• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara khusus penelitian bertujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui besar nilai faktor koefisien limpasan dengan menggunakan Metode Cook dan Metode Manning.

2. Untuk mengetahui besar debit puncak dan debit aliran di wilayah sub DAS Jenelata dengan Metode cook dan metode Manning.

4 D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

A. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menambah pemahaman mengenai Estimasi Debit Puncak menggunakan faktor koefisien limpasan Metode Cook dan Metode Manning.

B. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang terkait dengan Estimasi Debit Puncak dengan Faktor koefisien limpasan Metode Cook dan Metode Manning. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pembelajaran bagi peneliti terkait dengan dengan Estimasi Debit Puncak dengan Metode Cook dan Metode Manning.

E. Batasan Masalah

Penelitian ini di fokuskan pada analisis estimasi debit puncak di Sub DAS Jenelata. Lokasi Penelitian di Wilayah Sub DAS Jenelata Kabupaten Gowa dan Data curah hujan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran umum isi tulisan, sistematika penulisan tugas akhir ini terdiri dari lima bab, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA yang berisi tentang teori singkat yang digunakan dalam menyelesaikan dan membahas permasalahan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN yang berisi tentang Metodologi penelitian mencakup lokasi penelitian, jenis penelitian dan sumber data, analisis dan pengolahan data melalui aplikasi ArcGis , bagan alur penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN yang berisi tentang pembahasan tahap penelitian yang dilaksanakan yaitu : analisis data Curah hujan , Menentukan koefisien limpasan debit puncak metode cook dan metode manning ,dan pembahasan dari analisis data pada aplikasi ArcGis .

BAB V PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta saran dari penulis yang berkaitan dengan faktor pendukung serta faktor penghambat yang dialami selama penelitian dilaksanakan, yang merupakan harapan agar penelitian ini berguna untuk penelitian selanjutnya.

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi merupakan sistem berbasis komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani data spasial : pemasukan, pengelolaan data ( penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, serta keluaran (output) (Aronoff.1989). Sistem informasi geografi adalah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk input, menyimpan, analisis/manipulasi dan display data spasial, untuk pemecahan problema terkait kebumian (Kainz, Wolfgang.1995). Informasi geografi dapat dikatakan sebagai perwujudan dari berbagai fenomena dan fakta-fakta yang terjadi di permukaan bumi. Informasi ini beracuan pada setiap hasil pengamatan (observational research) dimana untuk memperoleh nya dapat melalui survey lapangan, sensus, statistik, tracking dan penginderaan jauh.

Sistem Informasi Geografi (SIG) terdiri atas input, penyusunan basis data,dan output. Sebagai input, semua data spasial dapat digunakan sebagai masukannya, yang meliputi peta-peta tersedia, data sensus, hasil penetian, dan citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh sebagai data utama dalam SIG karena muthakir, yang didukung oleh resolusi temporalnya.

Proses (buffer, overlay, transformasi,...) dapat dilakukan pada basis data

7

untuk menghasilkan informasi baru hasil dari pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan (Hartono, 2010).

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)

1. Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Sriartha (2015:622 ) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang menjadi kesatuan antara sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografis yang berfungsi menampung air dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau ke laut secara alami (Kepmen Pengelolaan DAS Terpadu, 2012). Perubahan penggunaan lahan dapat menimbulkan dampak terhadap peningkatan debit puncak aliran sebagai akibat tingginya aliran permukaan (runoff).

Menurut Sriartha (2015:622) Debit puncak merupakan suatu kondisi yang menunjukkan titik nilai debit tertinggi (maksimum) pada bagian hilir DAS atau Sub-DAS sebagai akibat dari meningkatnya aliran permukaan. Informasi perubahan debit puncak diperlukan untuk perencanaan pengendalian banjir dan pembuatan bangunan sipil teknis untuk pengendalian erosi. Sub DAS juga merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak-anak sungai ke sungai utama. Sub DAS merupakan suatu kesatuan ekonomis yang terbentuk secara alamiah mengalir melalui cabang aliran sungai yang membentuk wilayah bagian DAS.

Menurut Junaidi & Alan Sub DAS memiliki bentuk memanjang dengan anak-anak sungai langsung masuk ke induk sungai sehingga bentuknya seperti bulu

8

burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan debit banjirnya relatif kecil, karena perjalanan banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya. Namun sebaliknya, jika terjadi banjir akan berlangsung relatif lama, karena menyebabkan konsentrasi debit puncak ke sungai lainnya memerlukan waktu yang relatif lama. sub-DAS telah ditentukan batas- batasnya, selanjutnya secara otomatis dihubungkan ke dalam suatu jaringan hidrologis dan diberi identifikasi dengan suatu sistem penomoran tertentu.

Debit puncak terjadi ketika seluruh aliran permukaan yang berada di daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik outlet (bagian hilir suatu DAS atau Sub-DAS sebagai tempat berkumpulnya seluruh aliran permukaan yang mengalir dari bagian hulu DAS). Setiap DAS memiliki lebar dan kedalaman sungai utama yang berbeda- beda. Lebar dan kedalaman sungai utama berkaitan dengan seberapa besar kapasitas sungai tersebut mampu menampung air pada kondisi debit maksimum Debit puncak akan terakumulasi pada outlet sungai yang merupakan akhir dari percabangan sungai. Perhitungan debit puncak secara langsung di lapangan merupakan pekerjaan yang berat, terutama untuk DAS yang ukurannya besar dan kondisi medannya berat. Untuk itu diperlukan teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG) untuk membantu proses analisis debit puncak (Prabantoro dkk,2015:176 ).

Menurut (Prabantoro dkk,2015:176 ) Peran PJ adalah untuk mengidentifikasi parameter- parameter yang mempengaruhi debit puncak seperti curah hujan, koefisien limpasan permukaan, dan luas DAS. Sementara SIG berfungsi untuk

9

membantu proses analisis dan pengolahan data debit puncak. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran

Sumber: (Indarto, 2010)

Gambar 1.Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Kodoatie (2013:51) Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki beberapa definisi yangtercantum dalam (UU No. 7 tahun 2004) antara lain:

a. DAS adalah kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan.

b. DAS suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.

10

c. Daerah tangkapan air adalah cakupan pengaturan suatu system aliran sungai diantaranya pengunungan yang menampung dan mengalirkan curahan hujan ke sungai termasuk anak sungainya.

2. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Kodoatie (2013:58) Untuk daerah aliran sungai yang perlu diperhatikan adalah meliputi debit banjir yang pernah terjadi, debit dominan dan pola hidrograf banjirnya yaitu:

a. Kondisi Daerah Aliran Sungai

Laju Permukaan Air di suatu aliran sungai memengaruhi bertambahnya daerah aliran air yang berada di SUB DAS dan dengan memperhatikan hidrografnya.

b. Bentuk DAS

Bentuk DAS mempengaruhi pola alur sungai, pola aliran sungai ada yang membentuk memanjang, ada yang membentuk melebar dan masih banyak lagi bentuk aliran sungai.

c. Topografi

Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan keratapan parit dan atau saluran, dan bentuk – bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran 20 permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai parit atau saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan adanya cekungan – cekungan.

11

Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian pula waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Pada DAS berbentuk memanjang, bila arah hujan sejajar dengannya, hujan yang bergerak kea rah hulu akan menurunkan laju air larian. Hal ini tejradi karena pada hujan yang bergerak kearah hulu, air larian

Gambar 2. Peta DAS 3. Luas DAS

Indarto (2016), menjelaskan Luas DAS sangatlah relatif tergantung dari luas tangkapan hujan (cathment area) yangberkonstribusi menghasilkan aliran air. Luas DAS dapat beberapa kilometer persegi hingga ratusan kilometer persegi. Satu DAS hanya dapat mencakup wilayah didalam satu desa, tetapi dapat juga mencakup wilayah beberapa kabupaten, beberapa wilayah provinsi, bahkan beberapa negara.

12

pada bagian bawah DAS tersebut telah berhenti sebelum air larian berikutnya tiba di daerah bawah tersebut. Sebaliknya , hujan yang bergerak ke daerah hilir menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawa DAS dan pada saat yang bersamaan datang air larian dari bagian atas DAS tersebut. (Prabantoro dkk, 2015:177)

Sementara itu Kodoatie & Sugiyanto (2002) menjelaskan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan daerah /wilayah /kawasan tata air yang terbentuk secara alamiah di mana air tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir dari daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang bersangkutan. Disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA): Dalam Bahasa Inggris ada beberapa macam istilah yaitu Catchment Area dan Watershed.

Indarto(2016), menjelaskan Proses hidrologi yang kompleks dan terjadi di dalam DAS sebagaimana dijelaskan, dapat disederhanakan karena berbagai alasan, misalnya: untuk mempermudah pemahaman tentang fenomena alam dan tidak semua subproses yang terjadi di dalam DAS dapat diketahui dan diukur. Input utama atau air yang mengalir di dalam DAS berasal dari hujan yang jatuh di berbagai tempat di dalam DAS. Hujan tersebut diukur oleh jaringan alat ukur (stasiun hujan) yang terpasang di dalam wilayah DAS. Hujan rerata ditentukan berdasarkan interpolasi data-data hujan yang terekam dari sejumlah stasiun. Air selanjutnya mengalir melalui jaringan sungai di dalam DAS dan sampai ke suatu tempat yang disebut sebagai outlet. Pada outlet DAS dipasang alat untuk mengukur aliran yang

13

keluar dari DAS tersebut. Jadi, hujan digunakan untuk mewakili input ke dalam DAS. debit digunakan untuk menggambarkan output dari sistem DAS.

Pengelola DAS perlu mengukur kualitas dan kuantitas air sehingga dapat memprediksi debit yang ada di sungai. Debit di sungai dipengaruhi oleh hujan yang jatuh di dalam DAS, bentuk saluran sungai, kecepatan air sungai, dan volume air.

Selama periode hujan lebat, debit air di sungai dapat naik secara mendadak. Debit aliran di sungai dapat dianalisis menggunakan hidrograf banjir. Kapasitas penyimpanan bendungan dapat dihitung dan diperkirakan menggunakan hidrograf.

Analisis hidrograf juga dapat digunakan untuk mengantisipasi debit air sungai agar cenderung stabil sepanjang tahun sehingga dapat memenuhi kebutuhan air.

Sumber: (Indarto, 2016)

Gambar 3.Contoh Daerah AliranSungai (DAS)

4.

Fungsi dan Peran Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Prabantoro dkk (2015:177) Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang menerima, mengumpulkan air hujan,

14

sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya ke laut atau ke danau maka fungsi hidrologisnya sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, 21 geologi yang mendasari dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk:

a. Mengalirkan air

b. Menyangga kejadian puncak hujan c. Melepas air secara bertahap

d. Memelihara kualitas air

e. Mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor)

Memahami hubungan antara penggunaan lahan dan aliran air ke daerah hilir memiliki arti yang sangat penting karena permintaan air bagi produksi pertanian, industri dan kebutuhan domestik terus meningkat, 31 sementara suplai tetap. Dalam banyak kasus, kekhawatiran akan dampak penggundulan hutan pada kualitas, kuantitas dan keteraturan aliran air dari hulu, merupakan dasar diterapkannya aturan penggunaan lahan. Suatu aturan penggunaan lahan seringkali mengakibatkan makin terbatasnya kesempatan masyarakat hulu untuk hidup sesuai dengan cara yang mereka inginkan atau anggap cocok. (Prabantoro dkk, 2015:177)

5. Citra Landsat

Citra Landsat adalah hasil perekaman satelit Landsat ( Land Satellite).

Landsat merupakan satelit sumber daya bumi asal Amerika Serikat yang dikelola bersama oleh NASA dan USGS. Landsat diluncurkan pertama kali

15

pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 ( Earth Resources Technology Satellite-1). Proyek eksperimental tersebut sukses lalu dilanjutkan dengan peluncuran yang kedua. Proyek tersebut telah berganti nama menjadi Landsat pada peluncuran keduanya sehingga ERTS-1 pun berubah nama menjadi Landsat-1. Landsat mengalami perkembangan yang pesat sampai pada tahun 1991 sudah mencapai satelit Landsat-5 yang diluncurkan ke antariksa. Selama kurun waktu tersebut dengan kecanggihan teknologi terjadi perubahan desain sensor pada Landsat. Kelima satelit Landsat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama (Landsat 1-3) dan generasi kedua (Landsat 4-5). Landsat 8 merupakan generasi terbaru dari misi Landsat yang diluncurkan pada 11 Februari 2013.

Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS) 1 diluncurkan pada 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 27 Juli 1983. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 yang beroperasi sampai 7 September 1983. Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982 dan dihentikan pada 15 Juni 2001. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 tetapi mengalami gangguan berat sejak November 2011 kemudian dinonaktifkan oleh USGS pada tahun 2013. Berbeda dengan 5 Generasi sebelumnya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan 15 Desember 1999 lalu, masih berfungsi hingga sekarang walaupun mengalami kerusakan sejak

16

Mei 2007. Landsat 8 memiliki kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi. Variasi resolusi spasial mulai dari 15 meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 saluran (band ) dengan resolusi spektral yang bervariasi. Landsat 8 dilengkapi dua instrumen sensor yaitu OLI dan TIRS. Landsat 8 mampu mengumpulkan 400 scenes citra. Sensor utama dari Landsat 8 adalah Operational Land Imager (OLI) yang memiliki fungsi untuk mengumpulkan data di permukaan bumi dengan spesifikasi resolusi spasial dan spektral yang berkesinambungan dengan data Landsat sebelumnya. OLI didesain dalam sistem perekaman sensor empat teleskop cermin, performa signal-to-noise yang lebih baik, dan penyimpanan dalam format kuantifikasi 12-bit. OLI merekam citra pada spektrum panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah tengah yang memiliki resolusi spasial 30 meter, serta saluran pankromatik yang memiliki resolusi spasial 15 meter. Dua saluran spektral baru ditambahkan dalam sensor OLI ini, yaitu saluran deep-blue untuk kajian perairan laut dan aeorosol serta sebuah saluran untuk mendeteksi awan cirrus. Saluran quality assurance juga ditambahkan untuk mengindikasi keberadaan bayangan medan, awan, dan lain- lain. (USGS, 2013). Citra Landsat juga bisa untuk membuat atau menentukan dimensi penampang sungai melalui Hecras lalu di tools Ras Mapper lewat DEM.

17 6. Limpasan Permukaan (Runoff )

Limpasan Permukaan atau aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan (Asdak,1995). Menurut Arsyad (1983) limpasan permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dimana dalam hal ini tanah telah jenuh air (Indarto Dkk, 2009). Limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya.

A. Proses Terjadinya Limpasan Permukaan

Menurut Arsyad (1982 dalam Haridjaja dkk.1991) proses terjadinya aliran permukaan adalah curah hujan yang jatuh diatas permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk kedalam tanah sebagai air infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama air masih berada dibawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung, dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk

18

mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depresion storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan (over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau pun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses hidrologi diatas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi. Selanjutnya aliran permukaan ini akan menuju saluran-saluran dan akhirnya akan menuju sungai sebelum mencapai danau atau laut. Proses runoff akan berlangsung terus selama intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasi aktual, tetapi runoff segera berhenti pada saat intensitas hujan menurun hingga kurang dari laju infiltrasi aktual.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Limpasan Permukaan (RunOff) 1. Kemiringan Lereng

Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, maka akan semakin cepat laju limpasan dan dengan demikian mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng keadaan parit dan bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju volume limpasan.

19

Tabel 2. 1 Parameter Pembobotan Kemiringan lereng

Sumber :Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

2. Jenis Tanah

Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori tanah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi laju limpasan permukaan, semakin banyak jumlah pori-pori tanah maka kemampuan air untuk menyerap air semakin tinggi (infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah pori-pori tanah maka semakin rendah kemampuan tanah menyerap air dan pada akhirnya meningkatkan laju aliran permukaan (Asdak,1995).

a. Alluvial Muda merupakan endapan aluvium (endapan aluvial sungai, pantai dan rawa ) yang berumur kuarter (resen) dan menempati daerah morfologi pedataran dengan ketinggian 0-60 m dengan sudut kemiringan lereng <3%

b. Regosol adalah tanah hasil lapukan dari batuan gunungapi dan menempati daerah perbukitn vulkanik, dengan ketinggian 110-1.540 m dengan sudut kemiringan lereng >15%. Sifat-sifat fisiknya berwarna coklat hingga kemerahan, berukuran lempung lanauan – pasir lempungan, plastisitas sedang, agak padu, tebal 0,1-2,0 m

Kelas

Topografi Bobot

0 – 5 % Datar 10

5 – 10% Bergelombang 20

10 – 30% Berbukit 30

>30 % Medan Terjal 40

20

c. Litosol merupakan tanah mineral hasil pelapukan batuan induk, berupa batuan beku (intrusi) dan/atau batuan sedimen yang menempati daerah perbukitan intrusi dengan ketinggian 3-1.150 m dan sudut lereng < 70%. Kenampakan sifat fisik berwarna coklat kemerahan, berukuran lempung, lempung lanauan, hingga pasir lempungan, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, solum dangkal, tebal 0,2-4,5 m.

d.

Mediteran merupakan tanah yang berasal dari pelapukan batugamping yang menempati daerah perbukitan karst, dengan ketinggian 8-750 m dan sudut lereng > 70%. Kenampakan fisik yang terlihat berwarna coklat kehitaman, berukuran lempung pasiran, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, permeabilitas sedang, rentan erosi, tebal 0,1-1,5 m

Tabel 2. 2 Klasifikasi Jenis Tanah

Sumber :Dulbahri, 1992

No Jenis Tanah Klasifikasi Jenis Tanah Skor

1 Aluvial Muda Geluh lempung pasiran, geluh pasiran 10

2 Regosol Pasir, Pasir Geluhan 20

3 Latosol Geluh lempungan, geluh lempung

debuan 30

4 Mediteran Lempung pasiran, Lempung Geluhan 30

21 3. Tutupan Vegetasi

Tutupan vegetasi adalah terkait kemampuan tajuk menangkap air hujan.

Suatu daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat, sewaktu hujan terjadi air tidak langsung jatuh ke permukaan tanah melainkan ditangkap terlebih dahulu oleh tajuk, sehingga membuat nilai runoff nya menjadi kecil, dapat dicontohkan seperti wilayah dengan penggunaan lahan hutan. Sedangkan wilayah yang memiliki vegetasi jarang akan memiliki nilai runoff yang besar dikarenakan sewaktu hujan turun, hanya sebagian air yang tertangkap tajuk sedangkan sebagian besarnya langsung jatuh ke permukaan tanah.

Sehingga daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat diberi bobot limpasan dengan nilai terkecil, begitupun sebaliknya.

Tabel 2. 3 Klasifikasi Vegetasi Penutup

No Klasifikasi Vegetasi Penutup Lahan Bobot

1 Tidak tertutup vegetasi 20

2 Tanaman budidaya, tertutup vegetasi <10% 15

3 50% tertutup vegetasi, padang rumput 10

4 >90 % tertutup vegetasi, padang rumput yang baik 5 Sumber : Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

4. Kerapatan Aliran

Kerapatan aliran daerah aliran sungai merupakan indeks yang menunjukan banyaknya anak sungai dalam suatu DAS, dinyatakan dengan perbandingan antar panjang keseluruhan sungai dengan luas DAS. Semakin

22

besar nilai kerapatan alirannya, maka dapat dikatakan sistem drainasenya semakin baik. Kerapatan aliran yang tinggi dicirikan dengan banyaknya percabangan sungai dalam daerah aliran dan memiliki kemiringan yang curam, yang dapat memberikan reaksi lebih cepat terhadap masuknya curah hujan sehingga laju dan volume aliran permukaan lebih tinggi.

Sedangkan kerapatan aliran yang rendah dicirikan dengan daerah aliran yang minim percabangan serta bentuk DAS-nya memanjang dan secara topografi daerahnya landai dan juga terdapat cekungan- cekungan.

Berdasarkan hal tersebu terlihat bahwa kerapatan aliran memiliki hubungan sebanding dengan nilai limpasan permukaan. Semakin tinggi nilai kerapatan aliran maka akan semakin besar bobot dari limpasan permukaan.

Tabel 2. 4 Klasifikasi Kerapatan Aliran

Kelas Klasifikasi Kelas Kerapatan Aliran

Sumber : Chow, 1964 dalam Sudaryatno

C. Metode Manning

Menurut Setiyono, dkk (2017:1683) Estimasi debit puncak menggunakan metode Manning merupakan salah satu metode yang efektif dan cepat. Metode Manning berfungsi untuk mengukur nilai kapasitas sungai dan menguji estimasi

23

debit puncak dengan menggunakan metode Cook yang berdasarkan pengukuran

debit puncak dengan menggunakan metode Cook yang berdasarkan pengukuran

Dokumen terkait