BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
2.1 Anak Jalanan
2.1.1 Karakteristik Anak Jalanan
Anak jalanan adalah anak berusia kurang dari 16 tahun, berada di jalan untuk hidup maupun bekerja dengan memasuki kegiatan ekonomi di jalan, seperti pedagang asongan, semir sepatu, pedagang koran, pengamen, mengelap kaca mobil, menyewakan payung di waktu hujan, dan sebagainya (Anonim, 2004). Menurut Anonim (2006) indikasi anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun, orientasi hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka, tidak mempunyai orientasi waktu mendatang, waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari empat jam setiap harinya dan biasanya aktivitas yang mereka kerjakan adalah aktivitas yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung hidup seperti, menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut, dan menjadi penghubung atau penjual jasa. Adapun jenis pekerjaan anak jalanan oleh Anonim (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu :
1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah serta menjual sapu atau lap kaca mobil.
2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu, dan kenek atau calo.
3. Pengamen. Dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke, dan lain-lain.
4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai keinginan mereka.
Studi yang dilakukan Sugiharto (2001) pada dua rumah singgah yang berada di Kotamadya Bandung, menyimpulkan bahwa rentang usia anak jalanan berkisar antara 13 sampai 18 tahun. Menurut Irwanto dalam Sutinah (2001) rasio anak jalanan laki-laki di Indonesia kurang lebih 7:3. Hal ini juga didukung oleh Farid dalam Sutinah (2001) yang mengatakan jumlah anak jalanan perempuan berkisar 10 persen dari seluruh anak jalanan di Indonesia.
Garliah (2004) menuliskan bahwa anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya mereka bisa dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Hal ini lebih diperinci oleh Anonim (2004) dengan membedakan ciri-ciri anak jalanan berdasarkan dua kategori kelompok tersebut sebagai berikut:
• Anak yang hidup di jalanan:
1. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu.
2. Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk menggelandang atau tidur.
3. Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, stasiun, dll.
4. Tidak bersekolah lagi.
5. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung, dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri.
6. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
• Anak jalanan yang bekerja di jalanan, cirinya adalah:
1. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu. Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
2. Berada di jalanan sekitar 8-12 jam untuk bekerja, sebagian mencapai 16 jam.
3. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman, dengan orang tua/saudaranya, atau di tempat kerjanya di jalan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri orang-orang sedaerah. 4. Pekerjaannya menjual koran, mengasong, pengasong, pencuci bis,
pemulung sampah, penyemir sepatu, dan sebagainya. Bekerja merupakan bagian utama setelah putus sekolah terlebih di antara
mereka harus membantu orang tuanya karena miskin, cacat, dan tidak mampu lagi.
5. Rata-rata usianya dibawah 16 tahun.
Anonim (2006) merumuskan ciri-ciri anak jalanan kedalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan mempunyai kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, dan pakaian kotor. Ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang tinggi, tidak berpikir panjang (berani menanggung resiko), dan mandiri.
Menurut Garliah (2004) di kalangan anak-anak jalanan berkembang satu trend cara berpakaian yang cukup khas, yakni gaya berpakaian yang kotor dan
kumal, karena dengan memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau menyemirkan sepatu atau memberi uang. Dengan memakai pakaian bersih tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya atau memberikan uangnya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, disatu sisi, masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara "bersih", namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang cukup.
Hasil penelitian Syahril dkk. (2000) merumuskan bahwa sebagian besar anak jalanan berjenis kelamin laki-laki. Anak jalanan tersebut pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan termasuk anak yang kurang beruntung (disadvantage children). Yelon dalam Syahril (2000)
membatasi definisi anak-anak kurang beruntung sebagai anak yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah, keluarga yang tidak mempunyai orientasi terhadap bahasa, keluarga yang terlalu sibuk untuk mempertahankan hidup secara ekonomi dan tidak menunjukkan minat terhadap pendidikan.
Amal (2002) dalam Yudi (2006) menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan tidak bersekolah lagi atau tidak melanjutkan pendidikannya. Namun masih ada juga yang masih sekolah meskipun tidak banyak jumlahnya. Kategori tidak bersekolah dapat dibagi menjadi :
1.Anak yang tidak pernah bersekolah
2.Sekolah sampai kelas 2 SD (Sekolah Dasar)
3.Bersekolah lebih dari kelas 3 SD namun tidak mampu menyelesaikan sekolahnya
4.Hanya lulus SD
5.Lulus SD dan melanjutkan SMP.
Sedangkan untuk kategori yang melanjutkan pendidikan terbagi atas : 1.Anak pada tingkat pendidikan kelas 2 SD
2.Lebih dari kelas 2 SD
3.Pada tingkat pendidikan SLTP
Faktor-faktor Penyebab Anak Turun ke Jalan
Secara umum beberapa penyebab anak-anak hidup di jalanan, dapat terbagi dalam tiga tingkatan (Anonim, 2006), yaitu:
1. Tingkat mikro
Pada tingkat ini, biasanya anak menjadi anak jalanan disebabkan faktor internal dalam keluarga. Faktor penyebab timbulnya anak jalanan ini juga sesuai dengan apa yang ditulis oleh Mulandar dalam Anonim (2004) yaitu faktor kemiskinan keluarga. Kemiskinan ini diperparah oleh rendahnya pendidikan keluarga itu sendiri, sehingga kedua orang tua tidak mempunyai pandangan yang tepat terhadap masa depan anak.
2. Tingkat messo
Pada tingkat messo, faktor sebab dapat diidentifikasi sebagai berikut (a) masyarakat atau komunitas miskin mempunyai pola hidup dan budaya miskinnya sendiri. Pola hidup yang tidak teratur dan memandang anak sebagai aset untuk menunjang hidup keluarga yang menyebabkan hilangnya kebutuhan-kebutuhan anak sesuai tugas perkembangannya; (b) ada pola urbanisasi ke kota-kota besar tanpa perbekalan yang memadai.
Menurut Suparlan (1993), sekali kebudayaan kemiskinan tersebut tumbuh, ia cenderung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi melalui pengaruhnya terhadap anak-anak. Ketika anak-anak di wilayah slum berumur enam atau tujuh tahun, mereka biasanya menyerap nilai-nilai dasar dan sikap- sikap dari sub-kebudayaan mereka dan secara kejiwaan tidak sanggup memanfaatkan kondisi-kondisi perubahan dan memberikan kesempatan- kesempatan yang mungkin terjadi dalam hidup mereka. Hal ini terlihat dari penelitian Handoyo dkk (2004) bahwa anak jalanan yang turun ke jalan pada usia dini (3 sampai 10 tahun) adalah mereka yang mengikuti aktivitas orang tuanya mencari nafkah.
3. Tingkat makro
Pada tingkat makro, faktor sebab dapat diidentifikasi sebagai berikut (a) kebijakan pembangunan yang kurang menyentuh azas pemerataan antara pusat dengan daerah, sehingga pusat-pusat keramaian hanya muncul di daerah perkotaan (P.Jawa); (b) kondisi ekonomi masyarakat (Negara) yang tidak stabil, kenaikan harga barang-barang tiap tahun terjadi mengharuskan keluarga untuk beradaptasi dengan pengeluaran sedangkan penghasilan tidak bertambah; (c) tidak semua keluarga miskin dapat atau memperoleh akses pelayanan sosial (gratis) yang menjadi haknya, baik pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun pelayanan publik lainnya; (d) kebijakan penanganan masalah anak jalanan kurang bersifat sinergis, koordinatif dan berkelanjutan.
Rata-rata anak jalanan di lokasi penelitian mengaku pergi ke jalan merupakan keinginan sendiri. Namun motif ini bukanlah semata-mata timbul dari dalam diri mereka melainkan juga didorong oleh faktor lingkungan. Dari hasil penelitian Tauran (2000), penyebab anak jalanan turun ke jalan sebagai berikut: a. Semata-mata menopang kehidupan ekonomi keluarga
b. Mencari kompensasi dari kurangnya perhatian keluarga c. Sekedar mencari tambahan uang saku.
Penyebab tipe pertama, anak jalanan pergi ke jalan karena kondisi keluarga yang tidak stabil dan mereka diposisikan sebagai tulang punggung keluarga. Umumnya ini terjadi pada anak jalanan dengan keluarga yang mengalami disharmoni dan tidak memiliki sumber-sumber ekonomi yang dapat mendukung. Anak jalanan dengan motif seperti ini umumnya membelanjakan penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga. Mereka
seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong, pengamen, tukang ojek payung, dan kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
Penyebab tipe kedua, anak pergi ke jalan sebagai kompensasi dari tidak terpenuhinya kesejahteraan anak di rumah. Biasanya anak jalanan pada motif ini berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang cukup stabil tetapi terabaikannya fungsi yang seharusnya diperankan oleh orang tua (perhatian, kasih sayang dan bimbingan)mereka kurang mendapat kesejahteraannya, terutama dari aspek emosional secara baik. Pada keluarga yang pecah atau tidak utuh, baik yang disebabkan oleh perceraian atau meninggalnya salah satu atau kedua orang tua akan memberikan akibat bagi anak berupa:
a. Kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orangtua.
b. Kebutuhan dan harapan tidak terpenuhi c. Tidak mendapat latihan fisik dan mental
Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian tersebut anak dapat menjadi bingung, risau, sedih, atau malu. Bahkan kadang diliputi rasa dendam dan benci sehingga kemudian mereka menjadi liar dan mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga. Mereka mulai sering menghilang dari rumah dan lebih suka menggelandang mencari kesenangan hidup imaginer di tempat-tempat lain.
Penyebab tipe yang ketiga, yaitu sekedar mencari tambahan uang saku. Pada kondisi ini, secara relatif kebutuhan primer anak telah terpenuhi. Namun
demikian mereka memiliki inisiatif sendiri untuk mencari tambahan uang saku di jalan. Umumnya mereka berasal dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Mayoritas anak jalanan dengan motif seperti ini memilih pekerjaan sebagai pedagang koran.