• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARGARIN

1.

KARAKTERISTIK FISIK

a.

KANDUNGAN LEMAK PADAT (SFC)

Penentuan jumlah padatan lemak (solid fat content) merupakan salah satu karakter fisik yang paling penting dalam industri minyak, lemak, dan produk turunannya. SFC merupakan indeks proporsi kristal lemak dan lemak cair pada suhu tertentu (Asianagri 2007). Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC). Pengujian kandungan lemak padat pada minyak atau lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai suhu observasi. Pengukuran SFC menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR).

Gunstone dan Norris (1983) menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau (SFI) penting dalam industri pengolahan lemak. Hal ini dibutuhkan untuk mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran. SFC merupakan hal yang penting dari formulasi pembuatan margarin dan sejenisnya.

Menurut Hendrikse et. al. (1994), persentase solid yang dihasilkan dari pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom hidrogen inilah yang akan didefinisikan sebagai SFC. Dari percobaan yang dilakukan oleh Steidley et. al. (2004) dirumuskan bahwa pengukuran SFI menghasilkan nilai empiris untuk rasio solid/liquid, sedangkan NMR menghasilkan nilai mutlak SFC.

Kelebihan lain NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan suhu sehingga menghasilkan waktu pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan akan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan (Hendrikse et. al.1994).

Pengukuran SFC dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah (low-resolution pulse). Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih lebih besar dari 0.3% padatan. Berdasarkan Nielsen (1998), pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkat suhu. SFC dapat diukur dengan

19 menggunakan NMR baik yang berdenyut (pulsed) ataupun yang menggunakan gelombang kontinu (continous wave).

Pada prinsipnya, sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut (pulse) dengan frekuensi radio. Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang dihasilkan dari padatan lemak akan mengalami memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Penentuan SFC menggunakan NMR dilihat dari intensitas relaxation signal yang disebabkan oleh atom hidrogen dalam triasilgliserol. Atom hidrogen yang diinduksi oleh magnet dari NMR akan menyesuaikan arah sesuai dengan kandungan magnetnya lalu menghasilkan sebuah sinyal. Sinyal tersebut dibaca sebagai SFC oleh NMR.

Minyak dan lemak, dalam hal ini minyak sawit, terdiri atas triasilgliserol (trigliserida) campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Setiap jenis minyak atau lemak secara umum tidak berbeda gliseridanya, hanya berbeda dalam bentuk wujudnya. Triasilgliserol adalah senyawa ester dari gliserol dan tiga asam lemak (Johnson 1971). Skema pembentukan triasilgliserol dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 5. Skema Komponen Penyusun Triasilgliserol (Chang 2006)

Asam lemak dapat berasal dari tipe yang sama maupun yang tidak sama. Sifat triasilgliserol akan tergantung pada perbedaan asam-asam lemak yang bergabung membentuk triasilgliserol. Oil blend yang diformulasikan dapat berasal dari minyak yang berbeda dengan komposisi asam lemak yang berbeda pula. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap profil kandungan minyak padat pada suhu tertentu. Asam lemak yang tidak jenuh memiliki SMP yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh yang memiliki panjang rantai yang serupa (Pahan 2006). Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat C16:0 (jenuh) dan asam oleat C18:1 (tidak jenuh).

Minyak sawit memiliki asam lemak jenuh dan tak jenuh dalam jumlah yang hampir sama. Kandungan asam lemak pada minyak sawit paling tinggi secara umum adalah palmitat dan kemudian oleat diikuti dengan linoleat, stearat, dan miristat (Sambanthamurthi 2000). Minyak sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh sekitar 43-56% dari total asam lemak dimana kandungan tertinggi adalah asam palmitat yaitu 40.0-46.0%. Kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak sawit terutama berasal dari asam oleat yaitu sekitar 39.0-45.0%. O’Brien (1994) menjelaskan bahwa SFC pada

20 suhu 10°C (50°F) merupakan indikator kualitas penyebaran produk di suhu refrigerator. Suhu 21.1°C (70°C) merupakan indikator ketahanan produk pada suhu ruang penyimpanan atau ruang produksi. Suhu 33.3°C (92°F) merupakan indikator karakteristik produk saat meleleh di dalam mulut. Sedangkan 40°C (104°F) merupakan indikator saat kondisi awal penggorengan. Profil SFC pada oil blend akan menentukan kesesuaian pengaplikasian pada produk akhir. Contoh produk margarin dan shortening

serta profil SFC-nya pada berbagai suhu disajikan pada Tabel 5.

Tipe produk Solid (%) Solid (%) Solid (%) Solid (%) Solid (%) Solid (%)

10°C 21.1°C 26.7°C 33.3°C 37.8°C 40°C

Stick Margarine 28 16 12 2-3 0 -

Soft Tube Margarine 13 8 6 2 0 -

Liquid Oil + 5% Hard Fat 7 6 6 5.4 4.8 -

Baker's Margarine 27 18 16 12 8 -

Roll-In Margarine 29 24 22 16 12 -

All Purpose Shortening 23 19 - 14 - 11

Modified Lard 25 11 9 6 3 -

Lard 25 20 12 4 2 -

Icing Shortening 34 28 27 22 18 -

Pie Crust Shortening 23 20 18 12 - 4

Fluid Shortening 8 8 - 7 - 6

Frying Fats 42 29 - 13 - 3

Filler Fat 44 30 25 13 - 2.5

Puff Pastry 26 24 23 22 21 -

(Chrysam 1996)

b.

SLIP MELTING POINT (SMP)

Titik leleh sempurna (complete melting point) merupakan suhu di mana minyak padat menjadi minyak cair seluruhnya (Lawson 1995). Setiap asam lemak memiliki titik leleh yang berbeda. Asam lemak yang memiliki rantai pendek memiliki titik leleh yang lebih rendah dan mudah larut dalam air. Sebaliknya, semakin panjang rantai asam lemak, maka akan menyebabkan titik leleh yang lebih tinggi.

Titik leleh juga tergantung pada derajat ketidakjenuhan. Pahan (2006) berpendapat bahwa asam lemak-asam lemak yang tidak jenuh memiliki titik leleh yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak-asam lemak yang memiliki panjang rantai serupa. Selain itu posisi asam lemak pada molekul gliserol juga mempengaruhi titik leleh.

Krischenbauer (1960) berpendapat bahwa struktur asam lemak juga dapat mempengaruhi titik leleh, di mana asam lemak berstruktur trans akan mempunyai titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang berstruktur cis.

Keragaman komposisi asam lemak dalam suatu jenis minyak membuat minyak tersebut memiliki kisaran dalam titik lelehnya, hal ini yang disebut dengan slip melting

21 point. Keragaman SMP berdasarkan asam lemak dan bentuknya dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Beberapa Jenis Asam Lemak dan Titik Lelehnya Jenis Atom Karbon SMP dalam berbagai bentuk (°C)

Asam Lemak a monoasilgliserol b 1,3-diasilgliserol b triasilgliserol b

As Butirat C 4:0 -7.9 - - - Kaproat C 6:0 -3 - - - Kaprilat C 8:0 16.0-17.0 - - - Kaprat C 10:0 31.0 - - - Laurat C 12:0 44.0-46.0 63 57.8 46.4 Miristat C 14:0 58.8 70.5 66.8 57.0 Palmitat C 16:0 63.0-64.0 77 76.3 63.5 Stearat C 18:0 69.0-70.0 81.5 79.4 73.1 Oleat C 18:1 13.0-14.0 35.2 21.5 5.5 Linoleat C 18:2 -6.5 12.3 -2.6 -13.1 Linolenat C 18:3 -12.8 15.7 -12.3 -24.2 Arakhidat C 20:0 75.5 - - - Behenat C 22:0 74.0-78.0 - - - Erukat C 22:1 33.8 - - - Olein sawitC StearinC - - 18.0-20.0 48.0-50.0 - - - - - - a Anonim (2007) b

Johnson dan Davenport (1971) c

Gunstone dan Norris (1983)

2.

KARAKTERISTIK KIMIA

a.

BILANGAN IOD

Bilangan iod digunakan untuk mengukur derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Bilangan iod akan menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga dapat juga digunakan sebagai spesifikasi untuk menentukan jenis minyak atau lemak (Weiss 1983). Jika bilangan iod dari setiap formulasi minyak campuran dapat diketahui, maka komponen asam lemak yang terkandung dalam minyak campuran dapat diketahui derajat ketidakjenuhannya. O’Brien (1994) berpendapat bahwa analisis bilangan iod merupakan cara sederhana dan cepat untuk menentukan kandungan kimia di dalam minyak atau lemak. Zaliha

et.al. (2004) melaporkan bahwa bilangan iod juga dapat dipengaruhi oleh proses produksi minyak. Sehingga bilangan iod menjadi salah satu parameter penting dalam pengujian kualitas minyak atau lemak. Nilai minimum bilangan iod CPO menurut SNI 01-3555-1998 adalah sebesar 56 g iod/100 g sampel.

b.

BILANGAN PEROKSIDA

Chang (2000) menyebutkan bahwa Bilangan Peroksida merupakan salah satu parameter untuk menentukan tingkat kerusakan pada minyak akibat proses oksidasi. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk

22 peroksida. Peroksida adalah komponen yang dapat mempercepat oksidasi. Bilangan peroksida yang rendah menandakan bahwa kerusakan oksidatif belum dimulai dan masih relatif stabil terhadap oksidasi. Aplikasi termal dapat memicu pembentukan peroksida. Nilai peroksida minyak sawit (RBDPO) maksimum mengacu pada SNI 01- 3555-1998 adalah sebesar 1 meq O2/kg.

c.

KADAR ASAM LEMAK BEBAS

Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) merupakan korelasi dari kadar air sekaligus indikator pendugaan kerusakan minyak lebih lanjut. ALB merupakan senyawa alifatik dengan gugus karboksil. Senyawa ini dapat terikat sebagai gliserida maupun bebas akibat adanya hidrolisis. Nilai asam lemak bebas menunjukkan tingkat kerusakan minyak. Kadar ALB yang tinggi menandakan minyak memiliki mutu buruk. Ketaren (1986) menyatakan bahwa kadar ALB yang tinggi dapat dikurangi dengan proses netralisasi pada minyak tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku. Nilai ALB maksimum margarin menurut SNI 01-3555-1998 adalah sebesar 0.3% dihitung sebagai asam lemak oleat dari 100% lemak yang diuji.

23

IV.

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait