• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ESTIMASI DEBIT PUNCAK DENGAN FAKTOR KOEFISIEN LIMPASAN METODE COOK DAN METODE MANNING DI SUB DAS JENELATA KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI ESTIMASI DEBIT PUNCAK DENGAN FAKTOR KOEFISIEN LIMPASAN METODE COOK DAN METODE MANNING DI SUB DAS JENELATA KABUPATEN GOWA"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

ESTIMASI DEBIT PUNCAK DENGAN FAKTOR KOEFISIEN LIMPASAN METODE COOK DAN METODE MANNING

DI SUB DAS JENELATA KABUPATEN GOWA

OLEH:

MUH ARAFAT ASHARI ADY HARDIANTI EFFENDY T

10581249915 10581232715

JURUSAN SIPIL PENGAIRAN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2022

(2)

ii

(3)

iii

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala Puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Hidayah, Karunia, serta kemudahan dan kelancaran-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. Tak lupa saya panjatkan puji syukur kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi panutan bagi umat di seluruhalam termasuk penulis sehingga proposal sederhana ini dapat terselesaikan denganbaik.

Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka menyelesaikan Program Studi Teknik Pengairan pada Jurusan Teknik Sipil FakultasTeknik Universitas Muhammadiyah Makassar. Adapun judul proposal kami adalah :“ESTIMASI DEBIT PUNCAKDENGANFAKTOR KOEFISIEN LIMPASAN METODE COOK DAN METODE MANNING DI SUB DAS JENELATA KABUPATEN GOWA” Dalam penulisan proposal ini penulis mendapatbanyak tantangan dan hambatan, namun karena usaha dan kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak sehingga semua masalah dapat teratasi dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dariberbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan setulus hati penulis terimakasih banyak yang sedalam-dalamnya disampaikan dengan hormat kepada:

(4)

iv

1. Bapak Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

2. Ibu Dr.Ir.Hj. Nurnawaty, ST.,MT., IPM selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.

3. Bapak M. Agusalim, ST., MT selaku Ketua Jurusan Sipil Pengairan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Ibu Almarhuma Dr. Ir. Hj. Fenti Daud, ST.,MT selaku Pembimbing I dan Ibu Indriyanti, ST.,MT. selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing kami.

5. Terima Kasih Kepada Bapak dan Ibu Dosen serta para Staf Administrasi pada Jurusan Teknik Sipil Pengairan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah menuangkan segala ilmu dan ide serta pengetahuan baru dibidang Teknik Sipil kepada penulis.

6. Terima Kasih Kepada orang tua saya yang telah mensuport saya, saudara, para sahabat, rekan serta teman-teman atas doa, bimbingan, kerja sama, serta kasih sayang dan semangat yang selalu tercurah selama ini.

7. Terima kasih Kepada Kakanda Ilham Abdullah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu skripsi ini agar bisa selesai sebagaimana mestinya dan Terima Kasih juga kepada Agnisa Nurul Qamar, S.Ak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi penulis.

(5)

v

8. Teman-teman seperjuangan “Reaksi 2015” (One Action One Comando) Terima kasih banyak atas kebersamaannya selama ini. Untuk teman – teman yang masih berstatus Mahasiswa tetap semangat mengejar target dan mengerjakan tugas akhir seluruh Mahasiswa/i “FAKULTAS TEKNIK UNISMUH MAKASSAR”. Terimakasih pengalaman dan kebersamaanya . TEKNIK JAYA.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis akan sangat menghargai saran dan kritik sehingga laporan tugas akhir ini dapat menjadi lebih baik dan menambah pengetahuan kami dalam upaya penyempurnaan laporan selanjutnya. Semoga, laporan tugas akhir ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan untuk pembaca pada umumnya. Aamiin Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Penulis

(6)

vi ABSTRAK

Salah satu upaya untuk menangani permasalahan banjir dengan cara mencari besarnya nilai debit puncak DAS menggunakan metode yang sementara ini bisa menentukan dengan besarnya debit dengan menggunakan beberapa Metode yaitu Metode Cook diterapkan untuk menentukan parameter dalam perhitungan debit puncak sedangkan dengan metode Manning mengetahui kapasitas tampung air, tinggi tanggul, dan gradien hidrolik, dan faktor kekasaran saluran. Penelitian ini dilakukan di Sub DAS Jenelata yang bagian dari DAS Jeneberang yang berada pada 119034’45” - 119043’48” BT dan 05019’32” - 05025’50” LS Kabupaten Gowa, yang memiliki luas ± 22.800 ha. Jadi bisa disimpulkan dalam perhitungan dengan menggunakan koefisien Limpasan Metode cook, dengan hasil yang diperoleh yaitu 0,84 Berdasarkan hasil perhitungan Estimasi debit puncak dengan menggunakan Metode Rasional nilai yang di dapatkan sebesar 566.85 m³/dtk Perhitungan dengan menggunakan Faktor koefisien Metode Persamaan Manning didapatkan Q sebesar 883.021 m³/dtk. Grafik yang menunjukkan tingginya debit puncak pada metode rasional terjadi pada tahun 2007 sebesar 957,96 m³/dtk , sedangkan grafik dari faktor Manning menunjukkan ketinggian air terjadi pada titik 149 yang nilainya sebesar 8565,01 m³/dtk.

Kata Kunci : Debit Puncak, Faktor Koefisen Limpasan, Cook Dan Manning

(7)

vii ABSTRACT

One of the efforts to deal with flooding problems is to find the peak discharge value of the watershed using a method that can temporarily determine the amount of discharge using several methods, namely the Cook method is applied to determine the parameters in the calculation of peak discharge while the Manning method determines the water holding capacity, height embankment, and hydraulic gradient, and channel roughness factor. This research was conducted in the Jenelata sub- watershed which is part of the Jeneberang watershed which is located at 119034'45"

- 119043'48" east longitude and 05019'32" - 05025'50" LS Gowa Regency, which has an area of ± 22,800 ha. So it can be concluded in the calculation using the runoff coefficient of the cook method, with the results obtained that is 0.84. 883,021 m³/s.

The graph showing the peak flow rate in the rational method occurred in 2007 at 957.96 m³/s, while the graph from the Manning factor shows the water level at point 149 with a value of 8565.01 m³/s.

Keywords: Peak Discharge, Runoff Coefficient Factor, Cook And Manning

(8)

viii

DAFTAR ISI

SKRIPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Batasan Masalah ... 4

F. Sistematika Penulisan ... 4

BAB II ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Sistem Informasi Geografi ... 6

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)... 7

1. Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 7

(9)

ix

2. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 10

3. Luas DAS ... 11

4. Fungsi dan Peran Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 13

5. Citra Landsat ... 14

6. Limpasan Permukaan (Runoff ) ... 17

C. Metode Manning ... 22

D. Metode Cook ... 27

E. Analisis Hidrologi ... 29

1. Periode Ulang (return period) ... 29

2. Analisis Hujan Rata-Rata Daerah ... 35

3. Intensitas Hujan ... 36

BAB III ... 39

METODE PENELITIAN ... 39

A. Lokasi Penelitian ... 39

B. Jenis Penelitian dan Sumber Data ... 39

C. Alat dan Bahan Penelitian ... 40

D. Tahapan Penelitian ... 40

E. Bagan Alur Penelitian ... 42

BAB IV ... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Hasil Penelitian ... 43

1. Analisa Koefisien Limpasan ... 43

2. Analisa Curah Hujan ... 68

3. Debit Puncak ... 77

B. Pembahasan ... 80

(10)

x

BAB V ... 82

PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)...9

Gambar 2. PetaDAS...11

Gambar 3. Contoh Daerah Aliran Sungai (DAS)...13

Gambar 4. Peta SUB DAS Jenelata………...39

Gambar 5. Alur Penelitian...42

Gambar 6. Data attribute Peta Kemiringan lereng Sub DAS Jenelata...…...43

Gambar 7. Peta Kemiringan Lereng...44

Gambar 8. Grafik Persentase luas Kemiringan Lereng Sub DAS Jenelata...45

Gambar 9. Data attribute Peta Jenis Tanah Sub DAS Jenelata...45

Gambar 10. Peta Jenis Tanah Sub DAS Jenelata...46

Gambar 11. Data attribute Peta Vegetasi Penutup Sub DAS Jenelata...47

Gambar 12. Peta Vegetasi penutup...48

Gambar 13. Data attribute Peta kerapatanAliran Sub DAS Jenelata...49

Gambar 14. Peta kerapatan Aliran...50

Gambar 15. Grafik debit puncak Metode Manning...67

Gambar 16. Grafik debit puncak metode Rasional...78

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai Koefisien Limpasan Sub Das Jenelata...51

Tabel 2. Perhitungan Metode Manning...55

Tabel 3. Jumlah curah hujan tahunan stasiun Malakaji...68

Tabel 4. Jumlah Curah Hujan Tahunan Stasiun Palladingan...69

Tabel 5. Jumlah Curah Hujan Tahunan Stasiun Malino...70

Tabel 6. Curah Hujan Maksimum Rerata Metode Aljabar...71

Tabel 7. Metode Distribusi Normal...72

Tabel 8. Metode Distribusi Log Normal...73

Tabel 9. Metode Distribusi Log Pearson III...73

Tabel 10. Perhitungan Periode Ulang...74

Tabel 11. Rekap Hasil Perhitungan Curah hujan Rencana...75

Tabel 12. Perhitungan Intensitas Hujan...76

Tabel 13. Perhitungan Hasil Etimasi Debit Puncak Metode Rasional...77

Tabel 14. Debit Puncak Aktual Tahun 1996-2010...78

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2004 Indonesia pernah mengalami kebanjiran yang sangat besar disertai curah hujan yang terlalu tinggi sehingga pada saat itu banjir yang terjadi di kota Aceh yang mengakibatkan terjadinya kerusakan parah yang terjadi pada saat itu serta meninggalkan duka bagi mereka yang terdampak oleh karena itu belum ada solusi yang bisa memberikan cara penanganan banjir yang terjadi diseluruh Indonesia belum lagi bertambah jumlah penduduk Indonesia yang menjadikan lahan tropis Indonesia jadi hilang .

Banjir merupakan suatu permasalahan yang besar dan perlu diperhatikan pada sebagian besar DAS (Daerah Aliran Sungai) di Indonesia. Banjir diakibatkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi dan debit aliran sungai. Beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya banjir antara lain daya dukung DAS yang semakin menurun, alih fungsi lahan yang tidak sesuai, pola curah hujan yang berubah, dan morfometri sungai berupa lebar dan kedalaman sungai. Lebar dan kedalaman sungai berkaitan dengan kemampuan sungai menampung air pada kondisi maksimum. Sementara itu di musim penghujan dari tahun ke tahun membuat daerah aliran sungai jadi meluap tingginya intensitas curah hujan juga membuat debit air semakin tinggi dan dikarenakan juga fungsi lahan dan pemanfaatan suatu lahan yang tidak tepat dalam kegunaannya ditambahnya lagi

(14)

2

penurunan kualitas daya tampung DAS itu sendiri yang akan memicu meluapnya air kebagian pemukiman warga. Di samping itu karakterisitik DAS juga perlu agar kita tau besarnya potensi banjir.

Salah satu upaya untuk menangani permasalahan banjir dengan cara mencari besarnya nilai debit puncak DAS menggunakan metode yang sementara ini bisa menentukan dengan besarnya debit dengan menggunakan beberapa Metode yaitu Metode Cook diterapkan untuk menentukan parameter dalam perhitungan debit puncak sedangkan dengan metode Manning mengetahui kapasitas tampung air, tinggi tanggul, dan gradien hidrolik, dan faktor kekasaran saluran.

Kapasitas sungai suatu DAS dapat diestimasi dengan melakukan pengukuran di lapangan, kapasitas sungai menggambarkan debit puncak dari suatu aliran sungai utama, yang mana nilai tersebut sebagai nilai ambang batas untuk menentukan suatu debit puncak dapat menimbulkan banjir atau tidak (Lee, 1980).

Penelitian ini dilakukan di Sub DAS Jenelata yang bagian dari DAS Jeneberang yang berada pada 119034’45” - 119043’48” BT dan 05019’32” - 05025’50” LS Kabupaten Gowa, yang memiliki luas ± 22.800 ha. Secara Sub DAS Jenelata berada di wilayah Kecamatan Manuju, Kecamatan Bungaya dan Kecamatan Bontolempangan. Luas penggunaan lahan DAS Jenelata tahun 2013 terdapat Hutan Lahan Kering Sekunder 2339,08 ha, Hutan Tanaman 1013,2 ha, Pemukiman 122,93 ha, Pertanian Lahan Kering Campur 11022,60 ha, Sawah 3168,25 ha, Semak Belukar 4976,24 ha, dan Tubuh Air 241,20 ha.

(15)

3

Dalam penelitian ini, disajikan pula karakteristik fisik dan hujan DAS yang mempengaruhi besarnya debit puncak. Sub DAS tersebut dipilih karena memiliki pencatatan data hidrologi yang dibutuhkan untuk menguji keakuratan estimasi debit puncak. Maka penulis mengangkat sebuah tugas akhir dengan judul “ESTIMASI DEBIT PUNCAK DENGAN FAKTOR KOEFISIEN LIMPASAN METODE COOK DAN METODE MANNING DI SUB DAS JENELATA KABUPATEN GOWA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. :

1. Membandingkan debit puncak dengan metode cook dan metode manning menggunakan faktor koefisien limpasan ?

2. Berapa besar nilai debit puncak dan debit aliran dengan Metode Cook dan Metode Manning ada di Sub DAS Jenelata ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka secara khusus penelitian bertujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui besar nilai faktor koefisien limpasan dengan menggunakan Metode Cook dan Metode Manning.

2. Untuk mengetahui besar debit puncak dan debit aliran di wilayah sub DAS Jenelata dengan Metode cook dan metode Manning.

(16)

4 D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

A. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menambah pemahaman mengenai Estimasi Debit Puncak menggunakan faktor koefisien limpasan Metode Cook dan Metode Manning.

B. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya yang terkait dengan Estimasi Debit Puncak dengan Faktor koefisien limpasan Metode Cook dan Metode Manning. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pembelajaran bagi peneliti terkait dengan dengan Estimasi Debit Puncak dengan Metode Cook dan Metode Manning.

E. Batasan Masalah

Penelitian ini di fokuskan pada analisis estimasi debit puncak di Sub DAS Jenelata. Lokasi Penelitian di Wilayah Sub DAS Jenelata Kabupaten Gowa dan Data curah hujan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran umum isi tulisan, sistematika penulisan tugas akhir ini terdiri dari lima bab, penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

(17)

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA yang berisi tentang teori singkat yang digunakan dalam menyelesaikan dan membahas permasalahan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN yang berisi tentang Metodologi penelitian mencakup lokasi penelitian, jenis penelitian dan sumber data, analisis dan pengolahan data melalui aplikasi ArcGis , bagan alur penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN yang berisi tentang pembahasan tahap penelitian yang dilaksanakan yaitu : analisis data Curah hujan , Menentukan koefisien limpasan debit puncak metode cook dan metode manning ,dan pembahasan dari analisis data pada aplikasi ArcGis .

BAB V PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta saran dari penulis yang berkaitan dengan faktor pendukung serta faktor penghambat yang dialami selama penelitian dilaksanakan, yang merupakan harapan agar penelitian ini berguna untuk penelitian selanjutnya.

(18)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografi merupakan sistem berbasis komputer yang memiliki empat kemampuan untuk menangani data spasial : pemasukan, pengelolaan data ( penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, serta keluaran (output) (Aronoff.1989). Sistem informasi geografi adalah sistem yang berbasis komputer yang digunakan untuk input, menyimpan, analisis/manipulasi dan display data spasial, untuk pemecahan problema terkait kebumian (Kainz, Wolfgang.1995). Informasi geografi dapat dikatakan sebagai perwujudan dari berbagai fenomena dan fakta-fakta yang terjadi di permukaan bumi. Informasi ini beracuan pada setiap hasil pengamatan (observational research) dimana untuk memperoleh nya dapat melalui survey lapangan, sensus, statistik, tracking dan penginderaan jauh.

Sistem Informasi Geografi (SIG) terdiri atas input, penyusunan basis data,dan output. Sebagai input, semua data spasial dapat digunakan sebagai masukannya, yang meliputi peta-peta tersedia, data sensus, hasil penetian, dan citra penginderaan jauh. Citra penginderaan jauh sebagai data utama dalam SIG karena muthakir, yang didukung oleh resolusi temporalnya.

Proses (buffer, overlay, transformasi,...) dapat dilakukan pada basis data

(19)

7

untuk menghasilkan informasi baru hasil dari pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan (Hartono, 2010).

B. Daerah Aliran Sungai (DAS)

1. Pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Sriartha (2015:622 ) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang menjadi kesatuan antara sungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografis yang berfungsi menampung air dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya ke danau atau ke laut secara alami (Kepmen Pengelolaan DAS Terpadu, 2012). Perubahan penggunaan lahan dapat menimbulkan dampak terhadap peningkatan debit puncak aliran sebagai akibat tingginya aliran permukaan (runoff).

Menurut Sriartha (2015:622) Debit puncak merupakan suatu kondisi yang menunjukkan titik nilai debit tertinggi (maksimum) pada bagian hilir DAS atau Sub-DAS sebagai akibat dari meningkatnya aliran permukaan. Informasi perubahan debit puncak diperlukan untuk perencanaan pengendalian banjir dan pembuatan bangunan sipil teknis untuk pengendalian erosi. Sub DAS juga merupakan bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak-anak sungai ke sungai utama. Sub DAS merupakan suatu kesatuan ekonomis yang terbentuk secara alamiah mengalir melalui cabang aliran sungai yang membentuk wilayah bagian DAS.

Menurut Junaidi & Alan Sub DAS memiliki bentuk memanjang dengan anak- anak sungai langsung masuk ke induk sungai sehingga bentuknya seperti bulu

(20)

8

burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan debit banjirnya relatif kecil, karena perjalanan banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya. Namun sebaliknya, jika terjadi banjir akan berlangsung relatif lama, karena menyebabkan konsentrasi debit puncak ke sungai lainnya memerlukan waktu yang relatif lama. sub-DAS telah ditentukan batas- batasnya, selanjutnya secara otomatis dihubungkan ke dalam suatu jaringan hidrologis dan diberi identifikasi dengan suatu sistem penomoran tertentu.

Debit puncak terjadi ketika seluruh aliran permukaan yang berada di daerah aliran sungai (DAS) mencapai titik outlet (bagian hilir suatu DAS atau Sub-DAS sebagai tempat berkumpulnya seluruh aliran permukaan yang mengalir dari bagian hulu DAS). Setiap DAS memiliki lebar dan kedalaman sungai utama yang berbeda- beda. Lebar dan kedalaman sungai utama berkaitan dengan seberapa besar kapasitas sungai tersebut mampu menampung air pada kondisi debit maksimum Debit puncak akan terakumulasi pada outlet sungai yang merupakan akhir dari percabangan sungai. Perhitungan debit puncak secara langsung di lapangan merupakan pekerjaan yang berat, terutama untuk DAS yang ukurannya besar dan kondisi medannya berat. Untuk itu diperlukan teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi geografis (SIG) untuk membantu proses analisis debit puncak (Prabantoro dkk,2015:176 ).

Menurut (Prabantoro dkk,2015:176 ) Peran PJ adalah untuk mengidentifikasi parameter- parameter yang mempengaruhi debit puncak seperti curah hujan, koefisien limpasan permukaan, dan luas DAS. Sementara SIG berfungsi untuk

(21)

9

membantu proses analisis dan pengolahan data debit puncak. Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran

Sumber: (Indarto, 2010)

Gambar 1.Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Kodoatie (2013:51) Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki beberapa definisi yangtercantum dalam (UU No. 7 tahun 2004) antara lain:

a. DAS adalah kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan.

b. DAS suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.

(22)

10

c. Daerah tangkapan air adalah cakupan pengaturan suatu system aliran sungai diantaranya pengunungan yang menampung dan mengalirkan curahan hujan ke sungai termasuk anak sungainya.

2. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Kodoatie (2013:58) Untuk daerah aliran sungai yang perlu diperhatikan adalah meliputi debit banjir yang pernah terjadi, debit dominan dan pola hidrograf banjirnya yaitu:

a. Kondisi Daerah Aliran Sungai

Laju Permukaan Air di suatu aliran sungai memengaruhi bertambahnya daerah aliran air yang berada di SUB DAS dan dengan memperhatikan hidrografnya.

b. Bentuk DAS

Bentuk DAS mempengaruhi pola alur sungai, pola aliran sungai ada yang membentuk memanjang, ada yang membentuk melebar dan masih banyak lagi bentuk aliran sungai.

c. Topografi

Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan, keadaan dan keratapan parit dan atau saluran, dan bentuk – bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran 20 permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai parit atau saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan parit yang jarang dan adanya cekungan – cekungan.

(23)

11

Semakin besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian pula waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran juga menjadi lebih panjang. Pada DAS berbentuk memanjang, bila arah hujan sejajar dengannya, hujan yang bergerak kea rah hulu akan menurunkan laju air larian. Hal ini tejradi karena pada hujan yang bergerak kearah hulu, air larian

Gambar 2. Peta DAS 3. Luas DAS

Indarto (2016), menjelaskan Luas DAS sangatlah relatif tergantung dari luas tangkapan hujan (cathment area) yangberkonstribusi menghasilkan aliran air. Luas DAS dapat beberapa kilometer persegi hingga ratusan kilometer persegi. Satu DAS hanya dapat mencakup wilayah didalam satu desa, tetapi dapat juga mencakup wilayah beberapa kabupaten, beberapa wilayah provinsi, bahkan beberapa negara.

(24)

12

pada bagian bawah DAS tersebut telah berhenti sebelum air larian berikutnya tiba di daerah bawah tersebut. Sebaliknya , hujan yang bergerak ke daerah hilir menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawa DAS dan pada saat yang bersamaan datang air larian dari bagian atas DAS tersebut. (Prabantoro dkk, 2015:177)

Sementara itu Kodoatie & Sugiyanto (2002) menjelaskan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan daerah /wilayah /kawasan tata air yang terbentuk secara alamiah di mana air tertangkap (berasal dari curah hujan) dan akan mengalir dari daerah/wilayah/kawasan tersebut menuju ke anak sungai dan sungai yang bersangkutan. Disebut juga Daerah Pengaliran Sungai (DPS) atau Daerah Tangkapan Air (DTA): Dalam Bahasa Inggris ada beberapa macam istilah yaitu Catchment Area dan Watershed.

Indarto(2016), menjelaskan Proses hidrologi yang kompleks dan terjadi di dalam DAS sebagaimana dijelaskan, dapat disederhanakan karena berbagai alasan, misalnya: untuk mempermudah pemahaman tentang fenomena alam dan tidak semua subproses yang terjadi di dalam DAS dapat diketahui dan diukur. Input utama atau air yang mengalir di dalam DAS berasal dari hujan yang jatuh di berbagai tempat di dalam DAS. Hujan tersebut diukur oleh jaringan alat ukur (stasiun hujan) yang terpasang di dalam wilayah DAS. Hujan rerata ditentukan berdasarkan interpolasi data-data hujan yang terekam dari sejumlah stasiun. Air selanjutnya mengalir melalui jaringan sungai di dalam DAS dan sampai ke suatu tempat yang disebut sebagai outlet. Pada outlet DAS dipasang alat untuk mengukur aliran yang

(25)

13

keluar dari DAS tersebut. Jadi, hujan digunakan untuk mewakili input ke dalam DAS. debit digunakan untuk menggambarkan output dari sistem DAS.

Pengelola DAS perlu mengukur kualitas dan kuantitas air sehingga dapat memprediksi debit yang ada di sungai. Debit di sungai dipengaruhi oleh hujan yang jatuh di dalam DAS, bentuk saluran sungai, kecepatan air sungai, dan volume air.

Selama periode hujan lebat, debit air di sungai dapat naik secara mendadak. Debit aliran di sungai dapat dianalisis menggunakan hidrograf banjir. Kapasitas penyimpanan bendungan dapat dihitung dan diperkirakan menggunakan hidrograf.

Analisis hidrograf juga dapat digunakan untuk mengantisipasi debit air sungai agar cenderung stabil sepanjang tahun sehingga dapat memenuhi kebutuhan air.

Sumber: (Indarto, 2016)

Gambar 3.Contoh Daerah AliranSungai (DAS)

4.

Fungsi dan Peran Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Prabantoro dkk (2015:177) Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang menerima, mengumpulkan air hujan,

(26)

14

sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya ke laut atau ke danau maka fungsi hidrologisnya sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima, 21 geologi yang mendasari dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk:

a. Mengalirkan air

b. Menyangga kejadian puncak hujan c. Melepas air secara bertahap

d. Memelihara kualitas air

e. Mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor)

Memahami hubungan antara penggunaan lahan dan aliran air ke daerah hilir memiliki arti yang sangat penting karena permintaan air bagi produksi pertanian, industri dan kebutuhan domestik terus meningkat, 31 sementara suplai tetap. Dalam banyak kasus, kekhawatiran akan dampak penggundulan hutan pada kualitas, kuantitas dan keteraturan aliran air dari hulu, merupakan dasar diterapkannya aturan penggunaan lahan. Suatu aturan penggunaan lahan seringkali mengakibatkan makin terbatasnya kesempatan masyarakat hulu untuk hidup sesuai dengan cara yang mereka inginkan atau anggap cocok. (Prabantoro dkk, 2015:177)

5. Citra Landsat

Citra Landsat adalah hasil perekaman satelit Landsat ( Land Satellite).

Landsat merupakan satelit sumber daya bumi asal Amerika Serikat yang dikelola bersama oleh NASA dan USGS. Landsat diluncurkan pertama kali

(27)

15

pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 ( Earth Resources Technology Satellite-1). Proyek eksperimental tersebut sukses lalu dilanjutkan dengan peluncuran yang kedua. Proyek tersebut telah berganti nama menjadi Landsat pada peluncuran keduanya sehingga ERTS-1 pun berubah nama menjadi Landsat-1. Landsat mengalami perkembangan yang pesat sampai pada tahun 1991 sudah mencapai satelit Landsat-5 yang diluncurkan ke antariksa. Selama kurun waktu tersebut dengan kecanggihan teknologi terjadi perubahan desain sensor pada Landsat. Kelima satelit Landsat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama (Landsat 1-3) dan generasi kedua (Landsat 4-5). Landsat 8 merupakan generasi terbaru dari misi Landsat yang diluncurkan pada 11 Februari 2013.

Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS) 1 diluncurkan pada 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 27 Juli 1983. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 yang beroperasi sampai 7 September 1983. Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982 dan dihentikan pada 15 Juni 2001. Landsat 5 diluncurkan 1 Maret 1984 tetapi mengalami gangguan berat sejak November 2011 kemudian dinonaktifkan oleh USGS pada tahun 2013. Berbeda dengan 5 Generasi sebelumnya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan 15 Desember 1999 lalu, masih berfungsi hingga sekarang walaupun mengalami kerusakan sejak

(28)

16

Mei 2007. Landsat 8 memiliki kemampuan untuk merekam citra dengan resolusi spasial yang bervariasi. Variasi resolusi spasial mulai dari 15 meter sampai 100 meter, serta dilengkapi oleh 11 saluran (band ) dengan resolusi spektral yang bervariasi. Landsat 8 dilengkapi dua instrumen sensor yaitu OLI dan TIRS. Landsat 8 mampu mengumpulkan 400 scenes citra. Sensor utama dari Landsat 8 adalah Operational Land Imager (OLI) yang memiliki fungsi untuk mengumpulkan data di permukaan bumi dengan spesifikasi resolusi spasial dan spektral yang berkesinambungan dengan data Landsat sebelumnya. OLI didesain dalam sistem perekaman sensor empat teleskop cermin, performa signal-to-noise yang lebih baik, dan penyimpanan dalam format kuantifikasi 12-bit. OLI merekam citra pada spektrum panjang gelombang tampak, inframerah dekat, dan inframerah tengah yang memiliki resolusi spasial 30 meter, serta saluran pankromatik yang memiliki resolusi spasial 15 meter. Dua saluran spektral baru ditambahkan dalam sensor OLI ini, yaitu saluran deep-blue untuk kajian perairan laut dan aeorosol serta sebuah saluran untuk mendeteksi awan cirrus. Saluran quality assurance juga ditambahkan untuk mengindikasi keberadaan bayangan medan, awan, dan lain- lain. (USGS, 2013). Citra Landsat juga bisa untuk membuat atau menentukan dimensi penampang sungai melalui Hecras lalu di tools Ras Mapper lewat DEM.

(29)

17 6. Limpasan Permukaan (Runoff )

Limpasan Permukaan atau aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju ke sungai, danau dan lautan (Asdak,1995). Menurut Arsyad (1983) limpasan permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian- bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dimana dalam hal ini tanah telah jenuh air (Indarto Dkk, 2009). Limpasan permukaan atau aliran permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya.

A. Proses Terjadinya Limpasan Permukaan

Menurut Arsyad (1982 dalam Haridjaja dkk.1991) proses terjadinya aliran permukaan adalah curah hujan yang jatuh diatas permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk kedalam tanah sebagai air infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk pohon sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama air masih berada dibawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung, dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk

(30)

18

mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depresion storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambatan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan (over land flow), kelebihan air hujan diatas sebagian menguap atau pun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses hidrologi diatas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi. Selanjutnya aliran permukaan ini akan menuju saluran-saluran dan akhirnya akan menuju sungai sebelum mencapai danau atau laut. Proses runoff akan berlangsung terus selama intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasi aktual, tetapi runoff segera berhenti pada saat intensitas hujan menurun hingga kurang dari laju infiltrasi aktual.

B. Faktor Yang Mempengaruhi Limpasan Permukaan (RunOff) 1. Kemiringan Lereng

Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, maka akan semakin cepat laju limpasan dan dengan demikian mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng keadaan parit dan bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju volume limpasan.

(31)

19

Tabel 2. 1 Parameter Pembobotan Kemiringan lereng

Sumber :Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

2. Jenis Tanah

Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi penyebaran pori-pori tanah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi laju limpasan permukaan, semakin banyak jumlah pori-pori tanah maka kemampuan air untuk menyerap air semakin tinggi (infiltrasi) dan sebaliknya semakin sedikit jumlah pori-pori tanah maka semakin rendah kemampuan tanah menyerap air dan pada akhirnya meningkatkan laju aliran permukaan (Asdak,1995).

a. Alluvial Muda merupakan endapan aluvium (endapan aluvial sungai, pantai dan rawa ) yang berumur kuarter (resen) dan menempati daerah morfologi pedataran dengan ketinggian 0-60 m dengan sudut kemiringan lereng <3%

b. Regosol adalah tanah hasil lapukan dari batuan gunungapi dan menempati daerah perbukitn vulkanik, dengan ketinggian 110-1.540 m dengan sudut kemiringan lereng >15%. Sifat-sifat fisiknya berwarna coklat hingga kemerahan, berukuran lempung lanauan – pasir lempungan, plastisitas sedang, agak padu, tebal 0,1-2,0 m

Kelas

Topografi Bobot

0 – 5 % Datar 10

5 – 10% Bergelombang 20

10 – 30% Berbukit 30

>30 % Medan Terjal 40

(32)

20

c. Litosol merupakan tanah mineral hasil pelapukan batuan induk, berupa batuan beku (intrusi) dan/atau batuan sedimen yang menempati daerah perbukitan intrusi dengan ketinggian 3-1.150 m dan sudut lereng < 70%. Kenampakan sifat fisik berwarna coklat kemerahan, berukuran lempung, lempung lanauan, hingga pasir lempungan, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, solum dangkal, tebal 0,2-4,5 m.

d.

Mediteran merupakan tanah yang berasal dari pelapukan batugamping yang menempati daerah perbukitan karst, dengan ketinggian 8-750 m dan sudut lereng > 70%. Kenampakan fisik yang terlihat berwarna coklat kehitaman, berukuran lempung pasiran, plastisitas sedang-tinggi, agak padu, permeabilitas sedang, rentan erosi, tebal 0,1-1,5 m

Tabel 2. 2 Klasifikasi Jenis Tanah

Sumber :Dulbahri, 1992

No Jenis Tanah Klasifikasi Jenis Tanah Skor

1 Aluvial Muda Geluh lempung pasiran, geluh pasiran 10

2 Regosol Pasir, Pasir Geluhan 20

3 Latosol Geluh lempungan, geluh lempung

debuan 30

4 Mediteran Lempung pasiran, Lempung Geluhan 30

(33)

21 3. Tutupan Vegetasi

Tutupan vegetasi adalah terkait kemampuan tajuk menangkap air hujan.

Suatu daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat, sewaktu hujan terjadi air tidak langsung jatuh ke permukaan tanah melainkan ditangkap terlebih dahulu oleh tajuk, sehingga membuat nilai runoff nya menjadi kecil, dapat dicontohkan seperti wilayah dengan penggunaan lahan hutan. Sedangkan wilayah yang memiliki vegetasi jarang akan memiliki nilai runoff yang besar dikarenakan sewaktu hujan turun, hanya sebagian air yang tertangkap tajuk sedangkan sebagian besarnya langsung jatuh ke permukaan tanah.

Sehingga daerah yang memiliki tutupan vegetasi rapat diberi bobot limpasan dengan nilai terkecil, begitupun sebaliknya.

Tabel 2. 3 Klasifikasi Vegetasi Penutup

No Klasifikasi Vegetasi Penutup Lahan Bobot

1 Tidak tertutup vegetasi 20

2 Tanaman budidaya, tertutup vegetasi <10% 15

3 50% tertutup vegetasi, padang rumput 10

4 >90 % tertutup vegetasi, padang rumput yang baik 5 Sumber : Meijerink, 1970 dalam Gunawan, 1991

4. Kerapatan Aliran

Kerapatan aliran daerah aliran sungai merupakan indeks yang menunjukan banyaknya anak sungai dalam suatu DAS, dinyatakan dengan perbandingan antar panjang keseluruhan sungai dengan luas DAS. Semakin

(34)

22

besar nilai kerapatan alirannya, maka dapat dikatakan sistem drainasenya semakin baik. Kerapatan aliran yang tinggi dicirikan dengan banyaknya percabangan sungai dalam daerah aliran dan memiliki kemiringan yang curam, yang dapat memberikan reaksi lebih cepat terhadap masuknya curah hujan sehingga laju dan volume aliran permukaan lebih tinggi.

Sedangkan kerapatan aliran yang rendah dicirikan dengan daerah aliran yang minim percabangan serta bentuk DAS-nya memanjang dan secara topografi daerahnya landai dan juga terdapat cekungan- cekungan.

Berdasarkan hal tersebu terlihat bahwa kerapatan aliran memiliki hubungan sebanding dengan nilai limpasan permukaan. Semakin tinggi nilai kerapatan aliran maka akan semakin besar bobot dari limpasan permukaan.

Tabel 2. 4 Klasifikasi Kerapatan Aliran

Kelas Klasifikasi Kelas Kerapatan Aliran

Bobot

I Rendah >1 mil 5

II Normal 1-2 mil 10

III Tinggi 2-5 mil 15

IV Sangat Tinggi <5 mil 20

Sumber : Chow, 1964 dalam Sudaryatno

C. Metode Manning

Menurut Setiyono, dkk (2017:1683) Estimasi debit puncak menggunakan metode Manning merupakan salah satu metode yang efektif dan cepat. Metode Manning berfungsi untuk mengukur nilai kapasitas sungai dan menguji estimasi

(35)

23

debit puncak dengan menggunakan metode Cook yang berdasarkan pengukuran melalui data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi. Estimasi debit puncak metode Cook menggunakan variabel penutup lahan, infiltrasi tanah, kemiringan lereng, curah hujan dan kerapatan aliran sedangkan metode Manning menggunakan variabel koefisien kekasaran permukaan saluran, luas penampang sungai pada banjir, jari-jari hidrolis dan gradient hidrolik sungai.

Menurut (Pratisto & Danoedoro, 2008) Estimasi debit puncak DAS menggunakan metode Manning karena menghasilkan estimasi yang akurat dengan berbagai macam faktor kondisi fisik lingkungan DAS, Sedangkan Menurut (Gunawan, 1991) Metode Cook diterapkan untuk mengetahui nilai koefisien limpasan permukaan. Dalam (Setiyono, dkk, 2017: 1684)

Menurut Setiyono, dkk (2017:1691) Nilai debit puncak metode Manning juga menyatakan besaran kapasitas sungai untuk menampung debit air. Sedangkan nilai debit puncak metode Cook adalah debit puncak yang terjadi pada kondisi intensitas hujan dan perubahan fisik DAS tertentu secara aktual. Jika nilai debit puncak metode Cook melebihi nilai debit puncak metode Manning maka DAS tersebut berpotensi terjadi banjir limpasan karena melebihi kapasitas sungai dalam menampung debit air.

Perhitungan debit puncak selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Manning sebagai berikut : Setiyono dkk (2017:1687)

V = 1

𝑛𝑥 𝑅23𝑥 𝑆12 ……….……… (1)

(36)

24 Dimana :

n = Nilai kekasaran koefisien Manning (tanpa satuan) R = Jari-jari hidrolis

V = Kecepatan Aliran (m/det)

S = Kemiringan saluran arah memanjang (%)

Karena itu hubungan kecepatan, debit aliran, luas tampang dan nilai kekasaran biasanya dihasilkan melalui hubungan daya tahan aliran seperti terlihat dalam persamaan kecepatan Manning. Kekasaran yang dimaksudkan disini adalah suatu angka kekasaran yang dapat menghambat kecepatan aliran air di saluran. Angka tersebut lazim disebut sebagai angka kekasaran Manning. (Fasdarsyah 2016).

1. Penentuan Faktor Koefisien Manning

Sebenarnya sangat sulit untuk menentukan faktor kekasaran atau perlawanan (n), sebab tidak ada cara tertentu untuk pemilihan nilai n. Pada tingkat pengetahuan sekarang ini, memilih n sebenarnya berarti memperkirakan hambatan aliran pada saluran tertentu, yang benar-benar tidak dapat diperhitungkan. Untuk penentuan nilai n yang wajar diperlukan (Putro 2013) :

a. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi nilai n.

b. Mencocokkan tabel dari nilai-nilai n untuk berbagai tipe saluran.

c. Memeriksan dan memahami sifat beberapa saluran yang koefisien kekasarannya telah diketahui.

(37)

25

d. Menentukan n dengan cara analitis berdasarkan distribusi kecepatan teoritis pada penampang saluran dan data pengukuran kecepatan maupun pengukuran kekasaran.

a. Faktor Pengaruh Koefisien Kekasaran Manning

Pemilihan nilai n yang sesuai untuk berbagai kondisi perancangan, harus didasarkan pada faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap koefisien kekasaran baik untuk saluran buatan maupun alamiah, seperti yang diuraikan di bawah ini (SNI 2015) :

1. Kekasaran Permukaan Kekasaran permukaan ditandai dengan ukuran dan bentuk butiran bahan yang membentuk luas basah dan menimbulkan hambatan terhadap aliran. Butiran halus mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, dan butiran kasar memiliki nilai n yang tinggi.

2. Tertumbuhan dapat digolongkan dalam jenis kekasaran permukaan,tetapi hal ini juga memperkecil kapasitas saluran dan menghambat aliran. Dampaknya tergantung pada tinggi, kerapatan, distribusi dan jenis tetumbuhan dimana hal ini sangat penting dalam perancangan saluran pembuangan yang kecil.

3. Ketidak teraturan saluran meliputi ketidak teraturan keliling basah dan variasi penampang, ukuran dan bentuk di sepanjang saluran. Pada saluran alam biasanya ditandai dengan adanya alur-alur pasir, gelombang pasir, cekungan, gundukan, lubang dan tonjolan di dasar saluran.

(38)

26

4. Trase Saluran Kelengkungan yang landai dengan garis tengah yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, sedangkan kelengkungan yang tajam dengan belokanbelokan yang patah akan memperbesar nilai n.

5. Pengendapan dan Pengerusan Secara umum pengendapan dapat merubah saluran yang sangat tidak beraturan menjadi cukup beraturan dan memperkecil nilai n, sedangkan penggerusan dapat berakibat sebaliknya dan memperbesar nilai n, namun dampak utama dari pengendapan tergantung dari sifat alamiah bahan yang diendapkan.

6. Hambatan Hambatan akan timbul karena adanya balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya yang cenderung memperbesar nilai n. Adapun besar hambatan ini tergantung pada sifat alamiah hambatan, ukuran, bentuk, jumlah dan penyebarannya.

7. Ukuran dan Bentuk Saluran Perbesaran jari-jari hidrolik dapat memperbesar maupun memperkecil nilai n, tergantung pada keadaan saluran.

8. Taraf Air dan Debit Nilai n pada saluran umumnya berkurang bila taraf air dan debitnya bertambah, namun nilai n dapat juga bertambah pada taraf air tinggi bila dinding saluran kasar dan berumput.

9. Perubahan Musim Nilai n cenderung bertambah pada musim semi dan berkurang pada musim dingin, akibat pertumbuhan musiman dari tanaman di saluran.

10. Endapan Terapung dan Endapan Dasar Bahan-bahan yang mengapung dan endapan dasar, baik yang bergerak maupun tidak akan menyerap energi.

(39)

27 Tabel 2. 5 Tabel koefisien kekasaran Manning

Saluran Keterangan N Manning

Tanah

Lurus, baru, seragam,landai, dan bersih 0,016 – 0,033 Berkelok, landai dan berumput 0,023 – 0,040 Tidak terawat dan kotor 0,050 – 0,140 Tanah berbatu,kasar dan tidak teratur 0,035 – 0,045

Pasangan Batu

Batu kosong 0,023 – 0,035

Pasangan batu bela 0,017 – 0,030

Beton

Halus, sambungan baik dan rata 0,014 – 0,018 Kurang halus dan sambungan kurang rata 0,018 – 0,030 Sumber : Blog Ir_Darmadi_MM,MT

D. Metode Cook

Menurut Pratama & Yuwono (2016) Debit aliran permukaan rerata hasil estimasi metode Cook DAS Debit puncak ini harus dengan keadaan yang konstan setiap waktu sehingga DAS dapat dikatakan DAS yang sehat. Hal tersebut menghindarkan dari kejadian banjir akibat kelebihan debit puncak DAS dan kejadian kekeringan akibat kekurangan debit puncak DAS. Rumus Metode Cook (Sriartha, 2015:624)

𝐶 𝐷𝐴𝑆 = 𝐶1.𝐴1+𝐶2.𝐴2+⋯𝐶𝑛.𝐴𝑛

𝐴1+𝐴2+𝐴3+⋯𝐴𝑛 ……….……... (2)

Dimana:

C = Koefisien Limpasan

(40)

28 C1, 2, n = Koefisien Aliran Parameter A1, 2, n = Luas Parameter

Perhitungan nilai koefisien menggunakan Metode Cook untuk mencari Nilai C dari hasil perhitungan nilai C di dapatkan koefisien limpasan untuk mencari Debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode rasional . Pengukuran debit puncak dengan Metode Cook, parameter yang dipertimbangkan adalah koefisien limpasan, intensitas curah hujan dan luas DAS. Agar dapat mengetahui besarnya kapasitas saluran pada Sungai Jenelata dapat dilakukan pengukuran dengan rumus (Prabontoro Dkk, 2015:181)

Tabel 2. 6 Hasil Perhitungan C Total Pada Salah Satu Satuan Lahan

Sumber : (Sriartha, 2015)

Parameter Nama kelas/nilai Skor

Luas Sub- DAS (km2)

Luas Satuan medan (km2) Penutup

vegetasi Hutan kerapatan

tinggi 5 43.4967 0.0009

Jenis tanah

Latosol coklat kemerahan dan litosol

15 43.4967 0.0009

Kerapatan aliran

3.42 15 43.4967 0.0009

Kemiringan

lereng >30 40 43.4967 0.0009

Skor total 75 Faktor

Pembobot 48828.8889

C 0.00001551843

(41)

29 1. Metode Rasional

Metode Rasional adalah salah satu dari metode yang paling lama dipakai dan hanya digunakan untuk memperkirakan aliran permukaan, Metode ini berdasarkan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas yang seragam dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu konsentrasi (tc). Jika curah hujan dengan intensitas (I) terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung bertambah sampai mencapai tc, sedangkan tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di muara (outlet), sehingga perhitungan debit banjir dengan metode Rasional ini memerlukan data intensitas curah hujan (I), yaitu ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi dengan satuan mm/jam (Loebis 1992).

Qp = 0.278 x C x I x A ……….…….. (3) Dimana :

Qp = Debit Puncak (𝑚2)

C = Koefisien Limpasan Permukaan I = Intensitat Hujan (mm/jam)

A = Luas DAS (𝑘𝑚2)

E. Analisis Hidrologi

1. Periode Ulang (return period)

Menurut (Limantara ,2018) Periode Ulang (return period) didefinisikan sebagai waktu hipotetik di mana hujan atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Jadi, tidak ada

(42)

30

pengertian bahwa kejadian tersebut akan berulang secara teratur setiap kala ulang tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan kala Ulang :

a. Kala ulang ditentukan beberapa faktor antara lain ekonomi, social, politik, dan faktor teknis justru menempati urutan paling bawah.

b. Tidak pedoman yang bisa dipakai sebagai pegangan dalam menetapkan kala ulang untuk suatu bangun hidrolis karena faktor local lebih menentukan.

c. Penetapan kala ulang umumnya bisa didapat setelah dilakukan analisa ekonomi untuk proyek bersangkutan

Triatmodjo (2008) mengemukakan ada beberapa bentuk fungsi distribusi kontinyu (teoritis), yang sering digunakan dalam analisis frekuensi untuk hidrologi, seperti distribusi normal, log normal, Log Pearson III.

a. Distribusi Normal

Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk lonceng yang juga disebut distribusi Gauss (Triatmodjo, 2008). Harto (1993) lebih lanjut memberikan sifat-sifat distribusi normal, yaitu nilai koefisien kemencengan (skewness) sama dengan nol (Cs≈0) dan nilai koefisien kurtosis

Ck ≈ 3. Persamaan distribusi normal sebagai berikut:

𝑋=𝑋̅+𝑘.𝑆 ………(4) dimana,

𝑋 = Besaran yang diharapkan terjadi pada periode ulang tertentu 𝑋̅ = Nilai rata-rata hitung variat

(43)

31 𝑆 = Deviasi standar nilai variant

𝑘 = Faktor frekuensi, seperti pada Tabel 2.2

Tabel 2. 7 Nilai Variabel Reduksi Gauss Periode

Ulang T (tahun)

Peluang K

1,001 0,999 -3,05

1,005 0,995 -2,58

1,010 0,990 -2,33

1,050 0,950 -1,64

1,110 0,900 -1,28

1,250 0,800 -0,84

1,330 0,750 -0,67

1,430 0,700 -0,52

1,670 0,600 -0,25

2,000 0,500 0

2,500 0,400 0,25

3,330 0,300 0,52

4,000 0,250 0,67

5,000 0,200 0,84

10,000 0,100 1,28

20,000 0,050 1,64

50,000 0,020 2,05

100,000 0,010 2,33

200,000 0,005 2,58

500,000 0,002 2,88

1000,000 0,001 3,09

Sumber: (Soewarno, 1995) b. Distribusi Log Normal

Distribusi log normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu dengan mengubah nilai variat X menjadi nilai logaritmik variat X (Soewarno, 1995). Lebih lanjut Limantara (2018) memaparkan bahwa distribusi log normal

(44)

32

merupakan distribusi Log Pearson III, yang mempunyai koefisien kemencengan (skewness) Cs = 0. Persamaan distribusi log normal sebagai berikut (Soewarno, 1995):

𝐿𝑜𝑔𝑋=logX+𝑘.𝑆𝑙𝑜𝑔𝑋……… (5) Dimana,

𝐿𝑜𝑔 𝑋 = Besaran yang diharapkan terjadi pada periode ulang tertentu l ogX = Nilai rata-rata hitung variat

𝑆𝑙𝑜𝑔𝑋 = Deviasi standar logaritmik nilai X hasil pengamatan 𝑘 = Karakteristik dari distribusi log normal (Lihat Tabel 2.3).

Tabel 2. 8 Koefisien untuk metode sebaran Log Normal

Cv Periode Ulang T

tahun

2 5 10 20 50 100

0.0500 -0.2500 0.8334 1.2965 1.6863 2.1341 2.4370

0.1000 -0.0496 0.8222 1.3078 1.7247 2.2130 2.5489

0.1500 -0.0738 0.8085 1.3156 1.7598 2.2899 2.6607

0.2000 -0.0971 0.7926 1.3200 1.7911 2.3640 2.7716

0.2500 -0.1194 0.7748 1.3209 1.8183 2.4348 2.8805

0.3000 -0.1406 0.7547 1.3183 1.8414 2.5316 2.9866

0.3500 -0.1604 0.7333 1.3126 1.8602 2.5638 3.0890

0.4000 -0.1788 0.7100 1.3037 1.8746 2.6212 3.1870

0.4500 -0.1957 0.6870 1.2920 1.8848 2.6734 3.2109

0.5000 -0.2111 0.6626 1.2778 1.8909 2.7202 3.3673

0.5500 -0.2251 0.6129 1.2513 1.8931 2.7615 3.4488

0.6000 -0.2375 0.5879 1.2428 1.8916 2.7974 3.5241

0.6500 -0.2485 0.5879 1.2226 1.8866 2.8279 3.5930

(45)

33 Sumber: Soewarno,1995

c. Distribusi Log Pearson III

Pearson telah mengembangkan banyak model matematik fungsi distribusi untuk membuat persamaan empiris dari suatu distribusi. Ada 12 tipe distribusi Pearson, namun hanya distribusi Log Pearson III yang banyak digunakan dalam hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum. Distribusi Log Pearson III digunakan apabila parameter statistik Cs dan Ck mempunyai nilai selain dari parameter untuk distribusi yang lain (normal, log normal, dan Gumbel) (Triatmodjo, 2008). Persamaan distribusi Log Pearson III sebagai berikut (Soewarno, 1995):

𝐿𝑜𝑔𝑋=LogX𝑘.𝑆𝑙𝑜𝑔𝑋……… (6) Dimana,

𝐿𝑜𝑔 𝑋 = Besaran yang diharapkan terjadi pada periode ulang tertentu log 𝑋 = Nilai rata-rata hitung variat

𝑆𝑙𝑜𝑔𝑋 = Deviasi standar logaritmik nilai X hasil pengamatan

𝑘 = Faktor frekuensi, fungsi dari probabilitas dan Cs dalam Tabel 2.4

0.7000 -0.2582 0.5631 1.2011 1.8786 2.8532 3.6568

0.7500 -0.2667 0.5387 1.1784 1.8577 2.8735 3.7118

0.8000 -0.2739 0.5148 1.1548 1.8543 2.8891 3.7617

0.8500 -0.2801 0.4914 1.1306 1.8388 2.9002 3.8056

0.9000 -0.2852 0.4886 1.1060 1.8212 2.9071 3.8437

0.9500 -0.2895 0.4466 1.0810 1.8021 2.9102 3.8762

1.0000 -0.2929 0.4254 1.0560 1.7815 2.9098 3.9036

(46)

34

Tabel 2. 9 Harga Kuntuk Distribusi Log Pearson III

Kemencengan (Cs)

Periode Ulang Tahun

2 5 10 25 50 100 200 1000

Peluang(%)

50 20 10 4 2 1 0,5 0,1

3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250

2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600

2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200

2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910

1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660

1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390

1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110

1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820

1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540

0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395

0,8 -0,132 0,780 1,336 2,998 2,453 2,891 3,312 4,250

0,7 -0,116 0,790 1,333 2,967 2,407 2,824 3,223 4,105

0,6 -0,099 0,800 1,328 2,939 2,359 2,755 3,132 3,960

0,5 -0,083 0,808 1,323 2,910 2,311 2,686 3,041 3,815

0,4 -0,066 0,816 1,317 2,880 2,261 2,615 2,949 3,670

0,3 -0,050 0,824 1,309 2,849 2,211 2,544 2,856 3,525

0.2 -0,033 0,830 1,301 2,818 2,159 2,472 2,763 3,380

0,1 -0,017 0,836 1,292 2,785 2,107 2,400 2,670 3,235

0,0 0,000 0,842 1,282 2,751 2,054 2,326 2,576 3,090

-0,1 0,017 0,836 1,270 2,761 2,000 2,252 2,482 3,950

-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810

-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675

-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540

(47)

35

-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400

-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275

-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150

-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035

-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910

-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800

-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625

-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465

-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280

-1,8 0,282 0,799 0,945 0,035 1,069 1,089 1,097 1,130

-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000

-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910

-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,802

-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668

Sumber:Soemarto,1999

2. Analisis Hujan Rata-Rata Daerah

Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik di mana stasiun tersebut berada; sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing- masing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon Thiessen, dan metode isohyet. (Triatmojo, 2008).

(48)

36 a. Metode rerata aljabar

Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS; Selain itu perhitungan menggunakan rerata aljabar juga menghitung curah hujan hari, bulan dan tahunan dan juga untuk menentukan hitungan hujan maksimun di setiap stasiun curah hujan dan di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa di perhitungkan. Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh bentuk berikut (Triatmodjo, 2008):

R = R1.A1+R2.A2+R3.A3……….….. (7) Dengan,

R = Hujan rerata Kawasan

A1, A2,.. = Luas daerah pengaruh dari setiap hujan (Km²)

R1, R2 = Tinggi curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)

3. Intensitas Hujan

menurut Asdak (2014), menyatakan bahwa intensitas hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu. Untuk mendapatkan nilai intensitas hujan di suatu tempat maka alat penakar hujan yang digunakan harus mampu mencatat besarnya volume hujan dan waktu mulai berlangsungnya hujan sampai hujan tersebut berhenti.

(49)

37

Intensitas hujan atau ketebalan hujan per satuan waktu lazimnya dalam satuan milimeter per jam. Data intensitas hujan biasanya dimanfaatkan untuk perhitungan perhitungan prakiraan besarnya erosi, debit puncak (banjir), perencanaan drainase, dan bangunan air lainnya. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam.

Lama waktu hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan, dalam hal ini dapat mewakili total curah hujan atau periode hujan yang singkat dari curah hujan yang relatif seragam. Untuk menentukan nilai intensitas hujan biasanya menggunakan data curah hujan untuk daerah penelitian yang terdiri atas lama waktu hujan dan interval waktu hujan (Asdak, 2014). Untuk melakukan analisis frekuensi kejadian hujan atau banjir besar pada intensitas dan lama waktu yang berbeda digunakan data curah hujan yang diperoleh dari suatu stasiun penakar hujan.

Pengalaman yang diperoleh dari daerah tropis menunjukkan bahwa curah hujan yang sangat intensif umumnya berlangsung dalam waktu relatif singkat. Sedangkan presipitasi yang berlangsung cukup lama pada umumnya tidak terlalu deras (Asdak, 2014). Intensitas hujan ditentukan dengan persamaan monobe (Subarkah, 1980):

𝐼 =𝑅24

24 (24

𝑇𝑐)0.67

………(8)

Keterangan :

I = Intensitas Hujan (mm) R24 = Hujan Harian (mm) Tc = Waktu Konsentrasi (jam)

(50)

38

Waktu Konsentrasi tc (time of concentration) adalah waktu perjalanan yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air (outlet). Hal ini terjadi ketika tanah sepanjang kedua titik tersebut telah jenuh dan semua cekungan bumi lainnya telah terisi oleh air hujan.

(Asdak, 2014). Waktu konsentrasi dapat dilakukan dengan persamaan matematik oleh Kirpich (1940):

Tc = 0,0195 L0,77 S-0,385 ... (9) Keterangan :

Tc = Waktu Konsentrasi (jam) L = Panjang sungai utama (jam) S = Kemiringan sungai (m/m)

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian pada penelitian ini akan dibandingkan nilai MAPE ( Mean Absolute Percentage Error ) dari hasil prediksi Indeks Saham Syariah Indonesia menggunakan estimator

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 30 Undang- undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

L yang menderita Tumor Paru dalam Pemenuhan Kebutuhan Istirahat Tidur didapatkan data subjective, pasien mengatakn tidak bisa beristirahat dengan baik apa lagi pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemunculan aspek afektif, persentase kemunculan aspek afektif, dan kesesuaian aspek afektif dalam buku biologi kelas XI terbitan

Form basis pengetahuan akan tampil apabila pengguna atau user menggunakan level pakar pada saat menggunakan program sistem pakar pendiagnosa pada tubuh, form ini

Adalah teman sejawat yang membantu sebagai Kolaborator/Observer dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang dilaksanakan

[r]

Fitting Term Structure of Interest Rates Using B-splines : The Case of Taiwanese Government Bonds.. Financial Engineering and Computation : Principles,