• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat yang menjadi responden merupakan masyarakat petani yang tergabung kedalam KTH Puspa Lestari yang mempunyai keterlibatan langsung dengan kegiatan PKBM. Responden yang diambil yaitu sebanyak 30 orang anggota KTH yang bertempat tinggal di Dusun Gunung Putri.

5.5.1 Jenis Kelamin

Masyarakat tani yang mengikuti kegiatan PKBM sebagian besar adalah laki-laki. Faktor yang mempengaruhinya yaitu karena mayoritas penggarap lahan ialah laki-laki, sedangkan perempuan ikut membantu dalam pemeliharaan tanaman dan pengolahan lahan yang tidak memerlukan tenaga besar. Laki-laki dianggap lebih efektif karena memiliki waktu lebih banyak di luar rumah dibandingkan perempuan. Menurut Sunarso (2005), laki-laki menjadi tenaga kerja utama dalam kegiatan tani sayuran. Perempuan diposisikan sebagai tenaga kerja pengelola rumah tangga dan khususnya bagi konsumsi rumah tangga dan pada saat pemungutan hasil sayuran.

Tabel 4 Jenis kelamin masyarakat petani

No Jenis kelamin Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Laki-laki 25 83 2 Perempuan 5 17

5.5.2 Umur

Kelas umur yang dibuat berdasarkan kisaran umur produktif responden disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Umur masyarakat petani

No Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 0 – 20 3 10 2 21 – 30 10 33 3 31 – 40 8 27 4 41 – 50 6 20 5 51 – 60 3 10 6 > 60 - -

Dari Tabel 5 dapat terlihat bahwa kisaran umur terbanyak yang mengikuti PKBM ialah pada usia 21-30 tahun (33%), sedangkan masyarakat pada kisaran umur < 20 tahun dan 51-60 tahun adalah yang paling sedikit mengikuti PKBM (10%). Masyarakat pada umur 60 tahun ke atas tidak mengikuti PKBM, hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik yang menurun pada usia tersebut sehingga sebagian besar masyarakat pada usia ini lebih memilih untuk tidak lagi bertani dan mewariskan lahan garapannya kepada keturunannya.

5.5.3 Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi pola pikir seseorang. Pendidikan bermanfaat untuk melihat sejauh mana pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat yang mengikuti PKBM. Tingkat pendidikan di Indonesia dibedakan menjadi beberapa bagian. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan pengetahuannya pun akan semakin bertambah.

Tabel 6 Tingkat pendidikan masyarakat petani

No Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Tidak Sekolah 1 3

2 Sekolah Dasar 26 87 3 SMP 2 7 4 SMA 1 3 5 Perguruan Tinggi - -

Tingkat pendidikan yang ditunjukkan oleh Tabel 6 mencakup lima macam, yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Mayoritas masyarakat tani berpendidikan Sekolah Dasar (87%), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pola pikir masyarakat yang tidak terlalu mementingkan pendidikan dalam kehidupannya, ketidakmampuan secara ekonomi, dan fasilitas pendidikan yang masih minim di sekitar Desa Sukatani. Menurut data Monografi Desa Sukatani Tahun 2006 jumlah prasarana pendidikan hanya meliputi 1 Sekolah Menengah Umum, 2 Sekolah Menengah Pertama, 5 Sekolah Dasar, 1 Taman Kanak-Kanak, dan 2 Taman Pendidikan Al-Quran. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut mempengaruhi pemilihan pekerjaan sebagai petani yang dianggap tidak memerlukan pendidikan tinggi dan keterampilan khusus.

5.5.4 Mata Pencaharian Utama

Mata pencaharian utama adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang pada sebagian besar waktu dalam kesehariannya. Keadaan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya mempengaruhi mata pencaharian suatu masyarakat. Keberadaan hutan di Dusun Gunung Putri menjadikan hutan tersebut sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat.

Tabel 7 Mata pencaharian utama masyarakat petani

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Petani 20 67

2 Wiraswasta 7 23 3 PNS 1 3 4 Lain-lain 2 7

Pekerjaan utama sebagian besar anggota kelompok tani yang mengikuti PKBM adalah bertani (67%). Namun tidak semua anggota PKBM tersebut mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Mereka merupakan anggota kelompok tani yang memiliki pengetahuan dan pengalaman bertani serta mempunyai motivasi tinggi dalam menjaga kelestarian hutan. Sedangkan pekerjaan utama lainnya adalah wiraswasta (23%), PNS (3%), dan lain-lain (7%). Sumberdaya alam dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan faktor utama yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk bekerja sebagai petani. Umumnya mereka bertani karena meneruskan usaha keluarga, pengaruh lingkungan, dan sulit mencari pekerjaan lain selain bertani. Pernyataan ini didukung oleh Lubis, D.P; dan E. Sutarto (1991) yang menyatakan bahwa kesamaan atau konsistensi mata pencaharian sebagai petani antara orangtua dan anak di Cianjur disebabkan oleh sosialisasi dari keluarga dan kerabat masih nampak sebagai faktor dominan yang mengarahkan pemuda untuk terampil bekerja di sektor pertanian dan bahkan membentuk kepribadian individu untuk berlaku sebagai petani di masa depan.

5.5.5 Pendapatan Perbulan

Faktor ekonomi seringkali dijadikan acuan dalam penilaian tingkat kesejahteraan masyarakat. Penilaian secara ekonomi ini diwujudkan dalam pendapatan. Pendapatan perbulan dari hasil bertani sayuran adalah pendapatan rata-rata yang dihasilkan dari mulai penanaman hingga pemanenan. Pendapatan ini merupakan total pendapatan hasil panen dikurangi modal untuk penanaman selanjutnya, dan pendapatan dari pekerjaan lainnya (jika ada). Tidak menentunya hasil panen menjadi penyebab perbedaan pendapatan yang dihasilkan setiap bulannya. Faktor penyebabnya ialah kondisi cuaca, ketersediaan modal, kualitas bibit, permintaan pasar.

Tabel 8 Pendapatan perbulan responden

No Pendapatan perbulan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 < Rp500.000 15 50 2 >Rp.500.000-Rp. 1 juta 9 30

3 > Rp.1 juta - Rp.2 juta 4 13 4 > Rp.2 juta 2 7

Lima puluh persen responden memiliki pendapatan perbulan kurang dari 500.000 rupiah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sunarso (2005) yang menyebutkan bahwa pendapatan petani sayuran perbulan berkisar antara Rp.306.000 – Rp.420.000. Kisaran pendapatan perbulan Rp.500.000 – 1 juta dimiliki oleh 30% responden; 13% responden berpenghasilan >Rp.1 juta - Rp 2 juta; dan 7% responden berpenghasilan lebih dari 2 juta rupiah. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat petani di Dusun Gunung Putri masih rendah. Kondisi ekonomi yang relatif rendah berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah pula. Ketidakmampuan ekonomi menjadi penyebab enggannya para orangtua menyekolahkan anak-anak mereka.

5.5.6 Luas Lahan Garapan Petani di Areal Perluasan TNGP

Kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian seiring dengan pertambahan populasi penduduk dari tahun ke tahun semakin tinggi. Nasoetion (1994) menyebutkan bahwa selama tiga dekade terakhir ini telah terjadi degradasi tanah yang disebabkan oleh alih

fungsi hutan dan menurunnya kualitas tanah pertanian. Penyebabnya adalah tekanan pertumbuhan penduduk dan transformasi struktur perekonomian dari struktur ekonomi yang bersifat agraris ke arah struktur ekonomi yang lebih industrialistik. Hal ini berdampak pada konversi kawasan hutan di sekitar Dusun Gunung Putri yang dirubah menjadi lahan pertanian (Gambar 9). Banyak lahan pertanian yang awalnya ditanami sayuran kini berubah fungsi menjadi lahan pemukiman, sehingga masyarakat merambah ke dalam kawasan hutan untuk menggarap lahan.

Gambar 9 Lahan garapan petani di areal perluasan TNGP.

Luas lahan garapan setiap petani berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kepemilikan modal dan ketersediaan tenaga kerja.

Tabel 9 Luas lahan garapan petani

No Luas Lahan (m2) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 100 – 500 12 40 2 > 500 – 1.000 8 26 3 > 1.000 – 5.000 6 20 4 > 5.000 – 10.000 2 7 5 > 10.000 (1 Ha) 2 7

Dari Tabel 9 dapat terlihat bahwa luasan lahan garapan yang dimiliki oleh sebagian besar petani seluas 100 – 500 m2 (40%). Sedangkan hanya beberapa orang petani saja (7%) yang mepunyai lahan garapan di atas 5.000 m2 – 1 Ha. Besarnya luasan lahan di dalam kawasan perluasan TNGP ini merupakan akibat dari kejahatan oknum Perhutani yang memperjualbelikan lahan PHBM kepada masyarakat.

5.5.7 Pola Tanam Sayuran

Terdapat dua jenis pola tanam yang biasa diterapkan dalam pertanian, yaitu monokultur dan heterokultur. Monokultur merupakan pola tanam yang menggunakan satu jenis tanaman dalam satu hamparan lahan, sedangkan heterokultur adalah pola tanam yang menggunakan lebih dari satu jenis tanaman dalam satu luasan lahan. Heterokultur dilakukan dengan cara menempatkan suatu jenis tanaman sela diantara jenis tanaman pokok.

Tabel 10 Pola tanam yang dilakukan oleh petani

No. Pola tanam Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Monokultur 10 33 2 Heterokultur 20 67

Pola tanam heterokultur merupakan pilihan sebagian besar petani (67%). Alasan utama pemilihan teknik ini ialah dengan menanam lebih dari satu jenis tanaman dalam satu luasan lahan, diharapkan resiko kegagalan suatu jenis tanaman dapat ditutupi oleh jenis lainnya. Pemilihan jenis sayuran yang ditanam secara heterokultur adalah jenis yang memiliki waktu panen yang hampir sama, misalnya wortel dan bawang daun yang memiliki waktu panen selama 2,5-3 bulan. Teknik ini juga memiliki kelemahan yaitu perawatan yang diberikan terhadap berbagai jenis sayuran berbeda satu sama lainnya, sehingga tingkat kerumitannya lebih tinggi. Sedangkan 33% petani memilih bertani secara monokultur dengan pertimbangan bahwa menanam satu jenis tanaman dalam suatu luasan lahan akan lebih mudah dalam perawatannya. Selain itu, permintaan pasar juga menjadi faktor penentu bagi para petani untuk memilih jenis tanaman dan pola tanam yang diterapkan.

Dokumen terkait