• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 24

4.1   Sejarah dan Karakteristik Kawasan 24

4.1.2   Karakteristik Kawasan 27

Identifikasi karakteristik lanskap sejarah dapat dilihat dari elemen atau fitur-fitur yang mewakili tipe lanskap (Keller dan Keller, 1989). Kawasan Taman Kencana sebagai designed historical landscape, memiliki karakteristik lanskap yang dapat dideskripsikan, meliputi penggunaan lahan, bangunan, sirkulasi, dan tata hijau.

4.1.2.1Penggunaan Lahan

Kawasan Taman Kencana merupakan kawasan yang dibangun sebagai permukiman bagi bangsa Eropa terutama pegawai, peneliti, penguasa atau militer yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan yang ada disekitarnya. Zona I atau

kawasan yang dikenal sebagai Sempur (Gambar 8), menurut Danasasmita (1983), sebelum tahun 1900an merupakan lahan kosong dimana asal penamaannya karena banyak ditemukan pohon Sempur. Kemudian sebagai bagian dari perluasan Buitenzorg ke arah timur oleh Thomas Karsten, maka kawasan Sempur dibangun sebagai kompleks permukiman militer. Lahan kosong yang tersisa menjadi ciri khas kawasan ini, dimana saat ini dikenal sebagai Lapangan Sempur.

Gambar 8. Kawasan Sempur Sumber: Pribadi (2012) dan Tropenmuseum (1926)

Bagian permukiman yang awalnya dibangun pada masa kolonial dikenal sebagai Sempur Kidul, sedangkan Sempur Kaler dan sekitarnya dibangun setelah kemerdekaan. Sebagai komplek militer, permukiman di Sempur lebih diperuntukan bagi kalangan prajurit, sedangkan para petingginya tinggal di permukiman sekitar Taman Kencana. Sehingga, rumah-rumah yang terdapat dikawasan ini lebih sederhana dan luas lahan lebih kecil dari di Taman Kencana. Selain rumah tinggal, di kompleks ini juga terdapat Balai Penelitian Perikanan dan Sekolah Teknik yang sekarang menjadi Gedung SMP 11. Perubahan kawasan Sempur sebagai permukiman tidak banyak berubah, akan tetapi perubahan sebagai area komersial terutama bagian di ruas jalan Sempur. Secara topografi kawasan Sempur berada di ketinggian yang lebih rendah dari Zona II dan III dan dipisahkan oleh batas alami dikenal sebagai lereng Ciremai.

Zona II dan III merupakan permukiman elit yang terdiri dari rumah villa besar, sedang hingga kecil dengan luas kavling ±700-800m2 dan luas lahan terbangun yang masih asli adalah 30%. Permukiman ini diperuntukan bagi peneliti, pegawai atau penguasa Belanda pada saat itu. Zona II dan III dipisahkan oleh jalan Salak sebagai salah satu jalan utamanya yang menghubungkan Jalan

Jalak Harupat dan Jalan Gunung Gede I. Zona II sebagian besar merupakan rumah tinggal, sedangkan pada zona III, selain rumah tinggal, terdapat ruang terbuka hijau (sekarang Taman Kencana) dan kompleks kantor pemerintahan, yaitu Penelitian Perkebunan dan Sekolah Kedokteran Hewan. Penggunaan lahan secara historis pada Gambar 9.

Perubahan penggunaan lahan lebih terlihat pada zona II, yaitu perubahan dari rumah tinggal menjadi area komersial yang terjadi pada ruas jalan Pajajaran, jalan Salak dan Pangrango. Sedangkan pada zona III perubahan menjadi area komersial ini sebagian besar hanya pada ruas jalan Pajajaran. Area perdagangan dan jasa sebagian besar berada di ruas jalan Pajajaran terdiri dari bangunan baru dan bangunan lama yang berubah fungsi. Jalan Pajajaran menjadi jalur yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga aktvitas yang dominan adalah kegiatan komersial. Kondisinya saat ini berfungsi sebagai jalan arteri dengan berbagai pendukung kegiatan komersial seperti adanya factory outlet, hotel atau rumah makan. Penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 10.

30

31

4.1.2.2Bangunan

Bangunan yang terdapat dalam kawasan dapat dikategorikan menjadi bangunan rumah tinggal dan bangunan kantor pemerintahan. Bangunan dalam kawasan memiliki arsitektur yang khas, dikenal dengan gaya Indis atau Indo Eropa dengan ciri telah menyesuaikan dengan iklim tropis, baik pada bentuk atap, maupun penggunaan material bangunan.

Zona I sebagai permukiman militer yang diperuntukan bagi kalangan prajurit, tipe rumah tinggal yang terdapat dalam kawasan merupakan rumah sederhana dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama. Sedangkan zona II dan III terdiri dari rumah tipe villa yang dapat diidentifikasi dari tipe atap, yaitu tipe atap gandeng. Menurut data Bappeda (2007), jumlah rumah dengan tipe atap gandeng kira-kira hanya seperempatnya dan terletak di zona III. Sedangkan zona II hanya terdapat rumah dengan tipe atap tunggal. Ragam bentuk arsitektur bangunan rumah tinggal dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Ragam Rumah Tinggal

Rumah (a) Jl. Papandayan (b) Rumah Jl. Jalak Harupat (c) Rumah Jl. Sempur (2011)

Bangunan Kantor pemerintahan diletakkan di titik-titik yang strategis atau focal point dari kawasan tersebut. Beberapa bangunan pemerintahan tersebut telah mendapat status sebagai Benda Cagar Budaya Kota Bogor. Bangunan tersebut adalah Balai Penelitian Perikanan Air Tawar dan Gedung SMP 11 (Gambar 12) pada Zona I dan Balai Penelitian Perkebunan (Gambar 13) pada Zona III. Bangunan kantor pemerintahan memiliki arsitektur yang khas berbeda dengan sekitarnya, sehingga berfungsi sebagai landmark, serta memiliki ciri denah berbentuk –U- yang memungkinkan sebagai jalan masuknya cahaya. BCB lainnya yang terdapat dalam kawasan adalah Gedung Blenong dan Gedung RRI yang terdapat pada Zona II (Gambar 14).

Gambar 12. Gedung Balai Penelitian Perikanan dan Gedung SMP 11 Sumber: http://www.litbang.kkp.go.id/ dan pribadi (2011)

Gambar 13. Balai Penelitian Perkebunan (Centrale Proefstations Vereniging) (a) 2011 (b) 1933

Sumber: Pribadi (2011) dan Arsip BPPI

Gambar 14. Gedung Blenong

Bentuk perubahan diantaranya adalah terdapat tiga belas rumah yang dibangun setelah kemerdekaan di Jalan Guntur, ada juga penggunaan lahan kosong yang berubah menjadi fasilitas umum, yaitu sekolah internasional di Jl. Papandayan dan masjid di Jl. Sanggabuana (Sobara, 2008). Perubahan elemen bangunan dapat dilihat dari pengamatan fasad bangunan. Pengamatan hanya dilakukan berdasarkan tampak luar fisik bangunan dan penggunaan kavling tanah saja, diantaranya dapat dikelompokkan menjadi:

A. Tidak berubah atau sedikit berubah, yaitu bangunan yang masih mempertahakan keaslian bentuk dan fungsinya, atau mempertahankan bentuk dan bergeser fungsinya. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar muka bangunan rumah tinggal masih dapat golongkan tidak banyak perubahan. B. Cukup berubah, yaitu adalah bangunan yang mempertahankan sebagian besar

keaslian bentuknya, telah termodifikasi bagian lainnya, dan sebagian besar telah berubah fungsi atau bangunan asli yang tidak terawat. Contohnya adalah bangunan rumah tinggal yang berubah adaptif menjadi komersial.

C. Sangat berubah atau tidak berciri kolonial, yaitu kondisi bangunan yang sudah berubah total dari aslinya, atau bangunan baru yang tidak sesuai dengan karakter konsep bangunan yang dibangun pada masa kolonial. Peta kondisi elemen bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 16.

35

4.1.2.3Sirkulasi

Sirkulasi dalam kawasan dihubungkan oleh jaringan jalan (weg) yang menghubungkan kawasan permukiman Eropa ini dengan pusat-pusat aktivitas di sekitarnya. Proyek perluasan Buitenzorg yang direncanakan ke arah timur menyebrangi Sungai Ciliwung, termasuk di dalamnya adalah perluasan Kebun Raya. Maka, terbangun jalan lingkar Kebun Raya yang menyebrangi Ciliwung tersebut di dua titik, yaitu jalan jembatan Ciliwung yang berada di jalan Jalak Harupat dan jalan Otto Iskandardinata. Jalan-jalan tersebut menjadi sirkulasi utama yang menghubungkan kawasan dengan pusat kota. Sedangkan, permukiman di Sempur dihubungkan oleh jembatan gantung pada jalan Sempur.

Jaringan jalan eksisting dalam kawasan terdiri dari jalan lokal, jalan kolektor dan jalan arteri (Bappeda, 2007). Jalan Jalak Harupat dan Pajajaran merupakan jalan arteri sekunder, jalan Ciremai, Salak dan Pangrango merupakan jalan kolektor sekunder, dan jalan lainnya merupakan jalan lokal. Kondisi jalan ekisting dapat dilihat pada Gambar 17.

Jalan lokal, yang dahulu diberi nama-nama kerajaan Belanda, seperti Beatrix weg (jalan Cikuray), Jan Pieterzoon Coen weg (jalan Pangrango). Jalan lokal memiliki lebar 6-7 meter cukup lebar sebagai jalan permukiman, dilengkapi dengan jalur hijau jalan dengan lebar 1,5-2 meter dan pohon-pohon penaung. Secara singkat Jaringan jalan eksisting dideskripsikan pada Tabel 11.

Gambar 17. Kondisi Jalan Eksisting Jl. Pajajaran b) Jl. Ciremai c) Jl. Papandayan

Tabel 11. Deskripsi Karakteristik Jalan Eksisting Nama Jalan Fungsi Jalan Karakteristik

Lebar Jalan Pedestrian Jalur Hijau Pajajaran (Gunung Gede I)

Jalan Arteri 40 m 3 m 3 m

Jalak Harupat 13 m 1,3 m 1,3 m

Salak, Ciremai, Pangrango Jalan Kolektor 14 m 1,5 m 1,5 m

Jalan lokal Jalan Lokal 7 m - 2 m

Sumber: Bapeda dan Pengamatan Lapang

4.1.2.4Tata Hijau

Elemen tata hijau dalam kawasan dapat dilihat pada: • Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau yang bersifat pribadi adalah ruang tidak terbangun atau halaman pada setiap kavling rumah, sedangkan yang yang bersifat publik berupa taman. Pada zona I terdapat lapangan Sempur yang pada awalnya merupakan lahan kosong, saat ini dimanfaatkan sebagai saran rekreasi atau olahraga oleh masyarakat Bogor. Pada zona II hanya terdapat taman-taman yang berfungsi sebagai traffic island. Pada zona III, terdapat ruang terbuka yang berada di titik strategis yang menjadi focal point pertemuan antara beberapa ruas jalan. Ruang terbuka hijau tersebut adalah Taman Kencana yang dahulu bernama Baron van Imhoff Plein (Sobara, 2008 dan Widjaja, 1991).

Taman Kencana (Gambar 18) merupakan taman yang dibangun pada 1927 dengan konsep Rennaissance berbentuk geometri dengan pusat berupa air mancur di tengah taman. Fungsi utama taman tersebut adalah sebagai penyedia keindahan lingkungan dengan aktivitas rekreasi pasif. Pada masa tersebut, taman ini dipeliharan oleh pihak Balai Penelitian Perkebunan dan diperutukan bagi bangsa Eropa yang tinggal di sekitarnya serta pegawai-pegawai Balai Penelitian Perkebunan (Widjaja, 1991).

Gambar 18. Taman Kencana (Baron Van Imhoff Plein) Sumber: Tropenmuseum

• Jalur Hijau Jalan.

Jalur hijau jalan ditanami rumput dan pohon-pohon besar yang berjajar. Pada zona I, jalur hijau tidak selebar di zona II atau III, juga tidak terdapat pohon- pohon besar yang berjajar dengan jenis yang sama. Sedangkan zona II dan III, jalur hijau selebar 2-3 meter ditanami rumput pohon yang berjajar. Penggunaan pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai penaung, pemberi estetika, dan keberadaannya mempengaruhi iklim mikro yang menciptakan kesejukan dalam kawasan.

Pemilihan jenis tanaman pada jalur hijau jalan yang mengambil contoh Kota Malang, sebagai salah satu kota yang direncanakan oleh Karsten, diantaranya adalah pohon Trembesi (Samanea saman), Beringin (Ficus benyamina), Palem Raja (Oreodoxa regia), Mahoni (Switenia mahagoni), Asam Londo (Tamarindus indica) dan Kenari (Canarium amboninse) (Baskara, 2012). Penggunaan jenis tanaman tersebut diantaranya adalah untuk mengadaptasi iklim tropis, yang memiliki ciri: tinggi, bertajuk lebar, serta mudah perawatannya. Tabel 12 menunjukkan jenis tanaman tersebut yang dapat ditemukan pada ruas jalan dalam kawasan.

Tabel 12. Jenis Tanaman dan Lokasinya

Jenis Tanaman Lokasi Jalan

Trembesi (Samanea saman) Jl. Jalak Harupat, Jl. Salak

Beringin (Ficus benyamina) Jl. Jalak Harupat, Jl. Pajajaran, Jl. Papandayan

Mahoni (Switenia mahagoni) Jl. Jalak Harupat, Jl. Pajajaran, Jl. Pangrango, Jl. Sempur, Jl. Pajajaran, Jl. Salak,

Jl. Papandayan, Jl. Cikuray, Jl. Mandalawangi, Jl. Mega Mendung

Kenari (Canarium amboninse) Jl. Jalak Harupat, Jl. Ciremai, Jl. Pajajaran Palem Raja (Oreodoxa regia) Jl. Sempur

Flamboyan (Delonix regia) Jl. Jalak Harupat, Jl. Ciremai, Jl. Pajajaran, Jl. Salak

Sumber: Hasil Pengamatan

Berdasarkan tabel, dapat dilihat bahwa jenis tanaman tersebut dapat ditemukan terutama di jalan-jalan utama. Sedangkan, pada daerah Sempur masih banyak terdapat pohon Sempur. Berdasarkan pengamatan kondisi eksisting, selain tanaman-tanaman tersebut, terdapat beberapa jenis lainnya yang banyak ditemukan pada jalan-jalan lokal, yaitu kerai payung dan tanjung.

Berdasarkan uraian di atas, maka, karakteristik kawasan permukiman tipe kolonial di Taman Kencana dapat dideskripsikan secara singkat pada Tabel 13.

Tabel 13. Deskripsi Karakteristik Kawasan Taman Kencana

Zona I Zona II Zona III

Penggunaan Lahan

•Permukiman militer dan kelas pegawai

•Kantor pemerintahan •Ruang terbuka (lapangan Sempur) •Permukiman elit bagi pegawai, peneliti atau penguasa

•Permukiman elit bagi pegawai, peneliti atau penguasa •Kantor pemerintahan •Ruang terbuka (Taman Kencana) Bangunan

•Arsitektur khas Indis yang berkembang 1920-1940an, yaitu penyesuaian terhadap iklim tropis dari bentuk dan material

•Rumah tinggal tipe sederhana

•Bangunan kantor pemerintahan diletakkan pada titik yang strategis

•Rumah tinggal tipe villa sedang hingga kecil

•Rumah tinggal tipe villa besar, sedang hingga kecil

•Bangunan kantor pemerintahan diletakkan pada titik yang strategis

Sirkulasi

•Sirkulasi utama Jl. Sempur dan Jl. Jalak Harupat •Sirkuasi utama: Jalan arteri sekunder (Jl. Pajajaran), kolektor sekunder (Jl. Ciremai, Salak)

•Jalan lokal untuk jalan lainnya

•Sirkuasi utama: Jalan arteri sekunder (Jl. Pajajaran dan Jalak Harupat), kolektor sekunder (Jl. Ciremai, Salak, Pangrango),

•Jalan lokal untuk jalan lainnya

Tata Hijau

•RTH yang pada awalnya lahan kosong saat ini dimanfaatkan sebagai lapangan publik

•Jalur hijau jalan eksisting ±1 meter, terdapat bagian yang tidak kontinyu, ditanami rumput dan pohon yang tidak berderet atau tidak memberi kesan rimbun

•Pohon sempur terdapat di sisi-sisi lapangan sempur, palem raja dan mahoni pada Jl. Sempur

•RTH halaman pada permukiman

•RTH berupa halaman (pribadi) dan taman ketetanggan (publik). Taman dengan konsep geometri

Renaissance, terletak di titik yang strategis dan aktivitas pasif

•Jalur hijau jalan selebar ±2-3 meter, ditanami rumput dan pohon-pohon dengan ciri: tinggi, besar, tajuk lebar untuk menaungi dan mudah perawatannya (mahoni, flamboyan, kenari, beringin, ki hujan).

•Pohon-pohon pada jalan-jalan utama berderet sejenis. Pada jalan lokal jenis pohon lebih beragam, juga pada halaman rumah tinggal.

Dokumen terkait