• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Karakteristik Surimi Ikan HTS

4.2.2 Karakteristik kimia surimi ikan HTS

Analisis kimia yang dilakukan terhadap surimi ikan HTS yang dihasilkan melalui perlakuan frekuensi pencucian serta penambahan konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) adalah : kadar air, kadar protein dan pH. Data lengkap hasil uji analisis kimia analisis kimia surimi ikan HTS dapat dilihat pada Lampiran 6.

(1) Kadar air

Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur serta cita rasa makanan. Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno 1997). Hasil analisis kadar air surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 6.

Kadar air surimi yang dihasilkan melalui pencucian daging ikan HTS berkisar antara 74,75 sampai 79,04%. Kandungan air yang optimum pada surimi agar menghasilkan gel yang baik adalah 78% (Lanier 1992). Pada surimi hasil pencampuran antara surimi yang bermutu tinggi dengan yang bermutu rendah, kandungan airnya berkisar antara 73–80%, dengan atau tanpa penambahan pati. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran kandungan air yang terdapat pada surimi campuran beberapa ikan HTS sesuai dengan yang diungkapkan Lanier (1992).

74.88a 74.75a 75.71a 76.42a 76.31a 75.4078.61a 75.22a 76.15a77.84a a 78.12a 79.04a 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 10 20 30

Kons entrasi hidrogen peroksida (ppm)

K a d a r a ir (% )

Frekuensi pencucian 1 kali Frekuensi pencucian 2 kali Frekuensi pencucian 3 kali Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 6. Diagram batang kadar air surimi ikan HTS

Hasil analisis ragam (Lampiran 7a) menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05), sedangkan faktor frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap kadar air surimi ikan HTS. Melalui uji lanjut Duncan (Lampiran 7b), diketahui bahwa frekuensi pencucian 3 kali berbeda nyata dengan frekuensi pencucian 1 dan 2 kali. Surimi dengan frekuensi pencucian 3 kali mempunyai kadar air yang paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi pencucian 1 dan 2 kali. Menurut Suzuki (1981) pencucian yang berulang-ulang pada umumnya dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang.

(2) Kadar protein

Protein ikan secara umum dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu protein yang mudah larut, tidak dapat larut dan protein yang sukar larut. Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, myofibrillar dan protein jaringan pengikat (stroma). Sedangkan berdasarkan fungsinya yaitu protein penyusun sel dan jaringan serta protein pembentuk atau pembuat enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993). Hasil analisis kadar protein surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 7.

Pada proses pencucian, suhu air yang digunakan harus berkisar antara 3 sampai 10 oC. Suhu air yang tepat mampu menjaga kestabilan fungsional protein miofibril terhadap panas. Jika melebihi suhu toleransi (>10 oC) akan terjadi penurunan protein miofibril yang akan mempengaruhi pembentukan gel (Toyoda et al. 1992). 15.03a 14.40a 13.78a 15.25a15.39 a 11.91a 16.08a 14.62a 16.04a 14.06a 15.47a 14.40a 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 10 20 30

Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm)

K a d a r p r o te in (% )

Frekuensi pencucian 1 kali Frekuensi pencucian 2 kali Frekuensi pencucian 3 kali

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 7. Diagram batang kadar protein surimi ikan HTS

Berdasarkan Gambar 7, hasil pengujian rata-rata kadar protein surimi ikan HTS adalah 11,91% - 16,08%. Hasil analisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2), faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap kadar protein surimi ikan HTS. Hal ini disebabkan kemampuan air dingin dan air dingin yang ditambah dengan hidrogen peroksida sebagai air pencuci untuk pembuatan surimi memiliki kemampuan yang sama dalam menghilangkan komponen-komponen yang dapat menghambat proses pembentukan gel dan warna. Komponen-komponen tersebut seperti protein sarkoplasma, lemak dan pigmen atau heme protein. Heme protein merupakan protein yang terdapat pada darah (hemoglobin) dan daging merah (mioglobin) (Lanier 2000 dalam Jafarpour et al. 2008).

Nilai kadar protein surimi HTS yang dihasilkan mengalami penurunan dari protein ikan sebelum dibuat surimi. Hal ini terjadi karena larutnya protein

sarkoplasma pada saat proses pencucian. Fraksi protein sarkoplasma (protein larut air) berkisar 20 – 30% dari protein total pada ikan dan sebagian besar hilang atau terbuang pada saat pembuatan surimi yaitu pada proses pencucian (Foegeding et al. 1996). Selain itu, protein miofibril pada daging putih ikan juga dapat larut dalam air (Wu dan Lin 1995 diacu dalam Morissey et al. 2000). Sebagian besar protein sarkoplasma mudah terlarut dan terbuang ketika proses pencucian pertama. Pada pencucian kedua, sisa protein sarkoplasma terus terbuang dan sejumlah kecil dari miosin, aktin, troponin dan tropomiosin juga ikut terbuang (Lin dan Park 1995 diacu dalam Morissey et al. 2000).

(3) Nilai pH

Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan gel dari surimi. Gel yang elastis tidak dapat dibentuk jika daging ikan berada pada kisaran di luar pH 6-8 (Shimizu et al. 1992). Kelarutan protein miofibril dalam pembentukan gel sangat dipengaruhi oleh pH. Protein miofibril menjadi tidak stabil pada kondisi asam (pH<6). Aktomiosin lebih stabil pada pH 7, dan kestabilan aktomiosin akan membantu proses pembentukan gel (Suzuki 1981). Hasil analisis pH surimi ikan HTS dapat dilihat pada Gambar 8. 5.3a 5.2a 4.8a 5.0a 5.3a 5.4a 4.7a 5.0 a 5.2a 5.3a 4.9a 4.6a 0 1 2 3 4 5 6 0 10 20 30

Konsentrasi hidrogen peroksida (ppm)

N il a i p H

Frekuensi p encucian 1 kali Frekuensi pencucian 2 kali Frekuensi pencucian 3 kali

Angka-angka pada diagram batang yang diikuti huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Nilai pH rata-rata surimi campuran ikan HTS berkisar antara 4,65 sampai 5,35. Hasil analisis ragam (Lampiran 9a), menunjukkan bahwa faktor frekuensi pencucian dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05), sedangkan faktor konsentrasi hidrogen peroksida (H2O2) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai pH surimi ikan HTS. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 9b) menunjukkan bahwa surimi dengan penambahan konsentrasi H2O2 sebesar 0 dan 10 ppm berbeda nyata dengan 20 dan 30 ppm. Pada konsentrasi hidrogen peroksida yang tinggi, nilai pH surimi yang dihasilkan berada pada kondisi yang semakin asam.

Nilai pH yang rendah dapat menyebabkan denaturasi protein yang cukup tinggi. Rawdkuen et al. (2008) melaporkan bahwa denaturasi protein yang tinggi pada tilapia terjadi karena perubahan nilai pH terutama pada kondisi asam. Kondisi pH yang asam dapat memicu beberapa enzim menjadi aktif, salah satunya adalah katepsin-L. Pada kondisi asam, dihasilkan nilai breaking force yang rendah disebabkan oleh aktivitas enzim katepsin-L (Choi dan Park 2002 diacu dalam Rawdkuen et al. 2008). Pada kondisi pH yang asam (pH 5,5), aktivitas katepsin-L semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NaCl di atas 0,2 M (Hu et al. 2008). Katepsin-L diketahui mempunyai aktivitas hidrolisis kuat terhadap protein secara luas (miosin, aktin, nebulin, protein sitosilat, kolagen dan elastin) pada hewan terestrial (Etheringthon etal. 1990 dalam Hu et al. 2008) katepsin L mampu mendegradasi kompleks AM (aktomiosin) pada ikan mackerel yang menyebabkan pelunakan gel surimi (Jiang et al. 1996 diacu dalam Hu et al. 2008).

Dokumen terkait