1.1 Latar Belakang
Ekosistem hutan lahan basah (wetland) merupakan sumberdaya alam yang begitu besar nilainya bagi masyarakat, kontribusi bagi keanekaragaman hayati, sumber sirkulasi air, sumber perikanan, obat-obatan, lumbung pangan, penopang ekosistem lainnya, dan pengatur iklim mikro. Luas lahan basah di Indonesia menurut Davieset al. (1995) adalah sekitar 38 juta hektar atau sekitar 21 % dari luas daratannya dan termasuk Negara dengan lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar dapat ditemukan di dataran rendah alluvial dan lembah-lembah sungai, muara sungai, dan daerah pesisir di pulau Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya. Menurut Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (2004), Indonesia memiliki sekitar 40,5 juta hektar lahan basah sehingga tergolong sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah China. Sedangkan menurut Mulyani dan Las (2008), Indonesia memiliki sekitar 40,2 juta hektar lahan basah. Data luasan lahan basah di Indonesia tersebut bervariasi sehingga dibutuhkan pengembangan teknologi penginderaan jauh dalam pemantauan ekosistem lahan basah.
Metode pemantauan ekosistem hutan lahan basah saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode penginderaan jauh. Wen (2008) melakukan penelitian tentang prediksi perubahan lahan basah di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menggunakan data citra dari sensor optik Landsat 7 ETM+. Namun, penggunaan citra dari sensor optik untuk pemantauan lahan basah memiliki beberapa kelemahan, karena ketidakmampuannya menembus awan dan kabut (haze). Untuk mengatasi kelemahan dari citra optik maka saat ini telah tersedia suatu sistem penginderaan jauh aktif (radar).
2
sensor SAR (Synthetic Apeture Radar). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh kondisi cuaca. Salah satu kelebihan radar adalah sensitifitasnya terhadap konstanta dielektrik yang mampu mendeteksi kandungan kadar air di dalam tanah. Aly et al. (2004) mengungkapkan bahwa teori pengukuran kelembaban tanah menggunakan sensor radar didasarkan pada perbedaan besar antara konstanta dielektrik untuk tanah kering dan air. Saat kadar air dari tanah meningkat, menyebabkan konstanta dielektrik juga meningkat, yang secara langsung mempengaruhi koefisienbackscatter.
Salah satu metode observasi yang dimiliki ALOS PALSAR adalah ScanSAR, yang memungkinkan sensor tersebut melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas antara 250-350 km. Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, Japan International Cooperation Agency (JICA) bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan IPB dalam rangka menyusun manual interpretasi citra ALOS PALSAR untuk kegiatan pemetaan dan penutupan lahan. Citra ALOS PALSAR termasuk citra yang masih baru dan metode interpretasi menggunakan citra tersebut juga belum berkembang. Penggunaan data citra dari sensor radar untuk dunia kehutanan juga relatif belum banyak dilakukan sehingga perlu dilakukan pengujian kemampuan citra tersebut. Beberapa penelitian yang terkait dengan pemanfaatan ALOS PALSAR dapat ditemukan pada Divayana (2011), Syarif (2011), Maharani (2011), Puspitasari (2010), dan Riska (2011). Oleh karena itu, dibutuhkan juga penelitian secara seksama tentang kemampuan citra ALOS PALSAR dalam membangun teknik identifikasi hutan lahan basah.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan laporan. Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada bulan September 2010 Agustus 2011.
2.2 Alat,Software,Hardware, dan Data
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS CS 60, klinometer, pita ukur, dan kamera. Hardware dalam penelitian ini menggunakan satu unit komputer yang dilengkapi dengan softwareErdas Imagine Ver 9.1, ArcView GIS Ver 3.2.
Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Data Spasial
a. Data citra ALOS PALSAR perekaman bulan Juni tahun 2009 dengan resolusi spasial 50 m, polarisasi HH dan HV.
mencatat waktu dari saat pemancaran tenaga hingga kembali ke sensor, mengukur dan mencatat intensitas pencar balik (backscatter) pulsa radar (Purwadhi 2001).
Gambar 1 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV.
6
arah pengamatan antena, erat hubungannya dengan arah objek, yang mempengaruhi pantulan balik pulsa radar (Purwadhi 2001).
Sinyal radar dapat ditransmisikan dan/atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Maksudnya, sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Jadi, kita mempunyai kemungkinan empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda yaitu dikirim H, diterima H, dikirim H, diterima V, dikirim V, diterima H, dikirim V, dan diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra dengan polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV dan VH. Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan (Lillesand dan Kiefer 1990).
Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada 24 Januari 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. ALOS merupakan satelit Jepang yang menjadi pengembangan satelit sebelumnya yakni JERS (Japanesse Earth Resources Sattelite). ALOS dilengkapi tiga instrumen penginderaan jauh yaitu PRISM (Panchromatik Remote-sensing Instrumen Stereo Mapping), AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) dan PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar).
rasionoise. Mode PALSAR ScanSAR memiliki tambahan untuk resolusi tinggi konvensionil. Dengan mode ini kita dapat mendapatkan citra SAR seluas 250 sampai 350 km yang lebih luas 3 sampai 5 kali dari ukuran citra SAR konvensionil.
Sensor PALSAR bisa memodifikasi sudut nadir dalam selang 10 sampai 51 menggunakan teknologi antena phased-array dengan 80 receive/transmit modul. ScanSAR mode dapat menghasilkan cakupan citra seluas 350 km dengan polarisasi tunggal secara horisontal (HH) maupun vertikal (HV). Polarsasi berubah di setiap transmisi pulsa dan dua polarisasi sinyal yang diterima bersamaan. Dengan batas maksimum data transmisi (240 mbit/sec) kita dapat memperoleh cakupan data dengan lebar 30 km dan resolusi spasial 30 m. Karakteristik PALSAR disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik PALSAR
Lebar Cakupan 70 km 250-350 km 30 km
Incidence Angle
8-60 derajat 18-43 derajat 8-30 derajat
NE Sigma 0 <-23 dB (70 km)
8
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil identifikasi visual tutupan lahan meliputi badan air, hutan mangrove, hutan rawa, sawah, pemukiman, kebun campuran, semak belukar, perkebunan karet, dan lahan terbuka.
Gambar 2 Data vektor deliniasi tutupan lahan tahun 2010 pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m.
2. Data Tabular
a. Data hasil identifikasi lapang tutupan lahan tahun 2010 daerah Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
b. Data hasil identifikasi tapak masing-masing tutupan lahan tahun 2010 daerah Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
2.3 Tahapan Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.
10
2.3.1 Pra-pengolahan Citra
Pra-pengolahan citra yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra dilakukan untuk memisahkan areal yang menjadi fokus penelitian. Pada tahap ini dilakukan pemotongan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dengan bantuan software ArcView 3.2 sesuai dengan lokasi penelitian yaitu Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut.
Gambar 4 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV sebelumcropping.
Gambar 5 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m kombinasi RGB HH-HV-HH/HV setelahcropping.
2.3.2 Analisis Data Citra
2.3.2.1 Identifikasi Visual Tutupan Lahan
Identifikasi visual tutupan lahan dilakukan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m yang telah di potong (crop). Identifikasi awal tutupan lahan ini dilakukan dengan menggunakan elemen-elemen interpretasi.
12
2.3.2.2 Pembuatan Lokasi Titik Pengamatan
Lokasi titik pengamatan ditentukan dengan metode systematic sampling
with random start, dimana peletakan titik dalam areal dilakukan dengan sampling
sistematik yang dimulai secara acak. Pengambilan titik pengamatan ini
menggunakan ekstensi IHMB-Jaya versi 6 pada Arc View GIS 3.2. Selanjutnya
dilakukan pembuatan buffer pada peta jaringan jalan selebar 1 km. Buffer itu
sendiri merupakan suatu wilayah (zona) dari suatu jarak tertentu di sekitar tentitas
fisik seperti titik, garis, ataupun poligon. Kemudian dibuat titik observasi dengan
jarak antar titik sepanjang 500 m dan di overlaydengan peta jaringan jalan yang
telah di buffer tersebut. Titik-titik yang telah diperoleh tadi kemudian dipilih
berdasarkan keterwakilan terhadap tutupan lahan (purposive). Jumlah titik
pengamatan pada masing tutupan lahan disesuaikan dengan luas
masing-masing tutupan lahan dengan jumlah keseluruhan sebanyak 83 titik yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah titik pengamatan tutupan lahan
No Objek tutupan lahan Jumlah
Titik yang dibuat Titik yang ditemukan
1 Hutan rawa 13 13
Terdapat sembilan kategori tutupan lahan beserta definisinya yang ada
pada lokasi penelitian, yaitu:
1. Hutan rawa
Hutan rawa merupakan tipe ekosistem hutan yang dipengaruhi faktor
edafik berupa genangan air. Biasanya dibedakan menjadi hutan rawa dan hutan
(Melaleuca leucadendra) dengan ukuran diameter berkisar antara 5 cm sampai dengan 15 cm. Hutan rawa pada penelitian ini ditemukan di Kabupaten Banjar, Kabupaten Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Tanah Laut. Tampilan hutan rawa pada citra disajikan pada Gambar 7b.
2. Hutan mangrove
Hutan mangrove merupakan hutan yang khas yang didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran terhadap perubahan salinitas yang berada di sekitar pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis pohon dominan yang ditemukan di lokasi penelitian adalah Sonneratia sp. Pada penelitian ini hutan mangrove ditemukan di Kabupaten Tanah Laut. Tampilan hutan mangrove disajikan pada Gambar 7c dan 7d.
3. Permukiman
Permukiman merupakan kawasan yang didominasi lingkungan hunian baik berupa kawasan perkotaan, pertokoan maupun pedesaan, yang memperlihatkan pola alur yang teratur dengan penataan tanah dan ruang, sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur. Pada pemukiman desa biasanya kenampakan vegetasi masih banyak terlihat. Pada citra ALOS PALSAR, permukiman berwarna pink, kuning, putih, hijau dan kombinasi di antara warna-warna tersebut (Gambar 7f).
4. Sawah
Sawah merupakan semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang dan sistem irigasi. Pada citra ALOS PALSAR, sawah memiliki tone/warna biru, biru kehijauan dan biru keunguan (Gambar 8b). Pola spasial sangat teratur dengan lokasi yang umumnya berasosiasi dengan pemukiman.
5. Semak belukar
14
ungu/hijau dengan bentuk poligon tidak teratur, ukuran kecil, tekstur tidak teratur, tekstur warna halus, dan dengan kesan topografi kasar (Gambar 8d).
6. Kebun campuran
Kebun campuran merupakan seluruh kawasan yang ditanami tanaman tahunan dan dengan tanaman beranekaragam jenis. Warnanya beragam karena memiliki komposisi jenis, umur, jarak tanaman dan ukuran (tinggi dan diameter) yang beragam. Pada citra ALOS PALSAR kebun campuran dapat diidentifikasi dari warnanya yang hijau bercampur kuning. Selain itu, teksturnya yang kasar juga membantu dalam mengenali kebun campuran pada citra (Gambar 8f).
7. Perkebunan karet
Perkebunan karet merupakan seluruh area yang ditanami tanaman karet yang dikelola dengan pola tanaman tertentu. Pada citra ALOS PALSAR, perkebunan karet memiliki tone/warna biru (karet muda) sampai ke hijau kekuningan (karet tua) dengan pola yang teratur. Selain melihat elemen warna dan pola, teksturnya yang halus juga sangat membantu dalam proses identifikasi (Gambar 9b).
8. Lahan terbuka
Lahan terbuka merupakan seluruh kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi (batuan puncak gunung, kawah vulkan, gosong pasir, pasir pantai), lahan terbuka bekas kebakaran,dan lahan terbuka yang tidak di tumbuhi alang-alang/rumput (Gambar 9c).
9. Badan air
Koordinat: 114,71oBT ; 3,49oLS
Koordinat: 114,59oBT; 3,59oLS
Koordinat: 114,60oBT; 3,32oLS
Gambar 7 a) foto hutan rawa, b) hutan rawa pada citra ALOS PALSAR, c) foto hutan mangrove, d) hutan mangrove pada citra ALOS PALSAR, e) foto permukiman, f) permukiman pada citra ALOS PALSAR.
a b
c d
16
Koordinat: 114,68oBT; 3,37oLS
Koordinat: 114,82oBT; 3,56oLS
Koordinat: 114,83oBT; 3,57oLS Gambar 8 a) foto sawah, b) sawah pada citra ALOS PALSAR, c) foto semak belukar, d) semak belukar pada citra ALOS PALSAR, e) foto kebun campuran, f) kebun campuran pada citra ALOS PALSAR.
c
e f
d
Koordinat: 114,81oBT; 3,53oLS
Koordinat: 114,71oBT; 3,47oLS
Koordinat: 114,55oBT; 3,33oLS Gambar 9 a) foto perkebunan karet, b) perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR, c) foto lahan terbuka, d) lahan terbuka pada citra ALOS PALSAR, e) foto badan air, f) badan air pada citra ALOS PALSAR.
f e
a
d c
Gambar 10 Peta sebaran titik observasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m perekaman tahun 2009. 1
2.3.3 Pengecekan Lapangan (Ground Check)
Pengecekan lapangan merupakan proses peninjauan langsung di lokasi
penelitian terhadap obyek yang sebelumnya diinterpretasi menggunakan citra
ALOS PALSAR resolusi 50 m. Pengecekan lapangan dilakukan dengan dua
metode, yaitu pengecekan titik dan pembuatan plot. Pengecekan titik digunakan
pada obyek-obyek yang telah ditentukan sesuai dengan identifikasi awal tutupan
lahan beserta tapaknya (basah atau kering) pada citra ALOS PALSAR resolusi 50
m. Sedangkan pembuatan plot contoh dilakukan pada kelas hutan rawa, kebun
campuran, dan hutan mangrove untuk mengetahui potensi vegetasi (biomassa)
tutupan lahan tersebut dan pengaruhnya pada satelit radar terhadap nilai dijital tiap
piksel citra serta untuk memudahkan dalam proses identifikasi obyek (labeling).
Pengamatan di lapangan dilakukan di lima kabupaten di Provinsi Kalimantan
Selatan, yakni: Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota
Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut. Hasil dari
identifikasi lapangan diperoleh 83 titik dan 9 jenis penutupan lahan yang
tersebar di lokasi penelitian (Tabel 4).
2.3.4 Pengolahan Data Citra
2.3.4.1 Pembuatan Klaster Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m
Pembuatan Klaster dilakukan pada citra yang telah dipotong sesuai dengan
lokasi penelitian. Klastering dapat didefinisikan sebagai suatu teknik klasifikasi
yang merupakan serangkaian proses untuk mengelompokkan observasi (dalam hal
ini piksel) ke dalam suatu kelas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori
yang disusun. Klastering ini bertujuan untuk menemukan struktur kategori yang
sesuai dengan observasi. Klastering ini dilakukan dengan metode klasifikasi tidak
terbimbing (unsupervised classification) pada software Erdas Imagine Ver 9.1.
Klasifikasi tidak terbimbing merupakan klasifikasi yang proses pembentukan
kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh computer yang berarti klaster yang
terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung kepada data itu sendiri. Dalam
prosesnya, klasifikasi ini mengelompokkan piksel-piksel berdasarkan kesamaan
atau kemiripan spektralnya (Jaya 2010). Klasifikasi ini mengelompokkan
20
mengkelaskan citra tersebut menjadi 25 klaster. Pembuatan klaster tersebut
menggunakan metode Euclidean Distance yang perhitungannya menggunakan
rumus sebagai berikut (Jaya 2010):
Dalam rangka memudahkan melakukan analisis pengkelasan berdasarkan
tingkat kemiripan dari masing-masing ukuran klaster yang digunakan maka
diperlukan suatu teknik untuk menyusun urutan pengelompokkan klaster, dari
jumlah yang banyak sampai dengan jumlah yang kecil. Diagram yang
menggambarkan pengelompokkan ini sering disebut dengan dendrogram .
Metode penggambaran dendrogram yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode tetangga terdekat (nearest neighbour method). Metode tetangga terdekat
adalah metode penggambaran klaster berdasarkan pada jarak terdekat dari anggota
klaster yang juga sering disebut dengan metodeSingle Linkage(Jaya 2010).
2.3.4.2 Analisis Separabilitas
Separabilitas adalah ukuran statistik antar dua kelas (Jaya 2010). Setelah
citra dikelaskan menjadi 25 klaster dengan metode klasifikasi tidak terbimbing
(unsupervised classification), dilakukan analisis separabilitas. Analisis
separabilitas merupakan analisis yang di lakukan terhadap nilai keterpisahan antar
klaster yang dibuat pada klasifikasi tidak terbimbing yang didapat dari
pengukuran statistik bagi pemisahan antara pola spektral tiap jenis klaster yang
tampak secara visual pada citra satelit. Metode separabilitas yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metodeTransformed Divergence(TD) yang dilakukan
padasoftwareErdas Imagine Ver 9.1. Nilai keterpisahan atau ukuran separabilitas
tersebut dihitung dalam suatu bentuk matriks yang biasa disebut matriks
Transformed Divergence (TD). Analisis separabilitas juga merupakan uji
Tabel 3 Kriteria tingkat keterpisahan
proses pemberian nama (label) dari setiap kelas atau klaster yang terbentuk, serta
mengevaluasi apakah klaster tersebut perlu digabungkan atau dihilangkan. Untuk
mengevaluasi suatu lahan perlu digabung atau tidak berdasarkan kriteria tingkat
keterpisahan dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat bahwa nilai keterpisahan yang
kurang dari 1.800 dianggap kurang baik keterpisahannya. Oleh karena itu, pada
penelitian ini dilakukan penggabungan kelas (merge) yang nilai keterpisahan antar
kelasnya kurang dari 1.800. Proses ini dilakukan hingga nilai keterpisahan antar
kelas dari seluruh klaster yang ada mencapai lebih dari 1.800 sehingga didapatkan
beberapa klaster yang telah mencapai kriteria keterpisahan yang baik.
2.3.4.4 Penamaan Klaster (Labeling)
Beberapa klaster yang nilai keterpisahannya sudah baik didasarkan pada
matriks Transformed Divergence (TD) didapatkan setelah dilakukan analisis
separabilitas dan penggabungan kelas pada 25 klaster. Pada klaster-klaster
tersebut dilakukan identifikasi obyek (tutupan lahan), kemudian diberikan label
atau nama yang sesuai dengan kondisi lapang. Penamaan klaster tersebut
dilakukan berdasarkan karakteristik tutupan lahan dominan (jenis tutupan lahan
dan tapak) setiap klaster dan potensi vegetasi (biomasa) dari tegakan yang ada
pada masing-masing klasternya. Disamping pemberian label pada klaster-klaster
hasil merging di citra tersebut, seluruh titik observasi lapang yang didapat juga
dikelompokkan sesuai dengan label dari klaster-klaster yang ada pada citra
22
2.3.4.5 Identifikasi Hutan Lahan Basah
Proses identifikasi hutan lahan basah dilakukan setelah melakukan proses klasifikasi tidak terbimbing, analisis separabilitas, penggabungan kelas, dan pemberian label berdasarkan tutupan lahan dan karakteristik masing-masing klasternya. Tahap-tahap yang dilakukan dalam proses identifikasi hutan lahan basah yaitu studi literatur tentang pengertian lahan basah dan hutan lahan basah, identifikasi tutupan lahan apa saja pada citra yang termasuk dalam hutan lahan basah, dan memastikan tutupan lahan tersebut benar-benar basah dengan cara
menyesuaikan dengan data tapak yang diambil sewaktu pengecekan lapang.
2.3.4.5.1 Deskripsi dan Kategori Lahan Basah
Deskripsi lahan basah menurut Konvensi Ramsar (1971) merupakan daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang ataupun mengalir; tawar, payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam
meter pada waktu air surut. Lahan basah pada umumnya merupakan ekosistem yang sangat produktif dan mempunyai banyak manfaat yang penting. Manfaat tersebut terkadangdianggap sebagai barang dan jasa . Lahan basah sebagai jasa yaitu berfungsi dalam pengisian air tanah dan pengendali banjir. Lahan basah sebagai barang yaitu berkaitan dengan penggunaan lahan basah itu sendiri, maupun lahan basah sebagai tempat untuk menghasilkan sesuatu (seperti tempat untuk mengumpulkan kayu atau penelitian). Selain sebagai barang dan jasa ,
Kolam garam
Gambar 11 Klasifikasi lahan basah.
2.3.4.5.2 Hutan Lahan Basah
2.3.4.5.2.1 Hutan Bakau
Hutan Bakau yang sering disebut hutan mangrove atau hutan payau
merupakan hutan yang khas, didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran
terhadap perubahan salinitas dan berada di tepi pantai atau muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan bakau tumbuh di daerah tropis, pada
pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar. Hutan bakau tidak
tumbuh di pantai yang terjal atau berombak besar. Dengan perkiraan luas asal
4,25 juta hektar, Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas dan juga paling Lahan Basah
Hutan bakau atau hutan air payau
24
beraneka ragam di dunia. Meskipun demikian, saat ini luas hutan bakau
dikhawatirkan telah berkurang menjadi sekitar 2,5 juta hektar atau 60 % dari luas
mula-mula. Hutan bakau yang paling luas terdapat di Papua (58 %), Sumatera (19
%) dan Kalimantan (16 %). Hutan bakau juga terdapat pada pulau-pulau yang lain
namun dalam luasan yang terbatas (Davieset al. 1995).
2.3.4.5.2.2 Hutan Rawa
Hutan rawa merupakan lahan rawa yang sebagian besar vegetasinya
berupa pohon-pohon yang tingginya lebih dari lima meter dan mempunyai tajuk
yang rapat. Hutan rawa terletak di daerah pedalaman maupun pesisir. Berdasarkan
sistem tata guna lahan, yang termasuk hutan rawa yaitu hutan keranggas basah
(kerapah), hutan sepanjang sungai (hutan ripari), dan hutan rawa gambut. Hutan
rawa sangat penting peranannya sebagai daerah tangkapan air (watershed area).
Hutan gambut dan hutan gelam (Melaleuca sp.) yang luas dapat berperan sebagai
tempat cadangan air alami yang dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air
dari daerah sekitarnya dan mengurangi resiko banjir (Davieset al.1995).
2.3.5 Pengolahan Data Lapang
Pengolahan data lapang yang dilakukan yaitu pengelompokan seluruh titik
observasi lapang (ground check) berdasarkan hasil klasifikasi citra. Proses
pengelompokan data tutupan lahan hasil observasi lapang dilakukan sesuai
dengan label atau nama setiap klaster yang ada pada citra yang disesuaikan
dengan karakteristik dari masing-masing label klaster tersebut.
2.3.6 Perhitungan Akurasi Hasil Klasifikasi
Hasil klasifikasi tidak terbimbing yang telah melalui proses penggabungan
klaster dan pemberian label dievaluasi menggunakan matriks kesalahan
(confusion matrix) atau matriks kontingensi yang dibuat melalui proses klasifikasi
piksel yang diwakili oleh titik referensi. Secara konvensional, akurasi klasifikasi
biasanya diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara
benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang
terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan)
OA = 100 %
Keterangan :
OA =Overall Accuracy
Xii = nilai diagonal dari matriks kontingens baris ke-i dan kolom ke-i N = banyaknya pixel dalam contoh
r = jumlah baris atau kolom
Akurasi yang saat ini dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa.
Akurasi ini menggunakan semua elemen dalam matrik. Secara matematis, akurasi
Kappa ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
K = 100 %
Keterangan :
K = KappaAccuracy
X = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X = jumlah piksel dalam kolom ke-i
X = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh r = jumlah baris atau kolom
Tabel 4 Skema perhitungan akurasi (Jaya 2007)
Hasil Klasifikasi Akurasi Pembuat X11/X+1 X12/X+2 X13/X+3
Matrik kesalahan juga memberikan informasi mengenai penyimpangan
klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau omisi
(omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi
(commission). Kesalahan omisi (omission error) atau dikenal juga dengan istilah
akurasi pembuat (producer s accuracy/PA) merupakan akurasi yang diperoleh
dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per
kelas. Kesalahan komisi (commission error) atau dikenal juga dengan istilah
26
dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel dalam kolom (Jaya
2007).
PA = ii i+
100 %
UA = ii +i
100 %
Keterangan :
X = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i X = jumlah piksel dalam baris ke-i
Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
3.1 Kabupaten Banjar
Kabupaten Banjar memiliki luas 4.668 km2 yang merupakan kabupaten terluas ketiga di Provinsi Kalimantan Selatan. Daerah ini dilintasi oleh sebuah sungai besar yaitu sungai Martapura yang dapat menghubungkan kota Martapura (Ibukota Kabupaten Banjar) dengan Ibukota Kalimantan Selatan, Banjarmasin dan muaranya bersatu dengan Sungai Barito. Kabupaten Banjar berada di antara 2 49 55 - 3 43 38 Lintang Selatan dan diantara 114 30 20 - 115 35 37 Bujur
Timur. Kabupaten Banjar memiliki batas-batas wilayah yaitu sebelah Utara dengan Kabupaten Tapin, Selatan dengan Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut, Timur dengan Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu, serta sebelah Barat dengan Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala.
Kondisi topografi di wilayah Kabupaten Banjar beraneka ragam dan tidak sepenuhnya dataran. Perbukitan dan pegunungan terdapat di sebelah Utara dan Timur Kabupaten Banjar. Selain itu juga terdapat dataran rendah berupa tanah biasa dan tanah rawa di bagian sebelah Barat dan Selatan dari Kabupaten Banjar. Selain ditutupi oleh batu-batuan sedimen dan terdiri dari dataran tinggi, sebagian dari daerah Kabupaten Banjar juga merupakan daerah dataran rendah yang dilewati sungai besar yaitu sungai Martapura, sungai Riam Kanan dan sungai Riam Kiwa serta beberapa sungai-sungai kecil dengan keadaan hidrografi yang sangat dipengaruhi oleh curah hujan, terlebih lagi daerah rawa.
28
antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase
penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%.
Berdasarkan data yang tecatat pada Badan Pusat Statistik Kabupaten
Banjar, jumlah rumah tangga pada pertengahan tahun 2006 mencapai
30.390 rumah tangga, dengan jumlah penduduk 464.148 orang yang terdiri dari
238.162 laki-laki dan 225.986 perempuan, dengan sex ratio 105 yang berarti
hampir tidak ada perbedaan jumlah menurut jenis kelamin. Jumlah penduduk
terbanyak berada di Kecamatan Martapura dengan kepadatan 2.042 penduduk per
kilometer persegi. Dibanding tahun sebelumnya, kecamatan Martapura
mengalami kenaikan jumlah penduduk. Hal ini ditandai dengan meningkatnya
angka kepadatan penduduk, dimana pada tahun 2005 kepadatannya tercatat
sebesar 2.019 penduduk per kilometer persegi. Kecamatan Peramasan hanya 6
penduduk per kilometer persegi yang merupakan daerah dengan tingkat kepadatan
rendah. Rata-rata kepadatan penduduk secara umum yaitu sebesar 99 jiwa per
kilometer persegi.
Berdasarkan data Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Banjar tercatat
2.118 pencari kerja, dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah tingkat
SMU/SMK. Dari jumlah tersebut 1.136 orang diantaranya telah ditempatkan.
Penetapan tingkat upah/gaji bagi pekerja merupakan kebijakan yang sangat
penting karena hal ini berkaitan langsung dengan kebijaksanaan peningkatan taraf
hidup pekerja dan keluarganya. Berdasarkan data dari Disnaker Kab. Banjar tahun
2006 rata-rata kebutuhan hidup layak seorang pekerja lajang adalah sebesar Rp
771.133.
3.2 Kabupaten Barito Kuala
Kabupaten Barito Kuala merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan
Selatan dengan ibukota Marbahan yang berdiri pada tanggal 4 Januari 1960 dan di
bentuk dengan UU No. 27 Tahun 1959. Luas wilayahnya mencapai 2.996,96 km2
(sekitar 8,80 % dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan), dengan posisi
geografis antara 2o29 50 3o30 18 LS dan 114o20 50 114o50 18 BT.
Utara, Laut Jawa di sebelah Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah di sebelah Barat, serta Kabupaten Tapin, Banjar dan Kota Banjarmasin di sebelah Timur.
Daerahnya diapit oleh dua buah sungai, yaitu Sungai Barito dan Sungai Kapuas yang sangat mempengaruhi tata air yang ada. Selain itu terdapat pula 3 buah terusan (anjir) buatan yang menghubungkan Sungai Barito dan Sungai Kapuas, yaitu Anjir Talaran, Anjir Serapat, dan Anjir Tamban. Kota Marabahan sebagai ibukota kabupaten, berjarak ± 45 Km dari Kota Banjarmasin (ibukota Provinsi Kalimantan Selatan) yang dapat di tempuh rata-rata ± 1,5 jam melalui jalan darat. Kabupaten Barito Kuala yang terletak di garis khatulistiwa, termasuk daerah hujan tipe B yaitu iklim yang mempunyai 1-2 bulan kemarau dalam setahun. Temperatur rata-ratanya antara 26oC -27oC dengan suhu maksimum 27.50oC (bulan Oktober) dan suhu minimum 26.50oC (bulan Juli). Sedangkan angka rata-rata hujan setiap tahunnya adalah 2,665 mm dengan 107 hari hujan untuk daerah Marabahan.
Penduduknya berjumlah 260.967 jiwa dengan tingkat kepadatan 83 jiwa/km2 sampai dengan pertengahan Juni tahun 2003, dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,60 % per tahun. Sebagian besar penduduknya berasal dari suku Bakumpai, Banjar, Jawa, Bali dan Sunda dengan mata pencaharian utama adalah bertani.
3.3 Kabupaten Kota Banjarbaru
Letak geografis Kota Banjarbaru antara 3º 25 40 - 3º 28 37 Lintang
Selatan dan 114º 41 22 -114º 54 25 Bujur Timur dengan luas wilayah 371.38 hektar. Batas-batas wilayah Kota Banjarbaru yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Bati-Bati Kabupaten Tanah Laut, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar.
30
(146,70 km2), Kecamatan Landasan Ulin 24,89 % (92,42 km2), Kecamatan Liang
Anggang 23,12 % (85,86 km2), Kecamatan Banjarbaru Utara 6,58 % (24,44 km2)
dan Kecamatan Banjarbaru Selatan 5,91 % (21,96 km2).
Dalam hubungan antar-wilayah, posisi geografis Kota Banjarbaru sangat
strategis karena memiliki akses jalan simpang tiga liang anggang yang
menghubungkan Banjarmasin-Kotabaru dan Banjarmasin-Hulu sungai hingga ke
Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, juga akses pelabuhan laut
Trisakti sebagai gerbang jalur transportasi laut melalui jalan lingkar selatan liang
anggang dan akses Bandar Udara Syamsuddin Noor sebagai jalur transportasi
udara di Kalimantan Selatan.
Luas wilayah Kota Banjarbaru sesuai dengan Perda No.9 Tahun 2000
adalah seluas 371,38 Ha yang terbagi dalam alokasi peruntukan ruang kawasan
lindung adalah 20,81 % dan luasan kawasan budidaya 79,19 % dari luas wilayah
Kota Banjarbaru.
Dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lain di Kalimantan Selatan,
Kota Banjarbaru menempati wilayah terkecil kedua setelah Kota Banjarmasin,
yakni hanya 0,88 % dari luas Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagian besar
wilayah Kota Banjarbaru mempunyai ketinggian di bawah 100 meter dari
permukaan laut (dpl). Daerah dengan ketinggian 0-7 m (33,49 %), 7-25 m (48
%), 25-100 m (15,15 %), 100-250 m (2,55 %) dan 250-500 m (0,35 %).
Kota Banjarbaru beriklim tropis dengan temperatur udara maksimum
34,4oC dan minimum 20,2oC, kelembaban udara rata - rata antara 49,0 99,3 %,
rata-rata curah hujan di Kota Banjarbaru dan sekitarnya tercatat 239 mm dengan
rata-rata tekanan udara berkisar antara 1.005,30 mb sampai dengan 1.018,80 mb
dan rata-rata kecepatan angin sekitar 3,5 knots.
Perkembangan wilayah Kota Banjarbaru pada 5 tahun berjalan
menunjukkan percepatan pembangunan yang lebih besar dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Salah satu faktor pemicu dan
pemacunya adalah komitmen Kepala Daerah dan Pemerintah daerah agar Kota
Banjarbaru menjadi kota yang mandiri dan terdepan sesuai dengan visi kota
perdagangan, pemerintahan dan permukiman. Selain itu dengan adanya
pemindahan pusat perkantoran Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru.
3.4 Kabupaten Kota Banjarmasin
Secara geografis wilayah Kota Banjarmasin terletak pada 3 15 - 3 22
LS dan 144 98 - 114 98 BT berada di ujung selatan Propinsi Kalimantan
Selatan di dekat Sungai Barito dan dibelah oleh Sungai Martapura. Kota
Banjarmasin mempunyai luas 72 km2 dan berada pada ketinggian 0,16 meter di
bawah permukaan laut atau merupakan dataran rendah yang terdiri dari rawa-rawa
atau sering disebut sebagai daerah dataran banjir. Terletak sekitar 50 km dari
muara dan berada di pinggiran Sungai Barito, sehingga secara umum kondisi
morfologi daerah didominasi oleh daerah yang relatif datar dan berada di dataran
rendah. Daerah ini terletak di bawah permukaan laut rata-rata 0,16 m (dpl) dengan
kemiringan lereng 0 % - 2 %. Sebagian besar formasi batuan dan tanah yang ada
di wilayah Kota Banjarmasin adalah jenis Aluvium (Qa) yang dibentuk oleh
kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur, selain itu banyak juga dijumpai
sisa-sisa tumbuhan serta gambut pada kedalaman tertentu.
Wilayah Kota Banjarmasin secara administratif dibatasi oleh dua
kabupaten, yaitu: bagian Utara dibatasi oleh Kabupaten Barito Kuala, bagian
Selatan dibatasi oleh Kabupaten Banjar, bagian Barat oleh Kabupaten Barito
Kuala dan bagian Timur oleh Kabupaten Banjar. Dari segi geografis dan
administrasi, Kota Banjarmasin memiliki posisi dan peranan yang sangat penting.
Posisinya yang strategis di bagian hilir Sungai Barito menjadikan Banjarmasin
menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan yang potensial bagi wilayah
Kalimantan, terutama bagian Selatan dan Tengah (sebagai daerah lalu lintas Trans
Kalimantan).
Kota Banjarmasin dengan luas wilayah 72 km2 atau 0,019 % dari luas
wilayah Kalimantan Selatan, memiliki batas administratif sebagai berikut: sebelah
Barat dibatasi oleh Kabupaten Barito Kuala, sebelah Selatan dibatasi oleh
Kabupaten Banjar, sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Banjar, dan sebelah
Utara dibatasi oleh Kabupaten Barito Kuala. Kota Banjarmasin meliputi 5 wilayah
32
Banjarmasin Barat, Banjarmasin Tengah, dan Banjarmasin Utara. Kelima
kecamatan tersebut selain berfungsi sebagai pusat perkantoran juga merupakan
pusat-pusat pertumbuhan di Kota Banjarmasin.
3.5 Kabupaten Tanah Laut
Ditinjau dari segi topografinya, Wilayah Kabupaten Tanah Laut
didominasi oleh dataran rendah yang landai, yang membentang dari Barat ke
Timur, mulai dari arah Selatan (Pantai Laut Jawa) kearah Utara (pedalaman), dan
bergelombang hingga bergunung di daerah pedalaman yang berbatas dengan
Kabupaten Banjar. Ditinjau dari sudut ketinggian tempat (elevasi), wilayah
Kabupaten Tanah Laut dibagi 6 (enam) kelas elevasi , yaitu kelas 0 7 meter, 7
-25 meter, -25 - 100 meter, 100 - 500 meter, 500 1.000 meter dan diatas 1.000
meter. Kelas ketinggian (elevasi) lahan yang paling luas di Kabupaten Tanah Laut
adalah kelas elevasi 0 - 7 meter dpl, yaitu mencapai 58.240 Ha (15,6 % dari luas
daratan). Sedangkan kelas ketinggian yang paling kecil luasnya adalah kelas
elevasi di atas 1.000 meter dpl, yakni 13.661 Ha (3,7% dari luas daratan). Kelas
elevasi ketinggian 0 - 7 meter dpl terdapat di seluruh kecamatan, kecuali
Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Tambang Ulang sedangkan kelas elevasi
ketinggian di atas 500 meter terdapat di Kecamatan Kintap, Jorong, Pelaihari dan
Bati-Bati.
Keadaan hidrologi sungai dan danau sebagai sumber daya air permukaan
di Kabupaten Tanah Laut atas sungai-sungai besar dan kecil yang bermuara di
Laut Jawa. Sungai-sungai besar antara lain Sungai Maluka (640 km2), Sungai
Tabanio (770 km2), Sungai Sabulur (190 km2), Sungai Sawarangan (580 km2).
Fungsi-fungsi sungai tersebut, yaitu: untuk sumber air minum, pengairan, usaha
perikanan dan sebagai sarana transportasi antara daerah-daerah Timur dengan
daerah-daerah Barat di Kabupaten Tanah Laut. Adapun danau-danau (rawa) yang
terdapat di Kabupaten Tanah Laut yaitu Rawa Benua Raya (6.600 Ha), Rawa
Panjaratan (2.500 Ha) dan Rawa Sanipah (5.600 Ha). Pada musiman hujan
terdapat wilayah yang terkena banjir, baik terus menerus tergenang maupun
tergenang secara periodik. Wilayah yang selalu tergenang adalah daerah Benua
Kedalaman air tanah di suatu wilayah antara lain ditentukan oleh tinggi
wilayah dari permukaan laut, jenis batuan induk dan sebagainya. Wilayah
Kabupaten Tanah Laut tersusun dari batuan induk yang bervariasi dan terletak
pada ketinggian 0 1.000 m dpl. Oleh sebab itu kedalaman air tanahnya akan
bervariasi, dari dangkal (daerah pantai) hingga perbukitan dan pegunungan.
Curah hujan sebagai faktor fisik bersifat dinamis karena di pengaruhi oleh
waktu. Curah hujan dimasukkan sebagai faktor fisik karena besar kecilnya curah
hujan akan mempengaruhi faktor fisik yang lain, seperti menyebabkan terjadinya
erosi, adanya genangan air pada daerah-daerah tertentu. Dengan pengaruh kedua
faktor fisik tersebut sekaligus akan mempengaruhi tindakan budidaya baik
terhadap teknik pengolahan tanah maupun pemilihan jenis komoditi yang akan
dibudidayakan dalam bidang pertanian.
Kabupaten Tanah Laut termasuk daerah beriklim tropis basah karena tidak
terdapat perbedaan musim yang jelas. Hujan turun merata sepanjang tahun dengan
bulan-bulan relatif basah antara bulan Desember Februari dan bulan-bulan
relatif kering antara bulan Juni Agustus. Berdasarkan hasil penelitian antara
1915 1941, curah hujan bagian Timur (pantai) sebesar 2.324 mm/tahun dengan
rata-rata hari hujan 150 hari/tahun dan di bagian Barat sampai dengan perbatasan
kabupaten curah hujan berkisar antara 2.500 3.000 mm/tahun, serta di wilayah
Timur berkisar antara 2.000 2.500 mm/tahun. Berdasarkan data curah hujan
rata-rata bulanan dan perhitungan evapotranspirasi bulanan, maka Kabupaten
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengolahan Data Citra
4.1.1 Pembuatan Klaster Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m
Tahap awal dalam pengolahan data citra ALOS PALSAR adalah
pembuatan kelas-kelas tutupan dengan metode klastering (unsupervised
classification). Pada proses ini, jumlah kelas (klaster) awalnya adalah 25 kelas.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam mengidentifikasi hutan lahan basah.
Dendrogram dan matriks separabilitas hasil klastering disajikan pada Gambar 12
dan Tabel 5.
3
36
4.1.2 Analisis Separabilitas
Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering
(Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. Berdasarkan hasil analisis separabilitas
yang dilakukan dengan ukuran Transformed Divergence (TD), keterpisahan tiap
klaster pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m masih sangat beragam. Terdapat
beberapa nilai keterpisahan antar klaster yang nilainya pada kisaran 1600 sampai
dengan kurang dari 1800 (kategori separabilitas kurang baik / poor). Selain itu,
terdapat juga beberapa nilai keterpisahan antar klaster yang nilainya kurang dari
1600 dan termasuk dalam kategori tidak terpisahkan (inseparable). Oleh karena
itu, pada penelitian ini perlu dilakukan penggabungan kelas (merge) pada klaster
yang memiliki nilai keterpisahan antar kelas kurang dari 1800. Proses analisis
separabilitas dilakukan hingga nilai keterpisahan antar kelas dari seluruh klaster
yang ada mencapai lebih dari 1.800 sehingga dapat mencapai kategori
keterpisahan yang baik (fair), sangat baik (good), maupun sempurna (excellent).
4.1.3 Penggabungan Klaster (Merge)
Proses penggabungan kelas atau klaster (merge) adalah proses
menggabungkan dua klaster atau lebih menjadi satu klaster. Proses penggabungan
klaster ini dilakukan pada seluruh klaster yang nilai keterpisahan antar kelasnya
kurang dari 1800. Klaster-klaster yang memiliki nilai keterpisahan dengan klaster
yang lain kurang dari 1600 termasuk dalam kategori tidak terpisahkan
(inseparable). Hal ini berarti kedua kelas tersebut tidak dapat terpisahkan
sehingga harus digabung (merge) menjadi satu klaster. Untuk klaster-klaster yang
nilai keterpisahannya berada pada kisaran 1600 sampai dengan kurang dari 1800
termasuk dalam kategori kurang baik (poor), sehingga perlu dilakukan
penggabungan kelas agar klaster-klaster tersebut mencapai kategori keterpisahan
yang baik dengan nilai keterpisahan lebih dari 1800. Proses penggabungan klaster
ini dilakukan satu per satu, yaitu dari nilai separabilitas yang terkecil hingga nilai
separabilitas yang hampir mencapai 1800. Hasil dari proses penggabungan antara
dua jenis klaster belum tentu baik nilai separabilitasnya dengan klaster yang
lainnya. Oleh karena itu, proses analisis separabilitas perlu dilakukan setiap kali
tersebut benar-benar sudah baik keterpisahannya dengan klaster yang lainnya atau
belum baik nilai keterpisahannya sehingga perlu dilakukan penggabungan klaster
kembali dengan klaster yang lainnya. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang
hingga nilai keterpisahan dari seluruh klaster yang ada mencapai lebih dari 1800.
Proses analisis separabilitas dan penggabungan klaster ini menghasilkan enam
klaster yang nilai keterpisahannya sudah mencapai kategori baik (fair), sangat
baik (good), dan sempurna (excellent) (lihat Tabel 6). Dendrogram dari keenam
klaster tersebut disajikan pada Gambar 13.
Tabel 6 MatriksTransformed Divergence(TD) hasil penggabungan klaster
Label C1 C2 C3 C4 C5 C6
C1 0 2000 2000 2000 2000 2000
C2 0 2000 2000 2000 2000
C3 0 1940.14 1998.27 2000
C4 0 1820.26 2000
C5 0 1917.63
C6 0
Keterangan: C1 ~ C6 adalah klaster akhir
Gambar 13 DendrogramEuclidean Distancehasil penggabungan klaster.
Tabel 6 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan nilai keterpisahan antar
klaster sudah baik. Terdapat satu nilai keterpisahan tergolong dalam kategori baik
dengan nilai keterpisahannya sebesar 1820,26, antara C4 dengan C5. Selain itu,
terdapat pula beberapa nilai keterpisahan tergolong dalam kategori sangat baik,
38
C5 dengan C6 dengan nilai keterpisahan sebesar 1917,63 yang berarti ketiga nilai
keterpisahan tersebut termasuk dalam kisaran 1900 sampai dengan kurang dari
2000. Sisanya memiliki nilai keterpisahan sebesar 2000, antara C1 dengan C2; C1
dengan C3; C1 dengan C4; C1 dengan C5; C1 dengan C6; C2 dengan C3; C2
dengan C4; C2 dengan C5; C2 dengan C6; C3 dengan C6; dan yang terakhir
adalah antara C4 dengan C6 yang berarti kesebelas nilai keterpisahan tersebut
tergolong dalam kategori sempurna (excellent).
4.1.4 Penamaan Klaster (Labeling)
Setelah didapatkan enam klaster yang nilai keterpisahannya sudah baik
didasarkan pada matriks Transformed Divergence (TD), maka dilakukan
identifikasi klaster, kemudian diberikan label atau nama yang sesuai dengan
obyek tersebut. Penamaan klaster tersebut memperhatikan karakteristik dominan
dari obyek setiap klaster dan potensi vegetasi (biomasa) yang ada pada
masing-masing klaster hasil verifikasi lapang.
Dari semua tutupan lahan yang terdapat di lokasi penelitian, terdapat dua
jenis tutupan lahan yang penyebarannya secara dominan terdapat di lebih dari satu
klaster. Kedua jenis tutupan lahan tersebut adalah semak belukar dan kebun
campuran (kbc). Semak belukar tersebar di tiga klaster yang berbeda, namun
dapat dibedakan menjadi tiga jenis semak belukar berdasarkan karakteristik
kebasahannya dan ketinggiannya. Berdasarkan karakteristik kebasahannya, semak
belukar tersebut dibedakan menjadi semak belukar basah (rawa) dan semak
belukar kering. Disamping itu, semak belukar kering dapat dibedakan lagi
menjadi dua jenis berdasarkan ketinggiannya, yaitu yang pertama adalah semak
belukar tinggi yang ketinggiannya lebih dari satu meter, dan yang kedua adalah
semak belukar pendek yang ketinggiannya kurang dari satu meter.
Untuk karakteristik potensi vegetasi (biomasa) dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu potensi vegetasi tinggi dan potensi vegetasi rendah. Potensi vegetasi
(biomasa) tinggi adalah nilai biomassanya lebih dari sama dengan 20 ton/ha,
sedangkan potensi vegetasi (biomasa) rendah adalah nilai biomassanya kurang
dari 20 ton/ha. Kebun campuran (kbc) penyebarannya terdapat di dua klaster yang
kebun campuran potensi vegetasi tinggi dan kebun campuran potensi vegetasi
rendah.
Untuk penamaan (labeling) seluruh klaster akan dijabarkan sebagai
berikut. Klaster pertama (C1) secara keseluruhan didominasi oleh badan air
sehingga diberikan label badan air. Klaster kedua (C2) secara keseluruhan
didominasi oleh lahan terbuka sehingga diberikan label dengan nama lahan
terbuka. Klaster ketiga (C3) secara keseluruhan didominasi oleh tiga jenis tutupan
lahan, yaitu hutan rawa potensi vegetasi rendah, semak belukar basah (rawa), dan
kebun campuran. Hutan rawa tersebut memiliki potensi vegetasi yang rendah
dengan nilai estimasi biomasa pada salah satu plot sampel yaitu sebesar 13,42 ton
per hektar. Untuk semak belukar berdasarkan karakteristik kebasahannya
digolongkan menjadi semak belukar basah (rawa). Untuk kebun campuran pada
klaster ini jika dilihat dari penampakan secara visual pada citra termasuk dalam
kebun campuran berpotensi rendah. Namun, karena data potensi dari kebun
campuran di klaster ini tidak tersedia, maka label kebun campuran pada klaster ini
tidak diberikan tambahan dengan potensi, tetapi hanya kebun campuran saja. Jadi
label atau nama yang diberikan untuk klaster ini adalah hutan rawa potensi
vegetasi rendah, semak belukar basah (rawa), dan kebun campuran. Klaster
keempat (C4) secara keseluruhan didominasi oleh dua jenis tutupan lahan, yaitu
hutan mangrove potensi vegetasi tinggi dan semak belukar tinggi. Hutan
mangrove tersebut memiliki potensi vegetasi (biomasa) yang tinggi pada salah
satu plot sampelnya, yakni sebesar 22,67 ton per hektar. Untuk semak belukar
pada klaster ini didominasi oleh semak belukar kering yang tinggi karena
ketinggian dari semak belukar itu sendiri lebih dari satu meter. Klaster kelima
(C5) secara keseluruhan didominasi oleh sawah dan semak belukar pendek.
Semak belukar tersebut didominasi oleh semak belukar pendek karena ketinggian
semak belukar itu sendiri kurang dari satu meter. Klaster keenam (C6) secara
keseluruhan didominasi oleh tiga jenis tutupan lahan, yaitu: lahan terbangun
(pemukiman), kebun campuran potensi tinggi, dan perkebunan karet. Kebun
campuran tersebut memiliki potensi vegetasi yang tinggi dengan nilai estimasi
biomasa pada salah satu plot sampel sebesar 26,87 ton per hektar. Label atau
Tabel 7 Penamaan klaster (Labeling)
Label C1 C2 C3 C4 C5 C6
C1 (Badan Air) 0 2000 2000 2000 2000 2000
C2 (Lahan Terbuka) 0 2000 2000 2000 2000
C3 (Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), Semak Belukar basah (rawa), KBC) 0 1940.14 1998.27 2000
C4 (Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi), Semak Belukar tinggi) 0 1820.26 2000
C5 (Sawah, Semak Belukar pendek) 0 1917.63
C6 (Lahan Terbangun, KBC (potensi vegetasi tinggi), Perkebunan Karet) 0
Keterangan:
KBC = Kebun Campuran
4
42
4.1.5 Identifikasi Hutan Lahan Basah
Setelah melakukan proses klasifikasi tidak terbimbing, analisis
separabilitas, penggabungan kelas, dan pemberian label berdasarkan tutupan lahan
dan karakteristiknya masing-masing, maka identifikasi hutan lahan basah dapat
dilakukan. Pengertian lahan basah itu sendiri menurut Konvensi Ramsar (1971)
merupakan daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; alami atau
buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang ataupun mengalir; tawar,
payau atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih
dari enam meter pada waktu air surut. Sedangkan jenis hutan yang termasuk lahan
basah menurut Davies et al. (1995) adalah hutan bakau (mangrove) dan hutan
rawa.
Hutan rawa merupakan lahan rawa yang sebagian besar vegetasinya
berupa pohon-pohon yang tingginya lebih dari lima meter dan mempunyai tajuk
yang rapat. Hutan rawa terletak di pedalaman maupun di daerah pesisir.
Berdasarkan sistem tata guna lahan, yang termasuk hutan rawa, yaitu: hutan
kerangas basah (kerapah), hutan sepanjang sungai (hutan ripari), hutan rawa
gambut, dan hutan payau yang meliputi hutan mangrove (bakau), hutan nipah, dan
hutan nibung. Karena kepentingan dan keunikannya, maka hutan mangrove
(bakau) dipisahkan dari hutan rawa yang lain. Hutan mangrove (bakau)
merupakan hutan yang khas, didominasi oleh tumbuhan yang relatif toleran
terhadap perubahan salinitas dan berada di tepi pantai atau muara sungai yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove tumbuh di daerah tropis
dan pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar (Davieset al.
1995). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa yang termasuk klaster lahan basah, yaitu:
klaster pertama (C1) dengan label Badan Air , klaster ketiga (C3) dengan label
Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), Semak Belukar basah (rawa), KBC , dan
klaster keempat (C4) dengan label Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi),
Semak Belukar tinggi .
Pada klaster keempat (C4) dapat kita lihat bahwa klaster ini didominasi
oleh hutan mangrove potensi vegetasi tinggi dan semak belukar tinggi (Tabel 7).
Hutan mangrove dalam klaster ini memiliki tapak yang tergenang dan
plot sampel yang diambil menunjukkan bahwa potensi hutan mangrove pada areal
penelitian ini cukup tinggi, yaitu dengan nilai estimasi biomasa sebesar 22,67 ton
per hektar. Namun klaster ini tidak didominasi oleh hutan mangrove saja,
melainkan juga didominasi oleh semak belukar tinggi yang bertapak kering dan
tandus. Kedua jenis tutupan lahan ini tidak terpisah pada citra ALOS PALSAR
resolusi 50 m berdasarkan hasil penggabungan kelas yang dilihat dari nilai
keterpisahannya. Hal ini dikarenakan nilai dijital antara hutan mangrove dan
semak belukar tinggi tidak jauh berbeda sehingga terkelaskan menjadi satu
klaster. Foto lapang hutan mangrove pada areal penelitian dan keadaan hutan
mangrove pada citra dapat dilihat pada Gambar 7c dan 7d.
Pada klaster ketiga (C3) dapat kita lihat bahwa klaster tersebut didominasi
oleh hutan rawa, semak belukar basah (rawa) dan kebun campuran (Tabel 7).
Hutan lahan basah dalam klaster ini adalah hutan rawa. Secara keseluruhan,
klaster tersebut didominasi oleh lahan basah dan dapat digolongkan menjadi
klaster lahan basah. Berdasarkan survey lapang, hutan rawa tersebut memiliki
tapak yang becek dan tergenang. Selain itu, potensi vegetasi (estimasi biomasa)
dari plot sampel yang diambil menunjukkan bahwa potensi hutan rawa pada areal
penelitian ini cukup rendah, yaitu dengan nilai estimasi biomassa sebesar 13,42
ton per hektar. Penyebab utama dari rendahnya potensi hutan rawa pada areal
penelitian ini adalah banyaknya penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat
sekitar. Hutan rawa tidak teridentifikasi sendiri dalam klaster tersebut melainkan
bersama-sama dengan semak belukar basah (rawa) dan kebun campuran karena
memiliki nilai dijital yang tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan ketiga jenis
tutupan lahan tersebut memiliki tapak yang sama. Oleh karena itu, dari analisis
identifikasi hutan lahan basah berdasarkan hasil penggabungan klaster yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa secara spektral citra ALOS PALSAR resolusi
50 m cukup mampu membedakan hutan lahan basah, yaitu hutan mangrove dan
hutan rawa. Foto lapang hutan rawa pada areal penelitian dan keadaan hutan rawa
44
4.2 Akurasi Hasil Klasifikasi
Dari penggabungan kelas yang telah dilakukan, didapatkan enam klaster
yang telah diberi label (Tabel 7). Matrik kesalahan hasil klasifikasi enam klaster
disajikan dalam Tabel 8. Akurasi pembuat (producer s accuracy) merupakan
akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total
piksel dari data acuan per kelas. Producer s accuracy terendah terdapat pada
klaster lahan terbuka (C2) yaitu sebesar 33,33 %. Sedangkan nilai tertinggi
terdapat pada klaster badan air (C1) sebesar 100,00 %.Producer saccuracyuntuk
hutan lahan basah (hutan rawa dan hutan mangrove) juga cukup baik, sebesar
69,57 % dan 76,92 %.
Akurasi pengguna (user s accuracy) merupakan akurasi yang diperoleh
dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke
dalam kelas tersebut. User s accuracy terendah terdapat pada klaster lahan
terbuka (C2) sebesar 50,00 %. Sedangkan nilai tertinggi terdapat pada klaster
badan air (C1) sebesar 100,00 %. User s accuracy untuk hutan rawa dan hutan
mangrove juga cukup baik dengan nilai akurasi sebesar 64,00 % dan 58,82 %
(Tabel 8).
Nilai overall accuracy pada penelitian ini diperoleh sebesar 73,49 %
(Tabel 8). Akurasi ini menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate
karena dalam proses perhitunganoverall accuracy hanya melibatkan piksel-piksel
yang benar saja. Evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi
kappa. Nilai kappa akurasi pada penelitian ini diperoleh sebesar 65,75 % (Tabel
8). Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh
piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi,
sehingga jika dibandingkan dengan overall accuracy perhitungan akurasi kappa
akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Dari uji akurasi tersebut
tampak bahwa citra ALOS PALSAR resolusi 50 m cukup mampu memberi
penafsiran yang baik terhadap keadaan sesungguhnya dilapangan sehingga dapat
disimpulkan bahwa akurasi hasil klasifikasi dalam penelitian ini dapat dikatakan
C1 C2 C3 C4 C5 C6 %
Hasil Klasifikasi
C1 Badan Air 3 0 0 0 0 0 3 100.00
C2 Lahan Terbuka 0 1 0 0 1 0 2 50.00
C3 Hutan Rawa (potensi vegetasi rendah), semak belukar basah (rawa), KBC
0 1 16 3 2 3 25 64.00
C4 Hutan Mangrove (potensi vegetasi tinggi), semak belukar tinggi
0 0 5 10 0 2 17 58.82
C5 Sawah dan semak belukar pendek
0 1 1 0 18 1 21 85.71
C6 Lahan Terbangun, KBC (potensi vegetasi tinggi), Perkebunan Karet
0 0 1 0 1 13 15 86.67
TOTAL 3 3 23 13 22 19 83
ProducersAccuracy % 100.00 33.33 69.57 76.92 81.82 68.42 Overall Accuracy 73.49
Xkk 61
Xk+*X+k 1558 Kappa Accuracy 65.75
4
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dapat digunakan untuk mengidentifikasi
hutan lahan basah, yaitu: hutan rawa dan hutan mangrove.
2. Hutan rawa teridentifikasi bersama-sama dengan semak belukar basah (rawa)
dan kebun campuran dengan nilai producer s accuracy dan user s accuracy
secara berturut-turut sebesar 69,57 % dan 64,00 %.
3. Hutan mangrove teridentifikasi bersama-sama dengan semak belukar tinggi
dengan nilaiproducer saccuracysebesar 76,92 % danusersaccuracysebesar
58,82 %.
4. Teknik klastering dengan metode klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised
classification) mampu mengidentifikasi hutan lahan basah dengan nilaioverall
accuracysebesar 73,49 % dan kappa akurasi sebesar 65,75 %.
5.2 Saran
Penelitian ini menyarankan perlunya dilakukan pengujian lebih lanjut
dalam rangka mengevaluasi konsistensi dan akurasi teknik identifikasi hutan lahan
basah yang dilakukan pada penelitian ini pada hutan lahan basah di lokasi yang
ANOM KALBUADI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ANOM KALBUADI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ANOM KALBUADI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
DAFTAR PUSTAKA
Aly Z, F Bonn, R Magagi. 2004. Modelling The Backscattering Coefficient of Salt-Affected Soils: Application to Wadi El-Natrun Botttom, Egypt. Université de Sherbrooke, CARTEL, Sherbrooke, Québec, Canada.
Davies J, G Claridge, CE Nirarita. 1995. Manfaat Lahan Basah: Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan-Asian Wetland Bureau Indonesia.
Divayana IPI. 2011. Pendugaan Biomasa Tegakan Menggunakan Citra ALOS PALSAR (Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara)[skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Hamazaki T. 1999. Overview of the Advanced Land Observing Satelitte (ALOS): Its Mission Requirements, Sensors, and a Satelitte System. Jepang: National Space Development Agency of Japan.
JAXA. 2006. PALSAR : Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/about/palsar.htm [18 April 2011].
Jaya INS. 2006. Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Penginderaan Jarak Jauh. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Jaya INS. 2007. Analisis Citra Digital : Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital: Teori dan Praktek Menggunakan ERDAS IMAGE. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah. 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
Lillesand TM, and Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri, Suharsono P, Hartono, Suharyadi, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation.
Mulyani A, I Las. 2008. Potensi Sumber Daya Lahan dan Optimalisasi
Pengembangan Komoditas Penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal
Litbang Pertanian, 27(1): 31-41.
Purwadhi SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta : Grasindo.
Puspitasari R. 2008. Pendugaan Biomassa di Atas Tanah Menggunakan Citra
ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m di Pulau Jawa dan Bali [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ramsar Convention. 1971. The Convention on Wetlands text.
http://www.ramsar.org/cda/en/ramsar-documents-texts-convention-on/main/ ramsar/1-31-38%5E20671_4000_0__ [18 April 2011].
Riska A. 2011. Pendugaan Biomassa Atas Permukaan pada Tegakan Pinus
(Pinus merkusii Jungh et de Vriese) Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Spasial 50 m dan 12,5 m (Studi Kasus di KPH Banyumas Barat) [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Syarif NI. 2011. Perbandingan Penafsiran Visual antara Citra ALOS PALSAR
Resolusi 50 m dengan Citra LANDSAT Resolusi 30 m dalam Mengidentifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur) [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Wen W. 2008. Wetland Change Prediction Using Markov Cellular Automata
Lampiran 1
Tabel tutupan lahan dan tapak hasil observasi lapang
No Titik Observasi Tutupan Lahan Tapak Koordinat
Lat. Long.
51
Lampiran 1 (lanjutan)
No Titik Observasi Tutupan Lahan Tapak Koordinat
Lat. Long.
39 P229 Permukiman Kering -3,48566003 114,85334001 40 307 Permukiman Kering -3,44056003 114,84416996 41 306 Permukiman Kering -3,44959002 114,84421003 42 305 Permukiman Kering -3,45861004 114,84424003 43 300 Permukiman Kering -3,44060001 114,83519001 44 292 Permukiman Kering -3,44063002 114,82620000 45 105 Permukiman Kering -3,32414000 114,60118001 46 282 Perkebunan karet Kering -3,51288001 114,81750998 47 P4A Perkebunan karet Kering -3,53039945 114,80735019 48 273 Perkebunan karet Kering -3,53097000 114,80860001
49 274 Sawah Basah -3,52194998 114,80857001
50 125 Sawah Basah -3,57683997 114,62908999
51 167 Sawah Basah -3,33283002 114,69103997
52 162A Sawah Basah -3,59636175 114,69795965
53 157 Sawah Basah -3,36898000 114,68219999
54 156A Sawah Basah -3,39868781 114,67607114
55 133 Sawah Basah -3,60384998 114,64717001
56 131 Sawah Basah -3,60388996 114,63818000
57 117 Sawah Basah -3,41435996 114,61947997
58 115 Sawah Basah -3,60396003 114,62021003
59 110 Sawah Basah -3,40535997 114,61046004
60 102 Sawah Basah -3,39636996 114,60144002
61 95 Sawah Basah -3,43252002 114,59258999
Lampiran 1 (lanjutan)
No Titik Observasi Tutupan Lahan Tapak Koordinat
Lat. Long.
77 P8A Semak belukar Kering -3,47004354 114,81022350 78 P3A Semak belukar Kering -3,56210332 114,81805178 79 P260 Semak belukar Kering -3,50341542 114,82534588 80 299 Semak belukar Kering -3,45865002 114,83526000 81 291 Semak belukar Kering -3,46771002 114,82630997 82 283 Semak belukar Kering -3,46775000 114,81733002 83 245 Semak belukar Kering -3,44085004 114,77230998
Lampiran 2
Hasil perhitungan biomasa lapang
No Titik
Observasi Tutupan Lahan
Biomasa Koordinat
(ton/ha) Lat. Long.
RINGKASAN
ANOM KALBUADI. E14060325. Identifikasi Hutan Lahan Basah Menggunakan Citra ALOS PALSAR di Kalimantan Selatan. Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing olehI NENGAH SURATI JAYA.
Ekosistem hutan lahan basah memiliki arti penting karena merupakan sistem penyangga kehidupan, sumber air, sumber pangan, penjaga keanekaragaman hayati, dan pengatur iklim mikro. Luas lahan basah di Indonesia menurut Davies et al. (1995) adalah sekitar 38 juta hektar. Selain itu, menurut Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (2004) Indonesia memiliki sekitar 40,5 juta hektar lahan basah. Sedangkan menurut Mulyani dan Las (2008), Indonesia memiliki sekitar 40,2 juta hektar lahan basah. Luas lahan basah di Indonesia tersebut bervariasi sehingga dibutuhkan pengembangan teknologi penginderaan jauh dalam pemantauan ekosistem lahan basah.
Pemerintah Jepang meluncurkan satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) yang membawa sensor radar pada tahun 2006. Salah satu jenis sensornya adalah PALSAR (Phased Array Type L-band Shynyhetic Aperture Radar). Citra ALOS PALSAR termasuk citra yang masih baru dan metode interpretasi menggunakan citra tersebut juga belum berkembang. Penggunaan data citra dari sensor radar untuk kehutanan juga relatif belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan pengujian kemampuan citra tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan penelitian tentang kemampuan citra ALOS PALSAR dalam membangun teknik identifikasi hutan lahan basah.
Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR dalam identifikasi hutan lahan basah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Identifikasi hutan lahan basah menggunakan citra ALOS PALSAR perekaman bulan Juni tahun 2009 dengan resolusi 50 m, dengan metode klasifikasi tidak terbimbing, analisis separabilitas dengan ukuran Transformed Divergence (TD), dan analisis akurasi. Hardware yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dilengkapi software Erdas Imagine Ver 9.1 dan ArcView GIS Ver 3.2.
Penelitian ini menemukan bahwa hutan lahan basah yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m adalah hutan rawa bersama-sama dengan semak belukar basah (rawa) dan kebun campuran serta hutan mangrove bersama-sama dengan semak belukar tinggi. Hasil evaluasi akurasi menunjukkan bahwa tingkat keakuratan teknik identifikasi hutan lahan basah yang dibangun cukup baik dengan nilai overall accuracy sebesar 73.49 % dan kappa akurasi sebesar 65.75 %.