• Tidak ada hasil yang ditemukan

GENETIK TANAMAN NENAS KULTIVAR QUEEN

4.3.9. Karakter Morfologi Tanaman Regeneran SK 3 di Lapangan

Tanaman regeneran SK 3 dari perlakuan 2,22-17,76 µM BAP

menunjukkan diameter tajuk, tinggi tanaman, jumlah, lebar dan panjang daun tidak berbeda (Gambar 28). Kemampuan menghasilkan anakan yang tertinggi

0 20 40 60 80 100 Diamater tajuk (cm) 2,22 4,44 8,88 17,76

0 5 10 15 20 25 30 35 Tinggi Tanaman (cm) 2,22 4,44 8,88 17,76 0 1 2 3 4 9 15 21 27 33 Umur (MST) Lebar daun (cm) 2,22 4,44 8,88 17,76 0 5 10 15 20 25 30 Panjang daun (cm) 2,22 4,44 8,88 17,76

A

B

C

D

Gambar 28 Pengaruh BAP subkultur 3 terhadap diameter tajuk (A), tinggi tanaman (B), panjang daun (C) dan lebar daun (D) di lapangan

tertinggi pada tanaman dengan perlakuan 8,88 µM BAP. Jumlah anakan yang dihasilkan hampir sama untuk perlakuan 2,22-8,88 µM BAP sedangkan perlakuan 17,76 µM BAP menghasilkan anakan lebih sedikit (Tabel 22).

Tabel 22 Pengaruh BAP SK 3 terhadap jumlah anakan per tanaman

Tanaman menghasilkan anakan (%) Jumlah anakan

Konsentrasi BAP (µM) Konsentrasi BAP (µM) Umur (MST) 2,22 4,44 8,88 17,76 2,22 4,44 8,88 17,76 25 1,38 4,16 6,94 8,33 2,00 2,66 2,40 1,50 27 16,66 16,66 19,44 12,5 1,46 1,46 1,50 2,00 33 26,38 27,77 45,83 26,16 3,72 3,00 3,54 2,71 35 30,55 34,72 48,61 29,16 3,76 3,73 3,78 2,85

Variasi yang muncul di lapangan pada tanaman regeneran SK 3 terjadi pada semua perlakuan. Variasi yang muncul sama dengan yang terjadi pada subkultur 1 dan 2 yaitu tanaman roset dan tanaman berdaun variegata (Tabel 23). Tanaman roset dapat menjadi tanaman normal pada umur 25 MST.

Tabel 23 Variasi pada tanaman regeneran SK 3 di lapangan umur 25 MST

Variasi 2,22 µM BAP 4,44 µM BAP 8,88 µM BAP 17,76 µM BAP

Tanm roset Tanm variegata 0,38 (1/259) 0,38 (1/259) 0,31 (1/321) 0,31 (1/321) 0 0,27 (1/368) 0,59 (2/335) 0,29 (1/335)

Analisis kestabilan genetik berdasarkan RAPD hanya dilakukan pada tanaman normal yang berasal dari perlakuan 0-17,76 µM BAP SK 3. Primer OPG 2 dan OPE 7 menghasilkan pola pita tidak berbeda dan pola pita tersebut juga tidak berbeda dengan pola pita tanaman regeneran normal SK 1 dan 2 (Gambar 25).

4.4. Pembahasan

Eksplan pangkal tunas aksilar dari mahkota buah yang ditanam dalam media MS0 beregenerasi membentuk tunas aksilar lebih dari satu kemudian disusul pertumbuhan akar sehingga terbentuk tanaman lengkap. Eksplan dalam media MS0 kecepatan multiplikasinya semakin rendah dengan bertambahnya

frekuensi SK yaitu 4,6 tunas/eksplan pada SK 1 menjadi 1,19 tunas/eksplan pada SK 3. Perubahan kecepatan multiplikasi tersebut diduga disebabkan oleh perubahan kandungan ZPT endogen. Pada awal tanam kandungan ZPT sitokinin dan auksin endogen eksplan masih tinggi dengan adanya subkultur pada media MS0 maka ZPT endogen semakin rendah sehingga multiplikasinya semakin rendah.

Penambahan 4,44-17,76 µM BAP pada media akan meningkatkan kemampuan eksplan untuk multiplikasi menjadi 13-26 tunas/eksplan pada SK1, 5-8 tunas/eksplan pada SK 2 dan 13-18 tunas/eksplan pada SK 3. Perbedaan multiplikasi pada media mengandung BAP diduga bukan hanya ditentukan oleh frekuensi SK tetapi juga disebabkan oleh perbedaan jumlah eksplan/botol yang ditanam sehingga kecepatan multiplikasi pada SK 2 lebih rendah dibandingkan pada SK 1 dan SK 3. Pada SK 1 ditanam 1 eksplan/botol, SK 2 ditanam 10-13 eksplan/botol, dan pada SK 3 ditanam 5-6 eksplan/botol. Perlakuan 4,44-8,88 µM BAP menghasilkan tunas lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Eksplan yang ditanam dalam media tanpa sitokinin menghasilkan tunas aksilar sedikit karena hanya sitokinin endogen tipe adenin yang berikatan dengan reseptor yaitu

cytokinin-binding protein (CBP). Dengan menambahkan BAP akan meningkatkan

efek sitokinin karena lebih banyak terbentuk kompleks sitokinin tipe adenin- reseptor (Nielsen et al. 1995).

Dalam perbanyakan in vitro, subkultur berulang sering dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan produksi tunas dalam jumlah banyak. Namun subkultur berulang pada media mengandung BA akan menghambat pertumbuhan tunas, tetapi meningkatkan multiplikasi (Nielsen et al. 1995). Pada penelitian ini didapatkan subkultur berulang dalam media BAP dapat meningkatkan jumlah tunas, namun pada SK 3 dihasilkan tunas berukuran kecil-kecil sehingga agak sulit dipisahkan satu persatu dan dihasilkan kalus nodular. Hal tersebut terjadi karena subkultur berulang pada media BAP menyebabkan terjadinya akumulasi BAP (Yi et al. 1992 dalam Lakshmanan et al. 1997). Hasil yang sama terjadi pada tanaman Ixora coccinea, subkultur berulang pada media mengandung BAP dapat menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas abnormal, kelainan ini bisa dihindari bila setiap 3 kali subkultur, tunas ditanam dalam media basal selama

1 bulan (Lakshmanan et al. 1997). Pada tanaman nenas juga perlu dilakukan hal serupa, dengan tujuan untuk mengurangi kandungan sitokinin atau auksin yang tinggi dalam tunas.

Pada SK 1, eksplan menghasilkan tunas dan tidak terbentuk kalus nodular tetapi pada SK 2, 79-90% eksplan pada perlakuan 4,44-17,76 µM BAP membentuk nodular dengan jumlah 3-4 nodular (Gambar 26). Pada SK 3 nodular yang terbentuk dari eksplan tunas semakin tinggi dengan semakin meningkatnya konsentrasi BAP (Tabel 20). Terbentuknya kalus pada SK 2 dan bobotnya meningkat pada SK 3 menunjukkan kandungan sitokinin pada eksplan semakin tinggi. Sitokinin dengan konsentrasi tinggi akan menghambat pembentukan tunas dan menginduksi kalus.

Eksplan dalam media MS0 menghasilkan tunas dan akar secara spontan, namun dengan penambahan BAP 2,22-4,44 µM pembentukan akar terhambat, bahkan tidak terbentuk akar dengan penambahan BAP 8,88-17,76 µM. Dengan memindahkan tunas ke media pengakaran, tunas dari perlakuan 2,22-8,88 µM dan perlakuan 17,76 µM BAP, berturut-turut mampu membentuk akar 90-98% dan 62,29% (Tabel 11). Tunas yang berasal dari perlakuan BAP 2,22-8,88 µM SK 2 dan 3 dapat diinduksi membentuk akar dalam media MS0 + 0,54 µM.

Perlakuan BAP pada perbanyakan in vitro masih nampak pengaruhnya

pada tanaman di lapangan. Semakin tinggi konsentrasi BAP akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman regeneran SK 1 sehingga tanaman dari perlakuan 17,76 µM lebih kecil dibanding perlakuan lainnya (Gambar 20). Karakter morfologi pada fase vegetatif umur 44 MST untuk masing- masing perlakuan seragam berdasarkan uji Barlet. Pada SK 2 tanaman regeneran hasil perlakuan 2,22-17,76 µM BAP menunjukkan diameter tajuk, tinggi tanaman, jumlah, panjang dan lebar daun tidak berbeda. Pada SK 3 tanaman regeneran menunjukkan hasil yang sama seperti pada SK 2.

Kemampuan tanaman nenas menghasilkan anakan pada kondisi normal berkaitan dengan umur dan ukuran tanaman. Tanaman dengan umur sama (saat tanam sama) bila ukuran tanaman berbeda maka tanaman yang berukuran besar lebih cepat menghasilkan anakan. Pada kond isi tidak normal karena titik

tumbuhnya terganggu maka tanaman nenas Queen dapat menghasilkan anakan walaupun ukuran tanaman masih kecil. Dengan demikian dapat dilakukan stek mini pada tanaman regeneran untuk meningkatkan jumlah bibit di lapangan, seperti yang telah dilakukan pada tanaman kentang (Mattjik, 2005). BAP dengan konsentrasi 17,76 µM menekan pertumbuhan vegetatif dan kemampuan tanaman nenas kultivar Queen menghasilkan anakan. Persentase tanaman menghasilkan anakan dan jumlah anakan pada tanaman hasil SK 1, 2 dan 3 pada umur yang sama 33 MST berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan umur bibit pada saat ditanam di lapangan. Bibit SK 1 berumur 7 bulan setelah aklimatisasi (BSA), SK 2 berumur 5,5 BSA, dan SK 3 berumur 2,5 BSA.

Pertumbuhan vegetatif yang terhambat akibat pengaruh BAP saat multiplikasi in vitro berpengaruh terhadap mutu fisik dan kimiawi buah. Perlakuan BAP 2,22-4,44 µM menghasilkan pertumbuhan vegetatif lebih baik dan buahnya lebih berkualitas (bobot buah total, bobot buah tanpa mahkota, diameter tangkai buah, diameter buah dan padatan terlarut total) dibandingkan perlakuan lainnya dan tanaman dari tempat asal (Tabel 18). Berdasarkan uji Barlet, semua karakter yang diamati pada saat panen seragam, kecuali karakter bobot mahkota buah untuk masing- masing perlakuan BAP dengan konsentrasi 2,22-17,76 µM. Hal ini menunjukkan tanaman regeneran memberikan respon yang seragam terhadap perlakuan BAP selama dalam kondisi in vitro.

Perbanyakan klon atau kloning adalah regenerasi vegetatif dari satu genotipe tunggal berupa satu tanaman, satu titik tumbuh, satu meristem atau satu eksplan. Perbanyakan klon berpotensi menghasilkan variasi berasal dari 4 sumber yaitu mutasi genetik (spontan atau induksi), perubahan susunan dan struktur kimera dari mutan yang ada, perubahan epigenetik dan infeksi sistemik oleh patogen (Kester, 1983). Hackett (1983) menyatakan sel meristem secara individu stabil tetapi kestabilan tersebut dapat mengalami modifikasi yang disebabkan oleh periode kultur yang panjang, jumlah subkultur dan media kultur. Tanaman pisang hasil in vitro dengan eksplan shoot-tip menunjukkan variasi 0-70% tergantung pada genotipnya (Vuylsteke et al. 1991). Variasi ya ng muncul pada pisang hasil in vitro yaitu saat matang buah, ukuran daun dan hasil (Vuylsteke et al. 1996), daun variegata (Vuylsteke et al. 1988). Pada penelitian ini, penambahan BAP

menginduksi variasi somaklonal karena perbanyakan pada MS0 sampai 3 subkultur tidak ada variasi pada tanaman regeneran. Perbanyakan in vitro

tanaman nenas dengan 4,44-17,76 µM BAP SK 1, 2 dan 3 menginduksi variasi somaklonal berupa tanaman roset, tanaman berdaun variegata tetapi tidak terhadap kualitas buah. Bila menggunakan eksplan kalus nodular menghasilkan 3 varian yaitu tanaman roset, tanaman berdaun variegata dan tanaman kerdil. Variasi yang dihasilkan rela tif kecil yaitu 0-1,53% pada SK 1, 1,82-3,17% pada SK 2 dan 1,82-3,17% pada SK 3, sementara dengan menggunakan eksplan kalus nodular muncul variasi sebesar 0,50-4,76%. Variasi yang terjadi dengan menggunakan BAP dengan 3 kali subkultur masih dalam kisaran yang dapat ditoleransi. Variasi somaklonal yang dapat diterima pada nenas sebesar 5% Smith dan Drew (1990) sedangkan pada pisang sebesar 3-5% (Cote et al. 1993).

Tanaman dengan 1-2 daun variegata, seiring dengan pertumbuhan daun yang baru tidak variegata dan pertumbuhan tanaman normal. Bila variegata terjadi pada seluruh daun maka variegata akan terus terbawa sampai tanaman berbuah bahkan sebagian anakan yang dihasilkan berdaun variegata. Tanaman roset dapat kembali menjadi tanaman normal seiring dengan waktu pertumbuhan. Pertumbuhan awal tanaman roset agak lambat dibanding tanaman normal. Varian tanaman roset dan tanaman variegata merupakan variasi epigenetik karena dapat berubah menjadi tanaman normal. Tanaman variegata yang muncul pada tanaman

hasil perbanyakan in vitro tanaman nenas mungkin merupakan mutasi yang

menyebabkan munculnya kimera. Kimera adalah satu tanaman yang mempunyai 2 atau lebih jaringan somatik yang berbeda secara genetik (Baur, 1909 dalam Broetjes dan van Harten. 1988). Broetjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa mutasi dapat terjadi pada semua jenis jaringan tetapi mutasi tunggal terbatas hanya pada satu sel. Jika sel yang sedang membelah dari meristem apikal mengalami mutasi maka dihasilkan sel-sel mutan yang menurun, besarnya tergantung pada posisi sel yang mengalami mutasi, jumlah total sel-sel apikal yang sedang membelah, dan kesesuaian sel-sel mutasi. Jumlah daun variegata pada satu tanaman berbeda-beda (satu sampai seluruh daun variegata). Perbedaan tersebut mungkin berhubungan dengan posisi jaringan yang mengalami mutasi. Broetjes dan van Harten (1988) membedakan 3 macam kimera yaitu sektoral,

meriklinal dan periklinal. Kimera sektoal adalah kimera yang terjadi pada sekolompok sel yang mewakili seluruh lapisan histogenik, meriklinal adalah mutasi yang terjadi hanya sebagian dari satu layer histogenik sedangkan periklinal adalah mutasi yang terjadi pada satu layer histogenik. Dermen (1947 dalam Broetjes dan van Harten, 1988), menyatakan meriklinal tidak stabil setelah satu atau beberapa siklus perbanyakan vegetatif, sedangkan periklinal akan stabil dengan perbanyakan vegetatif .

Stabilitas klonal adalah faktor yang sangat penting dalam perbanyakan mikro secara komersial. Sementara teknik perbanyakan in vitro berpotensi menimbulkan variasi somaklonal, oleh karena itu protokol regenerasi tanaman sangat penting dievaluasi tingkat perubahan genetik yang terjadi selama proses kultur. Analisis kestabilan genetik tanaman hasil perbanyakan in vitro SK 1 dengan penanda molekuler isozim PER, EST, ADH, MDH (Gambar 24) menunjukkan tidak ada perbedaan pola pita antara tanaman in vitro (kontrol dan penambahan 2,22-17,76 µM BAP) dan tanaman dari tempat asal. Walaupun pola pita yang dihasilkan sama belum dapat dipastikan diantara tanaman regeneran sama secara genetik karena analisis dengan cara bulk tidak dapat mendeteksi adanya pita yang hilang pada masing- masing tanaman.

Tanaman regeneran SK 1, 2 dan 3 dengan morfologi normal secara genetik sama dengan tanaman kontrol in vitro dan tanaman dari tempat asal. Persamaan genetik ditunjukkan dengan persamaan pola pita hasil analisis RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2. Delapan tanaman berdaun variegata menghasilkan pola pita sama dengan tanaman normal in vitro dan tanaman dari tempat asal dengan primer OPG 2 tetapi dengan primer OPE 7 ada 6 variegata yang menunjukkan pola pita berbeda yaitu satu atau dua pita tidak muncul. Berdasarkan hal tersebut berarti varian tanaman berdaun variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal sebagian berbeda secara genetik. Penyebab perubahan fenotipe pada tanaman regeneran adalah patah kromosom, perubahan basa tunggal, perubahan jumlah kopi sekuen DNA dan perubahan pola metilasi DNA (Scowcroft dan Larkin, 1988 dalamHasmi et al. 1997). Analisis RAPD dengan primer OPE 7 dapat digunakan untuk mendeteksi adanya variasi somklonal pada tanaman nenas kultivar Queen klon Bogor.

4.5. Kesimpulan dan Saran

1 Penambahan BAP 4,44-8,88 µM dalam media MS + 1,61 µM NAA

menghasilkan 21,9-26,3 tunas/eksplan/11 minggu. Penambahan 2,22-8,88

µM BAP pada SK 1, 2 dan 3 tidak menghambat pembentukan akar pada

media pengakaran. Penambahan BAP 17,76 µM menghambat pengakaran. 2 Tanaman regeneran SK 1 dengan perlakua n 2,22-4,44 µM BAP + 1,61 µM

NAA menghasilkan pertumbuhan vegetatif dan kualitas buah yang lebih baik serta varian yang muncul rendah (1,53%) walaupun tingkat multiplikasinya lebih rendah dibandingkan BAP 8,88 µM. Kualitas buah yang dihasilkan seragam kecuali bobot mahkota tidak seragam.

Penambahan 2,22-17,76 µM BAP pada SK 2 dan 3 menghasilkan tanaman

regeneran dengan pertumbuhan seragam.

3 Penambahan BAP 2,22-17,76 µM + 1,61 µM NAA menginduksi terjadinya variasi somaklonal yaitu tanaman roset, tanaman berdaun variegata dan tanaman kerdil. Tanaman roset dan tanaman kerdil berubah menjadi tanaman normal dengan bertambahnya umur tanaman. Variasi yang terjadi pada SK 1, SK 2, dan SK 3 berturut-turut sebesar 0-1,53%; 0-3,17%; dan 0-88%.

4. Perlakuan BAP 2,22-17,76 µM menghasilkan tanaman normal yang stabil berdasarkan analisis isozim: PER, EST, ADH dan MDH dan analisis RAPD dengan primer OPE 7 dan OPG 2. Primer OPE 7 dapat digunakan untuk membedakan tanaman normal dan tanaman varie gata. Tanaman variegata yang berbeda secara morfologi dengan tanaman normal sebagian berbeda secara genetik berdasarkan analisis RAPD dengan primer OPE 7.

Perbanyakan in vitro nenas kultivar Queen klon Bogor menggunakan

media MS+4,44 µM BAP+1,61 µM NAA selama 11 minggu dilanjutkan

subkultur ke media pengakaran MS+0,54 µM NAA selama 4 minggu. Setelah 3 kali subkultur sebaiknya semua kultur diaklimatisasi dan diganti dengan eksplan baru yang diambil dari induk di lapangan. Pada tanaman nenas rege neran memungkinkan untuk dilakukan stek mini di rumah kawat atau rumah kaca.

V. PENGARUH BAP DAN TDZ SERTA TEKNIK ETIOLASI

Dokumen terkait