• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Karakteristik Bakso dari Surimi Ikan HTS

4.3.2 Karakteristik fisik bakso ikan HTS

Analisis karakteristik kimia bakso ikan dari campuran beberapa ikan HTS dengan perlakuan formulasi pati (tepung tapioka dan tepung sagu) meliputi

kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan water holding capacity (WHC). Data lengkap hasil uji karakteristik fisik bakso ikan dari surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21.

(1) Kekuatan gel

Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging dalam membentuk gel dengan campuran antara surimi dan garam, pencetakan dalam casing yang sesuai dan perebusan (Suzuki 1981). Hasil analisis kekuatan gel bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 13.

382,5a 296,25a 371,25a 427,5a 288,75a 225a 502,5b 247,5a 322,5a 187,5a 0 100 200 300 400 500 600 A B C D E A B C D E Rebus Kukus Formulasi tepung K e k u a ta n g e l (g .c m )

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan:

A = tepung tapioka 10%

B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%

Gambar 13. Diagram batang kekuatan gel bakso ikan HTS

Hasil pengujian rata-rata nilai kekuatan gel bakso ikan yang direbus berkisar antara 187,5 sampai 502,5 g.cm. Nilai kekuatan gel tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (502,5 g.cm), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (187,5 g.cm). Hasil analisis ragam (Lampiran 22a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai kekuatan gel.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 22b) menunjukkan bahwa kekuatan gel bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso yang lain. Bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% mempunyai kekuatan gel yang tinggi karena teksturnya yang kenyal dan kompak. Berbeda halnya dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan dengan formulasi tepung sagu 10% yang memperlihatkan kekuatan gel bakso yang sangat rendah. Hal ini disebabkan kadar air dari kedua jenis bakso tersebut yang cukup tinggi yaitu diatas 75 %. Kisaran kadar air 75 sampai 81% pada produk-produk yang berbahan dasar surimi mengurangi pengaruh kekuatan gel dari pati (Lee dan Kim 1986 dalam Okada et al. 1992). Dengan kata lain, pati memperkuat gel protein dengan lebih baik pada kondisi kadar air yang lebih rendah. Hal tersebut terbukti, yaitu pada bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, kadar air produk rendah (73,90%), dan kekutan gel yang dihasilkan sangat tinggi (502,5 g.cm).

Kisaran rata-rata hasil pengujian kekuatan gel terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 288,75 sampai 427,5 g.cm. Hasil analisis ragam (Lampiran 23) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai kekuatan gel. Hal ini disebabkan karena pada bakso yang dikukus, kadar air yang dikandung produk tidak lebih dari 75% sehingga efek penguatan gel dari pati terjadi dengan baik karena kadar air yang terdapat pada produk mempengaruhi nilai kekuatan gel, produk dengan kadar air yang tinggi akan menghasilkan kekuatan gel yang rendah akibat tidak adanya kompetisi yang dilakukan oleh pati dan protein dalam pengikatan air untuk pembentukan gel.

Kekuatan gel pada pati dijelaskan melalui proses swelling (pembengkakan) dan pengikatan air selama gelatinisasi oleh panas. Diantara pati- pati tersebut, pati sagu mempunyai pengaruh yang paling baik untuk menguatkan gel karena pati tersebut memiliki kemampuan untuk mengikat sejumlah besar air dan mengembang dengan diameter yang besar. Menurut Knight (1969) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 m sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 m. Selama proses transisi ini, granula pati membesar hingga batas maksimum. Pembesaran granula pati

disebabkan tekanan di atas matriks protein. Hal ini terjadi bersamaan dengan penarikan kadar air dari sekeliling matriks protein, menghasilkan matriks gel yang lebih kokoh dan sedikit lebih kohesif (Lee dan Kim 1986 dalam Lee et al 1992). Jadi, pati bertindak sebagai pengisi sederhana pada gel protein miofibril, tidak berinteraksi secara langsung dengan matriks protein surimi maupun mempengaruhi formasi tersebut secara nyata, namun terjadi belakangan saat pembengkakan pati pada siklus panas ketika terjadi gelasi protein.

Pengaruh fraksi yang terdapat pada pati terhadap ashi gel telah dilaporkan oleh Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Kandungan amilopektin dapat mempengaruhi kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin, maka pati akan bersifat tidak kering dan lengket, (Wirakartakusumah et al. 1984). Jadi tingginya nilai kekuatan gel pada bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (bakso ikan yang direbus) dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (bakso ikan yang dikukus) dipengaruhi oleh sifat fraksi amilopektin dari tepung tapioka dan ukuran granula dari tepung sagu.

(2) Uji lipat

Pengukuran uji lipat dari sutu produk dilakukan secara subyektif atau sensoris dengan menggunakan panelis sebagai alat pengukurnya dan berdasarkan pada spesifikasi penilaian yang sudah ditentukan. Uji lipat secara luas digunakan di industri-industri karena uji tersebut sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel (Hasting et al. 1990 diacu dalam Fitrial 2000). Metode uji lipat digunakan untuk membedakan gel bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa untuk membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik (Lanier 1992). Hasil uji organoleptik terhadap parameter uji lipat bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 14.

2,67a 3,23b3,13ab 4,03c 2,87ab 2,37a 4,17c 4,13c 3,40b 4,03c 0 1 2 3 4 5 A B C D E A B C D E Rebus Kukus Formulasi tepung U ji l ip a t

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan Keterangan:

A = tepung tapioka 10%

B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%

Gambar 14. Diagram batang uji lipat bakso ikan HTS

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter uji lipat bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 2,67 sampai 4,73. Nilai uji lipat tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (4,73), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (2,67). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 24a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap uji lipat bakso ikan. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 24b) menunjukkan bahwa uji lipat bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso lainnya.

Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap uji lipat bakso ikan HTS yang dikukus adalah 2,37 sampai 4,17 dengan nilai uji lipat tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% (4,17) sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (2,37). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 25a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter uji lipat. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons

(Lampiran 25b) menunjukkan bahwa uji lipat bakso dengan formulasi tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya.

Setiap formulasi tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji lipat bakso ikan yang direbus juga dikukus. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 m sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 m (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Selain itu juga dipengaruhi oleh fraksi amilosa dan amilopektin pada masing-masing tepung pati. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Menurut Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel.

Menurut Lee dan Kim (1987) dalam Lee et al (1992), akibat penyerapan air oleh granula pati yang berada di dalam gel protein selama perebusan, granula menjadi mengembang dan mendesak matriks protein. Pada saat bersamaan, matriks protein kehilangan air dan menyebabkan gel protein menjadi lebih padat dan kompak. Hal tersebut menyebabkan gel menjadi kuat.

(3) Uji gigit

Cara subyektif lain yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel produk fish jelly selain uji lipat adalah uji gigit. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Hasil uji organoleptik terhadap parameter uji gigit bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 15.

Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap parameter uji gigit bakso ikan HTS yang direbus berkisar antara 4,73 sampai 7,23. Nilai uji gigit tertinggi dari bakso ikan HTS yang diuji dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% (7,23), sedangkan terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (4,73). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 26a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang direbus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap uji gigit bakso ikan. Hasil uji

lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 26b) menunjukkan bahwa uji gigit bakso dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% berbeda nyata dengan formula bakso lainnya.

6,20c 4,87b 7,13c 6,63c 3,03a 5,03ab 7,23d 5,97c 5,83bc 4,73a 0 2 4 6 8 10 A B C D E A B C D E Rebus Kukus Formulasi tepung U ji g ig it

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05), untuk masing-masing metode pemasakan

Keterangan:

A = tepung tapioka 10%

B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%

Gambar 15. Diagram batang uji gigit bakso ikan HTS

Kisaran penilaian rata-rata panelis terhadap uji gigit bakso ikan HTS yang dikukus adalah 3,03 sampai 7,13 dengan nilai uji gigit tertinggi dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% (7,13), sedangkan nilai terendah dicapai oleh bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% (3,03). Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 27a) menunjukkan bahwa setiap formula bakso ikan yang dikukus berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter uji gigit. Hasil uji lanjut Multiple Comparisons (Lampiran 27b)menunjukkan bahwa uji gigit bakso dengan formulasi tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% berbeda nyata dengan bakso dengan formulasi tepung tapioka 10% dan dengan formulasi tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5%, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula bakso lainnya.

Setiap formulasi tepung memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji gigit bakso ikan yang direbus juga dikukus. Hal ini

dipengaruhi oleh fraksi amilosa dan amilopektin pada masing-masing tepung pati. Menurut Suzuki (1981) fraksi amilopektin lebih berperan terhadap ashi gel dibandingkan amilosa, meskipun demikian amilosa juga berperan memperkuat gel. Pati tapioka mengandung 17% (b/b) amilosa dan 83% (b/b) amilopektin, sedangkan sagu 27% (b/b) amilosa dan 73% (b/b) amilopektin (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Selain itu juga dipengaruhi oleh ukuran granula pati. Diameter granula pati sagu adalah sekitar 16-25,4 m sedangkan granula tapioka sekitar 10,1-20 m (Knight 1969 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).

Selama proses pemanasan, protein miofibril sangat mempengaruhi pembentukan gel aktomiosin terutama bagian miosin yang memberikan karakteristik tekstur elastis yang unik pada produk (Hall dan Ahmad 1992). Niwa (1992) menyatakan bahwa pati mempunyai efek menguatkan terhadap gel protein jika pati tersebut terikat kuat dengan protein miofibril.

(4) Derajat putih

Kecerahan bakso ikan sangat menentukan kualitas bakso itu sendiri. Umumnya bakso ikan yang berwarna putih paling banyak disukai oleh konsumen. Derajat putih yang tinggi akan dihasilkan jika daging ikan yang digunakan hanya daging putihnya saja, namun pada penelitian bakso ikan HTS ini daging yang digunakan adalah daging merah dan daging putih. Hasil analisis derajat putih bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 16.

Hasil pengujian rata-rata nilai derajat putih bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 32,59 sampai 34,55%; sedangkan kisaran rata-rata hasil pengujian derajat putih terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 29,34 sampai 33,275%. Hasil analisis ragam (Lampiran 28 dan Lampiran 29) menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai derajat putih bakso ikan yang direbus juga bakso ikan yang dikukus. Hal ini disebabkan jumlah pati yang ditambahkan untuk setiap formulasi bakso ikan adalah sama yaitu 10% sehingga derajat putih yang terukur pada masing-masing bakso ikan tidak berbeda nyata.

30,68a 30,95a 29,34a 29,61a 33,28a 34,52a 33,23a 33,23a 34,55a 32,59a 0 5 10 15 20 25 30 35 40 A B C D E A B C D E Rebus Kukus Formulasi tepung D e r a ja t p u ti h ( % )

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan

Keterangan:

A = tepung tapioka 10%

B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%

Gambar 16. Diagram batang derajat putih bakso ikan HTS

Peningkatan derajat kecerahan bakso ikan disebabkan karena larutnya komponen pembentuk warna daging ikan yaitu ”heme”. Proses pencucian dapat menghilangkan darah, pigmen, enzim dan garam-garam anorganik dan substansi organik dengan berat molekul rendah seperti trimetilamin oksida (TMAO) dalam daging (Noguchi 1982 dalam Toyoda et al 1992). Selain itu, kecerahan bakso juga dipengaruhi adanya penambahan tepung pati yaitu tepung tapioka dan tepung sagu yang berfungsi sebagai bahan pengisi. Derajat putih tepung tapioka adalah 92-94,5% (BSN 1994), sedangkan tepung sagu mempunyai derajat putih 73,22% (Saripudin 2006).

(5) Water holding capacity (WHC)

Water holding capacity (WHC) atau daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap mutu bakso ikan, seperti tekstur, warna dan sifat sensoris. Menurut Zayas (1997) daya mengikat air adalah kemampuan daging untuk mengikat air yang ada dalam bahan maupun yang ditambahkan selama proses pengolahan, atau kemampuan struktur bahan untuk menahan air

bebas dari struktur tiga dimensi protein. Hasil analisis WHC bakso ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 17.

88,67a 83,16a88,42 a 86,12a 82,82a 71,53a 79,02a82,33a79,05a83,25 a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A B C D E A B C D E Rebus Kukus Formulasi tepung W H C ( % )

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05), untuk masing-masing metode pemasakan

Keterangan:

A = tepung tapioka 10%

B = tepung tapioka 7,5% dan tepung sagu 2,5% C = tepung tapioka 5% dan tepung sagu 5% D = tepung tapioka 2,5% dan tepung sagu 7,5% E = tepung sagu 10%

Gambar 17. Diagram batang Water Holding Capacity (WHC) bakso ikan HTS

Hasil pengujian rata-rata nilai WHC bakso ikan yang direbus adalah berkisar antara 82,82 sampai 88,67%; sedangkan kisaran rata-rata hasil pengujian WHC terhadap bakso ikan HTS yang dikukus adalah 71,53 % sampai 83,25 %. Hasil analisis ragam (Lampiran 30 dan 31) menunjukkan bahwa setiap formulasi tepung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap nilai WHC pada bakso ikan yang direbus juga bakso ikan yang dikukus. Hal ini diduga karena tidak ada perbedaan jumlah pati yang ditambahkan untuk setiap formulasi bakso ikan yang dibuat yaitu 10% sehingga kemampuan daging ikan dalam mengikat air tidak menunjukkan perbedaan yang berarti.

Menurut, protein miofibril khusunya aktin dan miosin memegang peranan yang besar terhadap daya mengikat air daging (Hamm 1974 diacu dalam Arifin 1993). Leakkonen (1973) diacu dalam Arifin (1993) menyatakan kelompok- kelompok hidrofilik yang bertanggung jawab untuk mengikat air daging yaitu

kelompok polar dari sisi rantai protein yang meliputi karboksil, amino, hidroksil dan kelompok sulfihidril. Selain itu oleh kelompok-kelompok amino yang berasal dari ikatan-ikatan peptida, molekul-molekul air tersebut juga diikat oleh ikatan- ikatan hidrogen.

Dokumen terkait