D. KARAKTERISASI ENZIM KITOSANASE
2. Karakterisasi enzim murni ( pure enzyme )
Enzim murni yang dikarakterisasi adalah fraksi enzim yang telah berhasil dipisahkan dari proses kromatografi filtrasi gel yang dicirikan dengan memiliki aktivitas enzim (U/ml) relatif besar dan memperlihatkan adanya peak pada kurva hasil kromatografi. Dimana karakteristik enzim murni yang dilakukan pada penelitian ini adalah penentuan suhu optimum, pH optimum
a. Suhu Optimum
Penentuan suhu optimum dari enzim murni kitosanase dilakukan dengan menganalisa aktivitas enzim sesuai dengan yang terdapat pada metodologi penelitian. Kisaran suhu yang dipakai cukup luas yaitu suhu 37, 50, 60, 70, 80, dan 90°, dimana kisaran ini dianggap cukup untuk mewakili kisaran suhu yang sebenarnya yang biasa dipakai dalam percobaan. Dari hasil pengujian, fraksi 9 optimum pada suhu 70oC - 80°C dengan aktivitas enzim 1.049 U/ml dan aktivitas spesifik 32.28 U/mg (suhu 70oC). Sedangkan aktivitas enzim pada suhu 80oC adalah 1.086 U/ml dan aktivitas spesifik sebesar 33.405 U/mg (gambar 13a dan 13b). Suhu optimum enzim murni pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan suhu optimum enzim kasar, hal ini menyebabkan enzim murni kitosanase bersifat lebih stabil dibandingkan dengan enzim kasar. Hal ini kemungkinan telah terpisahnya kofaktor-kofaktor enzim yang bersifat inhibitor dengan enzim selama proses kromatografi. Inhibitor yang dimaksud misalnya ion logam, protein non enzim (metabolit primer dan metabolit sekunder), dan sustrat yang tidak terdegradasi. Terpisahnya inhibitor dari enzim menyebabkan enzim melipat kembali membentuk konformasi yang lebih stabil, sehingga enzim bersifat lebih tahan panas.
Penelitian sebelumnya Chasanah (2004) melaporkan bahwa kitosanase dari mikroba yang sama (Bacillus licheniformis MB-2) optimum pada suhu 70oC, menyebabkan suhu optimum enzim kasar pada penelitian sebelumnya lebih tinggi dibandingkan dengan enzim murni. Hal ini disebabkan kemungkinan kofaktor enzim yang telah terpisah selama proses kromatografi bersifat aktivator bagi enzim. Sehingga dengan terpisahnya aktivator dari enzim menyebabkan enzim murni bersifat kurang stabil dibandingkan dengan enzim kasarnya. Disamping itu enzim murni kitosanase optimum pada suhu 60°C dari isolat Bacillus subtilis 168 csn (Rivas et al., 1999) dan kitosanase mempunyai suhu optimum 45°C dari isolat Bacillus megaterium P1 (Pelletier dan Sygusch, 1992). Haliza (2004) pun melaporkan bahwa kitosanase dari isolat Bacillus caogulans LH 28.38 memiliki pH optimum 60 - 70°C.
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 20 40 60 80 100 S uhu A k ti v ita s ( U /m l) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 20 40 60 80 100 S uhu A k ti v ita s (U /m g )
Gambar 13. Aktivitas pure kitosanase pada berbagai kondisi suhu a. Aktivitas (U/ml)
b. Aktivitas spesifik (U/mg)
b. pH Optimum
Penentuan pH optimum enzim murni menggunakan bufer universal dengan kisaran pH yang luas yaitu pH 4 – 12. Hasil pengujian tertera pada gambar 14a dan 14b. Dari gambar tersebut terlihat bahwa enzim murni kitosanase optimum pada bufer universal pH 6.0 dengan aktivitas enzim 1.089 U/ml atau 33.532 U/mg. pH optimum kitosanase setelah pemurnian kromatografi filtrasi gel relatif sama dengan pH optimum enzim kitosanase kasar. Hasil yang diperoleh mendukung penelitian Chasanah (2004) bahwa
kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2 optimum pada pH 6. Sebagai bahan perbandingan kitosanase dari Bacillus coagulans LH 28.38 optimum pada pH 8 (fraksi A), pH 11 (fraksi B), pH 2 – 9 (fraksi C) (Haliza, 2003). Piza et al., (1999) melaporkan bahwa kitosanase dari Bacillus cereus optimum pada pH 5.8, kitosanase dari Bacillus circulans MH-K1 optimum pada pH 6.5 (Yabuki, 1989), dan kitosanase Aspergilus fumigatus KB-1 optimum pada pH5.5 – 6.5 (Eom dan Kang, 2003). Selain itu Uchida (1992) pun melaporkan bahwa kitosanase dari Bacillus licheniformis UTK optimum pada pH 6.5.
1.06 1.065 1.07 1.075 1.08 1.085 1.09 1.095 0 2 4 6 8 10 12 14 pH A k ti v a s (U /m l) 32.6 32.7 32.8 32.9 33 33.1 33.2 33.3 33.4 33.5 33.6 0 2 4 6 8 10 12 14 pH A k ti v it a s (U /m g )
Gambar 14. Aktivitas pure kitosanase pada berbagai pH a. Aktivitas (U/ml)
c. Stabilitas panas
Uji stabilitas panas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana aktivitas kitosanase tetap stabil pada pemanasan, mengingat enzim merupakan protein yang mudah mengalami kerusakan akibat denaturasi. Uji stabilitas enzim dinyatakan dengan aktivitas sisa (aktivitas relatif), dimana aktivitas relatif adalah hasil bagi antara aktivitas enzim yang mengalami pra inkubasi dengan aktivitas enzim yang tidak mengalami pra inkubasi.
Alasan enzim tersebut stabil terhadap pemanasan karena kemampuan enzim untuk mempertahankan diri dari denaturasi protein oleh pengaruh panas. Stabilitas enzim dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen, ikatan van der wals, interaksi hidrofobik, jembatan disulfida dan gaya elektrostatik dari muatan-muatan yang dimiliki oleh molekul protein itu sendiri. Meskipun demikian kestabilan panas kitosanase terhadap suhu cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi. Penurunan aktivitas enzim akibat penambahan waktu pemanasan merupakan akibat dari perubahan konformasi sisi aktif enzim, karena molekul enzim memiliki struktrur yang lembut dan mudah rusak. Jika molekul enzim menyerap energi terlalu besar akibat naiknya suhu dan dengan bertambahnya waktu inkubasi maka jumlah panas yang diterima enzim bertambah sehingga struktur tersier enzim mungkin mengalami perubahan. Akibat dari perubahan struktur tersier enzim ini, sisi aktif enzim kemungkinan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga sulit untuk mengikat substrat. Apabila lama pemanasan diperpanjang maka kestabilan enzim akan menurun yang berakibat meningkatnya laju inaktifasi (Winarno, 1983).
Uji stabilitas enzim kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 terhadap suhu 80oC dan 90oC tertera pada gambar 15. Pada pemanasan 80oC selama 30 menit menunjukkan aktivitas relatif kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 tidak banyak berkurang masih tersisa 95.65%. Pada pemanasan selama 60 dan 90 menit pun aktivitas relatif kitosanase tidak banyak berkurang masih tersisa 93.51% (pemanasan 60 menit) dan 78.37% (pemanasan 90 menit). Penurunan aktivitas relatif kitosanase yang lebih besar terjadi pada pemanasan selama 120 menit, dimana aktivitas relatif mengalami
penurunan hampir setengahnya tinggal tersisa 59.61%. Sedangkan pada pemanasan 90oC hanya dilakukan selama 60 dan 120 menit, hal ini disebabkan karena ketersediaan enzim kitosanase yang terbatas. Pemanasan selama 60 menit menunjukkan aktivitas relatif kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 yang tidak banyak berkurang masih tersisa 96.66%. Namun pada pemanasan selama 120 menit terjadi pengurangan aktivitas relatif yang cukup besar sampai setengahnya menjadi 58.53%.
0 20 40 60 80 100 120 0 20 40 60 80 100 120 140
Waktu pemanasan (menit)
A k ti v it a s r e la ti f (% ) 80 C 90 C
Gambar 15. Pengaruh suhu terhadap stabilitas kitosanase Bacillus licheniformis MB-2
Selain dinyatakan dengan aktivitas relatif, pengukuran stabilitas enzim terhadap panas dinyatakan dalam nilai k (konstanta deaktifasi), t1/2, dan
Ea. Konstanta laju deaktifasi dapat ditentukkan dari hubungan ln aktivitas enzim (U/L) terhadap waktu pemanasan (gambar 16). Slope persamaan regresi hubungan ln aktivitas enzim terhadap waktu pemanasan dinyatakan sebagai nilai k. Nilai k yang diperoleh pada uji stabilitas enzim terhadap suhu 80oC dan 90oC adalah 0.0041 min-1 dan 0.0045 min-1 (persamaan 4 dan 5). Sedangkan waktu paruh dari enzim kitosanase dapat diperoleh dari persamaan 2. Dimana waktu paruh pada suhu 80oC dan 90oC adalah 169.06 menit dan 154.03 menit, sehingga enzim kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 lebih stabil pada suhu 80oC dibandingkan pada suhu 90oC. Hal ini terlihat dari waktu paruh yang lebih besar pada suhu 80oC. Penentuan energi aktifasi (Ea)
melibatkan persamaan Arrhenius (persamaan 3), dimana slope persamaan regresi dari hubungan ln k terhadap suhu pemanasan (1/T) dinyatakan sebagai nilai Ea berbanding R (konstanta gas) (gambar 17 dan persamaan 6). Menurut Pelczar dan Chan (1986) energi aktifasi merupakan energi yang dibutuhkan untuk membawa suatu substansi ke status reaktifnya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh energi aktifasi kitosanase adalah 2371.48 kal/(gmol.oK).
6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7 7.1 0 20 40 60 80 100 120 140 W ak tu pe man asan (m e n i t) ln A k ti vi ta s (U /L ) Linear (80 C) Linear (90 C)
Gambar 16. Kurva hubungan ln aktivitas kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 terhadap waktu pemanasan.
Persamaan garis pada gambar 16 :
80oC : ln [C] = -0.0041 [t] + 7.0622 ……… (4) 90oC : ln [C] = -0.0045 [t] + 6.883 ……… (5) [C] : aktivitas kitosanase dalam U/L
[t] : waktu inkubasi dalam menit
Waktu paruh dari enzim kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 terbilang cukup besar sehingga kestabilan enzim kitosanase dari isolat Bacillus licheniformis MB-2 cenderung lebih stabil dibandingkan dengan kitosanase lainnya, namun energi aktifasinya cenderung rendah. Hal ini bisa terlihat dari penelitian sebelumnya oleh Chasanah (2004), dimana enzim kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2 dengan suhu pemanasan 70oC, 80oC, dan 90oC
sebesar 5.720 kkal/(gmol.oK). Adanya perbedaan nilai waktu paruh dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan karena saat proses kromatografi pada penelitian sebelumnya, aktivator enzim telah terpisah dari enzim. Hal ini menyebabkan enzim bersifat kurang stabil dan waktu paruhnya pun bernilai lebih rendah dibandingkan dengan waktu paruh pada penelitian ini. Disamping itu Haliza (2003) pun melaporkan enzim kitosanase dari isolat Bacillus coagulans LH 28.38 dengan suhu pemanasan 60oC, 70oC, dan 80oC memiliki waktu paruh 57.28, 13.08, dan 7.81 menit (fraksi A) dengan energi aktivasi sebesar 23.37 kkal/(gmol.oK). Waktu paruh pada fraksi B dengan suhu yang sama adalah 150.68, 10.09, dan 10.81 menit dengan energi aktifasi 31.07 kkal/(gmol.oK), sedangkan waktu paruh pada fraksi C pada suhu yang sama adalah 0.0067, 0.0467, dan 0.0995 menit dengan energi aktifasi 31.64 kkal/(gmol.oK). Choi et al., (2004) pun melaporkan bahwa kitosanase dari Bacillus sp. Strain KCTC 0377BP memiliki waktu paruh 10 menit dan 5 menit pada suhu 55oC, dan 60oC.
-5.52 -5.5 -5.48 -5.46 -5.44 -5.42 -5.4 -5.38 0.00274 0.00276 0.00278 0.0028 0.00282 0.00284 S uhu pemanasan (K) ln k ( m in - 1 )
Gambar 17. Kurva hubungan ln k kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 terhadap suhu pemanasan
Persamaaan garis pada gambar 17 :
Pengaruh pH terhadap stabilitas kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 terlihat cenderung cukup stabil karena penurunan aktivitas relatifnya pun cenderung tidak begitu besar (gambar 18). Pada pemanasan 30 menit, menunjukkan aktifitas relatif mengalami penurunan yang sangat sedikit masih tersisa 98.48%. Hal serupa pun terjadi pada pemanasan selama 60 dan 90 menit dengan aktivitas sisa sebesar 97.87% (pemanasan 60 menit) dan 95.06% (pemanasan 90 menit). Sedangkan pada pemanasan 120 menit, penurunan aktivitas relatif pun hanya sedikit masih tersisa 91.94%. Nilai k pada uji stabilitas enzim terhadap pH adalah 0.0007 min-1 (gambar 19 dan persamaan 7) dengan waktu paruh 990.21 menit.
0 20 40 60 80 100 120 0 50 100 150 Waktu (menit) A k ti vi tas r el ati f (% )
Gambar 18. Pengaruh pH terhadap stabilitas kitosanase Bacillus licheniformis MB-2 pada suhu 80oC
0 2 4 6 8 0 20 40 60 80 100 120 140 Waktu (menit) ln A k ti v ita s (U /L )
Gambar 19. Kurva hubungan ln aktivitas kitosanase Bacillus
licheniformis MB-2 terhadap waktu pemanasan pada suhu 80oC
Persamaan gambar 19 :
80oC : ln [C] = -0.0007 [t] + 7.0001 ……… (7) [C] : aktivitas kitosanase dalam U/L
[t] : waktu inkubasi dalam menit
E. SDS-PAGE
Penentuan berat molekul dari enzim kitosanase ditentukkan dengan teknik SDS-PAGE (sodium dodesil sulfat – poliakrilamida gel elektroforesis). Pemilihan poliakrilamida sebagai medium penyangga, karena bersifat lebih menguntungkan dibandingkan medium yang lain yaitu gel poliakrilamida lebih bersifat transparan sehingga dapat di scan pada daerah sinar tampak maupun ultra violet, merupakan medium yang bersifat sebagai saringan molekuler sehingga dapat menahan atau menghalangi pergerakan molekul besar sedangkan molekul kecil akan bermigrasi dengan bebas, memiliki resolusi yang lebih baik karena ukuran pori medium dapat diatur, tidak bermuatan, dan tidak bereaksi dengan sampel (Nur dan Adijuwana, 1987).
Penentuan ukuran pori gel poliakrimalida ditentukkan berdasarkan jumlah akrilamida (%T) yang digunakan per unit volume medium dan derajat ikatan silangnya (%C) (Link, 1999). Sedangkan kisaran pemisahan gel akrilamida yang digunakan pada berbagai konsentrasi dapat dilihat pada tabel
13. Ukuran pori pada stacking gel umumnya lebih besar dibandingkan dengan ukuran pori pada separating gel. Hal ini disebabkan karena konsentrasi poliakrilamida stacking gel lebih kecil dibandingkan konsentrasi poliakrilamida pada separating gel. Konsentrasi stacking gel yang digunakan pada penelitian ini adalah 4% dan konsentrasi pada separating gel adalah 8%. Sehingga pada stacking gel, sampel protein tidak akan bergerak tapi akan menumpuk dan terkonsentrasi. Oleh karena itu stacking gel digunakan sebagai tempat dicetaknya sumur untuk memasukkan sampel dan mengkonsentrasikan sampel protein yang akan membentuk pita tajam pada separating gel.
Tabel 13. Kisaran pemisahan gel akrilamida pada berbagai konsentrasi Persentase Poliakrilamida Resolusi Pemisahan (kD)
15% gel 15 – 45
12.5% gel 15 – 60
10% gel 18 – 75
7.5% gel 30 – 120
5% gel 60 - 212
Bollag dan Edelstein (1991)
Dalam analisis ini, penggunaan SDS dan β-merkaptoetanol dalam bufer sampel serta pemanasan selama 3 menit sebelum dilakukan pemasukkan sampel pada sumur elektroforesis ditujukan untuk mendenaturasikan protein. Efek perlakuan pemanasan mempengaruhi pemisahan pita-pita protein. Semakin tinggi pemanasan maka semakin banyak pita-pita protein yang terpisahkan, namun jika sampel tidak dipanaskan maka pemisahan protein tidak terlihat jelas. Sebelum sampel dipanaskan, sampel dipekatkan (freeze dry) terlebih dahulu sampai sepertiga volume dari volume enzim awal. Adapun tujuan dari freeze dry adalah untuk mengurangi jumlah air sehingga konsentrasi enzim meningkat.
acak. Hal ini disebabkan karena pecahnya semua ikatan disulfida yang ada menjadi gugus sulfhidril oleh β-mercaptoetanol (gambar 20). Menurut Nur dan Adijuwana (1987) SDS akan mengikat protein yang terdenaturasi tersebut pada posisi hidrofobik dengan perbandingan yang selalu sama yaitu 1.4 gram SDS per gram protein sehingga SDS membentuk komplek dengan protein dan komplek ini bermuatan negatif dikarenakan adanya gugus anion pada SDS. Komplek SDS-protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih kecil dibandingkan dengan komplek yang lebih kecil. Adanya brom fenol blue pada bufer sampel berfungsi untuk memonitor pergerakan sampel selama elektroforesis.
Gambar 20. Mekanisme pembentukan komplek SDS-Protein (http://www.davidson.edu/../Molbio/SDSPAGE/SDSPAGE.html)
Saat sampel dimasukan ke dalam sumur elektroforesis yang diikuti dengan pemberian arus listrik, muatan negatif protein akan bermigrasi ke elektroda positif yang pergerakannya tidak dipengaruhi bentuk. Hal ini disebabkan adanya denaturasi yang mengakibatkan bentuk molekul seragam yaitu berbentuk rantai lurus yang diselimuti oleh SDS sehingga bermuatan negatif (gambar 20) (Copeland, 1994). Saat pergerakan sampel, protein dengan bobot molekul yang kecil akan bermigrasi lebih jauh karena bergerak lebih cepat dibandingkan dengan protein yang memiliki bobot
Sebelum SDS
Setelah SDS
Muatan grup-R
mA, dimana proses running sampel dihentikan apabila migrasi sampel enzim telah mencapai jarak ± 1 cm dari bagian bawah gel. Untuk mencapai kondisi tersebut, running dilakukan selama ± 1.5 jam. Selama running sampel, bufer elektroforesis berfungsi untuk mempertahankan pH dalam gel dan reservoir serta sebagai elektrolit pembawa aliran yang mengandung listrik (Bollag & Edelstein, 1991).
Perendaman dalam larutan fiksasi merupakan tahap yang dilakukan setelah proses running sampel. Menurut Harris dan Angal (1989) larutan fiksasi berfungsi untuk proses pengendapan protein yang telah terpisah serta untuk menghilangkan komponen-komponen non protein yang dapat mengganggu pengikatan warna.
Untuk menyempurnakan proses SDS-PAGE ini, dilakukan pewarnaan dan pelunturan warna (destaining). Sebelum pewarnaan, gel dicuci dengan aquabisetilata selama 3 x 20 menit untuk menghilangkan impurities yang mengganggu dan untuk menghilangkan gliserol, glisin dan tris. Pewarna yang digunakan adalah silver nitrat. Dasar pemilihan digunakannya silver nitrat sebagai pewarna karena sensitivitasnya yang tinggi dibandingkan dengan pewarnaan yang lain. Menurut Bollag dan Edelstein (1989) pewarna silver nitrat dapat mendeteksi protein sampai 2 - 10 ng protein per mm2 gel. Dengan sensitivitasnya yang tinggi, dirasa bahwa pewarna silver nitrat mampu mendeteksi sampel protein yang digunakan pada penelitian ini (crude enzyme dan fraksi 9 kitosanase). Dimana kadar protein dari crude enzyme dan fraksi 9 yang dianalisis adalah 0.759 mg/ml dan 0.0325 mg/ml. Sedangkan tahap pelunturan warna dilakukan untuk melunturkan warna sampai diperoleh latar belakang yang relatif jernih sehingga pita protein yang dihasilkan dapat dengan jelas teramati. Larutan peluntur yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan natrium karbonat yang diberi formaldehida.
Hasil elektroforesis dapat dilihat pada gambar 21. Pada crude enzyme terdapat 5 pita protein. Sedangkan pada fraksi 9 hanya terdapat 2 pita protein dimana salah satu pita terlihat tidak nyata/samar. Jumlah pita fraksi 9 yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pita pada crude
enzyme disebabkan karena selama filtrasi gel secara tidak langsung protein- protein telah dipisahkan berdasarkan berat molekulnya, sehingga protein yang bukan penyusun enzim kitosanase telah terpisah. Sedangkan adanya pita yang tidak nyata/samar diduga karena sedikitnya jumlah sampel yang diinjeksikan ke dalam sumur elektroforesis, sehingga saat dilarutkan dengan bufer konsentrasinya sangat rendah.
Penentuan berat molekul enzim yang dihasilkan dapat dilakukan dengan membandingkan enzim tersebut dengan protein standar, dimana kurva standar (lampiran 16) menunjukkan hubungan antara logaritma berat molekul dengan mobilitas protein baku yang telah diketahui berat molekulnya. Crude enzyme diperkirakan memiliki berat molekul 61.48, 48.53, 40.64, 28.49, dan 19.99 kDa. Sedangkan fraksi yang telah dimurnikan dengan kromatografi filtrasi gel diperkirakan memiliki berat molekul 24.15 dan 17.85 kDa (tabel 14). Berat molekul yang diperoleh pada penelitian ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Dimana Chasanah (2004) melaporkan bahwa kitosanase dari Bacillus licheniformis MB-2 memiliki berat molekul 75 kDa dengan satu pita protein. Merujuk dari hasil penelitian sebelumnya, bisa diperkirakan bahwa pada penelitian ini terdapat 2 subunit dengan berat molekul 24.15 kDa dan 2 subunit dengan berat molekul 17.85 kDa. Sehingga berat molekul yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 84 kDa. Adanya perbedaan berat molekul dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan karena pemilihan metode pemurnian yang berbeda. Penelitian sebelumnya menggunakan metode pemurnian interaksi hidrofobik, sedangkan pada penelitian ini digunakan kromatografi filtrasi gel. Dimana kemungkinan kromatografi interaksi hidrofobik lebih efektif dalam memisahkan enzim kitosanase dari protein non enzim lainnya dibandingkan dengan filtrasi gel, sehingga menyebabkan enzim yang diperoleh pun lebih murni. Hal ini terlihat dari diperolehnya satu pita protein pada penelitian sebelumnya.
Tabel 14. Penentuan berat molekul sampel Jenis Enzim Jarak Batas bawah (Jbb) Jarak batas atas (Jba) RF (Jba/Jbb) log BM Berat molekul (kDa) Crude enzyme 4.5 2 0.444444 4.788767 61.48 4.5 2.4 0.533333 4.68602 48.53 4.5 2.7 0.6 4.60896 40.64 4.5 3.3 0.733333 4.45484 28.49 4.5 3.9 0.866667 4.30072 19.99 Fraksi 9 4.4 3.5 0.795455 4.383034 24.15 4.4 4 0.909091 4.251682 17.85 (a) (b) (c)
Gambar 21. Hasil analisa SDS-PAGE : (a). Marker (LMW), (b). crude kDa 97 66 45 30 20.1 14.4
Haliza (2003) melaporkan kitosanase dari Bacillus coagulans LH 28.38 memiliki berat molekul 93 kDa (crude enzyme), 91 kDa (dialisat), 87, 77.7, dan 74 kDa (fraksi hasil pemurnian). Kitosanase murni dari isolat Bacillus cereus memiliki berat molekul 47 kDa (Piza et al., 1999) dan enzim kitosanase murni dari Matsuebacter chitosanotabidus 3001 memiliki berat molekul 34 kDa (Park et al., 1999).