• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PROFIL INDUSTRI GULA MERAH TEBU

2. Karakteristik Industri

Industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sudah dimulai sejak tahun 1930. Menurut Soentoro et al., (1999) masa kejayaan gula berakhir menjelang tahun tiga puluhan bersamaan dengan terjadinya depresi ekonomi. Penurunan harga gula yang drastis menyebabkan banyak pabrik gula yang tutup sehingga produksi gula sangat merosot. Salah satu alternatif yang dilakukan petani tebu adalah dengan mengolah sendiri tebu menjadi gula merah tebu yang kemudian dijual di pasar-pasar tradisional sekitar. Dengan demikian industri gula merah tebu terus tumbuh dan berkembang sebagai salah satu usaha petani tebu untuk meningkatkan penghasilannya.

Pada awalnya tenaga yang digunakan untuk proses penggilingan tebu adalah tenaga sapi. Pada saat panen tebu, proses pengolahan gula merah tebu dikerjakan selama 24 jam penuh untuk menghindari kerusakan nira tebu yang sudah ditebang. Pengusaha dan keluarga terlibat langsung dalam proses produksi gula merah tebu pada siang hari, sedangkan pengolahan pada malam hari dilakukan oleh pihak saudara atau penduduk sekitar.

Pada tahun 1975 mulai dikenal mesin diesel untuk menggerakkan mesin giling menggantikan sapi. Dengan mesin ini, waktu proses pengolahan menjadi

lebih pendek 10 – 12 jam yang dimulai pada pukul 06.00 pagi untuk menghasilkan gula merah tebu yang sama dengan menggunakan tenaga sapi. Setelah adanya teknologi mesin pada industri gula merah tebu, pengusaha tidak secara langsung terlibat dalam proses pengolahan. Pengolahan gula merah tebu hanya dilakukan oleh tenaga kerja penggiling.

Sekitar tahun 1990-an pemerintah melalui Dinas Perkebunan melakukan penyuluhan-penyuluhan pada petani tebu. Materi penyuluhan yang dilakukan umumnya adalah materi di sektor hulu seperti pengelolaan, perawatan, pengendalian, serta upaya meningkatkan produktivitas perkebunan tebu. Salah satu bentuk penyuluhan mengenai industri gula merah tebu adalah adanya materi pelatihan metode jarak jauh mengenai pengolahan gula merah tebu pada tahun 1997 oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur.

Menurut Hawkins dan Van Den Ban (1999) definisi penyuluhan adalah keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Petani memanfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk mengelola usaha tani mereka dengan baik meliputi :

a) Petani-petani lain

b) Organisasi penyuluhan milik pemerintah

c) Perusahaan swasta yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli hasil pertanian

d) Agen pemerintahan yang lain, lembaga pemasaran, dan politisi e) Organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya

f) Jurnal usaha tani, radio, televisi, dan media massa lainnya g) Konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan

Pada tahun 1997 industri gula merah tebu yang beroperasi di Kecamatan Kebonsari berjumlah 70 unit usaha. Setelah reformasi industri gula merah tebu jumlah industri gula merah tebu yang beroperasi semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan rendahnya modal kerja yang dimiliki, dan sulit dalam mencari tenaga kerja.

b. Aspek legalitas

Sesuai dengan Undang-Undang No 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, ditinjau dari tingkat usahanya industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari merupakan usaha yang tergolong dalam industri kecil. Usaha ini dilakukan secara perorangan yang bertujuan untuk memproduksi produk gula merah tebu sehingga termasuk ke dalam kelompok bidang usaha industri pertanian. Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, industri ini termasuk ke dalam kelompok industri dan dagang mikro kecil karena dalam pengelolaannya melibatkan 4 – 10 orang tenaga kerja.

Pada dasarnya industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari ini masih belum memiliki badan hukum. Dalam menjalankan usahanya industri ini belum mempergunakan surat izin usaha dari Dinas Perindustrian Kabupaten Madiun sehingga termasuk ke dalam perusahaan non direktori. Menurut BPS (2003) perusahaan non direktori adalah perusahaan atau usaha yang tidak memiliki status atau badan hukum dimana kegiatannya dilakukan disuatu bangunan dan tempat perlengkapannya tidak dipindah-pindahkan. Pada umumnya kelompok usaha ini hanya mempunyai SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) bahkan ada yang tidak mempunyai izin sama sekali.

Prosedur pendirian perusahaan di Kabupaten Madiun (Gambar 3) dimulai dengan pembuatan akte pendirian di notaris, kemudian dilanjutkan dengan membuat Surat Keterangan Domisili Usaha yang dikeluarkan oleh pihak Kelurahan setempat. Kegiatan perizinan pendirian perusahaan yang dapat dilakukan di Kantor Kecamatan Kebonsari adalah pembuatan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Gangguan (HO), dan Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Surat IMB yang dikeluarkan untuk industri gula merah tebu termasuk IMB skala besar (bangunan tempat usaha). Besar retribusi suatu industri ditetapkan berdasarkan letak bangunan, yaitu di tepi jalur Bina Marga, di tepi jalur jalan Kabupaten, dan di tepi jalur jalan desa.

Permasalahan dalam perizinan bagi pengusaha adalah sulitnya pengurusan izin usaha, dan membutuhkan biaya. Beberapa pengusaha menyatakan bahwa usahanya bersifat musiman dan tidak kontinu sehingga tidak diperlukan izin usaha. Pengusaha juga menganggap izin usaha tidak mempunyai fungsi yang

nyata. Hambatan lain mengenai permasalahan legalitas industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari antara lain belum adanya sikap proaktif dari pemerintahan mengenai industri gula merah tebu seperti penyuluhan-penyuluhan dan lembaga khusus untuk industri ini serta kurangnya pengetahuan dan informasi pengusaha mengenai prosedur pendirian perusahaan.

Gambar 3. Prosedur pendirian perusahaan di Kabupaten Madiun (Sumber : Kecamatan Kebonsari, 2005)

Surat izin usaha sangat penting apabila seorang pengusaha ingin memperoleh fasilitas-fasilitas dari pemerintah. Dalam hal bantuan permodalan, bank-bank atau institusi permodalan memerlukan legalitas usaha dan jaminan untuk mengevaluasi calon nasabah dalam rangka pemberian kredit atau investasi. Surat izin ini juga dapat digunakan untuk menghindari adanya tuntutan dari pihak lain, seperti tuntutan terhadap polusi debu dan suara yang ditimbulkan dalam kegiatan menggiling dan memasak gula merah tebu. Dengan demikian peranan legalitas sangat diperlukan untuk pengusaha industri gula merah tebu untuk mempertahankan serta mengembangkan usahanya.

c. Aspek teknis dan teknologis

1. Bahan baku

Bahan baku utama dalam industri gula merah di Kecamatan Kebonsari adalah tanaman tebu. Sumber bahan baku tebu yang diproses menjadi gula merah tebu berasal dari hasil tanam sendiri, membeli, dan titip giling. Tebu yang berasal dari hasil tanam sendiri terbagi menjadi dua kelompok yaitu tebu yang ditanam di lahan milik dan lahan sewa, sementara tebu yang dibeli berasal dari perkebunan tebu rakyat bebas (TRB) yang berada di Kecamatan Kebonsari. Pada pengolahan gula merah titip giling, tebu berasal dari pemilik tebu baik tebu sendiri atau pemborong tebu yang tidak memiliki pabrik gula merah tebu untuk kemudian diolah menjadi gula merah tebu. Sumber bahan baku tebu yang digunakan industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sumber bahan baku untuk industri gula merah

Tebu rakyat bebas (TRB) yang dibeli pengusaha atau pemilik modal berasal dari desa-desa di Kecamatan Kebonsari. Pembelian tebu umumnya dilakukan pada antara bulan Februari – April dimana tebu masih berusia 8 – 10 bulan. Pemilihan tebu yang dibeli dari tebu rakyat bebas (TRB) dilakukan oleh pengusaha atau pemilik modal dengan memperhatikan pertumbuhan tanaman. Tebu dipilih berdasarkan bentuk batang, kondisi perkebunan, dan umur tanaman. Berdasarkan bentuk batang tebu yang baik adalah tebu yang memiliki batang besar dan lurus. Tebu bengkok atau ambruk, belum cukup umur, dan tidak memenuhi teknis pemeliharaan tanaman tebu akan menurunkan mutu produk gula merah tebu yang dihasilkan.

Tabel 6. Harga tebu berdasarkan bulan tahun 2006

Bulan Harga ( kotak)

Februari Rp 2.500.000 – 3.000.000

Maret Rp 2.750.000 – 3.100.000

April Rp 2.750.000 – 3.500.000

Mei Rp 2.900.000 – 3.500.000

Juni Rp 2.900.000 – 4.000.000

(Sumber : Data Primer)

Sistem pembelian tebu yang dilakukan pengusaha industri gula merah di Kecamatan Kebonsari adalah sistem borongan dimana tebu dijual tidak berdasarkan bobot melainkan per luas areal (dalam terminologi responden adalah kotak). Rata-rata luas per kotak adalah 0,143 Ha. Harga tebu yang dijual tergantung umur tebu, pada Tabel 6 dapat dilihat harga tanaman tebu tahun 2006. Berdasarkan pengalaman petani tebu pada musim panen harga tebu akan terus meningkat sampai pada puncaknya antara bulan Agustus – September dan setelah bulan tersebut harga tebu akan menurun. Penurunan harga tebu ini disebabkan umur tebu sudah terlalu tua dan sudah masuk musim penghujan sehingga rendemen yang dihasilkan menurun.

PERSENTASE AREAL TANAMAN TEBU KABUPATEN MADIUN 12,41% 9,71% 11,56% 8,81% 10,10% 47,41% Kebonsari Dolopo Geger Jiwan Balerejo

Dagangan, Karee, Gemarang, Wungu, Madiun, Mejay an, Saradan, Pil kenceng, Sawahan,

W i

LUAS AREAL TANAMAN TEBU KECAMATAN KEBONSARI 1.297 1.120 915 941 829 829 798 883 0 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Ha

Gambar 6. Grafik luas areal tanaman tebu Kecamatan Kebonsari pada periode tahun 1997 – 2004

Gambar 6 menunjukkan rata-rata luas perkebunan tebu di Kecamatan Kebosari antara 1997 – 2004 adalah 952 Ha. Berdasarkan data dinas perkebunan Kabupaten Madiun, antara tahun 1997 – 2003 luas area tanaman tebu di Kecamatan Kebonsari mengalami penurunan dan baru pada tahun 2004 terjadi kenaikan. Hal tersebut disebabkan karena adanya pertimbangan mengalihkan usaha perkebunan tebu dengan tanaman alternatif. Menurut Soentoro et al., (1999) analisa kelayakan finansial usaha tani tebu dan usaha tani non-tebu di daerah sawah dan tegalan di Jawa Timur menunjukkan bahwa pendapatan bersih usaha tani tebu di sawah secara keseluruhan tidak berbeda dengan tanaman alternatifnya.

Tabel 7. Kebutuhan bahan baku dan areal perkebunan tebu industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari.

Responden Produksi / Hari (Ton Tebu) Lama Produksi (Hari) Kebutuhan Areal (Ha) A 2,50 150 3,75 B 1,86 120 2,23 C 3,65 210 7,67 D 1,64 120 1,97 E 3,38 240 8,11 F 2,37 180 4,27 G 3,08 210 6,47 Rata-rata 2,64 176 4,92

Produktivitas tebu per luas area adalah 100 ton/Ha sehingga rata-rata dalam setahun Kecamatan Kebonsari mampu memproduksi tebu sebanyak 952.000 ton tebu. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan produksi industri gula merah tebu adalah 2,64 ton tebu/hari. Kegiatan pengolahan gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari dilakukan pada musim panen tebu yaitu antara bulan Mei – Oktober. Berdasarkan hasil pengamatan, kegiatan pengolahan gula merah tebu juga dilakukan sebelum musim panen tebu. Tebu yang diolah sebelum musim panen merupakan tebu yang ditebang pada umur 8 – 10 bulan dimana pucuk tebu hasil tebangan digunakan sebagai bibit. Hal tersebut tentu saja dapat mempengaruhi mutu dan rendemen yang dihasilkan.

2. Bahan tambahan pangan dan penunjang produksi

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan (Himpunan Alumni Fateta, 2005). Bahan tambahan yang digunakan dalam industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari adalah larutan kapur (laru), dan minyak kelapa (Tabel 8).

Tabel 8. Penggunaan dan harga bahan tambahan pangan

Bahan Tambahan Dosis / wajan

(11 – 13 kg gula)

Harga (kg)

Minyak Kelapa 20 gram Rp 4.800

Kapur 100 gram Rp 350

Natrium Metabisulfit 10 gram Rp 8.000

(Sumber : Data Primer)

Menurut Goutara dan Wijandi (1985), larutan kapur telah digunakan sebagai pengendap kotoran atau pemurnian nira sejak tahun 1685. Kapur tohor yang digunakan untuk proses pemurnian nira umumnya dilarutkan dahulu di dalam air menjadi susu kapur (Ca(OH)2). Penambahan larutan kapur dapat menetralkan pH

nira serta mengendapkan kotoran-kotoran yang terlarut dalam nira (Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur, 1997). Menurut Dachlan (1984) minyak kelapa merupakan senyawa anti buih. Penambahan minyak kelapa dapat menurunkan

tegangan permukaan larutan nira sehingga memperlambat pembentukan buih sehingga nira tidak meluap.

Bahan tambahan lain yang digunakan oleh pengusaha gula merah tebu adalah Natrium Metabisulfit. Natrium metabisulfit merupakan bahan pewarna tambahan yang digunakan untuk memberikan warna kuning pada gula merah tebu. Penambahan Natrium metabisulfit pada proses pemasakan bertujuan untuk mengurangi proses pencoklatan agar warna gula yang dihasilkan menjadi lebih kuning dan cerah. Menurut Buckle (1987) adanya sulfit pada Natrium metabisulfit dapat menurunkan pH dan mampu menghalangi beraksinya gugus karbon gula pereduksi agar tidak bereaksi dengan asam amino sehingga warna coklat kehitaman tidak terbentuk.

Bahan penunjang yang digunakan pada proses produksi gula merah tebu antara lain bahan bakar diesel, oli, dan aspal padat. Bahan bakar diesel berfungsi untuk menjalankan diesel penggerak mesin giling. Oli berfungsi untuk melumaskan gigi (gear) pada mesin giling. Aspal padat berfungsi untuk membuat sabuk transmisi (belt) yang menghubungkan mesin giling dan diesel tidak licin dan mudah lepas. Untuk mengolah 25 – 35 kw tebu/hari, rata-rata bahan bakar diesel dan oli yang digunakan adalah 8 liter dan 0,45 liter. Sebuah aspal padat dapat digunakan selama ± 2 – 3 bulan. Bahan penunjang produksi lain yang digunakan pada industri gula merah tebu adalah bahan bakar untuk kendaraan. Penggunaan bahan bakar untuk kendaraan pengangkut tebu tergantung pada jarak antara kebun dan pabrik, semakin jauh jarak tersebut akan meningkatkan penggunaan bahan bakar kendaraan.

3. Mesin dan peralatan

Mesin dan peralatan yang digunakan dalam industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari antara lain golok, mesin diesel, mesin penggiling tebu, bak nira, gerobak, selang dan pipa, tungku masak, penahan (bumbung), serok, ebor, pengaduk, cetakan gula, ember, dan keranjang. Mesin diesel digunakan sebagai sumber tenaga penggerak bagi mesin penggiling (Gambar 7).

Mesin diesel termasuk kelompok mesin bakar dalam. Menurut Pratomo dan Kohar (1983) motor bakar dalam merubah tenaga yang berasal dari pengembangan gas hasil ledakan campuran bahan bakar dengan udara menjadi

tenaga mekanis. Tenaga yang dihasilkan dari pembakaran mesin diesel akan mengubah gerak torak yang bolak balik dalam arah lurus menjadi gerak putar. Besarnya tenaga mesin diesel yang dimiliki oleh pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari berkisar antara 12 – 14 PK.

Gambar 7. Mesin diesel dan mesin penggiling tebu

Putaran yang dihasilkan mesin diesel akan diteruskan ke roda gila pada mesin penggiling dengan sabuk transmisi (belt) sebagai alat penyalur putaran. Pratomo dan Kohar (1983) menyatakan bahwa penggerak berbentuk sabuk transmisi (belt) bekerja atas dasar gesekan. Tenaga disalurkan dengan cara persinggungan antara sabuk transmisi (belt) yang menghubungkan puli penggerak dan puli yang digerakkan. Keuntungan penggunaan sabuk transmisi (belt) sebagai alat penyaluran tenaga antara lain mudah dirancang, mudah dipasang, menyerap getaran, mudah dirawat, murah, dan memungkinkan penghentian tenaga dengan mudah. Beberapa kerugian penggunaan sabuk transmisi (belt) adalah tidak tahan lama dibanding penggerak lain, tidak dapat meneruskan beban berat, dan tidak dapat digunakan bila diperlukan ketepatan waktu yang tinggi.

Pada Gambar 8 dapat dilihat mesin penggiling tebu memiliki 3 buah gilingan. Berdasarkan pengamatan, ukuran gilingan yang digunakan berkisar antara 14 – 18 inci dengan kapasitas 1 – 2 ton tebu/jam. Prinsip kerja mesin penggiling adalah tebu yang ditekan (press) antara gilingan 1 dan 2 menghasilkan nira dan ampas tebu (bagase). Ampas tebu (bagase) keluar antara gilingan 1 dan 3, sedangkan nira yang dihasilkan keluar dari sekat antara gilingan 2 dan 3. Salah satu cara untuk meningkatkan jumlah nira adalah mengatur jarak antara ketiga gilingan.

Pengaturan jarak yang tepat akan meningkatkan jumlah nira, dan bagase yang dihasilkan tidak terlalu basah sehingga mempercepat penjemuran. Kesalahan pengaturan akan menurunkan jumlah nira, bagase terlalu basah, dan apabila jarak antara ketiga gilingan terlalu rapat menyebabkan kerusakan pada mesin penggiling.

Gambar 8. Prinsip kerja mesin penggiling tebu

Sebagian besar mesin diesel dan giling yang dimiliki pengusaha gula merah tebu sudah tua dan mengalami banyak perbaikan. Mesin diesel dan giling yang digunakan biasanya dibeli bekas pakai atau dari tukang rongsok besi sehingga harganya jauh lebih rendah dibandingkan membeli mesin baru. Hal tersebut menyebabkan mesin tidak efisien lagi untuk digunakan. Pengusaha gula merah tebu lebih memperhatikan perawatan dan pengadaan suku cadang. Ketika tidak musim giling biasanya mesin diperbaiki (service) sehingga kondisinya baik ketika akan digunakan. Apabila dalam kegiatan produksi terjadi kerusakan pada salah satu mesin biasanya digunakan suku cadang yang sudah dipersiapkan, sementara bagian mesin yang rusak diperbaiki.

Menurut Murdinah et al., (2002) perawatan mesin dan peralatan diperlukan untuk menjamin kelancaran proses produksi. Perawatan perlu dilakukan secara periodik untuk mencegah terjadinya kerusakan fatal yang mendadak sehingga dapat menghambat proses produksi. Perawatan juga berarti menyiapkan mesin dan peralatan pada kondisi puncak kerja dan memperpanjang umur ekonominya..

Tungku masak merupakan salah satu peralatan utama dalam proses pengolahan gula merah tebu. Tungku masak yang umumnya dimiliki pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari hanya menggunakan bahan bakar bagase. Selain bagase, sekam dapat digunakan sebagai bahan bakar tungku masak. Penggunaan sekam biasanya hanya digunakan ketika cuaca tidak

mendukung untuk menjemur ampas tebu (bagase) sehingga terjadi kekurangan bahan bakar ampas tebu (bagase).

Sebuah tungku masak terdiri dari tempat memasukkan bahan bakar, tempat wajan pemasakan, tempat pengambilan abu, dan cerobong pembuangan asap. Wajan yang digunakan dalam sebuah tungku masak berjumlah 7 – 9 buah dengan diameter 90 cm. Kapasitas wajan pemasakan adalah 68 liter nira dengan kemampuan menghasilkan 11 – 13 kg gula merah tebu. Desain tungku masak seperti pada Gambar 9 dibuat miring agar uap panas lebih cepat dan merata. Bahan bakar ampas tebu (bagase) dan sekam yang dimasukkan ke tungku akan dibakar. Api hasil pembakaran akan memanaskan wajan yang terdekat dengan sumber api, sedangkan wajan yang jauh hanya memanfaatkan uap panas hasil pembakaran. Hal tersebut menyebabkan hanya wajan terdekat dengan sumber api yang digunakan untuk menurunkan nira yang sudak masak (gulali).

Gambar 9. Desain tungku pemasakan gula merah tebu

4. Proses Produksi

Secara umum kegiatan proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Tebu masih dilakukan berdasarkan aturan dan cara yang sudah diterapkan secara turun temurun. Faktor utama yang digunakan untuk membedakan tingkat mutu dan kualitas produk gula merah tebu yang dihasilkan adalah warna dan kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurlela (2002) pembentukan warna gula pada dasarnya sangat bergantung pada dua hal, yaitu kondisi bahan baku dan proses pengolahan gula merah. Kondisi bahan baku meliputi komposisi kimia nira (kadar air, protein, asam organik, dan lemak), dan kondisi kesegaran nira (pH awal sebelum proses pemasakan). Kondisi proses pengolahan meliputi

suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kebersihan proses dan alat-alat yang digunakan. Selama ini kegiatan pengawasan mutu belum dilakukan secara optimal oleh pengusaha industri gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari sehingga menyebabkan kualitas dan mutu produk gula merah tebu yang dihasilkan rendah.

Berdasarkan hasil observasi, pengamatan, dan wawancara diketahui bahwa tahapan dalam proses produksi gula merah tebu di Kecamatan Kebonsari terdiri dari penggilingan, pemasakan, pengentalan, pencetakan, pengemasan, dan penyimpanan. Diagram alir proses produksi pembuatan gula merah tebu dapat dilihat pada Gambar 10.

a) Penggilingan

Proses penggilingan adalah proses penghancuran batang tebu untuk mengekstraksi nira semaksimal mungkin (Gambar 11). Sejak tahun 1975, proses penggilingan tebu dilakukan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh mesin diesel dan dihubungkan dengan sabuk transmisi (belt). Tebu sebagai bahan baku gula merah dipilih yang sudah masak, agar diperoleh hasil gula yang tinggi. Berdasarkan wawancara dengan para pengusaha, umumnya tebu yang digunakan industri gula merah tebu adalah tebu yang telah berumur minimal 11 – 12 bulan dengan rendemen rata-rata 10%.

Gambar 11. Tahapan Proses Penggilingan

Menurut Goutara dan Wijardi (1985) tebu dianggap siap panen jika bunganya sudah habis, hanya tinggal tangkainya dan ruas batang dibagian pucuk sudah sangat pendek (umur 11 – 14 bulan). Nira yang diperoleh memiliki kadar gula yang berbeda, tergantung kandungan gula dalam tebu dan tingkat ekstraksi yang dilakukan. Kandungan gula dalam nira tebu tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tebu meliputi curah hujan, jenis tanah, udara, suhu, dan pupuk yang dgunakan.

Dalam keadaan segar, nira mempunyai rasa manis, berbau harum, dan tidak berwarna. Nira yang digunakan haruslah bermutu tinggi agar dihasilkan gula dengan mutu baik. Mutu nira ditentukan oleh kadar gula pereduksi dan keasamannya. Kadar gula pereduksinya harus lebih kecil atau sama dengan 8%, sedangkan tingkat keasaman atau pH yang baik adalah pH 6 – 7. Kondisi asam

sedangkan kondisi basa (pH tinggi) menyebabkan terbentuknya gula reduksi. Gula reduksi dalam nira terutama adalah heksosa, glukosa, fruktosa, dan manosa dalam jumlah sedikit.

Kerusakan nira ditandai dengan rasanya yang asam, berbuih, dan berlendir. Kerusakan ini terjadi karena aktivitas mikroba kontaminan yang menyebabkan terjadinya fermentasi gula yang terdapat pada nira. Penghambatan kerusakan nira dapat dilakukan dengan cara memasukkan larutan kapur ke dalam bak penampung nira dan memanaskan nira segera mungkin setelah digiling.

Kemampuan menggiling industri gula merah tebu yang berada di Kecamatan Kebonsari berkisar antara 2 – 4 ton tebu/hari sehingga dalam sehari biasanya hanya dilakukan sekali pengangkutan. Tebu ditempatkan di sekitar mesin penggiling untuk memudahkan dan mempercepat kegiatan penggilingan atau pemerahan nira. Tebu dimasukkan dalam mesin penggiling secara bertahap sesuai dengan kemampuan mesin. Hasil tebangan tebu yang dilakukan termasuk tebangan bersih karena sebelum masuk penggilingan, kotoran berupa daun kering tebu dan tanah sudah dibersihkan.

Hasil pemerahan nira dari mesin penggiling akan ditampung dalam bak penampung nira. Bak penampung yang digunakan terdiri dari bak penampung pertama dan kedua. Bak pertama berfungsi untuk menampung dan menyaring nira dari kotoran-kotoran kasar, sedangkan bak kedua hanya berfungsi untuk menampung nira. Bak penampung kedua ditempatkan dekat tungku masak agar

Dokumen terkait