Di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor
ERDA SUCIYANI RUSED
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NILAI EKONOMI KEGIATAN REHABILITASI DALAM MENGHASILKAN AIR DAN MENYERAP KARBON
Di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ERDA SUCIYANI RUSED
PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Erda Suciyani Rused Dibimbing oleh:
Hendrayanto dan Bramasto Nugroho.
PENDAHULUAN: Tingginya laju deforestasi yang terjadi di Indonesia akibat degradasi hutan dan lahan menyebabkan semakin meningkatnya luas lahan kritis. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sehingga diharapkan dapat mengembalikan fungsi lahan. Hasil kegiatan RHL di Blok S Cipendawa telah menghasilkan manfaat berupa manfaat nyata dan manfaat tidak nyata. Manfaat langsung dari kegiatan RHL ini yang tidak disadari oleh masyarakat adalah nilai jasa lingkungan, yaitu kemampuan pohon untuk menyerap karbondioksida dan meningkatkan hasil air. Untuk dapat mengetahui manfaat yang dihasilkan dari kegiatan RHL secara komprehensif, perlu dilakukan penilaian terhadap manfaat nyata maupun manfaat tidak nyata yang dihasilkan dari kegiatan tersebut khususnya terhadap kemampuan menghasilkan air dan menyerap karbon. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi areal kegiatan rehabilitasi lahan dalam menghasilkan air dan menyerap karbon (di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor).
METODE PENELITIAN: Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni – Juli 2008 di lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa, Megamendung, Kabupaten Bogor, dengan luas sekitar 4,2 ha. Obyek dalam penelitian ini adalah lahan rehabilitasi yang didalamnya terdapat mata air dan tegakan, yaitu pohon dengan diameter > 5 cm. Sedangkan subyek penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar lahan rehabilitasi, yaitu masyarakat Kampung Bengkok. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pita ukur, haga, tally sheet, alat tulis, tongkat ukur, stopwatch, ember, kuesioner, GPS, Software Microsoft Office 2007, Arc View 3.3 + extentions, data monografi desa, dan kamera. Data yang dikumpulkan meliputi jenis, jumlah, tinggi, dan diameter setinggi dada pohon, berat jenis kayu, debit mata air, harga kayu berbagai jenis, harga air/tarif PDAM kabupaten bogor, kebutuhan air, biaya pengadaan air, penilaian masyarakat terhadap air.
HASIL DAN KESIMPULAN: Nilai ekonomi total jasa lingkungan yang dihasilkan dari lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa sebesar Rp 49.121.460 /tahun. Nilai tersebut terdiri dari nilai ekonomi penyerapan karbondioksida sebesar Rp 16.270.266 /tahun, nilai ekonomi air sebesar Rp 24.483.600 /tahun, dan nilai ekonomi pencegahan erosi sebesar Rp 9.092.670 /tahun. Jika pemilik lahan ingin mengambil manfaaat langsung berupa hasil kayu, maka nilai ekonomi total untuk lahan rehabilitasi Blok S Cipendawa menjadi Rp58.332.652 /tahun.
Economic Value of Rehabilitation Activities in Producing Water and Sequestering Carbon in Block S, Cipendawa, Megamendung,
Bogor.
by:
ERDA SUCIYANI RUSED, under academic supervision of
HENDRAYANTO and BRAMASTO NUGROHO.
INTRODUCTION. High rate of deforestation which occurs in Indonesia, accompanied by land degradation, causes the progressive increase of critical land area size. One effort to overcome this problem is by conducting forest and land rehabilitation (RHL), so that land function can be hopefully restored. Results of RHL activities in Block S, Cipendawa have produced benefits in the form of tangible and intangible benefits. Direct benefits from this RHL activity which were not realized by the people, were the values of environmental services, namely the ability of trees to absorb carbon dioxide and increase the water yield. For obtaining comprehensive information on the benefits of RHL activities, there is a need for evaluation of tangible and intangible benefits produced from such activities, particularly those related with the ability of trees to produce water and absorb carbon. The objective of this research was determining the economic value of area of land rehabilitation activities, in producing water and absorbing carbon (in block S, Cipendawa, Megamendung, Bogor).
MATERIALS DAN METHOD. This research was conducted in the period between June – July 2008 in rehabilitation land of Block S, Cipendawa, Megamendung, District of Bogor, with area size of approximately 4.2 ha. Object in this research was rehabilitation land which contained water spring and stand of trees with diameter of > 5 cm. On the other hand, subject in this research were people living around the rehabilitation area, namely the community of Kampung Bengkok (Hamlet of Bengkok). Equipments used in this research comprised measurement tape, haga, tally sheet, writing materials, measurement stick, stopwatch, pail, questionnaire, GPS, software Microsoft Office 2007, software Arcview 3.3 + extensions, Software Minitab 14, data of village monography, and camera. The collected data comprised species, numbers , height, diameter at breast height, and specific gravity of trees; yield of water, price of various kinds of wood, price of water (tariff imposed by water company of Bogor district), base tariff of electricity from State Electric Power Company, the quantitative need for water, cost for water procurement, and evaluation of water by the people.
RESULTS AND CONCLUSIONS. Total economic value of environmental services produced by rehabilitation land of Block S, Cipendawa was as much as Rp 49.121.460 /year. Such values consisted of economic value of carbon dioxide absorption as much as Rp 16.270.266 /year, economic value of water as much as Rp 24.483.600 /year, and economic value to avoid an erotion as much as Rp 9.092.670 /year. If the land owner wanted to obtain direct benefit in the form of wood products, the total economic value for rehabilitation land of block S, Cipendawa would be Rp 58.332.652 /year.
Kegiatan Rehabilitasi Dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi Dalam Menghasilkan Air dan Menyerap Karbon di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor
Nama : Erda Suciyani Rused
NIM : E14204077
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Hendrayanto. M.Agr Dr.Ir. Bramasto Nugroho, MS
NIP 131 578 788 NIP 131 671 598
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 1 Juni 1986 dari pasangan Eddy dan Erlin Rusmini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Setelah lulus dari SMU Negeri 2 Tangerang tahun 2004, Penulis melanjutkan studi di Program Studi Budidaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun yang sama.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Bendahara Divisi Primata UKM UKF IPB tahun 2004-2005, Anggota DKM ‘Ibaadurrahman Fahutan IPB tahun 2004-2004-2005, Bendahara Internal UKM UKF IPB tahun 2005-2006, Pengurus Himpro Tree Grower Community (TGC) Divisi Kebakaran Hutan tahun 2006-2007. Penulis juga pernah mengikuti magang di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) pada tahun 2005-2006. Selama mengikuti kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturaden, Cilacap, dan Getas, Jawa Tengah. Selain itu Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT. Aneka Tambang (PT ANTAM) Cikotok, Banten dengan aspek kajian evaluasi keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmannirrohim,
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada sang pemimpin para nabi dan rasul, yakni Muhammad SAW, kepada seluruh keluarga serta para sahabat beliau, juga orang yang mengikuti kebaikan mereka hingga hari pembalasan.
Judul penelitian ini adalah “ Nilai Ekonomi Kegiatan Rehabilitasi dalam Menyerap Karbon dan Menghasilkan Air di Blok S Cipendawa Megamendung, Bogor”. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai ekonomi dari areal hasil kegiatan rehabilitasi lahan yang meliputi nilai serapan karbon dan nilai air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada stakeholders tentang nilai hutan yang sesungguhnya dan dapat memberikan masukan dalam menentukan kebijakan sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan secara lestari.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr selaku Dosen Pembimbing I dan Dr.Ir.Bramasto Nugroho, MS selaku Dosen Pembimbing II.
2. Kedua orang tua dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.
3. Bapak Bambang Istiawan, Ibu Rosita, dr. Untung, Mas Ade dan rekan-rekan lainnya dari Kelompok Tani Megamendung selaku pelaksana kegiatan rehabilitasi lahan atas bantuan yang diberikan dan kebersamaannya.
4. Ibu Atikah dan rekan-rekan dari Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB atas bantuan serta doanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembacanya.
ii
2.10. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Hutan ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 22
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 22
3.2. Bahan dan Alat ... 22
3.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan dan Sumber Data ... 22
3.4. Penentuan Responden ... 23
3.5. Penilaian Ekonomi Manfaat Rehabilitasi ... 23
3.5.1 Penilaian Ekonomi Penyerapan Karbondioksida ... 24
EVALUASI AKURASI KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH
STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN
ERIS RISWANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
EVALUASI AKURASI KLASIFIKASI PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI RENDAH
STUDI KASUS DI PULAU KALIMANTAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
ERIS RISWANTO E14104025
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
Eris Riswanto. E14104025. Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah (Studi Kasus di Pulau Kalimantan)
Dibimbing oleh: Dr. Ir. M Buce Saleh, M S dan Prof. Dr. Ir I Nengah Surati Jaya, M. Agr
Beragamnya data mengenai kondisi hutan Indonesia diakibatkan oleh beragamnya data-data, metode, dan dasar klasifikasi yang digunakan. Untuk areal yang sangat luas, inventarisasi terestrial membutuhkan biaya dan waktu yang sangat besar. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan penggunaan biaya dan waktu tersebut adalah pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sistem satelit. Di negara tropis seperti Indonesia, liputan awan, kabut dan asap merupakan kendala besar dalam menggunakan penginderaan jauh sistem optis. Faktor liputan awan, kabut dan asap akan sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan objek dipermukaan bumi, sehingga seringkali terjadi kesalahan interpretasi dan dapat mengakibatkan tingkat ketelitian yang rendah. Objek di bawah awan, kabut dan asap dapat diidentifikasi menggunakan Radar. Satelit inderaja ALOS yang telah diluncurkan tahun 2006 oleh Jepang salah satu sensornya adalah Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang lebih lebar daripada SAR konvensional.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi rendah dalam klasifikasi penutupan lahan skala regional di Pulau Kalimantan. Data yang digunakan adalah Citra ALOS PALSAR resolusi 200x200 m tahun 2007 dan data spasial dijital berupa Peta Penutupan Lahan Pulau Kalimantan Tahun 2003, Peta Wilayah Administrasi Pemerintahan, Peta Kawasan Hutan, dan Peta dasar Tematik Kehutanan. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcView GIS 3.2 dan Erdas Imagine 9.1. Rangkaian metode penelitian terdiri dari pra-pengolahan citra, pengolahan citra, analisis separabilitas, evaluasi akurasi dan pengolahan data spasial.
Penelitian ini menunjukan bahwa citra ALOS PALSAR resolusi rendah mampu membedakani objek secara visual ke dalam 6 kelas penutupan lahan. Keenam kelas penutupan lahan tersebut adalah badan air, lahan terbuka, sawah, semak, perkebunan, dan hutan. Analisis separabilitas keenam kelas penutupan lahan tersebut masih menunjukan adanya dua pasangan kelas-kelas yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, kemudian dilakukan klasifikasi ulang kedalam empat kelas penutupan saja. Keempat kelas penutupan tersebut adalah badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang, dan vegetasi rapat. Hasil analisis separabilitas menunjukan bahwa keempat pasangan kelas penutupan lahan tersebut dapat dipisahkan secara baik (good). Dari hasil evaluasi akurasi diketahui bahwa besarnya Akurasi Umum (Overall Accuracy) dan Akurasi Kappa (Accuracy Kappa) pada penelitian ini adalah 88,21% dan 85,26%. Berdasarkan hasil klasifikasi dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi rendah (resolusi spasial 200 m x 200 m) diketahui luas penutupan lahan berupa vegetasi jarang adalah 11.459.400 ha atau 21,33%, vegetasi sedang sebesar 5.070.008 ha atau 9,44%, dan vegetasi rapat adalah sebesar 36.806.058 ha atau 68.52%. Sementara itu, luas penutupan lahan berdasarkan Peta Tutupan Lahan tahun 2003 adalah 802.233 ha atau 1,51% untuk vegetasi jarang, 20.841.843 ha atau 39,32% untuk vegetasi sedang, 27.583.553 ha atau 52,04% untuk vegetasi rapat dan 2.457.825 ha atau 4,64% untuk penutupan lahan berupa awan
SUMMARY
ERIS RISWANTO. E14104025. The Evaluation of Land Cover Classification Accuracy use ALOS PALSAR Low Resolution Image (Case Study in Borneo Island). Under Supervision of Dr. M Buce Saleh and Prof. Dr I Nengah Surati Jaya.
A wide variety of data and information on forest cover in Indonesia may be due to the variety of source of data, date of acquisition, and methods applied. For a wide area, terrestrial inventory methods are usually costly and time consuming. One alternative that may be used to minimize the cost and time is satellite based remote sensing technology. In the tropical country such Indonesia, cloud, fog, and smoke mainly limit the use of optical remote sensing during identification process and object monitoring on earth surface. Objects under the cloud, fog, and smoke could be identified using using Radar images. ALOS is remote sensing satellite which launched by Japan in 2006. One of its censor is PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar). PALSAR is an advanced development from SAR which carried by the former satellite JERS-1. This is the microactive wave censor which can observe day and night without weather influence. Through one observation mode that is Scan SAR, this censor can observe earth surface in wide area than the conventional SAR.
The objective of this study is to evaluate the ability of low resolution ALOS PALSAR image to classify regional scale land cover in Kalimantan Island. ALOS PALSAR image have 200 x 200 m resolution acquired in 2007. Other supporting data used are Land Cover Map year 2003, Administration Border Map, Forest Area Map, and the Base Thematic Forestry Map. The data were analyzed using GIS 3.2 and Erdas Imagine 9.1. The method are consisted of image pre-processing, image pre-processing, separability accuracy evaluation and spatial analysis
The study shows that low resolution ALOS PALSAR image could classify land cover into six classes. There are water body, rice field, shrub/bush, estate crop, and forest. Separability analysis for these classes show that there are 2 unseparable class pairs. These classes were then reclassified into four classes. The new classes are water body, sparse vegetation, medium density vegetation, and high density vegetation. The result of separability analysis shows that the these class separabilities are good (well separated). The accuracy of the classification are 88,21% for Overall Accuracy and 85,26% for Kappa Accuracy. Based on ALOS low resolution images (200 m x 200 m spatial resolution, the acreages of each land cover are 11.459.400 hectares (21,33%) for sparse vegetation, 5.070.008 hectares (9,44%) for medium density vegetation, and 36.806.058 hectares (68,52%) for high density vegetation. While the acreages of each land cover based on Land Cover Map year 2003 are 802.233 hectares (1,51%) for sparse vegetation, 20.841.843 hectares (39,32%) for medium density vegetation, 27.583.553 hectares (52,04%) for high density vegetation and 2.457.825 hectares (4,64%) for smoke.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Akurasi
Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi
Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan adalah benar-benar hasil karya saya
sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan
sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2009
Judul : Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan
Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah
Studi Kasus di Pulau Kalimantan
Nama Mahasiswa : Eris Riswanto
Nomor Pokok : E14104025
Departemen : Manajemen Hutan
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Dr. Ir. M Buce Saleh, M.S Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr NIP. 131 284 620 NIP. 131 578 785
Mengetahui :
Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Hendrayanto , M. Agr NIP. 131 578 788
KATA PENGANTAR
Dewasa ini tantangan terhadap degradasi hutan semakin meningkat.
Sementara itu para pengambil kebijakan memerlukan data/informasi yang
mutakhir. Oleh karena itu penulis terinspirasi untuk mengembangkan metode
pengambilan data yang cepat, akurat, dan murah. Salah satu teknologi yang dapat
dimanfaatkan untuk pengambilan data tersebut adalah penginderaan jauh baik
menggunakan citra optik maupun radar
Karya Ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen
Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan
Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau
Kalimantan
Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
kajian ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat berkontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Januari 2009
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis 1 Mei 1985. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Engkos Kosasih
dan Ibu Uti Sumiati. Penulis menyelesaikan Taman Kanak-kanak
pada TK Puspawaringin Ciamis pada tahun 1991~1992. Sekolah
Dasar Negeri Sukamaju pada tahun 1992~1998.
Pada tahun 1998~2001 penulis melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN) Buniseuri, kemudian Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Ciamis
pada tahun 2001~2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di program Strata 1
Departemen Manajemen Hutan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Mahasiswa IPB).
Selama masa studi penulis pernah mengikuti kegiatan Praktek pengenalan
hutan pada tahun 2007 di Cilacap-Baturaden, Jawa Tengah dan Praktek
Pengelolaan Hutan di Getas Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tahun 2008 penulis
mengikuti praktek kerja lapang di PT. Bintuni Utama Murni Woods Industries
(BUMWI), Papua Barat. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Sosiologi
Umum pada tahun 2006~2007, mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya Hutan
pada tahun 2006~2007, dan mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumber Daya Hutan
pada tahun 2007~2008. Selain itu juga penulis aktif di Paguyuban Mahasiswa
Galuh Ciamis (PMGC), International Forest Students Association (IFSA), Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2005~2006 dan Forest
Management Student Club (FMSC) tahun 2006~2007.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada
Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji hanyalah milik Allah SWT karena hanya dengan kasih
sayangnya akhirnya skripsi dengan judul Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi Rendah, Studi Kasus di Pulau Kalimantan dapat diselesaikan.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan karya ini tentunya tidak
terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Mamah, Bapa dan ade tercinta, yang telah memberikan semua hal yang
terbaik, kasih sayang, cinta dan ketulusan, serta yang selalu berkorban dalam
menyekolahkan sampai menyelesaikan program sarjana ini.
2. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, M.S sebagai Pembimbing I penulisan skripsi
yang telah memberikan nasihat, bimbingan dan arahan serta kesabaran dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr sebagai Pembimbing II yang
telah memberikan masukan dalam proses penyusunan skripsi.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc sebagai Dosen penguji dari
Departemen Hasil Hutan
5. Bapak Ir. Agus Priyono, M.S sebagai Dosen penguji dari Departemen
Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata.
6. Pak Uus dan Mas Edwin atas semua ilmu, bantuan dan motivasi yang telah
diberikan.
7. Rekan-rekan Manajemen Hutan 41: Pipit, Fitri, Ayu, Lastri, Clod, Nayu,
Linda, Lita, Edo, Nur, Nyoti, Ilyas, Venti, Topan, Sudiah, Priyo, Amri, Iis,
Pampam, Sandi, Dodo, Juli, Satrio, Budi, Babeh, Eko, Rejos, Puji, Yunus,
Vivi, Wati, Clara Rosa Tina, Riski, Fatah, Gege, Ivan, Alif, Huda, Catur, Feri,
Kholifah, Intan, dan Heri
8. Sahabat yang tidak akan terlupakan : Nanang, Rizqy, dan Soeganda
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut memberikan
iv
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN
B. Data, Software, dan Hardware... 3
C. Metode Pengolahan Data ... 12
1. Pra-pengolahan Citra ... 12
2. Pengolahan Citra ... 15
3. Evaluasi Ketelitian Klasifikasi ... 19
4. Pengolahan Data Spasial ... 21
III. KEADAAN UMUM PULAU KALIMANTAN A. Letak Geografis ... 24
B. Topografi ... 24
C. Iklim ... 25
D. Tipe Hutan ... 27
E. Wilayah Administrasi ... 28
F. Tutupan Lahan dan IUPHHK Hutan Alam ... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Objek ... 31
C. Analisis Separabilitas ... 40
D. Evaluasi Akurasi Hasil Klasifikasi ... 44
E. Luas Penutupan Lahan ... 50
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 57
vi
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Karakteristik citra ALOS ... 4
2. Deskripsi kelas penutupan lahan ... 17
3. Kriteria keterpisahan berdasarkan Transformed Divergence (TD) ... 19
4. Jumlah piksel untuk analisis akurasi ... 20
5. Bentuk matriks kesalahan ... 21
6. Jumlah administrasi pemerintahan tiap provinsi di P. Kalimantan ... 28
7. Luas tutupan lahan di Pulau Kalimantan ... 29
8. Penyebaran IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif (SK. Definitif) setiap provinsi keadaan s/d tahun 2006 ... 30
9. Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra ALOS Palsar pada
kombinasi band 1-2-1 di P. Kalimantan ... 33
10. Nilai statistik tiap kelas penutupan lahan ... 38
11. Evaluasi separabilitas 7 kelas penutupan lahan pada citra ALOS
PALSAR dengan kombinasi band 1-2 ... 40
12. Evaluasi separabilitas citra ALOS PALSAR dengan metode
Transformed Divergence ... 43
13. Matriks kesalahan pada citra ALOS PALSAR ... 45
14. Perbandingan tutupan lahan antara hasil klasifikasi pada citra
ALOS PALSAR dengan peta Tutupan Lahan ... 47
15. Perbandingan luas masing-masing penutupan lahan ... 50
16. Luas tutupan lahan setiap provinsi di P. Kalimantan ... 52
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Satelit ALOS... 4
2. Prinsip geometri dari Palsar ... 6
3. Bentuk pantulan pada berbagai macam permukaan objek ... 7
4. Peta citra ALOS Palsar P. Kalimantan ... 8 14. Objek penutupan lahan berupa perkebunan ... 36
15. Objek penutupan lahan berupa lahan terbuka ... 36
16. Objek penutupan lahan berupa hutan ... 36
17. Grafik karakteristik spektral kelas penutupan lahan pada citra
ALOS PALSAR ... 37
18. Grafik nilai rata-rata DN setiap kelas penutupan lahan pada citra
ALOS PALSAR ... 39
19. Peta tutupan lahan Pulau Kalimantan ... 49
20. Diagram pie persentase penutupan lahan pada Peta Tutupan Lahan
tahun 2003 dan Citra ALOS PALSAR tahun 2007 ... 50
21. Diagram pie perbandingan persentase penutupan lahan pada
masing-masing provinsi di Kalimantan antara Peta Tutupan Lahan
tahun 2003 dengan citra ALOS PALSAR tahun 2007... 54
22. Diagram pie persentase penutupan lahan pada kawasan Hutan
Lindung (a), Hutan Konservasi (b), dan Hutan Produksi (c)
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Nilai GCP hasil koreksi geometrik citra ALOS PALSAR ... 61
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Pangan Dunia (FAO) tahun 2006 dalam Djatmiko (2006)
menyebutkan luas hutan Indonesia adalah 88.000.000 ha. Besarnya luas hutan
tersebut menempatkan Indonesia sebagai Negara yang memiliki luas hutan
kedelapan terbesar didunia. Dalam waktu tahun 2000 ~ 2005, laju pengurangan
hutan mencapai angka 1,87 juta hektar per tahun atau sebesar 2% per tahun yang
setara dengan 51 kilometer persegi setiap menitnya. Sedangkan Departemen
Kehutanan dalam Statistika Kehutanan tahun 2006 menyebutkan luas hutan
Indonesia adalah sebesar 93.924.330 ha dengan laju pengurangan hutan pada
kurun waktu 2000 ~ 2005 mencapai 1,08 juta ha per tahun.
Beragamnya data mengenai kondisi hutan tersebut disebabkan belum
adanya satu standar baku yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi
hutan Indonesia. Banyak kalangan berusaha menggambarkan kondisi hutan
Indonesia dengan memaparkan data, metodologi dan dasar klasifikasi yang
berbeda-beda. Departemen Kehutanan dengan berbagai keterbatasannya hanya
dapat mengeluarkan berbagai data dan informasi mengenai kehutanan secara
berkala, yaitu dalam kurun waktu tiga tahun sekali.
Ketersediaan data yang akurat mengenai penutupan lahan selama kurun
waktu tertentu sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan. Untuk areal yang sangat luas, inventarisasi terestrial membutuhkan
biaya, waktu, dan tenaga yang sangat besar. Salah satu cara alternatif yang dapat
digunakan untuk menekan penggunaan biaya, waktu, dan tenaga yang besar
tersebut adalah pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sistem satelit.
Howard (1996) menjelaskan, bahwa terapan penginderaan jauh sistem
satelit bidang kehutanan berkembang sangat cepat selaras dengan perkembangan
pemrosesan citra digital satelit sumberdaya bumi. Teknologi penginderaan jauh
satelit dapat digunakan untuk memonitor dan mengklasifikasikan penutupan dan
penggunaan lahan yang luas tanpa terjun langsung ke lapangan (inventarisasi
2
penginderaan jauh ini untuk melakukan monitoring terhadap kondisi hutan
Indonesia.
Sebagai negara tropis, liputan awan dan asap merupakan kendala besar
dalam menggunakan penginderaan jauh sistem optis. Faktor liputan awan akan
sangat mengganggu dalam proses identifikasi dan pemantauan objek dipermukaan
bumi, sehingga seringkali terjadi kesalahan interpretasi dan dapat mengakibatkan
tingkat ketelitian yang rendah. Satelit inderaja ALOS yang telah diluncurkan
tahun 2006 oleh Jepang salah satunya sensornya adalah Phased-Array type
L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang dipasang pada satelit ALOS,
merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit
pendahulunya, JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang
dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi
cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini
memungkinkan dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan
area yang lebih lebar daripada SAR konvensional (LAPAN, 2007). Citra satelit
ALOS PALSAR merupakan sensor satelit aktif yang baru diluncurkan, sehingga
sebelum dipergunakan secara luas harus ada penelitian pendahuluan tentang
sejauh mana kemampuan citra satelit ALOS PALSAR tersebut dalam melakukan
pengamatan permukaan bumi.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan citra
ALOS PALSAR resolusi rendah dalam klasifikasi penutupan lahan skala regional
di Pulau Kalimantan.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan citra yang akan
digunakan untuk meningkatkan akurasi pengambilan data pada daerah
yang memiliki tingkat gangguan berupa awan yang tinggi.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni ~ Agustus 2008 dengan daerah
penelitian Pulau Kalimantan yang secara geografis terletak pada 40 LU ~ 40 LS
dan 1090 ~ 1190 BT. Kegiatan pengolahan dan analisis data dilakukan di
Laboratorium Remote Sensing dan GIS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
B. Data, Software dan Hardware
Data yang digunakan selama penelitian terdiri dari :
1. Citra Satelit ALOS PALSAR Resolusi 200 m x 200 m tahun 2007
ALOS (Advance Land Observing Satellite) yaitu satelit milik Jepang
yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang
dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS dilengkapi dengan tiga
instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument
Stereo Mapping (PRISM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer
type-2 (AVNIR-2) dan Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar
(PALSAR). Dalam melakukan operasinya, walaupun periode kunjungan ulang
(re-visited period) dari satelit ALOS adalah 46 hari, namun ALOS mampu
melakukan observasi pada tempat-tempat di dunia dalam 2 hari untuk
kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi-kondisi darurat. Pada
2
Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS
Data Keterangan Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006
Alat Peluncuran Roket H-IIA
Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat Satelit 4000 Kg
Power 7000 W
Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun
Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurrent
Repeat Cycle: 46 days Sub Cycle: 2 days Tinggi Lintasan 691,65 Km diatas Equator Inklinasi 98,16 0
Akurasi Ketinggian 2.0 x 10-4 0 (dengan GCP) Akurasi posisi 1 m (off-line)
Kecepatan Perekaman
240Mbps (via Data Relay Technology Satellite)
120Mbps (Transmisi Langsung) Onboard Data
Recorder
Solid-state data recorder (90Gbytes)
Sumber : NASDA, 2006
Untuk dapat bekerja dengan ketiga instrumen diatas, ALOS dilengkapi
dengan dua teknologi yang lebih maju : pertama teknologi yang mampu
mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi,
dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dan ketinggian yang
lebih tepat.
Gambar 1. Satelit ALOS
Spesifikasi Instrumen Satelit ALOS
Panchromatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM)
Panchromatik Remote-sensing Instrument Stereo Mapping (PRISM)
adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor
pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m. Dalam melakukan operasinya,
sensor ini memiliki tiga sistem optis yang memungkinkan data dapat direkam
pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir,
depan (forward) dan belakang (backward). Dengan kemampuan seperti ini,
dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data)
dengan tingkay akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di
sensor PRISM ini memberikan lebar sapuan 70 km, sementara teleskop
observasi arah depan dan belakang (triplet mode) memberikan masing-masing
lebar sapuan 35 km.
Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)
Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)
merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral
untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi
spasial lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor AVNIR-2 dilengkapi dengan
kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi
tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi
dengan sudut operasi (pointing angle) hingga sebesar ± 440. kemampuan ini
diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang
diinginkan.
Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)
Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang
dipasang pada satelit ALOS, merupakan pengembangan lebih lanjut dari
sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. sensor ini
merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi
siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu
mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan dapat
melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup
6
SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu dari tipe SLAR
(Side Looking Airbone Radar) yang menggunakan antena 1-2 meter, tetapi
mampu mengubah ukuran jangkauannya menjadi lebih besar (sampai 600
meter) namun dengan pasokan energi yang lebih besar.
ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada
elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan/sapuan yang
lebih lebar daripada SAR konvensional. Citra disintetis dengan melarik
incidence angle dan secara berurutan membuat citra untuk posisi sorotan yang
berbeda. Masing-masing sorotan membentuk daerah sub-sapuan (sub-swat).
Prinsip ScanSAR adalah berpatungan dalam waktu radar antara dua atau lebih
sub-sapuan yang terpisah, sehingga diperoleh liputan citra yang penuh. Proses
identifikasi obyek dapat dilihat pada Gambar 2.
Kekasaran permukaan adalah fungsi variasi relief permukaan bumi yang
secara kuat mempengaruhi hamburan balik radar (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Kekasaran permukaan menyebabkan perbedaan pantulan pulsa radar. Perbedaan
pantulan radar dapat digolongkan berdasarkan tiga jenis permukaan obyek yaitu
pantulan baur (pantulan ke segala arah) menyebabkan rona cerah, pada permukaan
kasar seperti daerah berbatu, vegetasi atau hutan yang heterogen dan air. Pantulan
cermin (arah pantulan berlawanan dengan arah datangnya sinar) menyebabkan
rona gelap pada permukaan obyek yang halus, seperti permukaan air tenang dan
permukaan tanah yang diratakan atau dikeraskan. Pantulan sudut (pantulan
kembali kearah sensor) menyebabkan rona sangat cerah dan melebar pada obyek
yang bersudut siku-siku seperti lereng terjal atau cliff (Purwadhi, 2001).
8
Gambar 4. Peta citra ALOS PALSAR Pulau Kalimantan
2. Data Spasial Dijital
a. Peta Penutupan Lahan P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 250.000
b. Peta Wilayah Administrasi P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 1000.000
c. Peta Fungsi Hutan P. Kalimantan tahun 2003 Skala 1 : 250.000
Gambar 5. Peta Penutupan Lahan Pulau Kalimantan
Gambar 6. Peta Wilayah Administrasi Pemerintahan Pulau Kalimantan
Gambar 7. Peta Fungsi Hutan Pulau Kalimantan
12
Gambar 8. Peta Dasar Tematik Kehutanan Pulau Kalimantan
Software dan Hardware
Perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam penelitian ini adalah
seperangkat komputer pribadi (personal computer) dengan perangkat lunaknya
(software) yang terdiri dari Arcview 3.2 dan Erdas Imagine Ver 9.1.
C. Metode Pengolahan Data 1. Pra-Pengolahan Citra Koreksi Geometrik (Rektifikasi)
Koreksi geometrik dilakukan dengan pemilihan titik-titik kontrol lapangan
(Ground Control Point) yang bertujuan untuk menyamakan proyeksi citra dengan
peta. Koreksi geometrik merupakan suatu proses melakukan transformasi data
Koreksi geometrik ada dua macam yaitu, koreksi geometrik citra ke citra
(image to image rectification) dan koreksi geometrik citra ke peta (image to map
rectification). Pada penelitian ini dilakukan koreksi geometrik citra ke peta. Peta
yang digunakan sebagai referensi adalah Peta Dasar Tematik Kehutanan yang
merupakan peta acuan yang digunakan di dunia kehutanan.
Tahap-tahap melakukan koreksi geometrik
1. Memilih titik kontrol lapangan (Ground control point) sebanyak 83 titik.
GCP tersebut sedapat mungkin adalah titik-titik atau obyek yang tidak mudah
berubah dalam jangka waktu lama. GCP tersebar merata pada citra yang akan
dikoreksi.
Gambar 9. GCP yang terpilih pada citra asli (kiri) dan data acuan (kanan)
2. Membuat persamaan transformasi yang digunakan untuk melakukan
interpolasi spasial. Persamaan yang digunakan adalah persamaan dengan
Orde I disebut juga Affine transformation (diperlukan minimal 3 GCP):
p a a X a Y
l b b X b Y
o
o
' '
= + +
= + +
1 2
14
3. Menghitung kesalahan (RMSE, root mean squared error) dari GCP yang
terpilih. Besarnya nilai RMSE yang diperoleh adalah 0,00027. Nilai RMSE
tersebut dianggap telah memadai untuk koreksi geometrik. Kesalahan rata-rata
dari rektifikasi ini dihitung sebagai berikut:
(
) (
2)
2RMS error = Xr−Xi + Yr−Yi
Keterangan :
Xr , Yr = Koordinat GCP pada sumbu X dan Y pada data acuan
Xi , Yi = Koordinat GCP pada sumbu X dan Y pada data asli
Selanjutnya untuk masing-masing GCP dapat dihitung sebagai berikut:
2 2
Secara skematis kesalahan dari GCP yang dapat ditolerir adalah sebesar radius
tertentu (RMSE). Kesalahan tersebut sesungguhnya terdiri atas kesalahan
kearah sumbu x (Easting) dan kearah sumbu Y (Northing). Total RMSE
dihitung dengan rumus berikut:
Kontribusi (Ei) masing-masing GCP ke-i pada total RMSE adalah:
i
E Ri T
=
Persamaan transformasi yang diperoleh dari titik-titik lapangan yang terpilih
adalah sebagai berikut :
p’ = -3,50549 + 1,02978X – 0,00019Y
l’ = 0,01207 – 0,000000019X + 1,02952Y
4. Melakukan interpolasi intensitas (nilai kecerahan) untuk membuat citra baru
dengan sistem koordinat yang ditentukan. Dalam proses ini juga menentukan
ukuran piksel output, sesuai dengan resolusi spasial yang dikehendaki, yang
umumnya disesuaikan dengan ukuran resolusi spasial data aslinya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nearest Neighbourhood
Interpolation (NNI). NNI adalah metode yang paling efisien dan paling
banyak digunakan karena tidak mengubah nilai DN (Dijital Number) yang asli
(Jaya, 2007).
2. Pengolahan Citra a. Klasifikasi
Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks pengolahan dijital dapat
diartikan sebagai suatu proses mengelompokan piksel kedalam kelas-kelas yang
ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Proses ini sering juga
disebut dengan segmentasi (segmentation). Kelas yang dibuat dapat berupa
sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang dikenali dilapangan atau berdasarkan
kemiripan yang dikelompokan secara statistik oleh komputer. Klasifikasi
diperlukan pada citra komposit agar lebih mudah dievaluasi karena dalam
klasifikasi objek atau fenomena dipermukaan bumi dari jumlahnya yang sangat
besar disederhanakan jumlahnya menjadi hanya beberapa kelas yang mudah
dianalisis.
Berdasarkan teknik pendekatannya klasifikasi dibedakan atas klasifikasi
tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing
(supervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing adalah klasifikasi yang
16
Kelas-kelas atau klaster yang terbentuk dalam klasifikasi ini sangat bergantung
kepada data itu sendiri. Dalam prosesnya, klasifikasi ini mengelompokan
piksel-piksel berdasarkan kesamaan atau kemiripan spektralnya. Sedangkan klasifikasi
terbimbing adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised).
Kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class
signature) yang diperoleh analis melalui pembuatan area contoh (training area).
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Maximum
Likelihood (Kemungkinan Maksimum). Metode tersebut dipilih karena
merupakan metode standar yang paling umum dilakukan. Dalam metode ini
dipertimbangkan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel
untuk dikelaskan kedalam kelas atau kategori tertentu. Peluang yang sering
disebut dengan prior probability ini dapat dihitung dengan menghitung
prosentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak
diketahui maka besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas.
b. Pembuatan Area Contoh (Training Area)
Pembuatan daerah contoh atau Training Area dilakukan untuk menentukan
penciri kelas (Class Signature). Pembuatan daerah contoh ini merupakan suatu
kegiatan mengidentifikasi prototife (cluster) dari sejumlah piksel yang mewakili
dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan (Jaya, 2007). Kegiatan ini
dilakukan dengan menentukan posisi contoh di lapangan dengan bantuan peta
penutupan lahan sebagai referensi untuk setiap kelas penutupan lahan.
Jumlah masing kelas yang diambil disesuaikan dengan
masing-masing luas penampakan. Secara teoritis, jumlah piksel yang perlu diambil untuk
mewakili setiap kelas adalah sebanyak N+1, dimana N = jumlah band yang
digunakan. Hal ini untuk menghindari matrik ragam-peragam yang singular,
dimana piksel per kelasnya tidak bisa dihitung. Namun pada prakteknya, jumlah
piksel per kelas untuk klasifikasi adalah 10N sampai 100N (Swain dan Davis,
Tabel 2. Deskripsi kelas penutupan lahan
No Kelas Penutupan Lahan
Tampilan Citra ALOS PALSAR
kombinasi Band 1-2-1 Foto Lapangan Deskripsi
1 Badan air
(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)
Lahan yang tergenang air tanpa ada vegetasi atau hutan yang menaunginya
2 Vegetasi jarang
(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)
Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk < 40%
2
Tabel 2 (Lanjutan)
No Kelas Penutupan Lahan
Tampilan Citra ALOS PALSAR
kombinasi Band 1-2-1 Foto Lapangan Deskripsi
3 Vegetasi Sedang
(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)
Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk ± 40 - 70%
4 Vegetasi Rapat
(Sumber : Lab. Inventarisasi SDH, IPB)
Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dengan % penutupan tajuk > 70%
3. Evaluasi Ketelitian Klasifikasi
Ketelitian hasil klasifikasi dapat dihitung dengan beberapa ukuran
ketelitian antara lain :
a. Analisis Separabilitas
Separabilitas dari penciri kelas adalah ukuran stastistik antar dua kelas.
Separabilitas ini dapat dihitung untuk setiap kombinasi band. Ukuran ini sekaligus
digunakan untuk mengetahui kombinasi band mana saja yang memberikan
separabilitas terbaik. Pengukuran separabilitas dilakukan untuk memperoleh
kualitas ketelitian klasifikasi. Metode yang dipilih yaitu Transformed Divergence
(TD) karena selain baik dalam mengevaluasi keterpisahan antar kelas, juga
memberikan estimasi yang terbaik untuk pemisahan kelas. Kriteria keterpisahan
dalam metode Transformed Divergence (TD) disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Keterpisahan BerdasarkanTransformed Divergence (TD)
Nilai Transformasi Keterpisahan Keterangan
2000 Sempurna (Excellent)
1900 ~< 2000 Baik (Good) 1800 ~< 1900 Cukup (Fair) 1600 ~< 1800 Kurang (Poor)
< 1600 Tidak Terpisahkan (Insperable) Sumber : Jaya (2007)
Nilai TD antara kelas i dan j dihitung menggunakan persamaan :
(
)
(
)
20
b. Analisis Akurasi
Analisis akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi
yang dibuat. Akurasi dianalisis menggunakan suatu matriks kontingensi yaitu
suatu matriks bujur sangkar yang memuat jumlah piksel yang diklasifikasi, yang
disusun seperti pada Tabel 5. Matriks ini sering disebut “error matrix” atau
“confusion matrix”. Dalam matrik kontingensi ini, analis dapat juga menghitung
besanya akurasi pembuat (producers accuracy) dan akurasi pengguna (users
accuracy) dari setiap kelas.
Akurasi pembuat adalah akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel
yang benar dengan jumlah total piksel daerah contoh per kelas. Pada akurasi ini
akan terjadi kesalahan omisi, oleh karena itu akurasi pembuat ini sering dikenal
dengan istilah “omission error”. Sebaliknya, jika jumlah piksel yang benar dibagi
dengan total piksel dalam kolom akan menghasilkan akurasi pengguna (users
accuracy), yang juga dikenal dengan istilah “ commission error”. Saat ini akurasi
yang dianjurkan untuk digunakan adalah akurasi Kappa. Akurasi Kappa juga
digunakan untuk menguji kesignifikanan antara dua matrik kesalahan dari metode
yang berbeda atau dari dua kombinasi band yang berbeda (Jaya, 1996).
Analisis akurasi ini dibuat dengan cara mengambil kembali area contoh
pada citra ALOS PALSAR. Banyaknya jumlah piksel yang diambil untuk
melakukan analisis akurasi ditampilkan dalam Tabel 4. Sedangkan bentuk matrik
kesalahan untuk menghitung besarnya nilai akurasi disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 4. Jumlah piksel untuk analisis akurasi
Kelas Penutupan Lahan Jumlah Piksel
Badan Air 728
Vegetasi jarang 696
Vegetasi sedang 732
Vegetasi rapat 745
Tabel 5. Bentuk Matriks Kesalahan
Kelas Referensi
Dikelaskan ke Kelas
(Data Klasifikasi di Peta) Jumlah Piksel
Beberapa persamaan akurasi yang digunakan adalah :
Kappa Accuracy / 100%
1
Overall Accuracy / 100%
1
N : Banyaknya piksel dalam contoh Xi+ : Jumlah piksel dalam baris ke-i
X+i : Jumlah piksel dalam kolom ke-i
Xii : Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolomke-i
4. Pengolahan Data Spasial
Pengolahan data spasial dilakukan dengan dengan menggunakan software
Arc.View 3.2. Software tersebut merupakan perangkat lunak yang digunakan
untuk melakukan pengolahan data spasial berbasis sistem informasi geografis.
Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem yang berbasiskan komputer yang
digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi.
SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek
dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau
kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang
memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi
22
c) analisis dan manipulasi data, dan d) keluaran data (Aronof 1989, diacu dalam
Prahasta, 2005).
a. Sebaran Hutan Menurut Wilayah Administrasi Pemerintahan
Dilakukan dengan mengoverlay peta hasil klasifikasi dengan peta wilayah
administrasi pemerintahan. Operasi spasial yang digunakan dalam pengolahan
data ini adalah identity. Dengan operasi spasial identity ini dapat diketahui luas
penutupan lahan pada masing-masing wilayah administrasi pemerintahan.
b. Sebaran Hutan Menurut Fungsi Kawasan Hutan
Dilakukan dengan mengoverlay peta hasil klasifikasi dengan peta fungsi
hutan . Operasi spasial yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah identity.
Dengan operasi spasial identity ini dapat diketahui luas penutupan lahan pada
masing-masing kawasan hutan.
Untuk lebih mempermudah pemahaman tentang metode pengolahan data
penelitian ini, berikut disajikan gambar diagram alir penelitian.
Gambar 10. Diagram alir penelitian Mulai
●Peta Dasar Tematik Kehutanan
● Peta Kawasan Hutan
●Peta Administrasi Wilayah Citra ALOS PALSAR
Citra Terklasifikasi
Peta Kawasan Hutan
Peta Tutupan Lahan Citra Terkoreksi
Terima ?
Peta Administrasi Wilayah
Sebaran Luas Tutupan Hutan dan Lahan
Selesai Terima ?
Tidak
Ya
Pra Pengolahan Citra
Koreksi Geometrik
Identifikasi Objek
Pembuatan Training Area
Analisis Separabilitas
Uji Akurasi Klasifikasi Terbimbing
Analisis Spasial
IV. KONDISI UMUM PULAU KALIMANTAN
A. Letak Geografis
Kalimantan adalah nama bagian wilayah Indonesia di Pulau Borneo Besar;
yaitu pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan seluruh Pulau Irian.
Kalimantan meliputi 73 % massa daratan Borneo. Keempat propinsi di Kalimantan,
yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur, luas seluruhnya adalah 549.032 km2. Luasan ini merupakan 28 % seluruh
daratan Indonesia. Kalimantan Timur saja merupakan 10% dari wilayah Indonesia.
Bagian utara P. Borneo meliputi negara bagian Malaysia yaitu Serawak dan Sabah,
dan Kesultanan Brunei Darusallam.
Wilayah pulau Kalimantan (bagian selatan) dalam wilayah Republik
Indonesia, terletak diantara 40 240` LU ~ 40 10` LS dan antara 1080 30` BT ~ 1190
00` BT. Berbatasan langsung dengan negara Malaysia (Sabah dan Serawak) di
sebelah utara yang panjang perbatasannya mencapai 3000 km mulai dari propinsi
Kalimantan Barat sampai dengan Kalimantan Timur.
Adapun batas wilayah pulau Kalimantan adalah:
● Sebelah Utara : Laut China Selatan dan Laut Sulu
● Sebelah Selatan : Selat Karimata dan Laut Jawa
● Sebelah Barat : Laut China Selatan
● Sebelah Timur : Laut Sulawesi dan Selat Makasar
B. Topografi
Pulau Kalimantan sebagaian besar merupakan daerah pegunungan /
perbukitan (39,69 %), daratan (35,08 %), dan sisanya dataran pantai/ pasang surut
(11,73 %) dataran aluvial (12,47 %), dan lain–lain (0,93 %). Pada umumnya topografi
bagian tengah dan Utara (wilayah Republik Indonesia/RI) adalah daerah pegunungan
tinggi dengan kelerengan yang terjal dan merupakan kawasan hutan dan hutan
lindung. Pulau Kalimantan tidak memiliki pegunungan berapi namun jajaran
utamanya melintasi bagian tengah pulau seperti trisula terbalik dari utara ke selatan
dengan tiga mata tombak bercabang di bagian selatan. Puncak tertinggi terdapat di
Malaysia yaitu Gunung Kinabalu dengan ketinggian 4.101 mdpl. Gunung tertinggi di
Kalimantan adalah Gunung Raya yang tingginya 2.778 mdpl. Kebanyakan dataran
rendah mengalami drainase yang buruk dan berawa yang sulit dilalui dengan
transportasi darat. sehingga sungai menjadi sarana transportasi yang pokok didaerah
pedalaman.
Di Kalimantan juga banyak terdapat sungai dari daerah pedalaman sampai
kepantai, diantaranya adalah sungai Kapuas (1.143 km), sungai Barito (900 km) dan
sungai Mahakam (775 m) yang termasuk terbesar di Indonesia. Sungai Kapuas
mengalir dari kaki gunung Cemaru ke barat, mengaliri sebagian besar Kalimantan
Barat. Sungai Barito yang besar mata airnya berasal dari pegunungan Muller dan
mengalir ke selatan dan bertemu dengan Sungai Negara yang berasal dari
Pegunungan Meratus bermuara dekat Banjarmasin. Disepanjang garis pantai
ditumbuhi hutan rawa hingga hutan mangrove. Beberapa sungai besar mempunyai
sistem pengeluaran (outlet) berupa danau (Djatmiko, 2006).
C. Iklim
Pulau Kalimantan terletak di garis Equator dan memiliki iklim tropis dengan
suhu yang relatif konstan sepanjang tahun antara 250 ~ 350 C di dataran rendah.
Dataran rendah di sepanjang equator mendapat curah hujan minimum 60 mm setiap
bulannya. Pulau Kalimantan yang terletak di daerah basah sepanjang tahun memiliki
sedikitnya bulan basah dengan curah hujan kurang dari 200 mm. Angin musim barat
laut (November~April) pada umumnya lebih basah dari pada angin musim tenggara,
tetapi beberapa daerah pesisir menunjukkan pola curah hujan bimodal.
Kalimantan dapat dibagi menjadi lima zona agroklimat. Sebagian besar
daerah perbukitan yang tinggi menerima curah hujan 2.000 ~ 4.000 mm setiap tahun.
Sebagian besar wilayah Kalimantan masuk ke dalam kawasan yang paling basah.
Tidak seperti Sumatera, di Kalimantan tidak ada gunung-gunung di daerah pesisir
26
mempengaruhi curah hujan lokal, terutama di Kalimantan bagian Timur. Kalimantan
bagian tengah dan Barat adalah kawasan yang paling basah, sementara bagian-bagian
di pesisir timur jauh lebih kering.
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah merupakan kawasan yang paling
basah. Angin musim Barat laut di Kalimantan Barat pada bulan Agustus-September
dan musim hujan berlangsung sampai bulan Mei. Curah hujan sangat tinggi terutama
pada bulan Nopember dan yang kedua pada bulan April. Pada bulan Juni-Agustus
iklim relatif lebih kering, akan tetapi tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari
100 mm. Curah hujan tahunan di Putussibau (Kapuas Hulu) mencapai lebih dari 4000
mm dan tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 200 mm. Dengan wilayah
panas sepanjang tahun dan daerah lembab.
Angin musim barat laut mencapai Kalimantan Barat pada bulan
Agustus~September dan musim hujan berlangsung sampai bulan Mei. Curah hujan
sangat tinggi terutama terjadi pada bulan Nopember dan yang kedua pada bulan
April. Dari bulan Juni sampai Agustus, iklim relatif lebih kering tetapi tidak ada
bulan yang curah hujannya kurang dari 100 mm. Curah hujan di Putusibau lebih dari
4.000 mm dan tidak ada bulan yang curah hujannya kurang dari 200 mm. Di
Kalimantan Tengah dan Selatan, curah hujan umumnya bertambah tinggi ke arah
utara dari daerah pesisir. Pengaruh angin musim tenggara jauh lebih besar daripada di
Kalimantan Barat. Bulan kering terjadi dari bulan Juli sampai September terutama di
daerah-daerah bayang-bayang hujan di bagian barat Pegunungan Meratus, misalnya
di Martapura. Namun musim kemarau disini masih tidak sekering di Jawa dan Nusa
Tenggara.
Daerah-daerah pesisir di Kalimantan Timur dan bagian timur Sanah jauh lebih
kering daripada bagian-bagian lainnya di Kalimantan. Pengaruh angin musim barat
laut jauh lebih lemah karena hampir semua hujan jatuh di pegunungan tengah.
Bahkan selama musim penghujan, curah hujan relatif rendah dan sering kurang dari
200 mm/bulan, terutama di daerah Semenanjung Sankulirang. Tidak ada musim
kemarau yang khusus karena angin musim tenggara melintasi laut terbuka sehingga
D. Tipe Hutan
Pulau Kalimantan terkenal dengan kekayaan alamnya berupa hutan hujan
tropis sehingga membuat pulau ini sering di sebut sebagai “Paru-Paru Dunia” dan
cadangan mineral yang melimpah. Tumbuhan yang hidup di pulau Kalimantan lebih
dari 5000 jenis yang diambil kayunya. Di dataran tinggi ditemukan sejumlah
tumbuhan berbunga, diantaranya adalah Raflesia. Kalimantan memiliki lebih dari
3.000 jenis pohon, termasuk 267 jenis Dipterocarpaceae yang merupakan kelompok
pohon kayu perdagangan terpenting di Asia Tenggara, sekitar 58% jenis
Dipterocarpaceae ini merupakan jenis endemik. Juga memiliki lebih dari 2.000 jenis
anggrek dan 1.000 jenis pakis, juga sebagai pusat distribusi karnivora Kantong semar
(Nepenthus).
Tingkat endemisme flora juga cukup tinggi sekitar 34% dari seluruh
tumbuhan, tetapi hanya mempunyai 59 marga unik dari 1.500 marga. Formasi
vegetasi yang ada di wilayah ini meliputi hutan hujan tropis, mangrove, rawa, dan
hutan kerangas. Untuk lebih jelasnya menurut Oldeman et al (1980) dalam Djatmiko
(2006) terdapat 12 tipe habitat, yaitu:
1. Hutan pegunungan atau montane forest (> 1000 mdpl)
2. Hutan perbukitan atau hill forest ( 500 ~ 1000 mdpl)
3. Hutan dipterocarpa dataran rendah atau lowland dipterocarp forest (100~
500 mdpl)
4. Hutan hujan dataran rendah atau lowland pplain rain forest (<100 mdpl)
5. Hutan kerangas (heath forest)
6. Hutan kayu ulin (ironwood forest)
7. Hutan batu kapur (forest in limestone)
8. Hutan tanah alluvial (forest in alluvial soil)
9. Rawa air tawar (freshwater swamp)
10.Rawa gambut (peat swamps)
11.Bakau (mangrove)
28
E. Wilayah Administrasi
Secara administratif pemerintahan, Pulau Kalimantan yang menjadi bagian
dari wilayah Republik Indonesia terbagi kedalam empat provinsi yaitu, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Tabel 6. Jumlah administrasi pemerintahan tiap Provinsi di Pulau Kalimantan
Provinsi Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan
Timur Jumlah
Kabupaten 12 14 13 13 52
Kecamatan 127 85 117 88 417
Desa 1500 1355 1972 1404 6231
Sumber : Biro Pusat Statistik (2008)
F. Tutupan Lahan dan IUPHHK Hutan Alam
Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan (2005), wilayah pulau Kalimantan
memiliki areal hutan seluas 28.232.800 ha dan non hutan seluas 21.548.480 ha.
Sedangkan banyaknya IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif sebanyak 174
Tabel 7. Luas tutupan lahan di Pulau Kalimantan
No Tutupan Lahan Luas (Ha)
A. Hutan
1 Hutan lahan kering primer 9.351.600
2 Hutan lahan kering sekunder 13.036.200
3 Hutan rawa primer 443.700
4 Hutan rawa sekunder 3.970.900
5 Hutan mangrove primer 111.800
6 Hutan mangrove sekunder 560.300
7 Hutan tanaman 758.300
Jumlah Hutan 28.232.800
B. Non Hutan
Jumlah Non Hutan 21.548.480
C. Tidak Ada Data
22 Awan 2.398.400
23 Tidak ada data
Jumlah Tidak Ada Data 2.398.400
Total 52.179.680
Tabel 8. Penyebaran IUPHHK Hutan Alam (HPH) yang aktif (SK. Definitif) setiap Provinsi keadaan s/d tahun 2006
No Provinsi
IUPHHK Hutan Alam (HPH) Aktif
Swasta Murni BUMN Murni Penyertaan Patungan Jumlah
Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha)
1 Kalimantan Barat 12 576.790 - - 10 578.100 - - 22 1.163.890
2 Kalimantan Tengah 25 1.854.270 - - 31 2.306.520 5 408.855 61 4.569.645
3 Kalimantan Selatan 1 17.600 2 120.950 3 222.931 - - 6 361.481
4 Kalimantan Timur 48 3.870.951 10 796.230 25 1.848.671 1 218.375 85 6.734.227
Jumlah 86 6.319.611 12 917.180 69 4.965.222 6 627.230 174 12.829.243
Sumber : Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan (2006)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Objek
Suatu objek dipermukaan bumi pada citra satelit dapat dikenali secara visual
melalui warna kompositnya. Untuk dapat menampilkan warna komposit ini
dibutuhkan kombinasi tiga band pada gun Red, Green, dan Blue. Selain warna
komposit, untuk lebih membedakan masing-masing objek juga harus dikenali tekstur,
bentuk dan asosiasinya dengan objek lain.
Berbeda dengan penginderaan jauh optik yang biasanya memiliki banyak
band (misalnya SPOT 4 Vegetation yang mempunyai 4 band), citra satelit ALOS
PALSAR hanya mempunyai dua band yaitu band HH (Horizontal-Horizontal) dan
HV (Horizontal-Vertical). Oleh karena itu, identifikasi objek pada citra ALOS
PALSAR dilakukan pada kombinasi band 1-2-1. Band HH pada citra tersebut
diletakan pada gun Red sedangkan band HV diletakan pada gun Green. Oleh karena
untuk dapat menampilkan warna komposit pada suatu citra dibutuhkan kombinasi
tiga band maka pada gun Blue ditampilkan citra dengan band HH.
Gelombang elektromagnetik yang digunakan sensor radar berupa pulsa
(gelombang mikro) bertegangan tinggi dan dipancarkan pada waktu sangat pendek
(10-6detik). Pancaran pulsa ditujukan pada arah obyek dan dipantulkan kembali ke
sensor radar. Sensor dapat mengukur dan mencatat waktu dari saat pemancaran
gelombang elektromagnetik hingga kembali ke sensor. Berdasarkan waktu perjalanan
pulsa radar dapat diperhitungkan jarak obyek dan berdasarkan intensitas hamburan
baliknya dapat ditaksir jenis obyeknya (Purwadhi, 2001).
Terbatasnya jumlah band yang dimiliki oleh sensor radar PALSAR pada
satelit ALOS menyebabkan terbatasnya kemampuan citra ALOS PALSAR dalam
membedakan kenampakan suatu objek dipermukaan bumi. Dengan besarnya nilai
Brightness Value (BV) yang mencapai 8 bits berarti citra ALOS PALSAR ini dapat
membedakan tingkat kecerahan suatu piksel mulai dari 0 sampai dengan 255.
Berdasarkan ciri (karakteristik) objek secara spektral dan spasial tersebut, citra ALOS
32
kelas. Kartikasari (2004) dalam penelitiannya dengan menggunakan citra optis yaitu
SPOT 4 Vegetation pada areal kerja yang sama mampu membedakan objek secara
visual ke dalam 8 kelas penutupan lahan yaitu : hutan dataran rendah, hutan rawa,
hutan mangrove, areal penanaman, semak belukar, areal terbuka, badan air, dan
awan.
Penelitian mengenai identifikasi penutupan lahan dengan menggunakan
ALOS PALSAR ini telah dilakukan oleh Samsul Arifin (2007). Dalam penelitiannya
dengan menggunakan citra komposit (HH+HV)/2-HV-HH resolusi spasial 5 m di
daerah Yogyakarta, peneliti tersebut mampu mengidentifikasi objek kedalam 8 kelas
penutupan lahan. Delapan kelas penutupan lahan tersebut adalah: air, palawija, sawah
awal tanam, sawah vegetatif, sawah pasca panen, kebun, hutan dan pemukiman.
Nurharyanti (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan citra ALOS
PALSAR resolusi spasial 12,5 m dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH
di PT. Trisetia Intiga (Kalimantan Tengah) mampu mengidentifikasi secara visual
objek kedalam 5 kelas penutupan lahan. Kelas-kelas penutupan lahan tersebut adalah:
lahan terbuka, semak belukar, perkebunan, hutan lahan kering rapat, dan hutan lahan
kering jarang. Sedangkan Hendrayani (2008) dengan menggunakan citra komposit
yang sama yaitu HH-HV-HH tapi dengan resolusi spasial 200 m di Pulau Jawa
mampu mengidentifikasi objek kedalam 4 kelas penutupan lahan. Kelas-kelas
penutupan lahan tersebut adalah: tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi
Tabel 9. Kelas penutupan lahan dan ciri-ciri visual citra ALOS PALSAR pada kombinasi band 1-2-1 di Pulau Kalimantan.
No Kelas Penutupan Lahan Ciri-ciri Visual
1 Badan air Berwarna ungu kehitaman dengan rona gelap
serta tekstur yang halus (Gambar 11)
2 Sawah Berwarna ungu dengan tekstur agak kasar dan
bentuk berpetak-petak (Gambar 12)
3 Semak Berwarna hijau bercampur ungu dengan tekstur
agak kasar serta pola yang menyebar (Gambar 13)
4 Perkebunan Berwarna hijau bercampur ungu dengan tekstur
agak kasar serta bentuk yang beraturan (Gambar 14)
5 Lahan terbuka Berwarna ungu tua dengan tekstur halus dan
mempunyai bentuk yang tidak beraturan (Gambar 15)
6 Hutan Berwarna hijau bercampur ungu dan putih
dengan tekstur kasar serta pola yang tidak teratur (Gambar 16)
Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa pada permukaan yang halus (smooth)
seperti pada badan air dan lahan terbuka akan bertindak sebagai specular reflector
(seperti cermin) yang menyebabkan arah backscatter akan dipantulkan menjauhi
sensor sehingga objek yang direkam tampak gelap (Gambar 11 dan 15). Pada tutupan
lahan berupa semak dan perkebunan yang memiliki permukaan agak kasar
mengakibatkan objek yang direkam memiliki tekstur yang agak kasar (Gambar 13
dan 14). Pada tutupan lahan berupa hutan yang memiliki permukaan yang kasar
akibat dari struktur kanopi tanaman secara keseluruhan mengakibatkan terjadinya
pantulan baur (diffuse reflector). Pantulan baur ini menyebabkan objek yang direkam
memiliki tekstur yang kasar. Tekstur yang kasar tersebut diakibatkan oleh rona yang
dihasilkan dari obyek yang mempunyai permukaan yang kasar memiliki beberapa
tingkat kecerahan tergantung besarnya tenaga pantulan yang kembali kearah sensor
(Gambar 16). Obyek yang termasuk pemantul baur ini diantaranya adalah beberapa
jenis vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1993).
Untuk penutupan lahan berupa hutan yang berada di daerah pegunungan,