• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON STAKEHOLDERS TERHADAP PENGELOLAAN KONSERVASI BERSAMA MASYARAKAT DI WILAYAH PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DIAN SUMARDIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON STAKEHOLDERS TERHADAP PENGELOLAAN KONSERVASI BERSAMA MASYARAKAT DI WILAYAH PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DIAN SUMARDIANI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN KONSERVASI BERSAMA MASYARAKAT

DI WILAYAH PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG

GEDE PANGRANGO

DIAN SUMARDIANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

KONSERVASI BERSAMA MASYARAKAT DI WILAYAH

PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE

PANGRANGO

oleh :

DIAN SUMARDIANI

E34102067

Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

(S1) Pada Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(3)

KONSERVASI BERSAMA MASYARAKAT DI WILAYAH

PERLUASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE

PANGRANGO

DIAN SUMARDIANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(4)

DIAN SUMARDIANI. E34102067. Respon Stakeholder Terhadap Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dibimbing oleh H. SAMBAS BASUNI

Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merubah paradigma baru pengelolaan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat. Pengelola TNGP membentuk suatu kegiatan pengganti PHBM, yaitu Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) yang merubah pola tanam sayuran menjadi penanaman pohon untuk merehabilitasi hutan dan memberikan alternatif pekerjaan bagi masyarakat. Dalam pelaksanaannya, kerja sama antara para pihak yang terkait sangat diperlukan agar kegiatan ini berjalan secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu upaya pengkajian PKBM yang mewakili aspirasi seluruh stakeholder sebagai landasan untuk mengembalikan fungsi kawasan konservasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi respon para stakeholder terhadap PKBM dan mengidentifikasi berbagai permasalahannya, sehingga dapat ditentukan PKBM yang berdasarkan aspirasi seluruh stakeholder.

Penelitian dilakukan pada Februari – Maret 2007, November 2007, dan Januari 2008 di Resort Gunung Putri, SKW III TNGP. Pengambilan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi langsung, wawancara pada tokoh kunci setiap stakeholder, dan studi literatur untuk menunjang data-data primer.

Respon yang ditunjukkan sebagian besar stakeholder bersifat positif, karena sebagian besar responden setuju dengan adanya kegiatan PKBM (90%), mengetahui areal RHLP termasuk kedalam wilayah TNGP (95%), dan ikut serta dalam kegiatan RHLP (28%). Para stakeholder sangat mendukung kegiatan-kegiatan PKBM karena telah memberikan manfaat yang sangat berarti bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Kemandirian dan kemampuan membuka lapangan pekerjaan sendiri akan membantu masyarakat pada saat pengambilalihan lahan oleh TNGP pada Januari 2010.

Bentuk PKBM yang berdasarkan aspirasi seluruh stakeholder adalah diselaraskan dengan aspirasi masyarakat. Peran masyarakat sebagai inisiator dan pengelola, sedangkan pihak TNGP sebagai fasilitator. Sanksi terhadap masyarakat yang melanggar aturan dikenakan secara adil dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, PKBM lebih ditekankan pada kegiatan yang dapat memberikan keuntungan ekonomis kepada para petani sehingga mereka dapat menjalankan mata pencaharian alternatif selain bertani sayuran.

(5)

DIAN SUMARDIANI. E34102067. Stakeholder’s Response of Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat in Extension Area of Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Under Supervision of H. SAMBAS BASUNI

The extension area of Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) has changed the pattern of forest management which involved the society around national park. The manager of TNGP made a new program which called PKBM (Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat). This program has changed the pattern of vegetable farming to the tree planting for the forest rehabilitation and gave the alternative occupation to the farmers. Cooperation among stakeholders were really needed, so that the program will be going on optimum. According to this, the writer made an efforts to identify PKBM which based on stakeholder’s aspirations as an orientation to returning conservation function and progress the society’s welfare.

The research was implemented on February – March 2007, November 2007, and January 2008 in Resort Gunung Putri, SKW III TNGP. This research had goals to identify the response of stakeholders and all of the problems in PKBM. Therefore we can found the appropriate program that based on stakeholder’s aspirations. Those datas was taken by three ways, such as directly observation, in-depth interview for each key person of stakeholders, and literature study to support primery data.

Response of stakeholders were positive. It showed by 90% respondents agreed with PKBM, 95% respondents knew the RHLP’s area were part of TNGP, and it also reflected by 28% respondents had joined RHLP. Stakeholders were really supported PKBM because this program gave many advantages to progressed society’s knowledge and skill. The autonomous and ability of make own occupation will be help the society during the hand over of the extension area. The appropriate PKBM model is based on stakeholder’s aspirations. The society as inisiator and manager, otherwise TNGP as fasilitator. Punishment must give for anyone who broke the law. The activities of PKBM must give the economy advantages to the farmers, so they can find the alternative occupation.

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Stakeholders

Terhadap Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat di Wilayah Perluasan

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah benar-benar hasil karya sendiri

dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai

karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan

dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2008

Dian Sumardiani NRP E34102067

(7)

Judul Penelitian : Respon Stakeholders Terhadap Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Nama Mahasiswa : Dian Sumardiani

NRP : E34102067

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, M.S NIP. 131 411 832

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul ”Respon Stakeholders Terhadap Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat di Wilayah Perluasan TNGP” ini dapat terselesaikan dengan baik. Untaian shalawat serta salam selalu senantiasa dipanjatkan kepada Sayyidina wa Habibina Muhammad SAW beserta kerabat dan para sahabatnya.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah aspek sosial kehutanan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sekitar taman nasional dan stakeholder lain yang terkait. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan bagi masyarakat di sekitar TNGP pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa adanya dukungan, bantuan, bimbingan serta doa dari seluruh pihak yang terkait, terutama penyejuk hati dan penyemangat hidupku, Ibunda dan keluargaku tercinta.

Penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis memohon maaf yang sebesarnya dan segala kritik maupun saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Semoga karya ilimiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2008 Penulis

(9)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Jumlah penduduk Desa Sukatani menurut kelas umur ... 19

2. Jumlah penduduk Desa Sukatani menurut mata pencaharian ... 20

3. Jumlah penduduk Desa Sukatani menurut tingkat pendidikan .... 20

4. Jenis kelamin masyarakat petani ... 27

5. Umur masyarakat petani ... 27

6. Tingkat pendidikan masyarakat petani ... 28

7. Mata pencaharian utama masyarakat petani ... 29

8. Pendapatan Perbulan... 30

9. Luas lahan garapan petani ………... 31

10. Pola tanam yang dilakukan oleh petani ………. 32

11. Respon masyarakat terhadap PKBM ... 34

12. Respon pengelola TNGP terhadap PKBM ... 37

13. Respon Pemerintah Desa Sukatani terhadap PKBM ... 40

14. Respon Dinas PKT terhadap PKBM ... 43

15. Respon USAID (ESP) terhadap PKBM ... 45

16. Respon tokoh masyarakat terhadap PKBM ... 48

17. Respon seluruh stakeholder terhadap PKBM ... 50

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Bagan alir kerangka pemikiran ………... 3

2. Konversi kawasan hutan menjadi lahan garapan ... 21

3.Perubahan areal hutan dan kebun teh menjadi pemukiman ... 21

4. Tegakan Pinus yang ditanam pada lahan eks PHBM ... 22

5. Bagan alir kegiatan PKBM ... 23

6. Gambar tanaman Puspa yang hidup di areal RHLP... 25

7. Gambar tanaman Puspa yang mati di areal RHLP... 25

8. Pohon alpukat di sekitar kawasan TNGP ... 26

9. Areal perluasan yang digarap oleh masyarakat ... 31

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Peta perluasan kawasan TNGP ……….. 66 2. Daftar kuisioner terhadap KTH Puspa Lestari ... 67 3. Daftar wawancara terhadap pengelola TNGP ... 78 4. Daftar wawancara terhadap Pemerintah Desa Sukatani ……….... 79 5. Daftar wawancara terhadap Dinas PKT dan USAID... 70

(12)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

1.4 Ruang Lingkup penelitian ... 2

1.5 Kerangka Pemikiran ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Taman Nasional ... 4

2.2 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ... 4

2.3 Rehabilitasi Lahan ... 4

2.4 Prinsip Dasar Pelaksanaan RHLP ... 6

2.5 Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat ... 7

2.6 Pentingnya Dukungan Stakeholders ... 7

2.7 Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi 8

2.8 Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat ... 10

2.9 Definisi Respon ... 11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Pengambilan Contoh Stakeholder……… 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 14

(13)

4.1 Sejarah Kawasan ... 15

4.2 Letak dan Luas Kawasan ... 16

4.3 Kondisi Fisik ... 17

4.4 Kondisi Flora Fauna ... 17

4.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 19

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sejarah Perluasan Kawasan ... 21

5.2 Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat ... 22

5.3 Reboisasi Hutan dan Lahan Partisipatif ... 23

5.4 Pengembangan Zona Penyangga ... 25

5.5 Karakteristik Masyarakat ... 27

5.6 Respon Masing-Masing Stakeholder Terhadap PKBM ... 32

5.7 Respon Seluruh Stakeholder Terhadap PKBM ... 50

5.8 Permasalahan Yang Menjadi Kendala PKBM ... 53

5.9 Bentuk PKBM Berdasarkan Aspirasi Stakeholder ... 55

BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 60

6.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 15 Mei 1984 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dede Sunardi dan Dedeh Mardiati.

Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata , Fakultas Kehutanan.

Selama mengecap pendidikan di IPB, penulis pernah mengikuti berbagai kegiatan kemahasiswaan diantaranya sebagai anggota UKM Gentra Kaheman pada tahun 2003-2004, panitia LKTIK Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional II tahun 2003, pengurus Kelompok Pemerhati Flora (KPF) dalam wadah organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada tahun 2004 – 2005, panitia Pameran dan Workshop Konservasi Rafflesia tahun 2005 dan panitia GEBYAR KSHE tahun 2005.

Pengalaman lapangan yang telah dilakukan oleh penulis adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas Timur tahun 2005, Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tahun 2006 dan melakukan penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada tahun 2007.

(15)

Tiada kata yang paling indah selain untuk memuliakan Dia yang Maha mempunyai segala kehidupan, ALLAH SWT. Atas segenap kasih-Nya saya bisa meeruskan langkah kehidupan termasuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Melalui shalawat dan salam untaian rasa terima kasih yang tak terhingga kutujukan pula kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Segala dukungan yang diberikan oleh orang-orang yang telah membantu dalam proses penelitian hingga tersusunnya skripsi ini merupakan berkah yang tak ternilai sebagai pendorong semangat dalam hidup. Ucapan terima kasih yang tak terhingga ingin saya sampaikan kepada :

1. ‘Mamah’ tercinta, yang begitu sabar dan penuh kasih membimbingku “ I Love U Mom...” ‘Bapa’ yang dengan bijak menghadapi segala sikapku, serta kedua saudaraku yang sangat kusayangi Lih n Dika ”We’re belong together…”.

2. Alm. Bapa’ yang telah mengajariku arti kehidupan dan menjadikanku seperti ini “aku ingin mengulang kenangan bersamamu”, dan keluarga besar Maha Meru yang selalu memberikan keceriaan dalam hari-hariku.

3. Pembimbing skripsi Prof. Dr. Ir. H. Sambas Basuni, M. S. yang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membantuku menyelesaikan tugas akhir ini serta dengan sabar dan bijaknya membimbingku di sela-sela kesibukannya. 4. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman selaku penguji dari Departemen Manajemen

Hutan dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi selaku penguji dari Departemen Hasil Hutan yang dengan kelapangan hatinya menerima semua kekuranganku dan memberiku ilmu yang sangat berharga untuk menjalalani hidupku ke depan.

5. Keluarga besar Gunung Putri, khususnya ‘My second family’ keluarga Bapak Iyep (Bapa’, Ibu, Teh Ani, Ah Iyep, Cyka, Tiara) selaku Kepala Dusun yang dengan baiknya menjadikan saya sebagai bagian dari keluarganya “aku kangen makan dan ngobrol bareng lagi”. Bapak Nurcholis selaku Kepala Resort Gunung Putri yang telah banyak membantu dalam penelitian, kelompok tani yang sering mengajarkanku banyak hal, dan teman-teman volunteer GPO.

(16)

6. Sahabat-sahabat conservationist KSH 39 yang sudah memberikan warna-warni dalam hidupku. “It’s such a great time being part of this cool class….!”

7. Sobat yang selalu ada saat aku butuhkan ‘Neneng, Dew, Ndrie dan juga Mba Inggar yang sudah menjadi penolong di saat-saat yang paling menentukan.

8. Terry, Ungu, Dygta, Evanescense, dan Maroon 5 yang memberikan spirit dalam jenuhku.

9. Seseorang yang tak bisa kugapai ‘Mr. B’, Damn I Miss U…!

10.Yang tak tergantikan, tempatku menuangkan rasa suka, sedih, dan sesal. Cinta terdalamku Rakha

(17)

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) adalah salah satu kawasan konservasi yang menjadi taman nasional model bagi taman nasional lainnya di Indonesia. Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi yang bersifat partisipatif dan kolaboratif menjadikan peran serta berbagai stakeholders sangat dibutuhkan dalam pengelolaan TNGP ke arah yang lebih baik. Stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tertentu terhadap TNGP terdiri dari berbagai lembaga, seperti pengelola TNGP itu sendiri; Pemerintah Daerah; masyarakat desa sekitar kawasan; Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah,; dan lembaga lainnya yang memiliki kepentingan terhadap kawasan konservasi.

Isu pengelolaan TNGP sejak tahun 2003 adalah perluasan kawasan yang semula memiliki luasan 15.196 ha menjadi 21.717,97 ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/ Kpts-II/2003 tentang Perluasan Kawasan TNGP yang dikeluarkan pada tanggal 10 Juni 2003. Perluasan kawasan ini merupakan upaya pemerintah untuk memperluas daerah resapan air yang sangat berpengaruh terhadap kota-kota di sekitar TNGP seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Jakarta. Dengan adanya perluasan kawasan ini menyebabkan bertambah pula pekerjaan bagi pengelola untuk memelihara fungsi kawasan konservasi, yaitu perlindungan sistem penyanggga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya secara lestari dan berkelanjutan. Untuk mengembalikan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi, pengelola TNGP telah menetapkan areal perluasan tersebut sebagai zona rehabilitasi.

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGP sejak dulu menggunakan areal perluasan TNGP untuk menanam sayuran sebagai tanaman tumpang sari. Namun setelah fungsi kawasan hutan produksi berubah menjadi kawasan hutan konservasi, penanaman sayuran yang merupakan tanaman eksotik tersebut di dalam taman nasional sangat bertentangan dengan PP RI No.68/1998 yang menyebutkan bahwa upaya pengawetan kawasan taman nasional dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan.

(18)

Oleh karena itu, konsep pengelolaan hutan pada areal perluasan TNGP yang sebelumnya diusung oleh Perhutani mengarah pada budidaya tanaman tumpang sari atau biasa disebut dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berubah menjadi Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) yang dilakukan dengan cara menanam tanaman pokok kehutanan dan tanaman serba guna (Multiple Tree Species) pada zona rehabilitasi. Perubahan ini memerlukan aspirasi dan dukungan dari seluruh stakeholders TNGP, sehingga pencapaian tujuan akan lebih efektif.

Program PKBM yang ditetapkan oleh pengelola TNGP dirasakan belum memenuhi aspirasi dari para stakeholders, khususnya masyarakat kelompok tani hutan yang berkepentingan langsung dengan zona rehabilitasi. Oleh karena itu, perlu adanya kajian penelitian mengenai respon stakeholders terhadap PKBM di wilayah perluasan TNGP ini.

1.2 Tujuan

1. Mengidentifikasi respon para stakeholders terhadap pola PKBM yang telah dirancang

2. Mengidentifikasi berbagai permasalahan yang menjadi kendala PKBM 3. Menentukan pola PKBM yang berdasarkan aspirasi seluruh stakeholder 1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi pengelola TNGP dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan areal kawasan perluasan sebagai zona rehabilitasi dalam rangka mengembalikan fungsi kawasan hutan sebagai kawasan hutan konservasi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi perkembangan khasanah pengetahuan dalam implementasi PKBM.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini adalah mengkaji respon para stakeholders TNGP terhadap program PKBM. Stakeholders yang dikaji terdiri dari pengelola TNGP; Pemerintah Desa Sukatani; Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Cianjur; Lembaga internasional USAID – Indonesia; Kelompok Tani Hutan (KTH) Puspa Lestari; dan tokoh masyarakat. Ruang lingkup dan kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

(19)

1.5 Kerangka Pemikiran → Perubahan paradigma pengelo- laan →

Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran.

Kawasan PHBM PERHUTANI

PKBM

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango PKBM Berdasarkan Aspirasi Stakeholders Masyarakat bertani sayuran Masyarakat menanam tanaman kehutanan Respon Stakeholders Kelompok Tani Hutan Pengelola TNGP Pemerintah Desa Sukatani dan Dinas PKT

USAID (ESP)

Tokoh Masyarakat

(20)

2.1 Definisi Taman Nasional

Secara formal, definisi taman nasional tertuang dalam UU RI No.5/1990 dan PP RI No.68/1998. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan batasan definisi taman nasional menurut Sumardja (1980) dalam Wiratno et al. (2004) adalah satu atau beberapa ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia, dimana tumbuhan, spesies hewan, dan habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis secara khusus memiliki nilai ilmiah, pendidikan, dan daya tarik rekreasi atau yang memiliki lanskap alami yang demikian indah.

2.2 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan satu dari 5 taman nasional pertama di Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian pada tahun 1980 dengan luas ± 15.000 ha (Sumardja, 1997 dalam Wiratno et al., 2004). Taman Nasional Gunung Gede Pangrango mencakup tiga wilayah pemerintahan daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur. Pada tahun 2003, TNGP diperluas menjadi 21.717,97 Ha sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003.

Total lahan kritis pada areal perluasan kawasan TNGP 928,50 ha, terdiri dari areal tanah kosong, eks perambahan, eks PHBM, dan eks hutan produksi yang perlu direhabilitasi Adapun areal perluasan yang termasuk dalam program RHLP (Rehabilitasi Hutan dan Lahan Partisipatif) di Resort Gunung Putri seluas 50 Ha (BTNGP, 2004).

2.3 Rehabilitasi Lahan

Rehabilitasi lahan perluasan TNGP merupakan upaya yang ditekankan pada usaha yang dapat merangsang partisipasi masyarakat yang bersangkutan dan meningkatkan kemampuannya sesuai dengan kewajibannya, dalam melestarikan dan memelihara lahan yang digarap atau dimilikinya. Diharapkan dari kegiatan tersebut dapat dicapai tujuan untuk memulihkan, meningkatkan, dan mempertahankan kondisi

(21)

lahan sehingga dapat berfungsi secara optimal sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, dan perlindungan alam lingkungan (Pamulardi, 1994). Definisi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah segala upaya yang dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Anonim, 2004). Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam pasal 40 menyebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Selanjutnya dalam pasal 41 dinyatakan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknik, pada lahan kritis dan tidak produktif.

Prinsip dasar pelaksanaan rehabilitasi harus mengacu pada (Direktorat Konservasi Kawasan, 2001 dalam Purwaningsih, 2006):

1. Pelestarian keanekaragaman jenis

Prinsip ini menuntut adanya keanekaragaman jenis yang tinggi dalam menentukan jenis tumbuhan, jumlah anakan atau bibit yang akan digunakan dalam rehabilitasi kawasan taman nasional.

2. Pembinaan dan peningkatan kualitas habitat

Mengacu pada pelaksanaan seluruh rangkaian kegiatan rehabilitasi untuk menjamin pulihnya kondisi dan fungsi kawasan secara lestari. Setiap pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kawasan taman nasional harus diarahkan semaksimal mungkin pada pemulihan kondisi kawasan seperti keadaan semula.

3. Melibatkan keikutsertaan para pemangku kepentingan (stakeholders)

Setiap kegiatan yang dilakukan harus jelas dan terstruktur, prosedur dan hasilnya . Tanggung jawab setiap stakeholders dalam pelaksanaan rehabilitasi kawasan harus jelas sehingga masing-masing pihak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Kejelasan tanggung jawab ini menyangkut pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat peserta, perorangan dan atau lembaga-lembaga dan para pihak terkait.

(22)

2.4 Prinsip Dasar Pelaksanaan RHLP dalam Kawasan Konservasi

Berbagai prinsip dasar pelaksanaan RHLP terdiri atas (BTNGP, 2006) : 1. Kepastian akses dan hak (dengan berbagai tingkatannya seperti pengelolaan,

pemanfaatan, dan lain-lain) terhadap lahan hutan oleh masyarakat dengan pemerintah sebagai prasyarat pengelolaan hutan berbasis masyarakat dalam RHLP. Oleh sebab itu proses tersebut seyogyanya dilakukan secara sungguh-sungguh dengan penuh iktikad baik untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara optimal.

2. Membangun kelembagaan RHLP di tingkat internal melalui simpul belajar untuk mengubah ‘mindset’ aparat pemerintah (pusat dan daerah) yang terkait dengan RHLP ini dari paradigma konvensional ke arah pengelolaan hutan berbasis masyarakat, berdasarkan pengalaman lapangan.

3. Membentuk dan memperkuat jaringan pembelajaran dengan berbagai pihak yang bergerak di bidang RHL, terutama kalangan pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta masyarakat lokal.

4. Pengambilan keputusan dalam pengembangan RHLP dilakukan secara transparan, partisipatif dan bertanggung gugat (accountable).Untuk itu perlu dikembangkan sistem informasi dan dokumentasi, serta dibutuhkan komitmen semua pihak yang berkepentingan.

Implikasi dari penerapan prinsip-prinsip tersebut sangat luas, seperti menyangkut pada terjaminnya akses dan manfaat jangka panjang sumberdaya hutan untuk masyarakat, komitmen seluruh pihak yang terlibat didalamnya dan sebagainya. Untuk itu RHLP mengharuskan adanya kepastian prakondisi dan kolaborasi yang mantap. RHLP harus mendorong proses-proses kolaborasi multipihak, sehingga ada kejelasan hak, peran, tanggung jawab, manfaat, dan hubungan di antara para pihak. Dengan adanya kejelasan tersebut, maka diharapkan proses belajar di antara para inisiator dan pihak lain yang terlibat, dapat menjadi lebih lancar. Kelancaran ini juga menuntut prasyarat rasa saling percaya sehingga dengan adanya kolaborasi, maka RHLP akan menciptakan ruang-ruang partisipasi publik bagi para pihak yang berkepentingan terhadap hutan (BTNGP, 2006).

(23)

2.5 Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM)

Departemen Kehutanan dan pemerintah daerah sebenarnya memiliki konsep konservasi yang sama, yaitu memberikan perlindungan dan pengawetan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Aspek pemanfaatan Departemen Kehutanan memberikan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi bagi masyarakat secara terbatas. Sedangkan pemerintah daerah memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan kawasan konservasi.

Berkaitan dengan permasalahan pembagian peran dan koordinasi yang menjadi kendala utama, diperlukan suatu mekanisme yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah mekanisme konsultasi publik, yaitu suatu rangkaian proses yang dijalankan oleh pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat, kalangan perguruan tinggi, masyarakat dan pihak lain yang memiliki inisiatif yang sama dalam pembuatan kebijakan publik khususnya dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kegiatan tersebut direalisasikan dalam Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM). Masyarakat yang dimaksud di sini adalah masyarakat setempat, baik yang peduli terhadap konservasi maupun yang akan terlibat dengan kebijakan yang akan dibuat tersebut. Tujuan dari mekanisme ini adalah agar kebijakan yang dihasilkan berlandaskan pada cita rasa keadilan dan bersandarkan pada aspirasi dan sesuai dengan konteks sosial masyarakat yang ada, serta menjunjung tinggi supremasi dan kepastian hukum (BTNGP, 2006).

2.6 Pentingnya Dukungan dari Stakeholders

Masalah pelestarian hutan dan lingkungan hidup bukanlah masalah sekedar menjaga hutan dari gangguan manusia di sekitar hutan, tetapi merupakan suatu masalah lintas sektoral yang rumit dan dinamis yang melibatkan banyak instansi (Partoatmodjo, 1988).

Pengelolaan kawasan konservasi mencakup beraneka ragam kegiatan sehingga tidak mungkin bagi otorita pengelola melaksanakan sendiri semua fungsi yang berkaitan dengan pelestarian. Sejumlah tugas harus didelegasikan dan dikoordinasikan sebaik-baiknya dengan badan lainnya. Stakeholders yang perlu dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi meliputi lembaga/instansi

(24)

pemerintah, kelompok luar kawasan, pemerintah pusat dan daerah, LSM, serta masyarakat sekitar. Beberapa negara yang kini memiliki taman nasional dan staf yang berkualitas untuk mengelolanya, kadang-kadang mungkin membutuhkan dukungan dan bantuan dalam bidang khusus, misalnya penelitian, program interpretasi, perundang-undangan, penyiapan rencana pengelolaan atau perencanaan taman laut (Mackinnon et al., 1990).

Memperoleh bentangan luas hutan yang aman merupakan tantangan kompleks karena ragam perbedaan kepentingan-kepentingan yang besar diantara para stakeholder. Orang yang tinggal dekat hutan perlu akses untuk hasil dan jasa hutan. Badan-badan pemerintah memerlukan peraturan-peraturan baru yang didasarkan pada data ekonomi dan ekologi yang mapan yang mengurangi beban administrasi dan biaya operasional sekaligus meminimumkan dampak lingkungan dari kegiatan produksi.

Kelompok-kelompok yang berkepentingan jarang memperoleh kesepakatan mengenai cara mengelola hutan. Bahkan kelompok-kelompok kecil akan berbeda pendapat mengenai apakah mereka memerlukan hutan atau ingin menebangnya. Apabila ada persaingan untuk sumberdaya bernilai yang semakin meningkat maka akan terjadi konflik diantara kelompok-kelompok tersebut. Bagaimanapun juga konflik-konflik ini harus dipecahkan, dan untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan harapan semua stakeholder yang terlibat (Anonim, 2006).

2.7 Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Kata stakeholder mengacu pada seseorang dan kelompok yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh sebuah keputusan organisasi , kebijakan, dan kegiatan-kegiatan. Adapun kata ’stake’ berarti tertarik atau mengklaim sesuatu (Lawrence et al., 2005). Stakeholders memiliki arti sebagai masyarakat atau kelompok masyarakat, lembaga dan badan hukum baik milik pemerintah maupun masyarakat (swasta) yang berkepentingan baik dalam konteks kepedulian, bertanggungjawab maupun kepatuhan dalam menerima manfaat hasil RHL di daerah maupun kepatutan dalam mencari manfaat RHL (Anonim, 2004). Sedangkan menurut Stolton et al. (1999), stakeholder meliputi komunitas yang tinggal di dalam atau dekat dengan kawasan lindung, lembaga pemerintah yang mengatur berbagai sektor sumberdaya dan memiliki kewenangan secara administratif untuk mengatur sumberdaya alam sebagai bagian

(25)

dari mandatnya, perusahaan lokal atau swasta, lembaga penelitian, organisasi non pemerintah (LSM), dan perorangan.

Dalam Permenhut No.19/2004 disebutkan bahwa para pihak yang terlibat dalam kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, antara lain Lembaga Pemerintah Pusat, Lembaga Pemerintah Daerah (eksekutif dan legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional, perorangan, maupun masyarakat internasional, Perguruan Tinggi / Universitas / Lembaga Pendidikan / Lembaga Ilmiah.

Menurut Tadjudin (2000) stakeholder yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif terdiri atas 2 macam, yaitu :

1. Stakeholder primer, yaitu pelaku yang terlibat (berkepentingan) langsung dalam kegiatan konservasi dan / atau pendayagunaan sumberdaya hutan

a. Pemerintah, yaitu instansi yang menangani pengelolaan sumberdaya hutan di daerah maupun di pusat

b. Swasta yang mempunyai konsesi pengusahaan hutan di kawasan tersebut c. Masyarakat yang kegiatan ekonomi maupun kegiatan sosial budayanya

secara langsung bergantung pada sumberdaya hutan yang bersangkutan. Kelompok ini lazim disebut sebagai masyarakat pengguna

2. Stakeholder sekunder, yaitu pihak yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan konservasi dan atau penggunaan sumberdaya hutan

a. Instansi pemerintah yang tidak bertanggung jawab langsung dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan, namun berkepentingan terhadap sumberdaya yang bersangkutan, misalnya Pemerintah Daerah

b. Swasta yang tidak terlibat dalam pengusahaan hutan, namun memiliki lini bisnis yang terkait dengan sumberdaya hutan / terkait dengan kegiatan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sumberdaya hutan

c. Masyarakat yang dipengaruhi oleh perubaha pengelolaan sumberdaya hutan sesudah manajemen kolaboratif diterapkan. Secara praktikal, kelompok ini adalah masyarakat yang bermukim di sekitar hutan di luar batas yuridiksi kawasan hutan yang akan dikelola secara kolaboratif .

(26)

2.8 Pemanfaatan Hutan oleh Masyarakat

Bagi masyarakat, manfaat hutan untuk kehidupan sehari-hari sangat nyata. Selain menghasilkan barang-barang yang diperlukan untuk berbagai kepentingan seperti kayu bahan bangunan, untuk membuat alat-alat pertanian, hutan juga memberikan lingkungan hidup yang nyaman bagi mereka, dan yang terpenting lagi adalah menyediakan lahan subur untuk bercocok tanam. Oleh karena itu di tempat-tempat yang bertopografi datar sampai landai, lahan hutan secara berangsur-angsur dirubah menjadi lahan pertanian. Rakyat memerlukan komoditi dan jasa dari hutan, bukan saja mereka yang bertempat tinggal di dekat hutan melainkan juga mereka yang jauh di daerah persawahan dan kota. Oleh karena itu pemerintah masih perlu untuk mengatur pemanfaatan hutan sebagai kepentingan seluruh rankyat. Namun kepentingan yang optimal bagi seluruh rakyat itu terkadang dirasakan kurang optimal bagi sekelompok rakyat. Keadaan ini berubah-ubah menurut perkembangan kondisi tiap kelompok masyarakat sehingga kebijaksanaan pemanfaatan hutan oleh pemerintah harus selalu ditinjau kembali secara periodik untuk disesuaikan dengan perubahan yang terjadi (Simon, 2004).

Pernyataan tersebut didukung oleh Partoatmodjo (1988) yang menyatakan bahwa umumnya masyarakat menafsirkan hutan sebagai sumber alam yang menghasilkan bahan baku dan sumber lahan baru untuk perluasan areal pertanian, pemukiman, dan pertambangan. Masyarakat mengharapkan pula agar hutan menghasilkan devisa, lapangan kerja, tambahan income dan memberikan ruangan bagi keperluan manusia untuk meningkatkan produksi pangan dan pemukiman. Anggapan tersebut berlaku bagi masyarakat umum sebagai suatu negara serta masyarakat yang tinggal dan hidup di sekitar hutan. Sementara itu, waktu ini masyarakat telah pula melihat hutan sebagai lingkungan hidup yang mempunyai kemampuan untuk melindungi tata air, mencegah banjir, dan sebagainya. Pandangan dan harapan masyarakat yang demikian menimbulkan kontradiksi yang menyebabkan kerugian bagi kelestarian hutan sebagai penghasil bahan baku dan sebagai pelindung kehidupan. Bagaimanapun juga kelestarian hutan yang dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang kontradiktif itu. Ini penting agar usaha pelestarian hutan dan lingkungan hidup dapat berjalan otomatis sebagai pola hidup manusia.

(27)

2.9 Respon

Respon dalam arti umum mengandung pengertian jawaban atau reaksi terhadap sesuatu (Agusta, 1998 dirujuk dalam Rojad, 2001). Respon individu terhadap sesuatu dapat diberikan dalam bentuk ucapan, isyarat, atau tingkah laku yang terobservasi, hal ini tergantung dari kemampuan yang memberikan respon (Newcomb et al., 1981 dalam Rojad, 2001).

Respon masyarakat terhadap program yang diberikan dapat dilihat dari perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh masyarakat tersebut, perubahan ini meliputi perubahan perilaku pada : pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practise) ( Siregar, 1994 dirujuk dalam Roza, 2002). Hubungan antara konsep pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam kaitannya dengan suatu kegiatan tidak dapat dipisahkan. Adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang akan diwujudkan dalam suatu bentuk tindakan (Fishben dan Ajzen, 1975 dalam Van Den Ban dan Hawkins, 1999).

Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda. Perbedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Proses-proses adopsi tersebut terdiri atas 5 tahap, yaitu (Roger dan Shoemaker, 1971 dalam Mardikanto dan Sutarni, 1982):

1. Tahap sadar (awareness stage)

Masyarakat menyadari adanya suatu ide baru, tetapi tidak mempunyai informasi tentang ide baru tersebut.

2. Tahap minat (interest stage)

Masyarakat mulai berminat dengan adanya inovasi dan mempunyai informasi tentang ide baru tersebut.

3. Tahap evaluasi (evaluation stage)

Masyarakat mengaplikasikan ide baru di dalam kehidupannya dan mengantisipasi situasi yang akan datang dan memutuskan untuk mencoba atau tidak.

4. Tahap percobaan (trial stage)

Masyarakat mulai menerapkan ide-ide baru tersebut dalam skala kecil dan menetapkan kegunaannya pada situasi yang ada.

(28)

5. Tahap adopsi (adoption stage)

Masyarakat menggunakan dan menerapkan ide baru secara terus menerus (kontinu) pada skala yang penuh.

Perbedaan respon terhadap perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat yang terlibat dalam sebuah program ada 3 macam, yaitu (Sajogyo, 1984) :

1. Respon positif

Terjadi jika individu dalam masyarakat tersebut terdorong untuk ikut serta mengambil bagian dalam seluruh perencanaan dan pemenuhan program.

2. Respon negatif

Terjadi jika unsur pembaharuan tidak berhasil membuat masyarakat tersebut ikut serta, baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhan program.

3. Respon netral

Terjadi jika pengikutsertaan masyarakat tidak relevan dengan hasil rencana tersebut.

(29)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Gunung Putri Desa Sukatani Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur yang termasuk ke dalam wilayah Resort Gunung Putri SKW III TNGP. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – Maret 2007, November 2007, dan Januari 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Subjek penelitian ini adalah seluruh pihak yang memiliki kepentingan dan pengaruh langsung terhadap program PKBM yang dilakukan pada lahan rehabilitasi di Resort Gunung Putri, yaitu meliputi pihak pengelola TNGP, anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Puspa Lestari, Pemda setempat, Dinas PKT, tokoh masyarakat, dan USAID-Indonesia. Sedangkan peralatan yang digunakan selama penelitian berlangsung ialah alat tulis, peta kawasan, komputer, kamera, kuisioner dan panduan wawancara.

3.3 Metode Pengambilan Contoh Stakeholder

Metode pengambilan contoh stakeholder dilakukan dengan pemilihan responden sesuai tujuan (purposive sampling), yaitu stakeholder yang terlibat secara langsung dengan PKBM. Responden yang dipilih adalah tokoh kunci dari setiap stakeholder. Responden tersebut terdiri dari 2 orang petugas Resort Gunung Putri dan 2 orang petugas Seksi Konservasi Wilayah III TNGP; 30 orang anggota kelompok tani yang terlibat secara aktif dalam PKBM; 2 orang tokoh agama dan 3 orang tokoh petani Dusun Gunung putri; 2 orang dari Dinas PKT Kab. Cianjur; 2 orang volunteer USAID; Kepala Dusun Gunung Putri dan Kepala Desa Sukatani.

(30)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan selama penelitian menggunakan metode sebagai berikut :

1. Metode pengamatan (observation) langsung. Metode ini bertujuan untuk mengamati secara langsung pelaksanaan program PKBM dan mengetahui permasalahan riil yang terjadi di lapangan. Data yang dikumpulkan meliputi kondisi tanaman RHLP pada zona rehabilitasi, dan pelaksanaan kegiatan PKBM.

2. Metode wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview). Metode ini diberikan terhadap responden yang mewakili dan atau tokoh kunci (key person) dengan cara melakukan wawancara mendalam secara berulang dari pertanyaan yang bersifat santai, fleksibel, informal, dan efektif. Data yang dikumpulkan adalah informasi dari kelompok tani, tokoh masyarakat, pengelola TNGP, Pemerintah Desa Sukatani, Dinas PKT Kab. Cianjur, dan USAID – Indonesia.

3. Studi pustaka dan literatur

Studi ini dilaksanakan untuk menunjang data-data primer dan membantu untuk membandingkan antara ketentuan dengan kondisi di lapangan.

3.5 Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan yaitu metode deskriptif analitik dengan penelaahan data yang bersifat kualitatif, yaitu cara yang digunakan untuk menyelidiki dan memecahkan masalah yang tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data saja, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data sampai kepada kesimpulan yang didasarkan atas penelitian.

(31)

4.1 Sejarah Kawasan TNGP

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) memiliki peran penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980 kawasan ini dideklarasikan sebagai cagar alam pertama di Indonesia. Hingga kini kawasan tersebut telah berubah status menjadi taman nasional, dan bahkan telah menjadi taman nasional model di Indonesia.

Landasan hukum status kawasan sejak jaman pemerintah Hindia Belanda sampai kawasan ini menjadi taman nasional yaitu (BTNGP, 2004):

1. Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 17 Mei 1889 No. 50 tentang Kebun Raya Cibodas dan areal hutan di atasnya ditetapkan sebagai contoh flora pegunungan Pulau Jawa dan merupakan Cagar Alam dengan luas keseluruhan 240 Ha. Selanjutnya dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 11 Juni 1919 No 33 Staatblad No. 392-15 yang memperluas areal dengan areal hutan di sekitar Air Terjun Cibeureum.

2. Tahun 1919 dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 11 Juli 1919 No 83 Staatblad No. 392-11 menetapkan areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat Desa Caringin sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 Ha.

3. Sejak tahun 1925 dengan Besluit van den Gouvernur General van Nederlandsch Indie 15 Januari 1925 No 7 Staatblad 15 dan menarik kembali berlakunya peraturan tahun 1889, menetapkan daerah Puncak Gunung Gede, Gunung Gumuruh, gunung Pangrango serta DAS Ciwalen, Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas / Gunung Gede denngan luas ± 1.040 Ha.

4. Daerah Situ Gunung, lereng Selatan Gunung Gede Pangrango dan bagian Timur Cimungkat, berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 461/Kpts/Um/31/1975 tanggal 27 Nopember 1975 telah ditetapkan sebagai Taman Wisata dengan luas ± 100 Ha. 5. Bagian-bagian lainnya seperti komplek hutan Gunung Gede, Gunung Pangrango

Utara, Gegerbentang, Gunung Gede Timur, Gunung Gede Tengah, Gunung Gede Barat dan Cisarua Selatan telah ditetapkan tahun 1978 sebagai Cagar Alam Gunung Pangrango dengan luas 14.000 Ha.

(32)

6. Dengan diumumkannya 5 (lima) buah taman nasional di Indonesia oleh Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980, maka kawasan Cagar Alam Cibodas, Cagar Alam Cimungkat, Cagar Alam Gunung Gede Pangrango, Taman Wisata Situgunung dan hutan-hutan di lereng Gunung Gede Pangrango diumumkan sebagai kawasan TNGP dengan luas 15.196 Ha.

7. Berdasarkan SK Menhut No.174/Kpts-II/Tanggal 10 Juni 2003 kawasan TNGP diperluas menjadi 21.717,97 Ha.

4.2 Letak dan Luas Kawasan

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dilihat secara geografis terletak antara 106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 51’ LS. TN Gede Pangrango yang awalnya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Kab. Cianjur (3.599,29 Ha), Kab. Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Kab. Bogor (4.514,73 Ha), saat ini terjadi perluasan kawasan sesuai SK Menhut No.174/Kpts-II/Tanggal 10 Juni 2003 hingga menjadi 21.717,97 Ha (BTNGP, 2004).

Resort Gunung Putri yang termasuk ke dalam kawasan TN Gunung Gede Pangrango berada di lereng Gunung Gede sebelah timur, secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Resort ini terletak diantara Resort Cibodas dan Resort Sarongge, dengan batas alam antar wilayah kerja berupa sungai Cihurang dan sungai Ciherang. Adanya perluasan kawasan sebanyak 384,10 Ha yaitu Blok Ciguntur 152,3 Ha dan Blok Gunung Putri 231,8 Ha membuat luas kawasan bertambah hingga menjadi 1165,10 Ha (BTNGP, 2004).

Luas Resort Gunung Putri 1165,10 Ha atau ± 1165,10km², merupakan luasan terkecil di antara 12 resort lainnya (5,14% dari luasan keseluruhan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Batas kawasan Resort Gunung Putri adalah dari pal batas TN 110-173 yaitu dari Blok Gunung Batu sampai Maleber (63 pal batas atau 2,19% dari jumlah keseluruhan pal batas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango). Luas Dusun Gunung Putri, Desa Sukatani, Kec. Pacet yang merupakan daerah penyangga adalah 34.887 Ha (BTNGP, 2004).

(33)

4.3. Kondisi Fisik 4.3.1 Iklim

Kawasan Resort Gunung Putri memiliki tipe iklim A dengan bulan basah September - April. Curah hujan rata-rata di TNGP 3.320 mm/th. Suhu berkisar antara 10-24 0C dan kelembaban relatif berkisar antara 80-90 % sepanjang tahun (BTNGP, 1995).

4.3.2 Tanah dan Topografi

Peta tanah Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa jenis tanah pada lahan kritis Blok Bobojong Resort Gunung Putri yaitu latosol coklat yang mendominasi lereng Gn. Gede bagian bawah. Tanah ini mengandung liat dan lapisan sub soil gembur, mudah ditembus air dan lapisan bawahnya melapuk. Tanah sangat gembur dan agak peka terhadap erosi (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 1996 dalam BTNGP, 1995).

Kawasan Resort gunung Putri memiliki topografi yang beragam, mulai dari perbukitan hingga pegunungan. Ketinggian tempat yang menjadi lokasi penelitian adalah 1.350 m di atas permukaan laut.

4.4 Flora dan Fauna 4.4.1 Flora

TNGP sangat dikenal sebagai kawasan yang memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman jenis flora. Di dalam kawasan ini terdapat lebih dari 1000 jenis flora, yang terdiri atas tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 jenis, tumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, serta berbagai jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya (BTNGP, 1995).

Perbedaan zona dapat terlihat dari jenis tumbuhan yang mendiaminya, sehingga jenis tumbuhan dapat mewakili tipe vegetasi pada masing-masing zona. Keadaan vegetasi pada setiap zona, yaitu (BTNGP, 1995) :

a) Zona Sub Montana

Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah. Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu Puspa (Schima walichii). Jenis tumbuhan lainnya yang ada adalah Walen (Ficus ribes), Syzygium spp, Saninten (Castanopsis argentea), Pasang (Quercus sp.), Rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah Ardisia fuliginbia, Pandanus sp., Pinanga

(34)

sp. Blune dan Laportea stimulans. Sedangkan jenis tumbuhan bawah pada zona sub montana adalah Begonia spp., Cyrtandra picta dan Curculigo latifolia.

b) Zona Montana

Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman jenis dan kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Jenis-jenis pohon yang dominan adalah Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pasang (Quercus sp.), Kiputri (Podocarpus neriifolius), Castanopsis spp. dan Rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begonia spp. dan Melastoma spp.

Pada ketinggian antara 2100-2400 mdpl banyak dijumpai jenis paku-pakuan atau kelompok tanaman epifit, yaitu Cythea tomentosa, Paku sarang burung (Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan jenis-jenis anggrek, antara lain adalah Dendrobium sp., Arundina sp., Cymbiddium sp., Eriates sp., Chynanthus radicans dan Calanthesp.

c) Zona Sub Alpin

Keadaan vegetasi di zona sub alpin berbeda dengan keadaan zona sub montana dan zona montana. Pada umumnya keadaan pohon di zona ini pendek-pendek dan kerdil, semak belukar jarang-jarang, tumbuhan bawah jarang diketemukan dan miskin akan jenis, hanya merupakan satu lapisan tajuk saja.

Jenis pohon yang mendominasi zona sub alpin adalah Edelweis (Anaphalis javanica), Jirak (Symplocos javanica), Ki Merak (Eurya acuminata), Cantigi (Vaccinium varingifolium) dan Ki Tanduk (Leptospernium flanescens).

Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta – Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol.

Disamping pohon-pohon raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis yang unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora), Rafflesia rochusseni dan Strobilanthus cernua.

4.4.2 Fauna

TNGP merupakan kawasan yang memiliki potensi keanekaragaman satwa yang sangat tinggi, bahkan menjadi habitat jenis burung terbanyak di pulau jawa. Sekitar 53 % atau 260 jenis dari 460 jenis burung di jawa dapat ditemukan di kawasan

(35)

ini. Di samping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang, salah satunya adalah “elang jawa” (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993, celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (BTNGP, 1995).

Kelompok mamalia tercatat sekitar 110 jenis, 5 jenis diantaranya adalah kelompok primata yaitu monyet (Macaca fascicularis), surili (Presbytis commata), owa jawa (Hylobates moloch) lutung (Trachipytecus auratus) dan kukang (Tarsius bancanus). Beberapa jenis mamalia berukuran besar yang hidup di wilayah ini antara lain babi hutan (Sus scrofa linnaeus), mencek (Muntiacus muntjak) dan anjing hutan (Cuon alpinus) serta beberapa jenis mamalia yang berukuran kecil yaitu sigung (Mydaus javanensis), Mustella flavigula, Rattus lepturus dan ajag (Crocidura fuliginosa). Terdapat juga beberapa jenis musang dari genus Herpestes, Viverricula, Paradoxurus dan Megalole. Kawasan ini juga memiliki potensi dalam jenis serangga (insecta) yang berjumlah lebih dari 300 jenis, reptilia sekitar 75 jenis, katak sekitar 20 jenis dan berbagai jenis binatang lunak (molusca) (BTNGP, 1995).

4.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat 4.5.1 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk total Desa Sukatani ialah 11.083 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 5.692 jiwa dan perempuan 5.391 jiwa. Total kepala keluarga adalah 2.955 kk. Distribusi umur penduduk disajikan dalam Tabel 1 (Monografi Desa Sukatani, 2006).

Tabel 1 Jumlah penduduk menurut kelas umur No Kelas Umur Jumlah

1 0-9 tahun 2088 2 10-19 tahun 2119 3 20-29 tahun 2066 4 30-39 tahun 1879 5 40-49 tahun 1621 6 > 49 tahun 1310 Total 11083

(36)

4.5.2 Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk di Desa Sukatani bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini didukung oleh ketersediaan lahan dan budaya bertani masyarakat yang cenderung turun temurun. Rincian mata pencaharian penduduk Desa Sukatani tersaji dalam Tabel 2 berikut (Monografi Desa Sukatani, 2006) :

Tabel 2 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah (orang)

1 Petani 687 2 Buruh tani 1401 3 Swasta 289 4 Pegawai negeri 29 5 Pedagang 565 6 Peternak 1 7 Montir 4 8 Sopir 81 9 Ojek 114 10 TNI/POLRI 3 Total 3174 4.5.3 Pendidikan

Pendidikan masyarakat Desa Sukatani tergolong rendah, sebagian besar hanya mengenyam pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar (SD). Faktor yang mendukung hal ini adalah minimnya sarana pendidikan di lingkungan desa. Tingkat pendidikan penduduk disajikan dalam Tabel 3 berikut (Monografi Desa Sukatani, 2006):

Tabel 3 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan

No Tingkat pendidikan Jumlah

1 Belum sekolah (0-6 tahun) 137

2 Tidak pernah sekolah (> 6 tahun) 500

3 Tidak tamat SD 3052 4 Tamat SD/sederajat 3470 5 Tamat SMP/sederajat 868 6 Tamat SMA/sederajat 458 7 D1 134 8 D2 20 9 S1 112 Total 8751

(37)

5.1 Sejarah Perluasan Kawasan

Lahan perluasan di Resort Gunung Putri merupakan eks Perhutani sejak tahun 1972 hingga tahun 2003 dijadikan lahan tumpang sari dalam program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Isu penting yang menjadi faktor utama perubahan status kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi di Resort Gunung Putri adalah adanya penggundulan hutan yang dikonversi menjadi lahan garapan oleh masyarakat setempat (Gambar 2). Selain itu, penambahan jumlah penduduk juga berakibat pada peningkatan kebutuhan akan lahan. Masyarakat menggunakan kawasan hutan untuk bertani karena lahan di luar kawasan hutan sudah dipenuhi oleh pemukiman. Tegakan-tegakan pohon dan kebun teh yang semula masih terjaga, kini telah berubah fungsi menjadi areal pemukiman dan kebun sayuran (Gambar 3). Masyarakat semakin merambah ke dalam kawasan hutan karena tak ada lagi lahan kosong untuk digarap.

Perubahan fungsi kawasan juga mempengaruhi habitat satwa-satwa yang berada dalam kawasan. Sebelum adanya penggarapan lahan di dalam kawasan, beberapa satwa terlihat di sekitar areal perluasan ini. Satwa-satwa tersebut diantaranya yaitu elang jawa (Spizaetus bartelsii), surili (Presbytis commata), owa jawa (Hylobates moloch), dan harimau jawa (Panthera tigris). Perubahan habitat dapat mengancam kelestarian satwa-satwa tersebut.

Gambar 2 Konversi kawasan hutan Gambar 3 Perubahan areal hutan dan kebun menjadi lahan garapan teh menjadi pemukiman dan di dalam kawasan TNGP . kebun sayuran di luar kawasan.

(38)

Tanaman kehutanan yang ditanam di atas lahan tumpang sari pada era Perhutani adalah Pinus (Pinus merkusii), Suren (Toona surenii) dan Afrika (Maeosopsis eminii) (Gambar 4). Menurut aturan dari Perhutani, tanaman tersebut tidak boleh ditebang, namun ada oknum Perhutani sendiri yang melakukan penebangan. Terlebih lagi lahan PHBM yang telah ditebangi tersebut diperjualbelikan oleh oknum Perhutani kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan lahan garapan untuk menanam sayuran. Pembukaan lahan ini terjadi pada tahun 1997 karena pada saat itu terjadi angin topan yang menumbangkan beberapa pohon. Hal ini dijadikan alasan oleh pihak Perhutani untuk melakukan pembukaan lahan PHBM untuk dijadikan kebun sayuran. Hal ini berlangsung secara kontinu dan membudaya pada masyarakat Dusun Gunung Putri (Yeyep Y Februari 2007, perscom).

Gambar 4 Tegakan Pinus yang ditanam pada lahan eks PHBM.

5.2 Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM)

Perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 6.779 Ha ikut mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat sekitar kawasan dan juga berbagai stakeholder lainnya. Lahan perluasan di Resort Gunung Putri ialah 300 Ha, namun yang termasuk ke dalam RHLP hanya seluas 50 Ha. Pihak TNGP berupaya untuk menemukan langkah yang paling tepat untuk merehabilitasi lahan perluasan yang hingga kini masih menjadi lahan bertani sayuran, salah satunya yaitu dengan mengadakan kegiatan Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat (PKBM) yang merupakan perubahan dari program PHBM. Kegiatan ini merupakan bentuk kompensasi terhadap masyarakat yang kehilangan lahan garapannya. Undang-Undang No.41 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sebagai lapangan kerja

(39)

untuk memebuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PKBM mulai dilakukan Oktober 2006 – Desember 2009. Tujuan utama dari PKBM adalah untuk memberikan alternatif mata pencaharian kepada para petani sehingga diharapkan saat pengambilalihan lahan rehabilitasi pada Januari 2010, masyarakat sudah mempunyai pencaharian lain di luar kawasan. Sasaran kegiatan PKBM adalah untuk mengembalikan fungsi hutan di lahan perluasan kawasan TNGP, mengurangi ancaman keamanan, peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Berikut ini gambaran yang menjelaskan kegiatan PKBM :

Budidaya Budidaya RHLP Pembuatan Kompos Pemetaan PRA Jamur Tanaman Hias dan MPTS dan Pupuk Organik

Gambar 5 Bagan alir kegiatan PKBM.

5.3 Reboisasi Hutan dan Lahan Partisipatif

Reboisasi hutan dan lahan partisipatif adalah upaya untuk memulihkan kembali kawasan yang rusak, kosong dan kritis serta belum memenuhi fungsi konservasi sehingga perlu dilakukan upaya penanaman.

Maksud dan Tujuan RHLP

a. Maksud kegiatan RHLP adalah upaya masyarakat secara partisipatif untuk melakukan rehabilitasi di kawasan konservasi secara swadaya sehingga hutan lestari dan kondisi ekonomi masyarakat meningkat (leuweung hejo masyarakat ngejo).

b. Tujuan kegiatan RHLP adalah untuk memulihkan kondisi kawasan eks program PHBM sehingga tercapai optimalisasi fungsi konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan.

Pengelolaan Taman Nasional oleh Balai T NG P

(40)

Ruang Lingkup

a. Penanaman dengan menggunakan bibit tanaman asli/endemik di lahan garapan masyarakat pada kawasan konservasi di Blok Romusa, Blok Eucalyptus, dan Blok Lanbau dengan pola tumpangsari.

b. Kegiatan ekowisata seperti interpreter, pemanduan, dan porter.

c. Pengembangan budidaya seperti tanaman hias dan jamur.

d. Peningkatan kapasitas melalui pelatihan-pelatihan dan pengamanan kawasan.

RHLP dilaksanakan di areal perluasan Resort Gunung Putri TNGP dengan luasan 50 ha yang terbagi kedalam 3 blok, yaitu Blok Ramusa, Blok Eucalyptus, dan Blok Lanbau. Kegiatan ini diikuti oleh petani yang menggarap lahan di areal perluasan, anggota KTH Puspa Lestari, tokoh masyarakat, masyarakat non petani serta didampingi oleh petugas Resort Gunung Putri, tim dari Dinas PKT, dan Pemerintah Desa Sukatani. Pelaksanaan RHLP pada tanggal 20 – 23 Desember 2006. Jumlah total bibit sebanyak 20.000 bibit yang disediakan oleh TNGP terdiri atas 19.589 bibit tanaman kehutanan yang meliputi Rasamala, Puspa, Saninten, Huru, dan Kihujan; serta bibit tanaman MPTS yang meliputi 247 bibit Alpukat dan 137 bibit Pisang (TNGP, 2006). Bibit tanaman tersebut didatangkan dari luar kota, sehingga ketika akan ditanam sudah tidak segar lagi. Total bibit yang ditanam tersebut adalah 19.973 bibit, sedangkan sisanya sebanyak 27 bibit dalam kondisi yang kurang baik untuk ditanam. Untuk menutupi kekurangan tersebut, masyarakat mengambil bibit dari dalam kawasan hutan. Pola tanam bibit dilakukan dengan sistem banjar harian1) dengan jarak tanam 5 x 5 m. Lubang bakal tanaman dibuat dengan sistem cemplongan2). Kedalaman lubang 30 cm dan dilakukan pembersihan gulma sekitar lubang tanaman. Setelah penanaman ini para petani wajib memelihara tanaman RHLP di setiap lahan garapannya.

Ket : 1 sistem penanaman dengan menggunakan banjaran (pengganti sistem blok) untuk mengoptimalkan penanaman

2

suatu teknis penanaman dengan melakukan pembersihan lapangan hanya di sekitar tempat yang akan ditanam

(41)

Hasil penanaman RHLP pada areal perluasan belum optimal, hal ini disebabkan banyaknya tanaman yang rusak atau mati (Gambar 7). Kemungkinan penyebab dari kematian tanaman meliputi berbagai fakor. Faktor ekologis, yaitu adanya angin kencang yang menumbangkan tanaman karena rapuhnya akar tanaman yang baru ditanam tidak mampu menopang tubuh tanaman yang terlalu tinggi (1 – 3 m). Faktor teknis, yaitu kerusakan bibit karena lamanya waktu pengangkutan dari tempat sumber bibit ke areal RHLP. Faktor manusia, yaitu adanya petani yang memberikan deterjen/bahan kimia berbahaya pada tanaman (Aep A Februari 2007, perscom). Belum ada tindak lanjut terhadap masalah ini. Pihak TNGP masih harus melakukan inventarisasi tanaman yang masih hidup dan tanaman yang rusak/mati.

Gambar 6 Tanaman Puspa yang hidup Gambar 7 Tanaman Puspa yang di areal RHLP. rusak di areal RHLP.

5.4 Pengembangan Zona Penyangga

Penerapan PKBM sebagai bentuk nyata perlindungan kawasan dan pemberdayaan masyarakat adalah dengan penetapan lahan MPTS (tanaman multi guna) seluas 15 m x 700 m di dalam zona rehabilitasi. Areal ini dijadikan zona penyangga yang berfungsi sebagai penyangga sosial. Tanaman MPTS merupakan tanaman multiguna yang memberikan manfaat ekonomis secara langsung terhadap petani penggarap areal perluasan. Pernyataan Mackinnon et al. (1990) yang mendasari pernyataan tersebut di atas adalah zona penyangga sosial harus menyediakan produk yang dapat digunakan atau berharga (tanaman perdagangan) bagi masyarakat setempat, tetapi penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan tujuan kawasan yang dilindungi itu sendiri. Pemilihan

(42)

vegetasi bagi zona penyangga dapat berupa perkebunan buah-buahan yang melindungi tanah, serta memberikan penghasilan dan makanan. Tanaman MPTS yang direkomendasikan oleh TNGP adalah jenis Alpukat dan Pisang. Menurut hasil penelitian tim ahli dari Fakultas Kehutanan IPB, kedua tanaman ini secara ekologis sesuai untuk ditanam di lahan tersebut dan memberikan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat (Hardjanto et al., 2006). Teknis penanamannya ialah tanaman MPTS tersebut ditanam di atas jalur hijau di dalam batas kawasan. Masyarakat menilai luasan lahan MPTS masih kurang untuk memenuhi permintaan dari 300 orang petani. Oleh karena itu masyarakat mengusulkan lahan MPTS diperluas menjadi 50 m x 700 m. Namun hal ini baru menjadi wacana dan masih dipertimbangkan oleh pihak TNGP.

Jenis tanaman Alpukat dan Pisang merupakan tanaman yang sudah eksis di dalam dan sekitar kawasan. Pada era Perhutani, tanaman alpukat ditanam secara tumpangsari di atas lahan PHBM. Kenyataannya hingga kini pohon-pohon alpukat yang masih hidup tumbuh subur dan berdaun lebat, hanya saja sangat jarang berbuah. Dengan demikian jenis alpukat kurang berpotensi untuk menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dilakukan pengkajian lagi terhadap jenis tanaman MPTS alternatif yang tepat secara ekologis dan bisa memberikan keuntungan terhadap masyarakat.

(43)

5.5 Karakteristik Masyarakat

Masyarakat yang menjadi responden merupakan masyarakat petani yang tergabung kedalam KTH Puspa Lestari yang mempunyai keterlibatan langsung dengan kegiatan PKBM. Responden yang diambil yaitu sebanyak 30 orang anggota KTH yang bertempat tinggal di Dusun Gunung Putri.

5.5.1 Jenis Kelamin

Masyarakat tani yang mengikuti kegiatan PKBM sebagian besar adalah laki-laki. Faktor yang mempengaruhinya yaitu karena mayoritas penggarap lahan ialah laki-laki, sedangkan perempuan ikut membantu dalam pemeliharaan tanaman dan pengolahan lahan yang tidak memerlukan tenaga besar. Laki-laki dianggap lebih efektif karena memiliki waktu lebih banyak di luar rumah dibandingkan perempuan. Menurut Sunarso (2005), laki-laki menjadi tenaga kerja utama dalam kegiatan tani sayuran. Perempuan diposisikan sebagai tenaga kerja pengelola rumah tangga dan khususnya bagi konsumsi rumah tangga dan pada saat pemungutan hasil sayuran.

Tabel 4 Jenis kelamin masyarakat petani

No Jenis kelamin Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Laki-laki 25 83

2 Perempuan 5 17

5.5.2 Umur

Kelas umur yang dibuat berdasarkan kisaran umur produktif responden disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Umur masyarakat petani

No Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 0 – 20 3 10 2 21 – 30 10 33 3 31 – 40 8 27 4 41 – 50 6 20 5 51 – 60 3 10 6 > 60 - -

(44)

Dari Tabel 5 dapat terlihat bahwa kisaran umur terbanyak yang mengikuti PKBM ialah pada usia 21-30 tahun (33%), sedangkan masyarakat pada kisaran umur < 20 tahun dan 51-60 tahun adalah yang paling sedikit mengikuti PKBM (10%). Masyarakat pada umur 60 tahun ke atas tidak mengikuti PKBM, hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik yang menurun pada usia tersebut sehingga sebagian besar masyarakat pada usia ini lebih memilih untuk tidak lagi bertani dan mewariskan lahan garapannya kepada keturunannya.

5.5.3 Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi pola pikir seseorang. Pendidikan bermanfaat untuk melihat sejauh mana pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat yang mengikuti PKBM. Tingkat pendidikan di Indonesia dibedakan menjadi beberapa bagian. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka diasumsikan pengetahuannya pun akan semakin bertambah.

Tabel 6 Tingkat pendidikan masyarakat petani

No Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Tidak Sekolah 1 3

2 Sekolah Dasar 26 87 3 SMP 2 7 4 SMA 1 3 5 Perguruan Tinggi - -

Tingkat pendidikan yang ditunjukkan oleh Tabel 6 mencakup lima macam, yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Mayoritas masyarakat tani berpendidikan Sekolah Dasar (87%), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pola pikir masyarakat yang tidak terlalu mementingkan pendidikan dalam kehidupannya, ketidakmampuan secara ekonomi, dan fasilitas pendidikan yang masih minim di sekitar Desa Sukatani. Menurut data Monografi Desa Sukatani Tahun 2006 jumlah prasarana pendidikan hanya meliputi 1 Sekolah Menengah Umum, 2 Sekolah Menengah Pertama, 5 Sekolah Dasar, 1 Taman Kanak-Kanak, dan 2 Taman Pendidikan Al-Quran. Tingkat pendidikan yang rendah tersebut mempengaruhi pemilihan pekerjaan sebagai petani yang dianggap tidak memerlukan pendidikan tinggi dan keterampilan khusus.

(45)

5.5.4 Mata Pencaharian Utama

Mata pencaharian utama adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang pada sebagian besar waktu dalam kesehariannya. Keadaan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya mempengaruhi mata pencaharian suatu masyarakat. Keberadaan hutan di Dusun Gunung Putri menjadikan hutan tersebut sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat.

Tabel 7 Mata pencaharian utama masyarakat petani

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Petani 20 67

2 Wiraswasta 7 23 3 PNS 1 3 4 Lain-lain 2 7

Pekerjaan utama sebagian besar anggota kelompok tani yang mengikuti PKBM adalah bertani (67%). Namun tidak semua anggota PKBM tersebut mempunyai pekerjaan utama sebagai petani. Mereka merupakan anggota kelompok tani yang memiliki pengetahuan dan pengalaman bertani serta mempunyai motivasi tinggi dalam menjaga kelestarian hutan. Sedangkan pekerjaan utama lainnya adalah wiraswasta (23%), PNS (3%), dan lain-lain (7%). Sumberdaya alam dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan faktor utama yang menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk bekerja sebagai petani. Umumnya mereka bertani karena meneruskan usaha keluarga, pengaruh lingkungan, dan sulit mencari pekerjaan lain selain bertani. Pernyataan ini didukung oleh Lubis, D.P; dan E. Sutarto (1991) yang menyatakan bahwa kesamaan atau konsistensi mata pencaharian sebagai petani antara orangtua dan anak di Cianjur disebabkan oleh sosialisasi dari keluarga dan kerabat masih nampak sebagai faktor dominan yang mengarahkan pemuda untuk terampil bekerja di sektor pertanian dan bahkan membentuk kepribadian individu untuk berlaku sebagai petani di masa depan.

(46)

5.5.5 Pendapatan Perbulan

Faktor ekonomi seringkali dijadikan acuan dalam penilaian tingkat kesejahteraan masyarakat. Penilaian secara ekonomi ini diwujudkan dalam pendapatan. Pendapatan perbulan dari hasil bertani sayuran adalah pendapatan rata-rata yang dihasilkan dari mulai penanaman hingga pemanenan. Pendapatan ini merupakan total pendapatan hasil panen dikurangi modal untuk penanaman selanjutnya, dan pendapatan dari pekerjaan lainnya (jika ada). Tidak menentunya hasil panen menjadi penyebab perbedaan pendapatan yang dihasilkan setiap bulannya. Faktor penyebabnya ialah kondisi cuaca, ketersediaan modal, kualitas bibit, permintaan pasar.

Tabel 8 Pendapatan perbulan responden

No Pendapatan perbulan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 < Rp500.000 15 50

2 >Rp.500.000-Rp. 1 juta 9 30 3 > Rp.1 juta - Rp.2 juta 4 13 4 > Rp.2 juta 2 7

Lima puluh persen responden memiliki pendapatan perbulan kurang dari 500.000 rupiah. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sunarso (2005) yang menyebutkan bahwa pendapatan petani sayuran perbulan berkisar antara Rp.306.000 – Rp.420.000. Kisaran pendapatan perbulan Rp.500.000 – 1 juta dimiliki oleh 30% responden; 13% responden berpenghasilan >Rp.1 juta - Rp 2 juta; dan 7% responden berpenghasilan lebih dari 2 juta rupiah. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat petani di Dusun Gunung Putri masih rendah. Kondisi ekonomi yang relatif rendah berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah pula. Ketidakmampuan ekonomi menjadi penyebab enggannya para orangtua menyekolahkan anak-anak mereka.

5.5.6 Luas Lahan Garapan Petani di Areal Perluasan TNGP

Kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian seiring dengan pertambahan populasi penduduk dari tahun ke tahun semakin tinggi. Nasoetion (1994) menyebutkan bahwa selama tiga dekade terakhir ini telah terjadi degradasi tanah yang disebabkan oleh alih

Gambar

Gambar 1  Bagan Alir Kerangka Pemikiran.  Kawasan PHBM
Tabel 1  Jumlah penduduk menurut kelas umur  No Kelas  Umur  Jumlah
Tabel 2  Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
Gambar 2 Konversi kawasan hutan     Gambar 3 Perubahan areal hutan dan kebun        menjadi lahan garapan       teh menjadi pemukiman dan       di dalam kawasan TNGP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sepanjang pengetahuan penyelidik, kajian lepas yang melaporkan tentang amalan pemberian makanan kepada kanak-kanak dan remaja autisme dan sumber maklumat pemakanan dalam

1) Sumber arus DC, Unit Baterai, dan inverter 2) Rangkaian sensor pada baterai meliputi: sensor tegangan DC baterai dan sensor arus sumber DC, sensor arus pengisian dan

Bambang sugiarto (2002) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa untuk menaikan angka oktan pada mesin adalah salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas bensin.Untuk

Sejumlah forum seperti ra pat komisi penyuluhan Aceh, me- nurut Azanuddin, harus menjadi wadah bagi semua pihak terkait untuk dapat memberikan saran dan masukan kepada Pemerintah

139 PERAKITAN TEKNOLOGI JARWO SUPER DI LAHAN RAWA PASANG SURUT UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI DI PROVINSI JAMBIPERAKITAN TEKNOLOGI JARWO SUPER DI LAHAN RAWA

OD untuk system plts yang digunakan untuk lighting (lampu penerangan), biasanya ditetapkan 3 hari, tetapi pada system plts untuk  telekomunikasi paling tidak 7

Hal ini dapat terjadi karena apabila PDN meningkat berarti peningkatan aktiva valas yang diberikan dengan persentase yang lebih besar dari peningkatan pasiva valas,

Perkara ini telah diputuskan oleh Fatwa di Malaysia yang menjelaskan bahawa sebarang proses rawatan IVF ini perlu dilakukan dalam ikatan perkahwinan yang sah dan adalah