dan user accuracy adalah dua penduga dari akurasi umum (overall accuracy) dimana producer’s accuracy merupakan peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel akan diklasifikasikan dengan benar dalam kelas hasil. Ukuran ini juga mencerminkan rata-rata dari kesalahan klasifikasi berupa kekurangan jumlah piksel suatu kelas akibat masuknya piksel-piksel kelas tersebut ke kelas yang lain.

User’s accuracy merupakan peluang rata-rata (dalam persen) bahwa suatu piksel dari citra yang terklasifikasi secara aktual mewakili kelas-kelas tersebut di lapangan. Dengan kata lain ukuran ini mencerminkan rata-rata dari kesalahan klasifikasi berupa jumlah piksel pada suatu kelas yang diakibatkan oleh masuknya piksel dari kelas lain.

Secara matematis User Accuracy dan Produsser Accuracy ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut:

Sumber : Jaya 2009

(45)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian terletak diempat kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur . Keempat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro di Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang di Provinsi Jawa Tengah. Adapun kondisi umum lokasi tersebut berdasarkan letak geografis, topografi, iklim, tanah, demografi, dan tutupan lahannya adalah sebagai berikut :

4.1 Letak Geografi

Lokasi penelitian ini terletak pada 6,03⁰ – 7,06⁰ Lintang Selatan dan 111,30⁰-112,35⁰ Bujur Timur. Batas wilayah masing-masing kabupaten tempat penelitian dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4 Batas wilayah lokasi penelitian.

No KABUPATEN

Laut Jawa Kabupaten Tuban

Propinsi Jawa Timur

Kabupaten Blora Kabupaten Pati

4. Kabupaten

(46)

4.2 Topografi

Lokasi penelitian memiliki kondisi topografi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kondisi topografi lokasi penelitian dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kondisi topografi lokasi penelitian.

No

KABUPATEN TOPOGRAFI

1. Kabupaten Bojonegoro

Didominasi keadaan tanah yang berbukit

Terletak pada ketinggian 25 m dpl sampai dengan 500 m dpl (pusat kota terletak pada ketinggian 15 m dpl)

Kemiringan rata-rata < 2%

Kemiringan pada bagian Barat yaitu 0 sampai dengan 2%, kemiringan pada bagian Selatan yaitu > 15%

3. Kabupaten

Rembang Terletak pada ketinggian 25 sampai dengan 100 m dpl

Kemiringan 0 sampai dengan 2% seluas 45.205 Ha, kemiringan 2 sampai dengan 15% seluas 33.233 Ha, kemiringan 15 sampai dengan 40% seluas 13.980 Ha, dan kemiringan > 40% seluas 4.63 Ha

4. Kabupaten Blora

Terdiri atas dataran rendah dan perbukitan kapur

Didominasi permukaan yang datar, berombak, bergelombang, dan berbukit

Terletak pada ketinggian 20 sampai dengan 280 m dpl Sumber : Jawa Tengah dalam angka 2009,

Jawa Timur dalam angka 2009

4.3 Iklim

(47)

Tabel 6 Kondisi iklim lokasi penelitian.

No KABUPATEN IKLIM

1. Kabupaten Bojonegoro

Termasuk ke dalam tipe iklim D (iklim sedang dengan vegetasi

hutan musim) berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schimdt dan

Fergusson

Rata-rata curah hujan tahunan 1753,5 mm/th dan rata-rata curah

hujan bulanan antara 5,5 s/d 289,8 mm

Suhu udara rata-ratanya 27,2⁰C dengan suhu rata-rata maksimum

28,5⁰C dan suhu rata-rata minimum 23,8⁰C

2. Kabupaten Tuban

Termasuk ke dalam tipe iklim F (iklim tropis kering) berdasarkan

klasifikasi iklim menurut Schimdt dan Fergusson

Suhu udaranya antara 25⁰C sampai dengan 27,5⁰C

Curah hujan ratanya 3376 mm/th dengan jumlah hujan

rata-ratanya 175/th

3. Kabupaten Rembang

Termasuk iklim tropis

Suhu udara rata-ratanya 23⁰C dengan suhu udara maksimum 33⁰C

Bulan basahnya 4 sampai dengan 5 bulan, sedangkan selebihnya

termasuk kategori bulan sedang sampai kering

Terdapat hujan selama 1 tahun yang tidak menentu yang

mengakibatkan sering terjadi kekeringan di Kabupaten ini

4. Kabupaten Blora

Termasuk ke dalam zona C3 dan D3 berdasarkan klasifikasi iklim

Oldeman yang dicirikan dengan bulan keing 4 sampai dengan 6

bulan dan bulan basah 4 sampai dengan 5 bulan

Suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 26,5⁰C sampai dengan

28,4⁰C dan suhu udara rata-rata tahunan sebesar 27,5⁰C

4.4 Tanah

Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Rembang dan Blora memiliki jenis tanah yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut berpengaruh pada jenis tutupan lahan yang dimiliki masing-masing wilayah tersebut. Perbedaan jenis tanah pada lokasi penelitian dijelaskan pada Tabel 7.

(48)

Tabel 7 Kondisi tanah lokasi penelitian.

No KABUPATEN JENIS TANAH

1. Kabupaten

Bojonegoro

Pada umumnya berupa tanah Grumusol yang berasal dari batu

kapur dan memiliki tingkat kesuburan yang tinggi

Selain tanah Grumusol Kabupaten Bojonegoro juga terdiri dari

jenis tanah Alluvial (biasa terdapat di daerah lembah atau di

sekitar aliran sungai) , tanah Litosol, dan tanah Medeteran

2.

Kabupaten Tuban

Memiliki 3 jenis tanah yaitu tanah Mediteran Merah Kuning,

tanah Aluvial, dan tanah Grumusol

Tanah Mediteran Merah Kuning berasal dari endapan batu kapur

di daerah bukit.

Tanah Aluvial berasal dari endapan daerah daratan dan cekungan

Tanah Grumusol berasal dari endapan batuan di daerah yag

terdapat di Kabupaten Rembang menyebabkan daerah tersebut

memiliki daerah pertanian yang cukup berpotensi

4. Kabupaten

Blora

Terdiri dari tanah Aluvial, Karst dan Tektonik/struktural yang

digunakan sebagai sawah irigasi 2x setahun, sawah tadah hujan,

tegalan, semak belukar, dan hutan jati. Dengan jenis tanah

tersebut, kabupaten Blora membagi sistem pertaniannya menjadi

5, yaitu sistem pertanian lahan basah (dengan jenis komoditas

padi sawah, jagung, kedelai, dan tembakau), sistem pertanian

lahan kering untuk tanaman pangan, holtikultura, dan

perkebunan ( dengan jenis komoditas jagung, kacang tanah atau

cabai, pisang, mangga, durian, jeruk, dan kelapa), sistem

pertanian lahan basah pada kelerengan 8-15% (jenis komoditas

padi sawah), dan sistem pertanian lahan kering tanaman

holtikultura (pisang, mangga, dan durian)

(49)

4.5 Demografi

Perbedaan kondisi tutupan lahan pada lokasi penelitian salah satunya dipengaruhi oleh perbedaan kondisi demografinya. Hal ini terjadi karena adanya faktor kebiasaan, mata pencaharian, dan kepadatan penduduk setempat yang berbeda antara lokasi satu dengan lainnya (Tabel 8).

Tabel 8 Kondisi demografi lokasi penelitian.

No

KABUPATEN IKLIM

1. Kabupaten

Bojonegoro

Terdiri dari 27 kecamatan, 11 kelurahan, dan 419 desa

Memiliki luas wilayah 230.706 Ha dan memiliki 1.388.830

jiwa dengan 373.793 kepala keluarga

Mata pencaharian penduduknya yaitu ladang, sawah (penduduk

di sekitar hutan), pegawai, karyawan, pedagang, tukang, dan

pengrajin

Penduduknya memiliki pendidikan yang bervariasi mulai dari

SD sampai perguruan tinggi

2. Kabupaten

Tuban

Terdiri dari 19 kecamatan dan 328 desa/kelurahan

Memiliki jumlah penduduk sebanyak1.058.979 orang dengan

penduduk perempuan sebanyak 539.449 orang dan penduduk

laki-laki sebanyak 519.530 orang.

3. Kabupaten

Rembang

Terdiri dari 14 kecamatan, 287 desa, dan 7 kelurahan dengan

luas daerah 101.408 Ha

Jumlah penduduk sebanyak 575.640 orang dengan penduduk

wanita sebanyak 296.542 orang dan penduduk laki-laki

sebanyak 279.098 orang

Mata pencaharian penduduk Kabupaten Rembang yaitu

nelayan (dengan hasil laut berupa ikan, kerang, dan cumi) dan

petani (dengan potensi sumber pangan berupa beras, singkong,

dan jagung)

4. Kabupaten

Blora

Terdiri dari 16 kecamatan, 271 desa dan 24 kelurahan

Jumlah penduduk Kabupaten Blora yaitu 833.586 orang.

Kepadatan penduduknya yaitu 458 jiwa/km²

Merupakan daerah tambang minyak bumi, penghasil kayu jati

berkualitas tinggi di Pulau Jawa, dan pertanian

(50)

4.6 Tutupan Lahan

Informasi mengenai kondisi tutupan lahan pada lokasi penelitian ditunjukkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Luas tutupan lahan di lokasi penelitian.

No Kabupaten

Luas Kawasan (Ha)

Hutan Permukiman

Kebun

campuran Sawah

Penggunaan lain

1 Bojonegoro 50.145,40 16.792,45 50.371,31 75.462,21 416,025

2 Rembang 2.497,7 8.382 3.864,7 28.652 918

3 Tuban 448,16 205,72 62.149,47 54.860,53 4.067,72

4

Blora 90.416,52 16.723,54 26.308,35 46.175,59 2.378,33

(51)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Objek di Lapangan

Identifikasi objek di lapangan merupakan proses peninjauan langsung di lokasi penelitian terhadap hasil interpretasi objek yang sebelumnya dilakukan dengan citra satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m. Pengamatan dilakukan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah. Selain itu pengamatan juga dilakukan di Provinsi Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro.

Jumlah penutupan lahan yang diperoleh di lapangan adalah sebanyak 24 jenis tutupan lahan dari 135 titik pengamatan (Gambar 7). Tutupan lahan tersebut diantaranya badan air, bekas tebangan, hutan tanaman jati (9 kelas umur), tebu, pertanian lahan kering, mangga, jambu mete, kebun campuran, permukiman, sawah (yang terdiri dari sawah fase awal tanam, sawah fase vegetatif, sawah fase generatif, singkong, jagung, dan kacang), dan tambang kapur.

(52)

5.1.1 Badan Air

Jenis tutupan lahan badan air yang ditemukan di lokasi penelitian adalah sungai Bengawan Solo yang berlokasi di Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Cepu (Gambar 8a) sebanyak satu titik dan danau yang berlokasi di Desa Lodan Wetan, Kabupaten Rembang (Gambar 8b dan 8c) sebanyak satu titik.

5.1.2 Hutan Tanaman Jati

Pengamatan pada tutupan lahan hutan tanaman jati dilakukan di kawasan KPH Kebonharjo tepatnya pada BKPH Ngandang, BKPH Sale dan BKPH Tuder. Pengambilan data untuk kelas tutupan lahan hutan tanaman jati, dilakukan dengan metode plot. Dari hasil pengamatan diketiga BKPH tersebut diperoleh 57 plot dan 662 sampel pohon untuk hutan tanaman jati KU I s/d KU VIII serta 2 titik tanaman trubusan jenis jati (Gambar 9).

Trubusan (the coppice system) merupakan system silvikultur yang menggunakan terubusan (tunas) dari tunggak-tunggak pohon yang telah ditebang sebagai permudaan untuk membangun hutan pada rotasi selanjutnya (Mansur 2008).

Lokasi titik kelas tutupan lahan hutan tanaman jati terletak di BKPH Ngandang, Desa Sarang, Kabupaten Rembang. Kawasan ini merupakan kawasan tidak produktif yang ada di KPH Kebonharjo yang berupa tanah kosong dengan ditumbuhi semak-semak dan tumbuh pada kelerengan 66%.

Gambar 8 Kenampakan tutupan lahan badan air , sungai Bengawan Solo(a); danau (b) di lapangan.

Gambar

Tabel 2. Perbandingan klasifikasi penutupan lahan.
Gambar 4  Peta identifikasi awal tutupan lahan.
Tabel 4  Batas wilayah lokasi penelitian.
Tabel 6  Kondisi iklim lokasi penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

(a) Metode klasifikasi kualitatif (visual) pada citra komposit ALOS PALSAR resolusi 50 meter di wilayah barat Provinsi Jambi (Kabupaten Sarolangun, Kerinci, Tebo, Bungo

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan

Evaluasi keberhasilan dilakukan dengan uji akurasi (akurasi Kappa dan akurasi umum) serta separabilitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 50

1) Peubah tanaman perkebunan karet yang mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter adalah ukuran diameter tanaman rata-rata dan luas bidang dasar (lbds)

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk memperoleh parameter lahan yang digunakan untuk menentukan longsorlahan, menyusun dan menentukan

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui kemampuan metode jaringan syaraf tiruan algoritma propagasi balik dalam klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra ALOS

Berdasarkan pengolahan data citra ALOS AVNIR-2 menghasilkan peta satuan lahan dan data sumberdaya lahan wilayah pesisir diuraikan menjadi beberapa parameter yang dilihat dari

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui kemampuan metode jaringan syaraf tiruan algoritma propagasi balik dalam klasifikasi penggunaan lahan menggunakan citra ALOS