• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MODEL MUNASABAH AL QUR‟AN DALAM TAFSIR AL-

C. Karakteristik Munasabah dan Jenis-Jenisnya dalam Tafsir Al-

sedemikian rupa dalam Mushaf Utsmani, M. Quraish Shihab memperkenalkan tafsirnya yang banyak membahas tentang Munasabah. Kepiawaiannya mengungkap ayat dan surah dari sisi Munasabah sudah tidak diragukan lagi. Selain itu, ia juga menguasai ilmu tafsir dan hal ini telah terbukti dalam disertasinya yang engangkat manuskrip (makhthuthat) karya Ibnu Umar Al-Biqa‟iyang kental dengan Munasabah Al-Qur‟an.109

Dalam disertasi Quraish Shihab, ia memilih untuk membahas masalah korelasi antara ayat-ayat dan surah-surah Al-Qur‟an sebagai fokus penelitiannya. Sebagai kasus, ia memilih kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, karangan Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i (809-885 H/1406-1480).110

M. Quraish Shihab mengatakan,“saya tertarik dengan tokoh ini karena ia hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya.” Al-Biqa‟i juga dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang berhasil menyusun suatu karya

108

Ibid., hlm. 225-226.

109

Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,

(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 155.

110

yang sempurna dalam masalah korelasi antara ayat-ayat dan surah-surah Al-

Qur‟an. Ada juga yang menilai bahwa kitab tafsirnya merupakan ensiklopedia engenai Munasabah Al-Qur‟an.111

Ia melanjutkan dengan menyatakan, “Mayoritas ulama masa lalu melupakan rahasia urutan lafal, ayat-ayat, dan surah-surah. Meskipun ada Al- Imam Fakhr Ar-Razi, ia hanya dominan pada segi ilmiah-filosofis sehingga belum mencapai apa yang diharapkan. Selanjutnya, datang Al-Imam Abu

Ja‟far bin Al-Zabir dan Al-Imam Al-Suyuthi. Namun, keduannya terbatas pada penjelasan Munasabah surah-surah Al-Qur‟an dan tidak menyingkap rahasia yang ada pada urutan ayat-ayat serta hubungannya antara lafal-lafal yang ada pada surah satu dan yang lainnya. Setelah itu datang Burhanuddin Abu Al-Hasan Ibrahim bin Umar Al-Biqa‟i(809-885 H/1406-1480 M) yang memiliki perhatian khusus dalam masalah korelasi antara ayat-ayat Al-Qur‟an ia mengungkap rahasia urutan ayat dan lafal Al-Qur‟an secara detail dalam karyanya yang berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar dan dinilai sebagai ensiklopedia tentang Munasabah Al-Qur‟an .112

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa masalah korelasi antara ayat- ayat Al-Qur‟an ini layak mendapat perhatian khusus. Ia memiliki dua alasan mengenai hal tersebut, yaitu maraknya isu sumbang mengenai Al-Qur‟an dan terjadinya penafsiran yang bersifat parsial. Implikasi dari model penafsiran seperti ini telah melahirkan konflik, khususnya seperti golongan Sunni dan

Mu‟tazilah. Kedua golongan itu mempunyai kesimpulan yang bertentangan

secara ekstrem, padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada Al-

Qur‟an, bahkan pada ayat yang sama. Jadi, melalui pembahasan tentang korelasi ayat-ayat ini akan didapatkan suat pemahaman terhadap Al-Qur‟an sebagai keutuhan yang saling terkait.113

111 Ibid., hlm. 155-156. 112 Ibid., hlm. 156. 113 Ibid., hlm. 156.

Sementara itu, dalam pengantar Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengemukakan enam keserasian hubungan bagian-bagian Al-Qur‟an. Keserasian yang dimaksud adalah114

1. Keserasian kata demi kata dalam satu surah.

2. Keserasian kandungan ayat dengan fashilah (penutup ayat). 3. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.

4. Keserasian uraian awal/mukadimah satu surah dengan penutupnya.

5. Keserasiaan penutup surah dengan uraian awal (mukadimah) surah sesudahnya.

6. Keserasian tema surah dengan nama surah.

Adapun dalam penjelasan mengenai Munasabah yang lain, M. Quraish Shihab menambah satu keterangan lagi, yaitu hubungan kandungan surah dengan surah berikutnya. Keserasian yang dimaksud adalah hubungan kata demi kata dalam satu ayat, hubungan antara kandungan ayat dan fashilah (penutup ayat), hubungan ayat dengan ayat berikutnya, hubungan mukadimah satu surah dengan penutupnya, hubungan penutup satu surah dengan mukadimah surah berikutnya, serta hubungan kandungan surah dengan surah sesudahnya.115

Menurut Muhlis M. Hanafi yang mengutip pendapat Ibrahim Syarif, guru besar tafsir di Fakultas Dar Al-Ulum, Universitas Kairo, ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan esensi dan prinsip dari tafsir filologis (ittijah adabi atau/bayani) adalah Ibrahim bi Umar Al-Biqa‟idalam karyanya yang berjudul Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. M. Quraish Shihab sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal lebanon ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi pada tahun 1980 ketika M. Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karyanya dalam

114

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, hlm. xx-xxi.

115

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur‟an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah

rangka menyusun disertasi untuk meraih gelar doctor. Warna ini sangat kental dalam tafsir M. Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.116

Sementara itu, para ahli Al-Qur‟an membagi bahasan Munasabah ke dalam delapan model. Beberapa diantaranya cukup mahsyur.117

1. Hubungan antara satu surah dan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi menjelaskan surah sebelumnya. Misalnya, QS. Al-Fatihah (1): 6 menyebutkan: Tnjukilah kami jalan yang lurus. Ayat ini kemudian dijelaskan oleh QS. Al-Baqarah (2): 2 yang menyebutkan: Kitab (Al-

Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

2. Hubungan antara nama surah dan isi atau tujuan surah. Misalnya, penamaan Surah Al-Baqarah (sapi betina) karena di dalamnya terdapat ayat yang berbicara tentang sapi betina.

3. Hubungan antara fawatih Al-suwar (ayat pertama yang terdiri dari beberapa huruf) dan isi surah. Di sini fawatih al-suwar bisa dilacak dari sisi kemukjizatan Al-Qur‟an dan hitungan ayat.

4. Hubungan antara ayat pertama dan ayat terakhir dalam satu surah. Misalnya, QS. Al-Muminun (23): 1 yang dimulai dengan: sungguh beruntung orang-orang yang beriman, diserasikan dengan bagian akhir surah yang berbunyi: sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung. (QS. Al-Mu‟minun (23): 117).

5. Hubungan antara satu ayat dan ayat lain dalam satu surah. Misalnya, QS. Al-Baqarah (2): 2 yang berbicara tentang orang-orang yang bertakwa kemudian pada tiga ayat berikutnya menjelaskan tentang kriterianya. 6. Hubungan antara kalimat dan kalimat lain dalam satu ayat. Misalnya, QS.

Al-Fatihah (1) ayat 1: Dengan nama Allah yang kemudian dijelaskan

116

Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,

(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 157-158.

117

Qaththan, Manna‟, Mabahits fi „Ulum AL-Qur‟an, (Manshurat Al-Ashr Al-Hadits, 1973), hlm. 97-99.

dengan kalimat berikutnya: Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Begitu pula dengan ayat selanjutny: Segala puji bagi Allah yang kemudian dijelaskan dengan kalimat berikutnya: Tuhan seluruh alam.

7. Hubungan antara fashilah dan isi ayat. Misalnya, QS. Al-Ahzab (33) ayat 25: Cukuplah Allah (yang menolong) menghindarkan orang-orang mukmin dalam peperangan yang kemudian ditutup dengan: Dan Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.

8. Hubungan antara penutup surah dan awal surah. Misalnya, Surah Al-

Waqi‟ah (56) ayat 96: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama

Tuhanmu Yang Maha Besar yang kemudian disambut oleh Surah Al- Hadid (57) ayat 1-2: Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Hasani Ahmad Said dalam bukunya Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah mengatakan ada jenis-jenis Munasabah yang lebih ditonjolkan dalam Tafsir Al-Mishbah antara lain: Jenis Munasabah yang banyak dikaji adalah Munasabah antara surah dan surah sebelumnya,

Munasabah awal uraian surah dengan akhir uraian surah, Munasabah antara

awal surah dan akhir surah sebelumnya, tema surah dengan nama atau kandungan surah, hubungan ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah, dan penutup surah dengan uraian awal surah setelahnya. Sementara itu, kajian ayat banyak mengungkap tentang Munasabah antara kalimat dan kalimat dalam ayat serta Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah. Meskipun demikian, penulis tidak mengecualikan model Munasabah lainnya yang diungkap oleh M. Quraish Shihab.118

Sehubungan dengan itu, M. Quraish Shihab tidak menempatkan Munasabah di satu tempat tertentu. Ia menempatkannya hampir di setiap awal

118

surah yang dikaitkan dengan ayat atau surah sebelumnya serta di akhir surah yang dikaitkan dengan awal surah dan surah berikutnya. Ia terkadang juga menempatkan Munasabah pada bagian makna global (Al-Ma‟na Al-jumAli) dan penjelasan ayat per ayat. Penempatan Munasabah tidak di satu tempat tertentu juga banyak dilakukan oleh para mufassir pada umumnya. Namun, salah satu mufassir yang menempatkan Munasabah dalam satu bagian tertentu adalah Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Shafwah Al-Tafsir.119 Begitu pula dengan Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan) karya Departemen Agama RI yang terdiri atas sepuluh jilid, Munasabah ditempatkan dalam satu bahasan.120

Dokumen terkait