• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)

2. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Kodoatie (2013:58) Untuk daerah aliran sungai yang perlu diperhatikan adalah meliputi debit banjir yang pernah terjadi, debit dominan dan pola hidrograf banjirnya yaitu:

a. Kondisi Daerah Aliran Sungai

Laju Permukaan Air di suatu aliran sungai memengaruhi bertambahnya daerah aliran air yang berada di SUB DAS dan dengan memperhatikan hidrografnya.

b. Bentuk DAS

Bentuk DAS mempengaruhi pola alur sungai, pola aliran sungai ada yang membentuk memanjang, ada yang membentuk melebar dan masih banyak lagi bentuk aliran sungai.

c. Topografi

Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan keratapan parit dan atau saluran, dan bentuk – bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran 20 permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai parit atau saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan adanya cekungan – cekungan.

11

Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian pula waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Pada DAS berbentuk memanjang, bila arah hujan sejajar dengannya, hujan yang bergerak kea rah hulu akan menurunkan laju air larian. Hal ini tejradi karena pada hujan yang bergerak kearah hulu, air larian

Gambar 2. Peta DAS 3. Luas DAS

Indarto (2016), menjelaskan Luas DAS sangatlah relatif tergantung dari luas tangkapan hujan (cathment area) yangberkonstribusi menghasilkan aliran air. Luas DAS dapat beberapa kilometer persegi hingga ratusan kilometer persegi. Satu DAS hanya dapat mencakup wilayah didalam satu desa, tetapi dapat juga mencakup wilayah beberapa kabupaten, beberapa wilayah provinsi, bahkan beberapa negara.

12

pada bagian bawah DAS tersebut telah berhenti sebelum air larian berikutnya tiba di daerah bawah tersebut. Sebaliknya , hujan yang bergerak ke daerah hilir menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawa DAS dan pada saat yang bersamaan datang air larian dari bagian atas DAS tersebut. (Prabantoro dkk, 2015:177)

Sementara itu Kodoatie & Sugiyanto (2002) menjelaskan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan daerah /wilayah /kawasan tata air yang terbentuk secara alamiah di mana air tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir dari daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang bersangkutan. Disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA): Dalam Bahasa Inggris ada beberapa macam istilah yaitu Catchment Area dan Watershed.

Indarto(2016), menjelaskan Proses hidrologi yang kompleks dan terjadi di dalam DAS sebagaimana dijelaskan, dapat disederhanakan karena berbagai alasan, misalnya: untuk mempermudah pemahaman tentang fenomena alam dan tidak semua subproses yang terjadi di dalam DAS dapat diketahui dan diukur. Input utama atau air yang mengalir di dalam DAS berasal dari hujan yang jatuh di berbagai tempat di dalam DAS. Hujan tersebut diukur oleh jaringan alat ukur (stasiun hujan) yang terpasang di dalam wilayah DAS. Hujan rerata ditentukan berdasarkan interpolasi data-data hujan yang terekam dari sejumlah stasiun. Air selanjutnya mengalir melalui jaringan sungai di dalam DAS dan sampai ke suatu tempat yang disebut sebagai outlet. Pada outlet DAS dipasang alat untuk mengukur aliran yang

13

keluar dari DAS tersebut. Jadi, hujan digunakan untuk mewakili input ke dalam DAS. debit digunakan untuk menggambarkan output dari sistem DAS.

Pengelola DAS perlu mengukur kualitas dan kuantitas air sehingga dapat memprediksi debit yang ada di sungai. Debit di sungai dipengaruhi oleh hujan yang jatuh di dalam DAS, bentuk saluran sungai, kecepatan air sungai, dan volume air.

Selama periode hujan lebat, debit air di sungai dapat naik secara mendadak. Debit aliran di sungai dapat dianalisis menggunakan hidrograf banjir. Kapasitas penyimpanan bendungan dapat dihitung dan diperkirakan menggunakan hidrograf.

Analisis hidrograf juga dapat digunakan untuk mengantisipasi debit air sungai agar cenderung stabil sepanjang tahun sehingga dapat memenuhi kebutuhan air.

Sumber: (Indarto, 2016)

Gambar 3.Contoh Daerah AliranSungai (DAS)

4.

Fungsi dan Peran Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Prabantoro dkk (2015:177) Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang menerima, mengumpulkan air hujan,

14

sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya ke laut atau ke danau maka fungsi hidrologisnya sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, 21 geologi yang mendasari dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk:

a. Mengalirkan air

b. Menyangga kejadian puncak hujan c. Melepas air secara bertahap

d. Memelihara kualitas air

e. Mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor)

Memahami hubungan antara penggunaan lahan dan aliran air ke daerah hilir memiliki arti yang sangat penting karena permintaan air bagi produksi pertanian, industri dan kebutuhan domestik terus meningkat, 31 sementara suplai tetap. Dalam banyak kasus, kekhawatiran akan dampak penggundulan hutan pada kualitas, kuantitas dan keteraturan aliran air dari hulu, merupakan dasar diterapkannya aturan penggunaan lahan. Suatu aturan penggunaan lahan seringkali mengakibatkan makin terbatasnya kesempatan masyarakat hulu untuk hidup sesuai dengan cara yang mereka inginkan atau anggap cocok. (Prabantoro dkk, 2015:177)

5. Citra Landsat

Citra Landsat adalah hasil perekaman satelit Landsat ( Land Satellite).

Landsat merupakan satelit sumber daya bumi asal Amerika Serikat yang dikelola bersama oleh NASA dan USGS. Landsat diluncurkan pertama kali

15

pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 ( Earth Resources Technology Satellite-1). Proyek eksperimental tersebut sukses lalu dilanjutkan dengan peluncuran yang kedua. Proyek tersebut telah berganti nama menjadi Landsat pada peluncuran keduanya sehingga ERTS-1 pun berubah nama menjadi Landsat-1. Landsat mengalami perkembangan yang pesat sampai pada tahun 1991 sudah mencapai satelit Landsat-5 yang diluncurkan ke antariksa. Selama kurun waktu tersebut dengan kecanggihan teknologi terjadi perubahan desain sensor pada Landsat. Kelima satelit Landsat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama (Landsat 1-3) dan generasi kedua (Landsat 4-5). Landsat 8 merupakan generasi terbaru dari misi Landsat yang diluncurkan pada 11 Februari 2013.

Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS) 1 diluncurkan pada 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 27 Juli 1983. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 yang beroperasi sampai 7 September 1983. Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982 dan dihentikan pada 15 Juni 2001. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 tetapi mengalami gangguan berat sejak November 2011 kemudian dinonaktifkan oleh USGS pada tahun 2013. Berbeda dengan 5 Generasi sebelumnya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan 15 Desember 1999 lalu, masih berfungsi hingga sekarang walaupun mengalami kerusakan sejak

16

Mei 2007. Landsat 8 memiliki kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi. Variasi resolusi spasial mulai dari 15 meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 saluran (band ) dengan resolusi spektral yang bervariasi. Landsat 8 dilengkapi dua instrumen sensor yaitu OLI dan TIRS. Landsat 8 mampu mengumpulkan 400 scenes citra. Sensor utama dari Landsat 8 adalah Operational Land Imager (OLI) yang memiliki fungsi untuk mengumpulkan data di permukaan bumi dengan spesifikasi resolusi spasial dan spektral yang berkesinambungan dengan data Landsat sebelumnya. OLI didesain dalam sistem perekaman sensor empat teleskop cermin, performa signal-to-noise yang lebih baik, dan penyimpanan dalam format kuantifikasi 12-bit. OLI merekam citra pada spektrum panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah tengah yang memiliki resolusi spasial 30 meter, serta saluran pankromatik yang memiliki resolusi spasial 15 meter. Dua saluran spektral baru ditambahkan dalam sensor OLI ini, yaitu saluran deep-blue untuk kajian perairan laut dan aeorosol serta sebuah saluran untuk mendeteksi awan cirrus. Saluran quality assurance juga ditambahkan untuk mengindikasi keberadaan bayangan medan, awan, dan lain- lain. (USGS, 2013). Citra Landsat juga bisa untuk membuat atau menentukan dimensi penampang sungai melalui Hecras lalu di tools Ras Mapper lewat DEM.

17 6. Limpasan Permukaan (Runoff )

Limpasan Permukaan atau aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan (Asdak,1995). Menurut Arsyad (1983) limpasan permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dimana dalam hal ini tanah telah jenuh air (Indarto Dkk, 2009). Limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya.

A. Proses Terjadinya Limpasan Permukaan

Menurut Arsyad (1982 dalam Haridjaja dkk.1991) proses terjadinya aliran permukaan adalah curah hujan yang jatuh diatas permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk kedalam tanah sebagai air infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama air masih berada dibawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung, dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk

18

mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depresion storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan (over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau pun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses hidrologi diatas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi. Selanjutnya aliran permukaan ini akan menuju saluran-saluran dan akhirnya akan menuju sungai sebelum mencapai danau atau laut. Proses runoff akan berlangsung terus selama intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasi aktual, tetapi runoff segera berhenti pada saat intensitas hujan menurun hingga kurang dari laju infiltrasi aktual.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Limpasan Permukaan (RunOff) 1. Kemiringan Lereng

Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, maka akan semakin cepat laju limpasan dan dengan demikian mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng keadaan parit dan bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju volume limpasan.

19

Tabel 2. 1 Parameter Pembobotan Kemiringan lereng

Sumber :Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

2. Jenis Tanah

Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori tanah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi laju limpasan permukaan, semakin banyak jumlah pori-pori tanah maka kemampuan air untuk menyerap air semakin tinggi (infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah pori-pori tanah maka semakin rendah kemampuan tanah menyerap air dan pada akhirnya meningkatkan laju aliran permukaan (Asdak,1995).

a. Alluvial Muda merupakan endapan aluvium (endapan aluvial sungai, pantai dan rawa ) yang berumur kuarter (resen) dan menempati daerah morfologi pedataran dengan ketinggian 0-60 m dengan sudut kemiringan lereng <3%

b. Regosol adalah tanah hasil lapukan dari batuan gunungapi dan menempati daerah perbukitn vulkanik, dengan ketinggian 110-1.540 m dengan sudut kemiringan lereng >15%. Sifat-sifat fisiknya berwarna coklat hingga kemerahan, berukuran lempung lanauan – pasir lempungan, plastisitas sedang, agak padu, tebal 0,1-2,0 m

Kelas

Topografi Bobot

0 – 5 % Datar 10

5 – 10% Bergelombang 20

10 – 30% Berbukit 30

>30 % Medan Terjal 40

20

c. Litosol merupakan tanah mineral hasil pelapukan batuan induk, berupa batuan beku (intrusi) dan/atau batuan sedimen yang menempati daerah perbukitan intrusi dengan ketinggian 3-1.150 m dan sudut lereng < 70%. Kenampakan sifat fisik berwarna coklat kemerahan, berukuran lempung, lempung lanauan, hingga pasir lempungan, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, solum dangkal, tebal 0,2-4,5 m.

d.

Mediteran merupakan tanah yang berasal dari pelapukan batugamping yang menempati daerah perbukitan karst, dengan ketinggian 8-750 m dan sudut lereng > 70%. Kenampakan fisik yang terlihat berwarna coklat kehitaman, berukuran lempung pasiran, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, permeabilitas sedang, rentan erosi, tebal 0,1-1,5 m

Tabel 2. 2 Klasifikasi Jenis Tanah

Sumber :Dulbahri, 1992

No Jenis Tanah Klasifikasi Jenis Tanah Skor

1 Aluvial Muda Geluh lempung pasiran, geluh pasiran 10

2 Regosol Pasir, Pasir Geluhan 20

3 Latosol Geluh lempungan, geluh lempung

debuan 30

4 Mediteran Lempung pasiran, Lempung Geluhan 30

21 3. Tutupan Vegetasi

Tutupan vegetasi adalah terkait kemampuan tajuk menangkap air hujan.

Suatu daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat, sewaktu hujan terjadi air tidak langsung jatuh ke permukaan tanah melainkan ditangkap terlebih dahulu oleh tajuk, sehingga membuat nilai runoff nya menjadi kecil, dapat dicontohkan seperti wilayah dengan penggunaan lahan hutan. Sedangkan wilayah yang memiliki vegetasi jarang akan memiliki nilai runoff yang besar dikarenakan sewaktu hujan turun, hanya sebagian air yang tertangkap tajuk sedangkan sebagian besarnya langsung jatuh ke permukaan tanah.

Sehingga daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat diberi bobot limpasan dengan nilai terkecil, begitupun sebaliknya.

Tabel 2. 3 Klasifikasi Vegetasi Penutup

No Klasifikasi Vegetasi Penutup Lahan Bobot

1 Tidak tertutup vegetasi 20

2 Tanaman budidaya, tertutup vegetasi <10% 15

3 50% tertutup vegetasi, padang rumput 10

4 >90 % tertutup vegetasi, padang rumput yang baik 5 Sumber : Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

4. Kerapatan Aliran

Kerapatan aliran daerah aliran sungai merupakan indeks yang menunjukan banyaknya anak sungai dalam suatu DAS, dinyatakan dengan perbandingan antar panjang keseluruhan sungai dengan luas DAS. Semakin

22

besar nilai kerapatan alirannya, maka dapat dikatakan sistem drainasenya semakin baik. Kerapatan aliran yang tinggi dicirikan dengan banyaknya percabangan sungai dalam daerah aliran dan memiliki kemiringan yang curam, yang dapat memberikan reaksi lebih cepat terhadap masuknya curah hujan sehingga laju dan volume aliran permukaan lebih tinggi.

Sedangkan kerapatan aliran yang rendah dicirikan dengan daerah aliran yang minim percabangan serta bentuk DAS-nya memanjang dan secara topografi daerahnya landai dan juga terdapat cekungan- cekungan.

Berdasarkan hal tersebu terlihat bahwa kerapatan aliran memiliki hubungan sebanding dengan nilai limpasan permukaan. Semakin tinggi nilai kerapatan aliran maka akan semakin besar bobot dari limpasan permukaan.

Tabel 2. 4 Klasifikasi Kerapatan Aliran

Kelas Klasifikasi Kelas Kerapatan Aliran

Sumber : Chow, 1964 dalam Sudaryatno

C. Metode Manning

Menurut Setiyono, dkk (2017:1683) Estimasi debit puncak menggunakan metode Manning merupakan salah satu metode yang efektif dan cepat. Metode Manning berfungsi untuk mengukur nilai kapasitas sungai dan menguji estimasi

23

debit puncak dengan menggunakan metode Cook yang berdasarkan pengukuran melalui data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi. Estimasi debit puncak metode Cook menggunakan variabel penutup lahan, infiltrasi tanah, kemiringan lereng, curah hujan dan kerapatan aliran sedangkan metode Manning menggunakan variabel koefisien kekasaran permukaan saluran, luas penampang sungai pada banjir, jari-jari hidrolis dan gradient hidrolik sungai.

Menurut (Pratisto & Danoedoro, 2008) Estimasi debit puncak DAS menggunakan metode Manning karena menghasilkan estimasi yang akurat dengan berbagai macam faktor kondisi fisik lingkungan DAS, Sedangkan Menurut (Gunawan, 1991) Metode Cook diterapkan untuk mengetahui nilai koefisien limpasan permukaan. Dalam (Setiyono, dkk, 2017: 1684)

Menurut Setiyono, dkk (2017:1691) Nilai debit puncak metode Manning juga menyatakan besaran kapasitas sungai untuk menampung debit air. Sedangkan nilai debit puncak metode Cook adalah debit puncak yang terjadi pada kondisi intensitas hujan dan perubahan fisik DAS tertentu secara aktual. Jika nilai debit puncak metode Cook melebihi nilai debit puncak metode Manning maka DAS tersebut berpotensi terjadi banjir limpasan karena melebihi kapasitas sungai dalam menampung debit air.

Perhitungan debit puncak selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Manning sebagai berikut : Setiyono dkk (2017:1687)

V = 1

𝑛𝑥 𝑅23𝑥 𝑆12 ……….……… (1)

24 Dimana :

n = Nilai kekasaran koefisien Manning (tanpa satuan) R = Jari-jari hidrolis

V = Kecepatan Aliran (m/det)

S = Kemiringan saluran arah memanjang (%)

Karena itu hubungan kecepatan, debit aliran, luas tampang dan nilai kekasaran biasanya dihasilkan melalui hubungan daya tahan aliran seperti terlihat dalam persamaan kecepatan Manning. Kekasaran yang dimaksudkan disini adalah suatu angka kekasaran yang dapat menghambat kecepatan aliran air di saluran. Angka tersebut lazim disebut sebagai angka kekasaran Manning. (Fasdarsyah 2016).

1. Penentuan Faktor Koefisien Manning

Sebenarnya sangat sulit untuk menentukan faktor kekasaran atau perlawanan (n), sebab tidak ada cara tertentu untuk pemilihan nilai n. Pada tingkat pengetahuan sekarang ini, memilih n sebenarnya berarti memperkirakan hambatan aliran pada saluran tertentu, yang benar-benar tidak dapat diperhitungkan. Untuk penentuan nilai n yang wajar diperlukan (Putro 2013) :

a. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi nilai n.

b. Mencocokkan tabel dari nilai-nilai n untuk berbagai tipe saluran.

c. Memeriksan dan memahami sifat beberapa saluran yang koefisien kekasarannya telah diketahui.

25

d. Menentukan n dengan cara analitis berdasarkan distribusi kecepatan teoritis pada penampang saluran dan data pengukuran kecepatan maupun pengukuran kekasaran.

a. Faktor Pengaruh Koefisien Kekasaran Manning

Pemilihan nilai n yang sesuai untuk berbagai kondisi perancangan, harus didasarkan pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap koefisien kekasaran baik untuk saluran buatan maupun alamiah, seperti yang diuraikan di bawah ini (SNI 2015) :

1. Kekasaran Permukaan Kekasaran permukaan ditandai dengan ukuran dan bentuk butiran bahan yang membentuk luas basah dan menimbulkan hambatan terhadap aliran. Butiran halus mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, dan butiran kasar memiliki nilai n yang tinggi.

2. Tertumbuhan dapat digolongkan dalam jenis kekasaran permukaan,tetapi hal ini juga memperkecil kapasitas saluran dan menghambat aliran. Dampaknya tergantung pada tinggi, kerapatan, distribusi dan jenis tetumbuhan dimana hal ini sangat penting dalam perancangan saluran pembuangan yang kecil.

3. Ketidak teraturan saluran meliputi ketidak teraturan keliling basah dan variasi penampang, ukuran dan bentuk di sepanjang saluran. Pada saluran alam biasanya ditandai dengan adanya alur-alur pasir, gelombang pasir, cekungan, gundukan, lubang dan tonjolan di dasar saluran.

26

4. Trase Saluran Kelengkungan yang landai dengan garis tengah yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, sedangkan kelengkungan yang tajam dengan belokanbelokan yang patah akan memperbesar nilai n.

5. Pengendapan dan Pengerusan Secara umum pengendapan dapat merubah saluran yang sangat tidak beraturan menjadi cukup beraturan dan memperkecil nilai n, sedangkan penggerusan dapat berakibat sebaliknya dan memperbesar nilai n, namun dampak utama dari pengendapan tergantung dari sifat alamiah bahan yang diendapkan.

6. Hambatan Hambatan akan timbul karena adanya balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya yang cenderung memperbesar nilai n. Adapun besar hambatan ini tergantung pada sifat alamiah hambatan, ukuran, bentuk, jumlah dan penyebarannya.

7. Ukuran dan Bentuk Saluran Perbesaran jari-jari hidrolik dapat memperbesar maupun memperkecil nilai n, tergantung pada keadaan saluran.

8. Taraf Air dan Debit Nilai n pada saluran umumnya berkurang bila taraf air dan debitnya bertambah, namun nilai n dapat juga bertambah pada taraf air tinggi bila dinding saluran kasar dan berumput.

9. Perubahan Musim Nilai n cenderung bertambah pada musim semi dan berkurang pada musim dingin, akibat pertumbuhan musiman dari tanaman di saluran.

10. Endapan Terapung dan Endapan Dasar Bahan-bahan yang mengapung dan endapan dasar, baik yang bergerak maupun tidak akan menyerap energi.

27 Tabel 2. 5 Tabel koefisien kekasaran Manning

Saluran Keterangan N Manning

Tanah

Lurus, baru, seragam,landai, dan bersih 0,016 – 0,033 Berkelok, landai dan berumput 0,023 – 0,040 Tidak terawat dan kotor 0,050 – 0,140 Tanah berbatu,kasar dan tidak teratur 0,035 – 0,045

Pasangan Batu

Batu kosong 0,023 – 0,035

Pasangan batu bela 0,017 – 0,030

Beton

Halus, sambungan baik dan rata 0,014 – 0,018 Kurang halus dan sambungan kurang rata 0,018 – 0,030 Sumber : Blog Ir_Darmadi_MM,MT

D. Metode Cook

Menurut Pratama & Yuwono (2016) Debit aliran permukaan rerata hasil estimasi metode Cook DAS Debit puncak ini harus dengan keadaan yang konstan setiap waktu sehingga DAS dapat dikatakan DAS yang sehat. Hal tersebut menghindarkan dari kejadian banjir akibat kelebihan debit puncak DAS dan kejadian kekeringan akibat kekurangan debit puncak DAS. Rumus Metode Cook (Sriartha, 2015:624)

𝐶 𝐷𝐴𝑆 = 𝐶1.𝐴1+𝐶2.𝐴2+⋯𝐶𝑛.𝐴𝑛

𝐴1+𝐴2+𝐴3+⋯𝐴𝑛 ……….……... (2)

Dimana:

C = Koefisien Limpasan

28 C1, 2, n = Koefisien Aliran Parameter A1, 2, n = Luas Parameter

Perhitungan nilai koefisien menggunakan Metode Cook untuk mencari Nilai C dari hasil perhitungan nilai C di dapatkan koefisien limpasan untuk mencari Debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode rasional . Pengukuran debit puncak dengan Metode Cook, parameter yang dipertimbangkan adalah koefisien limpasan, intensitas curah hujan dan luas DAS. Agar dapat mengetahui besarnya kapasitas saluran pada Sungai Jenelata dapat dilakukan pengukuran dengan rumus (Prabontoro Dkk, 2015:181)

Tabel 2. 6 Hasil Perhitungan C Total Pada Salah Satu Satuan Lahan

Sumber : (Sriartha, 2015)

Parameter Nama kelas/nilai Skor

Luas Sub-

vegetasi Hutan kerapatan

tinggi 5 43.4967 0.0009

Pembobot 48828.8889

C 0.00001551843

29 1. Metode Rasional

Metode Rasional adalah salah satu dari metode yang paling lama dipakai dan hanya digunakan untuk memperkirakan aliran permukaan, Metode ini berdasarkan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas yang seragam dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu konsentrasi (tc). Jika curah hujan dengan intensitas (I) terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung bertambah sampai mencapai tc, sedangkan tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di muara (outlet), sehingga perhitungan debit banjir dengan metode Rasional ini memerlukan data intensitas curah hujan (I), yaitu ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi dengan satuan mm/jam (Loebis 1992).

Qp = 0.278 x C x I x A ……….…….. (3) Dimana :

Qp = Debit Puncak (𝑚2)

C = Koefisien Limpasan Permukaan I = Intensitat Hujan (mm/jam)

A = Luas DAS (𝑘𝑚2)

E. Analisis Hidrologi

1. Periode Ulang (return period)

Menurut (Limantara ,2018) Periode Ulang (return period) didefinisikan sebagai waktu hipotetik di mana hujan atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Jadi, tidak ada

Dokumen terkait