KAJIAN TEORI
MUNASABAH
DALAM PENAFSIRAN AL-
QUR’AN
(Tela’ah atas Surah
Ar-Rahman
dalam
Tafsir Al-Mishbah
)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai SAlah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
OLEH:
M. SARIFUDIN
NIM: 215 13 001
JURUSAN ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MOTTO
ُهَمَّيَعَو َنَأْسُقْىا َمَّيَعَت ْهَم ْمُم ُسْيخ
~ Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur‟an dan mengajarkannya~
PERSEMBAHAN
ِمــــــــيِحَّسىا ِهــــــــَمْحَّسىا ِهــــــــَّيىا ِمــــــــْسِت
Dengan penuh ketulusan hati dan segenap rasa syukur kepada Allah Swt., skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Ibu Umi Nafisah/Umarsih dan Bapak Sumari (Alm) serta Bapak Ihwan yang telah mendidik, membimbing, memberikan kasih sayang, dan do‟a dan segalanya yang menjadi perantaraku untuk memperoleh tujuan hidupku, ilmu, iman, amal shalih, dan ridho Allah Swt.
2. Ibu Sri Ambarwati dan Bapak Hanafi yang telah mendukung, memotivasi,
mendo‟akan, dan membantu banyak hal yang berkaitan dengan perkuliahan,
sehingga dengan Ridho Allah penulis bisa menyelesaikan studi S1 dengan baik dan tepat pada waktunya.
3. Adik-adikku tercinta, Iska Setiarini, Hidayatul Umami, Nainul Muna yang
selalu mendo‟akan, mendukung, dan membantu.
4. Keluarga besar dan saudara-saudara penulis di manapun berada yang selalu
mendo‟akan, mendukung, dan membantu.
5. Dr. Hasani Ahmad Said. M.Pd. yang telah membimbing penulis sehingga bisa mendapatkan judul skripsi ini.
Maghfurin, Nur Afandi, Suyadi, Bapak Sujatmiko, Bu Arna, Pak Rozak, Ibu Latifah.
7. Keluarga besar Public Speaking Class (PSC); Bapak Walyono, Pak Azis, Ihsan, Solehan, Inas, dan semuanya saja.
KATA PENGANTAR
ْسِت ِمــــــــيِحَّسىا ِهــــــــَمْحَّسىا ِهــــــــَّيىا ِمــــــــ
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Munasabah dalam
Penafsiran Al-Qur‟an (Tela‟ah atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir
Al-Mishbah)”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw.,
keluarga, sahabat, dan umatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
Penulis menyadari bahwa kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas, sehingga dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Arahan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah membantu terselesainya skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Dr. Beny Ridwan, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora.
3. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
ABSTRAK
M. Sarifudin, 2017. “Kajian Munasabah dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Tela‟ah atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah)”. Skripsi. Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora. Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag.
Kata Kunci: Munasabah, Tafsir Al-Qur‟an.
Adanya perbedaan pendapat diantara ulama tentang Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an, ada yang setuju dan tidak. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk mengkaji teori Munasabah dan tela‟ah terhadap surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah. Selain itu juga penulis ingin meneliti sejauh mana validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah dalam tafsirnya. Dengan analisis (1) Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam ilmu Al-Qur‟an? (2) Bagaimana ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al -Mishbah? (3) Bagaimana penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah? (4) Bagaimana penerapan Munasabah antara surah Ar-Rahman dengan surah sebelum dan sesudahnya?. Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penulis mengkaji kitab Tafsir Al-Mishbah dan buku-buku yang mengkaji tentang Munasabah untuk mengetahui definisi Munasabah dan kedudukannya, mengetahui ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah, mengetahui penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah, dan mengetahui penerapan Munasabah antara surah Ar-Rahman dengan surah sebelum dan sesudahnya.
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian studi pustaka yang dilakukan dengan menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, dengan metode library research dan literature yang dilakukan dengan mengumpulkan sumber data primer berupa Kitab Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dan sumber data sekunder yang berupa buku-buku yang mengkaji tentang Munasabah. Adapun tekhnik analisis data yang dilakukan ada tiga tahap yaitu; metode deduktif yang dilakukan dengan menganalisis bab II kajian Munasabah dalam pandangan umum, bab III ragam kajian Munasabah dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, dan bab IV penerapan Munasabah antarayat dan antarsurah Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, kemudian metode Conten Analysis dan Reflektif Thinking dengan menganalisis isi untuk mengetahui tingakat validitas M. Quraish Shihab dalam menerapkan teori Munasabah.
Adapun hasil dari penelitian yaitu: (1) Munasabah secara bahasa artinya kedekatan, secara istilah adalah adanya hubungan antarayat dan antarsurah.
Munasabah memiliki kedudukan yang penting dalam „Ulumul Qur‟an wa Tafsir.
DAFTAR ISI
SAMPUL... i
LEMBAR BERLOGO... ii
JUDUL... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv
PENGESAHAN KELULUSAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... vi
MOTTO... vii
PERSEMBAHAN... viii
KATA PENGANTAR... x
ABSTRAK... xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
E. Penegasan Istilah... 7
F. Fokus Penelitian... 9
G. Metode Penelitian... 10
BAB II PERAN MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN
AL-QUR‟AN……….……... 14
A. Munasabah dalam Kajian Al-Qur‟an... 14
B. Melacak Tradisi Awal Munasabah... 26
C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuan Al-Qur‟an dari Klasik Hingga Pramodern... 40
D. Munasabah dalam Tinjauan Ilmuwan Al-Qur‟an Kontemporer... 43
E. Menyoal Munasabah: Respon Terhadap Kritik Ilmuwan Barat dan Orientalis... 50
BAB III MODEL MUNASABAH AL-QUR‟AN DALAM TAFSIR AL-MISHBAH... 57
A. Metode Menyingkap Munasabah Al-Qur‟an... 57
B. Urgensi, Fungsi, dan Kegunaan Memahami Ilmu Munasabah serta Upaya Pengembangannya... 60
C. Karakteristik Munasabah dan Jenis-Jenisnya dalam Tafsir Al-Mishbah... 65
D. Pola dan Pendekatan... 70
E. Ragam Kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah... 71
BAB IV TELA‟AH PENERAPAN MUNASABAH SURAH AR-RAHMAN DALAM TAFSIR AL-MISHBAH... 73
A. Munasabah Ayat... 73
B. Munasabah Surah... 96
BAB V PENUTUP... 106
A. Kesimpulan... 106
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Pustaka
2. Riwayat Hidup Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai kitab hidayah atau kitab petunjuk kehidupan manusia. Di samping itu, kitab suci Al-Qur‟an juga berfungsi sebagai kitab mukjizat yang memperlihatkan bahwa Al-Qur‟an bukan ucapan Nabi Muhammad Saw., bukan ucapan dari Malaikat Jibril, dan bukan pula ucapan makhluk lainnya. Al-Qur‟an adalah kalamullah atau firman Allah yang merupakan citra diri-Nya, karena kalam merupakan salah satu sifat-Nya diantara sifat-sifat-Nya yang lain. Jika Al-Qur‟an merupakan kitab mukjizat, mukjizatnya berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang lain yang pernah ada sebelum Nabi Muhammad Saw. Ada beberapa perbedaan antara mukjizat Al-Qur‟an dan mukjizat nabi-nabi terdahulu. Karena kemukjizatan nabi-nabi terdahulu bersifat hissi atau sesuatu yang bisa dideteksi oleh panca indra. Sedangkan mukjizat Al-Qur‟an bersifat
ma‟nawiyah atau tidak bisa dideteksi oleh pancaindra, tetapi oleh perasaan,
akal, pikiran, dan perenungan yang mendalam. Mukjizat Al-Qur‟an tidak pernah lekang oleh waktu, karena bersifat ma‟nawiyah. Dengan kata lain, mukjizat ma‟nawiyah lebih hebat daripada mukjizat hissiyyah. Allah menjadikan mukjizat akhir zaman sebagai mukjizat yang ma‟nawiyah. Karena perjalanan kehidupan manusia semenjak Nabi Adam As. Sampai Nabi Muhammad Saw. Sudah sedemikian lama dan berbagai eksperimen kehidupan telah dijalani oleh umat manusia.1
Seperti diketahui bahwa kisah yang terdapat dalam Al-Qur‟an tidak diceritakan secara runtut kecuali pada kisah Nabi Yusuf As. Kisah dalam
1
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah (Jakarta:
Qur‟an tidak diceritakan secara terperinci, karena umat manusia dituntut
untuk memikirkan dan mempelajari hikmah yang dapat diambil dari cerita-cerita tersebut. Inilah salah satu indikator Al-Qur‟an mengajak pembacanya menjadi dewasa, walaupun hanya berupa ungkapan yang ringkas, tetapi mengandung makna yang dalam.
Al-Qur‟an merupakan mukjizat Nabi Muhammad Saw yang paling besar, sehingga para ulama dari masa lalu sampai kini terus berusaha mencari letak kemukjizatannya. Orang-orang Arab menekuni sastra berusaha mencari mukjizat Al-Qur‟an dari ungkapan dan redaksinya. Sehingga lahirlah ilmuwan dalam bidang bAlaghah, seperti Al-Rummani (w. 3884 H/994 M), Al-Khaththabi (w. 388H/998M), Al-Jurjani, Al-Baqillani (w. 403 H/1013 M), serta Al-Sakkaki (w. 626 H/1226 M). Selain itu mukjizat Al-Qur‟an dapat
dilihat dari sisi isinya yang mengetengahkan kehebatan syari‟at islam dan
hukum-hukum yang diberlakukan, seperti dalam bentuk ibadah, mu‟amAlah, munakahah, dan jinayah. Al-Qur‟an dikenal juga dengan mukjiizat Al-Ghaibi, yaitu terungkapnya hal-hal yang ghaib; mukjizat Al-wa‟d dan Al-wa‟id, yaitu janji dan ancaman yang selalu terbukti sepanjang sejarah
kehidupan umat manusia; mukjizat „ilmi atau ilmu pengetahuan yang mengemukakan kecocokan antara penemuan modern dan apa yang diisyaratkan Al-Qur‟an. Muncul juga mukjizat yang bersifat „adadi, yaitu bilangan yang ada dalam Al-Qur‟an, baik yang berkaitan dengan jumlah huruf, kalimat, maupun ayat yang menunjukkan keseimbangan jumlah satu kalimat dengan kalimat yang menjadi lawannya atau bentuk-bentuk istimewa lainnya.2
Harus diakui bahwa Munasabah dalam Al-Qur‟an tidak ada penjelasannya dari Nabi Saw. dan para sahabat. Oleh karena itu, ilmu
2
Munasabah dikategorikan sebagai ilmu yang tidak wajib dipelajari. Jika
Munasabah wajib dipelajari, harus ada penjelasan dari Nabi.3
Diantara ulama dari zaman klasik sampai zaman pra-modern banyak perbedaan pendapat terhadap unsur Munasabah dalam Al-Qur‟an, yang merupakan salah satu cabang Ilmu Al-Qur‟an. Banyak diantara mereka yang sependapat terhadap Ilmu Munasabah, walaupun disisi lain ada beberapa ulama yang bertentangan. Diantara ulama yang bertentangan antara lain; Mahmud Syaltut (w. 1963), Ma‟ruf Dualibi, dan Imam Asy-Syaukani (w. 1834 M), Asy-Syathibi (w. 790 H/1968 H).
Ma‟ruf Dualibi, mengataan,”Maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adAlah mencari-cari hubungan diantara ayat-ayat dan surah-surah
Al-Qur‟an. sebagaimana hAlnya adaikata urusan itu mengenai hak-hak dan
kewajiban misAlnya. Sebenarnya yang dicari itu hanyAlah hubungan atas
dasar uatu atau beberapa prinsip”. Hal ini diperjelas oleh Asy-Syathibi
dalam Kitab Al-Muwafaq, menyatakan bahwa Al-Qur‟an dalam berbagai ayat yang ditampilkan hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip
(mabda‟) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada
tempatya bila orang bersikeras memaksakan diri mencari korelasi antara ayat dengan ayat dan surah dengan surah yang bersifat tafshil. Dalam tafsirnya Fath Al-Qodir, mengkritik Al-Biqa‟i (w. 885 H) yang memperbanyak kajian Munasabah.4 Al-Syaukani juga mengatakan bahwa ilmu Munasabah adalah ilmu yang dipaksakan dan tidak pantas dimasukkan ke dalam kajian sastra arab. Apalagi dimasukkan ke dalam Al-Qur‟an yang mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Ilmu Munasabah termasuk ke dalam ilmu tasfsir bi
Al-ra‟yi, sedangkan penafsiran Al-Qur‟an dengan metode bi Al-ra‟yi tidak
3
Ibid.
4
diperbolehkan. Dengan kata lain, mencari-cari Munasabah adalah kegiatan yang menghabiskan waktu dan tidak menghasilkan manfaat.5
Sedangkan ulama yang peduli dan setuju terhadap unsur Munasabah dalam Al-Qur‟an antara lain:6
1. Al-Thabari (w. 310 H).
2. Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H). 3. Al-Razi (w. 606 H).
4. Al-Harrali Abu Al-Hasan (w. 637 H).
5. Al-Gharnathi, Ahmad bin Ibrahim Al-Zubair, Abu Ja‟far (w. 708 H) dalam kitab Al-Burhan fi Munasabat Tartib Al-Suwar Al-Qur‟an.
6. Al-Biqa‟i (w. 885 H) dalam kitab Nazhm Durar fi Tanasub Ayat wa Al-Suwar yag diringkas dalam kitab DilAlah Al-Burhan Al-Qawim „Ala Tanasub
Al-Qur‟an Al-Azhim.
7. Al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab Tanasuq Al-Darur fi Tanasub Al-Suwar yang diringkas dalam kitab Asrar Al-Tanziil dan kitabnya yang lain adalah Marashid Al-MathAli fi Tanasub Al-Maqashid wa Al-MathAli‟.
8. Syekh Sajaqli Zadah Al-Mursyi (w. 115 H), pengarang kitab Nahr Al-Najat fi Bayan Munasabat Umm Al-Kitab.
Mereka menganggap bahwa dengan mengetahui Munasabah akan sangat membantu dalam memahami kandungan Al-Qur‟an. Al-Biqa‟i menukil dari gurunya tentang kegunaan ilmu Munasabah, sebagai berikut:
Secara globAl, untuk mengetahui ilmu Munasabah pada Al-Qur‟an
adAlah engkau melihat terlebih dahulu tujuan umum dari satu surah,
kemudian engkau perhatikan unsur-unsur yang terlihat dalam
menggolongkan tujuan umum tersebut dengan dilihat dari kedekatan dan unsur-unsur tersebut. Jika engkau telah melakukannya, engkau akan
5
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. xv.
6
mengetahui susunan dan urutan satu ayat. Oleh karena itu, ilmu Munasabah
adAlah ilmu yang sangat baik. Hubungan antara ilmu ini dan ilmu tafsir
bagaikan hubungan antara ilmu bAlaghah dan ilmu nahwu.7
Karena dilandasi adanya perbedaan pendapat di atas, penulis tertantang dan termotivasi untuk mengkaji teori Munasabah sekaligus penerapannya dalam penafsiran Al-Qur‟an. Kali ini penulis akan menela‟ah surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah kaitannya dengan ilmu Munasabah. Karena M. Quraish Shihab juga merupakan salah satu ulama
tafsir kontemporer yang setuju terhadap unsur Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an. Di sini penulis juga ingin meneliti sejauh mana validitas atau ketepatan M. Quraish Shihab dalam menerapkan ilmu Munasabah dalam kitab tafsirnya. Sehingga nantinya tahu seberapa besar manfaat unsur Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an, yang nantinya berdampak pada
kemudahan umat manusia dalam memahami makna dan kandungan
Al-Qur‟an. Untuk mencapai hasil yang maksimal, akan disisipi beberapa kitab
tafsir sebagai pembanding. Selain itu pengambilan surah Ar-Rahman, dikarenakan di dalam surah itu ada ayat yang terulang sejumlah 31 kali, tentu ini berpengaruh terhadap penerapan unsur Munasabah Al-Qur‟an.
B. Rumusan Masalah
Mengacu dari uraian di atas, maka selanjutnya penulis merumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, antara lain:
7
1. Bagaimana definisi Munasabah dan kedudukannya dalam Ilmu
Al-Qur‟an?
2. Bagaimana ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah?
3. Bagaimana penerapan Munasabah antarayat surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah?
4. Bagaimana penerapan Munasabah, antara surah Ar-Rahman dengan surah sebelum dan sesudahnya?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat ditetapkan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut:
Untuk mengetahui ragam Munasabah surah dalam Tafsir Al-Mishbah.
1. Untuk mengetahui definisi Munasabah dan kedudukannya dalam Ilmu
Al-Qur‟an.
2. Untuk mengetahui ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah. 3. Untuk mengetahui penerapan Munasabah ayat, surah Ar-Rahman dalam
Tafsir Al-Mishbah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap Ilmu Munasabah, yang kemudian bisa dikembangkan para mufassir di kalangan akademik maupun non akademik.
b. Menambah khasanah tentang Munasabah dalam surah Ar-Rahman. c. Bagi para calon Sarjana dalam bidang Al-Qur‟an, bisa sebagai wacana
dan referensi dalam penulisan Karya Ilmiah di masa mendatang dan dikembangkan dalam dunia akademik.
d. Bagi masyarakat muslim secara umum, bisa sebagai ilmu dan wacana yang bisa dikembangkan dalam majelis-majelis Al-Qur‟an.
2. Manfaat Praktis
Memberikan peran positif, sebagai pertimbangan dalam berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat digunakan sebagai berikut:
a. Bermanfaat bagi civitas akademika dan sekitarnya untuk menerapkan segala perintah dan larangan serta peringatan Allah Swt dalam surah Ar-Rahman di kehidupan sehari-sehari.
c. Masyarakat menjadi tahu serta paham, bahwa dalam mempelajari
Al-Qur‟an ada sisi terkecil dan bahkan sering terabaikan, tapi begitu besar
manfaatnya, yaitu Ilmu Munasabah.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian ini, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain:
1. Kajian adalah menyelidiki atau meneliti sesuatu dengan proses tahapan mengetahui, memahami, dan menyimpulkan secara objektif dan kritis. 2. Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang
saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.
3. Munasabah secara bahasa, berasal dari bahasa arab dari kata (ةبسانم- بساني
sebagian saja.8 Atau َوُجَّسىا )ًةَثْسِو – ًاثَسَو – ُةُسْىَي – َةَسَو) yang berarti
Munasabah secara istilah adalah adanya kecocokan, kepantasan,
dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah, atau Munasabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam
Al-Qur‟an, baik pada surah maupun pada ayat-ayatnya yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lain.11
4. Penafsiran asli katanya tafsir, secara etimologi berasal dari kata Al-fasru yang artinya menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedaangkan menurut istilah, yaitu menjelaskan makna-makna Al-Qur‟an Al-Karim.12
5. Al-Qur‟an secara etimologi adalah masdar dari qara‟a yang berarti tAla
(membaca) atau jama‟a (mengumpulkan). Masdar qara‟a untuk tAla bermakna isim maf‟ul (obyek) yang artinya bacaan. Adapun untuk kata
jama‟a bermakna isim fa‟il (subyek) artinya yang mengumpulkan, karena
dalam al-Qur‟an terkumpul berbagai berita dan hukum.13 Jadi Al-Qur‟an menurut bahasa dapat berarti himpunan, kumpulan, dan bacaan.14
Al-Qur‟an menurut istilah adalah, antara lain:
- Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. - Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW.
- Dinukilkan secara mutawatir. - Membacanya bernilai ibadah.
8
Budiharjo, Pembahasan Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Yogyakarta: Lokus, 2012), hlm. 39.
9
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah,
2007), Hlm. 449.
10
A.w. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit
Pustaka Progressif, 1404H/1984M), hlm. 1509.
11
Ibid.
12
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan
Dasar-dasar Mempelajari Ilmu Tafsir, (Solo: Al-Qowam, 2014), hlm. 40.
13
Ibid., hlm. 5.
14
- Tertulis dalam mushaf, diawali dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah Al-Nas.15
6. Tela‟ah, kata tela‟ah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
artinya menyelidiki, meneliti, mengakaji, menilik, memeriksa.
7. Surah adalah kumpulan dari beberapa ayat sebagaimana termaktub dalam
standar Mushaf Utsmani.
8. Ar-Rahman adalah salah satu surah dalam Al-Qur‟an yang memiliki makna Maha Pengasih. Ar-Rahman adalah salah satu Asma‟ul Husna yang dimiliki Allah Swt. Surah Ar-Rahman merupakan surah madaniyah, surah ke 55, juz ke 27, dan terdiri dari 78 ayat.
9. Al-Mishbah adalah nama kitab tafsir karya M. Quraish Shihab.
F. Fokus Penelitian
Munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an penting untuk dikaji dalam berbagai sudut pandang dan teori. Meskipun tidak semua ulama sepakat adanya munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an. Maka dengan ini penulis mencoba memisahkan dan mengkodifikasikan mana ulama yang setuju dan tidak beserta alasannya. Salah satu yang sepakat dengan adanya munasabah dalam penafsiran Al-Qur‟an, adalah M. Quraish Shihab. Secara umum kitab Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab memiliki dua ragam Munasabah.
Pertama, Munasabah ayat yang ditelisik melalui enam spesifikasi, yaitu
Munasabah antara ayat dan ayat dalam satu surah, antara satu ayat dan
fashilah (penutupnya), antara kalimat dan kalimat dalam ayat, antara kata
15
dalam satu ayat, antara kalimat dalam satu ayat, serta ayat pertama dan ayat terakhir, dalam satu surah. Kedua, Munasabah surah yang ditelisik melalui delapan spesifikasi, yaitu Munasabah antara surah dan surah sebelumnya, antara awal surah dan akhir uaraian surah, antara awal surah dan akhir surah sebelumnya, antara tema surah dan nama surah, antara penutup surah dan uraian awal surah berikutnya, antara kisah satu dan kisah lainnya dalam satu surah, antara surah satu dan surah lainnya, serta antara fawatih Al-suwar
(Pembuka Surah) dan isi surah. Penelitian ini difokuskan pada tela‟ah dan
analisis munasabah surah Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah.
G. Penelitian Terdahulu
Dari sekian banyak ulama maupun para ahli di bidang „Ulumul
Qur‟an wa Tafsir hanya Hasani Ahmad Said dalam bukunya yang berjudul
Diskursus Munasabah dalam Tafir Al-Mishbah. Karya beliau relevan dengan
H. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk sampai pada tujuan penelitian, teknik tersebut meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong penelitian Pustaka (library research). Karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka.
Dimana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang relevan dengan judul yang penulis angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:
a. Data yang bersumber dari teks Surah Ar-Rahman dalam Al-Qur‟an dan Surah Ar-Rahman dalam Kitab Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, atau disebut sebagai data primer (utama).
b. Data yang bersumber dari buku-buku atau karya tulis lainnya yang berkaitan dengan pembahasan judul yang penulis angkat, sebagai data pendukung dan pelengkap serta memperjelas sumber data primer, atau disebut sebagai data sekunder (kedua/pendukung).
2. Pendekatan Penelitian
Untuk mendapatkan data dan hasil yang maksimal dan tepat, maka penelitian ini dikaji menggunakan pendekatan ilmu Munasabah dan sejarah, yang kemudian dikaitkan dengan tema-tema kontekstual.
3. Teknik pengumpulan data
data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkip, surah kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, jurnal, dan sebagainya.
Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara
membaca, menela‟ah, dan mengkaji kitab-kitab tafsir, terutama tafsir surah
Ar-Rahman dalam kitab Tafsir Al-Mishbah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan tema pembahasan. Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan pengetahuan dan konsep Munasabah dalam penafsiran surah Ar-Rahman perspektif Tafsir Al-Mishbah.
4. Metode analisis
Karena penelitian ini jenis penelitian kuAlitatif literature, maka metode analisis yang penulis gunakan adalah metode Analisis Isi (content anAlysis).
I. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini ditulis secara anAlitis-narasi, dan sistematika dalam penyusunannya sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Pada bab ini akan dikemukakan tentang; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Al-Qur‟an dari klasik hingga pramodern, Munasabah dalam tinjauan Ilmuwan
Al-Qur‟an kontemporer, menyoal Munasabah: respons terhadap kritik Ilmuwan Barat dan Orientalis.
Bab III: Bentuk Munasabah Al-Qur‟an surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah. Pada bab ini dijabarkan tentang; metode menyingkap
Munasabah Al-Qur‟an, urgensi, fungsi, dan kegunaan memahami ilmu
Munasabah serta upaya pengembangannya, karakteristik Munasabah dan
jenis-jenisnya dalam Tafsir Al-Mishbah, analisis perbandingan terhadap pola dan pendekatan, ragam kajian Munasabah dalam Tafsir Al-Mishbah.
Bab IV: Penerapan dan tela‟ah Munasabah surah Ar-Rahman dalam
Tafsir Al-Mishbah. Pertama, Munasabah ayat meliputi: Munasabah antarayat
dalam satu surah, Munasabah antara kelompok ayat dalam surah, Munasabah antara ayat dan penutupnya (fashilah), Munasabah antarkalimat dalam ayat, Munasabah antarkata dalam satu ayat. Kedua, Munasabah surah meliputi:
Munasabah antara Fawatih Al-Suwar (Pembuka Surah) dan akhir surah (Penutup Surah), Munasabah antara tema surah dan nama surah, Munasabah antara fawatih al-suwar dan isi surah, Munasabah antara awal surah dan penutup surah sebelumnya, Munasabah antara suatu surah dan surah sebelumnya, Munasabah antara suatu surah dan surah setelahnya, Munasabah antara awal surah dan akhir surah.
BAB II
PERAN MUNASABAH SEBAGAI
INSTRUMEN PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Munasabah dalam Al-Qur’an
1. Pengertian Munasabah
Secara etimologis Al-Munasabah (ةثساىمىا) berasal dari mashdar an-nasabu (ةسىىا) berarti Al-qarabah (ةتاسقىا). Orang Arab mengatakan fulan yunasibu fulanan, fahuwa nasibuhu maksudnya qaribuhu. Kata qaraba
sendiri berarti dekat. Orang yang berasal dari nasab yang sama disebut qarabah (kerabat) Karena kedekatannya. Dari kata nasab itulah dibentuk
menjadi Al-Munasabah (ةثساىمىا) dalam arti Al-Muqarabah (ةتزاقمىا), kedekatan satu sama lain. oleh sebab itu Al-Munasabah adalah sesuatu yang masuk akal, jika dikemukakan kepada akal diterima. Mencari kedekatan antara dua hal adalah mencari hubungan atau kaitan antara keduanya seperti hubungan sebab akibat, persamaan, perbedaan, dan hubungan-hubungan lain yang bisa ditemukan antara dua hal.16
Secara terminologis yang dimaksud dengan Munasabah adalah menyesuaikan dan mencari kedekatan, hubungan, kaitan, antara satu ayat atau kelompok ayat dengan ayat atau kelompok ayat yang berdekatan, baik dengan yang sebelumnya maupun sesudahnya. Termasuk mencari kaitan antara ayat yang berada pada akhir sebuah surah dengan ayat yang berada pada awal surah berikutnya atau antara satu surah dengan surah sesudahnya atau sebelumnya. Secara sederhana Manna‟ al-Qaththan mendefinisikan, Munasabah adAlah bentuk hubungan antara satu kAlimat
16
dengan kAlimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat dengan ayat
lain dalam satu kelompok ayat, antara satu surah dengan surah lain.17
Kajian tentang Munasabah berawal dari kenyataan bahwa sistematika urutan ayat-ayat atau surah-surah Al-Qur‟an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Meskipun demikian, setiap kali ayat turun, Nabi memberi tahu tempat ayat-ayat itu dari segi sistematika urutannya dengan ayat-ayat atau surah-surah yang lainnya sambil memerintah sahabatnya untuk menulisnya. Dalam Al-Qur‟an, ada beberapa indikasi yang mempunyai sinyal kuat yang menunjukkan bahwa Al-Qur‟an adalah satu kesatuan yang memiliki keserasian (Munasabah), yaitu pada (QS. Al-Nisa‟ (4) : 82), (QS. Hud (11) : 1), (QS. Al-Zumar (39) : 23).
Menurut Al-Qurthubi, Surah Al-Nisa‟ ayat 82 tersebut menjelaskan bahwa salah satu mukjizat Al-Qur‟an adalah tidak ada pertentangan sedikit pun dari sisi hubungan antara ayat-ayat dan surah-surahnya. Rifa‟ah Fauzi (w. 1873) juga mengatakan bahwa Al-Qur‟an memiliki kemukjizatan berupa hubungan antara bagian-bagiannya. Surah bertalian dengan surah sebelum ataupun sesudahnya, ayat bertalian dengan ayat sebelum ataupun ayat sesudahnya, serta ada keterkaitan makna dan tema, sehingga terjadi penyempurnaan. Semua itu terjadi lebih dari satu tema, dalam satu ayat atau satu surah, seperti tergambar dalam surah Al-Nisa‟ di atas.18
Al-Zamakhsyari (w. 538 H) memberikan penjelasan mengenai Surah Hud ayat 1 dengan mengumpamakan Al-Qur‟an susunannya laksana sebuah bangunan yang kokoh. Sementara itu Surah Al-Zumar ayat 23 dipahami bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dibandingkan dengan
17
Ibid., hlm. 208.
18
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
Al-Qur‟an. dalam hal ini, Al-Zarkasyi (w. 1985 M) berkata,”sAlah satu ciri perkataan yang baik adAlah adanya hubungan antara satu bagian dan
bagian lain sehingga tidak ada kAlimat yang terbuang”.19
Az-Zarkasyi memberi contoh Munasabah antara pembukaan suatu surah dengan akhir surah sebelumnya. Misalnya surah Al-An‟am dimulai dengan َضْزَلأْاَو ِتاَواَمَّسىا َقَيَخ يِرَّىا ِلله ُدْمَحْىا(SegAla puji bagi Allah yang telah petunjuk bagi mereka yang bertaqwa) menunjuk kepada ash-shirath pada surah Al-Fatihah َميِقَتْسُمْىا َطاَسِّصىااَوِدْها (Tunjukilah kami jAlan yang lurus) seolah-olah tatkala mereka meminta diberi petunjuk jalan yang lurus, langsung dijawab, petunjuk menuju jalan yang lurus seperti yang kamu minta itu adalah Al-Kitab (Al-Qur‟an ).20 Contoh lain dalam (QS. Al-Baqarah (2) : 195). Bahwa Apakah ada kaitan langsung antara perintah berinfak (Dan belanjakanlah harta bendamu di jAlan Allah) dengan larangan membinasakan diri (dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan), atau masing-masing bagian dari ayat
dijajah, sekalipun tidak lagi dalam bentuk penjajahan fisik, tapi ekonomi, politik, dan budaya. Hal itu berarti umat islam yang tidak mau berinfak sengaja menghancurkan diri mereka sendiri.21
Maka bukan termasuk Munasabah apabila yang dicari adalah hubungan antara satu ayat dengan ayat lain yang tidak berdekatan, karena hal itu masuk kategori tafsir Al-ayah bi Al-ayah seperti surah Al-An‟am ayat 82 ditafsirkan oleh Surah Luqman ayat 13. Tatkala mendengar Surah Al-An‟am 82, sebagian sahabat merasa berat dan tidak sanggup menjadi orang yang beriman, karena siapakah diantara mereka yang tidak pernah melakukan kezaliman, paling tidak atas dirinya sendiri. Lalu Nabi menjelaskan bahwa kezaliman yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukanlah seperti yang dipahami mereka, tetapi seperti yang dimaksudkan oleh hamba Allah yang soleh yaitu Luqman,” sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adAlah benar-benar kezAliman yang besar”. Demikianlah penjelasan Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan lain melalui sahabat Nabi Abdullah ibn
Mas‟ud.22
Jadi secara garis besar Munasabah didapat atau ditemukan dengan cara penalaran saja, bukan dengan periwayatan. Dengan demikian diterima atau tidaknya penalaran tersebut tergantung tingkat logikanya, semakin logis tentu akan semakin dapat diterima. Ada ayat-ayat yang mudah dipahami hubungannya satu sama lain, tetapi tidak sedikit pula yang perlu pendalaman, sehingga baru tampak Munasabahnya. Bagi sebagian orang, bisa saja antara satu ayat dengan ayat lain atau antara satu kelompok dengan kelompok ayat yang lain atau antara satu kelompok ayat dengan
21
Ilyas, Yunahar, Cakrawala Al-Qur‟an Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek kehidupan
(Yogyakarta: Itqan Publishing, 2011), hlm. 200.
22
kelompok ayat yang berdekatan tidak ada hubungannya sama sekali, tetapi bagi ulama yang mendalaminya akan melihat hubungannya.
1. Macam-Macam Munasabah
a. Munasabah antara Satu kalimat dengan Kalimat Sebelumnya dalam
Satu Ayat
Munasabah jenis ini mencari hubungan atau kaitan antara satu
kalimat sebelumnya dalam satu ayat. Contohnya bisa dilihat pada contoh Munasabah di penjelasan sebelumnya dalam QS. Al-Baqarah (2) : 195.23
b. Munasabah antara Satu Ayat dengan Ayat Sesudahnya
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu ayat dengan
ayat sesudahnya. Misalnya hubungan antara Surah Al-Isra‟ ayat 1 dan 2. Apa hubungan antara peristiwa Isra‟ Nabi Muhammad SAW yang disebutkan pada ayat pertama dengan berikutnya Kitab Taurah kepada Nabi Musa AS pada ayat yang kedua? Menurut M. Quraish Shihab, ayat pertama menyebutkan anugerah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang mengisra‟kan beliau dari Mesir ke negeri yang diberkahi pula, yaitu Palestina tetapi memakan waktu yang lama. Penyebutan Nabi Musa juga mempunyai kaitan yang sangat jelas
dengan peristiwa Isra‟ Mi‟raj, karena beliau yang berulang-ulang mengusulkan agar Nabi Muhammad SAW memohon keringanan atas kewajiban sholat 50 kali sehari semalam.24
c. Munasabah antara Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat
Sebelumnya
23
Ibid.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara satu kelompok
ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Misalnya Surah Al-Baqarah ayat 1-20 tentang beberapa kategori manusia ditinjau dari segi keimanannya. Ayat 1-5 berbicara tentang orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang memadukan dalam diri mereka aspek Iman, Islam, dan Ihsan. Ayat berikutnya 6-7 berbicara tentang orang-orang kafir, yaitu orang yang lahir batin mengingkari Allah SWT. Ayat selanjutnya 8-20 berbicara tentang orang-orang munafiq, yang di luar mengaku beriman, tetapi di dalam mengingkari Allah SWT.25
d. Munasabah antara Awal Surah dengan Akhir Surah Sebelumnya
Surah Al-Hadid dengan akhir Surah Al-Waqi‟ah. Allah berfirman: Munasabah jenis ini mencari hubungan antara awal surah dengan akhir surah sebelumnya, misalnya (QS. Waqi‟ah (56) : 96) dengan (QS. Al-Hadid (57) : 1).
Surah Al-Waqi‟ah pada bagian awal lalu menguraikan tentang kepastian kiamat dan pembagian manusia menjadi tiga golongan yang disertai balasannya. Selanjutnya, surah ini ditutup dengan menyatakan kesungguhan Al-haq Al-yaqin, yaitu keyakinan yang disertai hak atau keyakinan yang sangat benar. Dengan demikian, maka bertasbihlah, yaitu tingkatkan upayamu dengan mensucikan diri (menyebut) nama Tuhanmu sebagai pemelihara dan pembimbingmu Yang Maha Besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa uraian penutup surah sangat serasi dengan uraian awalnya.
25
e. Munasabah antara Satu Surah dengan Surah lainnya
Munasabah jenis ini mencari hubungan antara nama satu surah
dengan nama surah sebelum dan sesudahnya, hubungan antara kandungan satu surah dengan surah berikutnya, hubungan antara akhir surah dengan awal surah berikutnya. Salah satu contohnya adalah Munasabah antara Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah dari segi
nama. Di antara isi penting Surah Al-Fatihah adalah tentang Tauhid, baik dari segi rububiyah, mulkiyah maupun ilahiyah-Nya. Dengan doktrin Tauhid, seseorang dilarang menuhankan apa dan siapa pun selain Allah SWT termasuk menuhankan Al-Baqarah sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil di bawah inisiatif as-Samiri. Guna melakukan pembinaan dan mempertahankan tauhid secara konsekuen diperlukan pembinaan dalam keluarga. Dan salah satu keluarga yang menjadi teladan adalah keluarga „imran (Ali Imran). Salah satu sebab penting keberhasilan sebuah keluarga adalah peran kaum perempuan
(An-Nisa‟) terutama Ibu. Sebuah keluarga tentu memerlukan kecukupan
ekonomi terutama untuk makan dan minum. Makanan dan minuman yang dibutuhkan tentu saja makanan yang halal lagi baik dan bergizi seperti diisyaratkan dalam Surah Al-Ma‟idah yang berarti hidangan makanan.26
2. Bentuk-bentuk Munasabah a. Zhahir Al-Irtibath
Adakalanya hubungan antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya atau satu ayat dengan ayat berikutnya tampak nyata. Adakalanya kalimat atau ayat yang kedua bisa berupa ta‟kid (penegasan), tafsir (penjelasan), i‟tiradh (bantahan), atau tasydid (penekanan) terhadap kalimat atau ayat yang pertama. Satu bagian ayat tergantung dengan bagian sebelumnya, tidak bisa dipisahkan, satu ayat tergantung dengan ayat sesudahnya, juga tidak bisa dipisahkan.
26
Kalau dipisahkan maknanya menjadi tidak sempurna, bahkan bisa menimbulkan pemahaman yang keliru.27 Misalnya ayat 4 surah
Al-Ma‟un:
b. Khafiy Al-Irtibath
Adakalanya hubungan antara suatu kalimat dengan kalimat berikutnya atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak tampak nyata. Masing-masing berdiri sendiri, tidak tergantung dengan kalimat atau ayat sesudahnya. Kesempurnaan makna kalimat pertama atau ayat pertama tidak tergantung dengan kalimat atau ayat berikutnya. Kalau dipisahkan maknanya tetap sempurna. Irtibath jenis ini hanya dapat diketahui setelah dikaji dan didalami dengan baik. Ada dua bentuk irtibath yang tidak tampak ini. Pertama, Irtibath Ma‟thufah, dan kedua, Irtibath Ghairu Ma‟thufah, masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Irtibath Ma‟thufah
Irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat menggunakan huruf „athaf. Bagian kedua bisa berupa nazhir (bandingan) dan syarik (mitra) dari bagian sebelumnya dan bisa juga berupa Al-Madhahah (lawan katanya). Untuk nazhir (bandingan) dan syarik (mitra). Seperti dalam Al-Qur‟an surat. Al-Hadid (57) ayat 4. Kata kerja جيي (masuk) dalam ayat ayat tersebut adalah bandingan atau nazir dari kata kerja جسخي (keluar). Begitu juga kata kerja هزىي (turun) adalah bandingan dari kata kerja جسعي (naik). Tampak dalam ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya; dan kaitan antara apa yang turun dari langit
27
dan apa yang naik kepada-Nya, sehingga kalimatnya menjadi sangat serasi.28
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,
pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jAlan Allah),
maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembAlikan.
(QS. Al-Baqarah (2) : 245)
Kata kerja طثقي (menyempitkan) dalam ayat di atas adalah bandingan atau nazir dari kata kerja طصثي (melapangkan). Tanpak dalam ayat di atas bagaimana kaitan antara kalimat Allah menyempitkan dengan kalimat melapangkan (rezki). Sehingga kalimatnya menjadi sangat serasi.29
Sedangkan untuk Al-Madhahah (lawan katanya) dapat dilihat contohnya pada ayat-ayat yang menyebut rahmah setelah azab, raghbah (dorongan melakukan sesuatu) setelah ruhbah (ancaman untuk tidak melakukan sesuatu). Sudah menjadi kebiasaan Al-Qur‟an, setelah menyebut hukum tertentu Al-Qur‟an menyebut sesudahnya janji pahala dan ancaman dosa agar menjadi pendorong untuk melaksanakan hukum yang disebutkan sebelumnya. Kemudian menyebut ayat-ayat tauhid (mengesakan Allah SWT) agar manusia mengetahui keagungan Allah Yang Maha Memerintah dan Maha Melarang. Contoh-contoh Munasabah jenis ini banyak terdapat dalam surah Al-Baqarah,
dan 14. Ada juga jenis irtibath ma‟thufah yang lebih sulit diketahui kecuali dengan melakukan penelitian lebih mendalam.31
2) Irtibath Ghairu Ma‟thufah
Jika irtibath antara satu bagian dengan bagian lain dari ayat atau antara satu ayat dengan ayat berikutnya tidak menggunakan huruf „athaf maka dalam hal ini untuk mencari Munasabahnya harus dicari qarain maknawiyah, petunjuk-petunjuk yang didapat dari pengertian maknanya. Petunjuk-petunjuk maknawiyah yang bisa digunakan antara lain adalah:
a) At-Tanzir
Dicari bandingan (nazhir) antara satu ayat dengan ayat lainnya, misalnya dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 5. Ayat ini menjelaskan bagaimana para sahabat pasukan perang Badar berselisih pendapat tentang pembagian harta rampasan perang. Kemudian pembagian harta harta rampasan perang itu diserahkan kepada Rasulullah SAW sekalipun mereka tidak menyukainya. Allah SWT menyuruh mereka bertaqwa dan memperbaiki hubungan sesama mereka serta taat kepada Allah SWT jika mereka benar-benar beriman. Lalu dijelaskan sifat-sifat orang beriman dalam QS. Al-Anfal (8) ayat 4. Bahwa keadaan itu, yaitu ketidaksukaan mereka tatkala pembagian harta rampasan perang itu diserahkn kepada Rasulullah SAW sama dengan ketidaksukaan sebagian meraka waktu Allah memerintahkan kepada Nabi untuk keluar dari rumah beliau memimpin pasukan untuk menceah kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan.32
31
Ibid., hlm. 220.
32
b) Al-Madhadhah
Petunjuk makna lain yang dapat digunakan untuk mencari Munasabah antara ayat yang tidak ada huruf
„athafnya adalah dengan mencari sisi lawannya. Contohnya ayat 6 Surah Al-Baqarah. Di awal surah disebutkan tentang Kitab Suci Al-Qur‟an, dan sikap orang-orang beriman yang mendapat petunjuk dari Allah SWT. Setelah itu dijelaskan sikap yang berlawanan, yaitu sikap orang-orang yang kafir yang mengingkarinya.33
c) Al-Istidhrad
Kaitan antara satu ayat dengan ayat sebelumnya dapat dilihat dari sisi istithrad, seperti QS. Al-A‟araf (7) : 26.
Ayat ini merupakan penjelasan lebih lanjut (istithrad) dari ayat sebelumnya. Bahwa diceritakan bagaimana Adam dan Hawa setelah tergoda oleh Syaithan terbuka aurat keduanya, lalu berusaha menutupinya dengan daun-daun surga. Dalam ayat 26 ini dijelaskan tiga fungsi pakaian yaitu untuk menutup aurat, untuk perhiasan, dan untuk menunjukkan ketaqwaan.
d) At-TakhAllush
Mirip dengan istithrad adalah takhAllush, yaitu perpindahan dari pembicaraan semula kepada pembicaraan lain tanpa dirasakan oleh pembaca, karena begitu dekatnya isi pembicaraan kedua dengan yang pertama. Menurut
33
Zamakhsyari dalam buku Kuliah Ulumul Qur‟an karya Yunahar Ilyas, bahwa contoh yang paling baik untuk takhAllush adalah surah An-Nur ayat 35.
Ada 5 takhAllush dalam ayat ini. Setelah menjelaskan sifat cahaya (nur) dan perumpamaanya, lalau berpindah kepada pembicaraan tentang kaca (zujazah) dan sifatnya, kemudian kembali pembicaraan tentang cahaya dan minyak yang membuatnya menyala, kemudian berpindah kepada pembicaraan tentang pohon (syajarah), kemudian berpindah lagi kepada pembicaraan tentang sifat minyak (zait), kemudian berpindah lagi kepada sifat cahaya (nur) yang berlipat ganda, kemudian berpindah kepada pembicaraan tentang nikmat-nikmat Allah SWT berupa petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.34
B. Melacak Tradisi Awal Munasabah
Diakui secara umum bahwa susunan ayat dan surah dalam Al-Qur‟an memiliki keunikan yang luar biasa. Sesungguhnya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dalam subjek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang Maha Tahu, karena Dia sebagai pemilik kitab tersebut. Jika seseorang bertindak sebagai editor yang menyusun kembali kata-kata buku orang lain dan mengubah urutan kalimat, tentu akan mudah mempengaruhi seluruh isinya. Oleh sebab itu, hasil akhir tidak dapat diberikan kepada pengarang kerena hanya sang pencipta yang berhak mengubah kata-kata dan materi guna menjaga hak-haknya. Demikian ungkapan M. Al-Azhami.35
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, bahwa tertib Al-Qur‟an adalah membaca al-Qur‟an dengan berurutan disetiap bagiannya sesuai dengan yang
34
Ibid., hlm. 224.
35
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
tertulis di mushaf-mushaf dan dihafal di dada dan para penghafalnya. Menurutnya tertib al-Qur‟an dibagi menjadi 3, yaitu tertib kata, ayat, dan surah.36
1. Tertib kata, yaitu setiap kata dalam ayat diletakkan pada tempatnya. Hal ini berdasarkan nash dan ijmak. Kami tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat tentang wajib tertib kata ini dan haram menyelisihinya. Sehingga
Alhamdu lillahi rabbil „Alamin tidak boleh dibaca lillahil hamdu rabbil
„Alamin.
2. Tertib ayat, yaitu setiap ayat diletakkan pada tempatnya di dalam surah. Hal ini berdasarkan nash dan ijmak. Menurut pendapat yang rajah hukum tertib ayat ini wajib dan haram menyelisihinya. Sehingga arrahmanirrahim mAliki yaumid din tidak boleh dibaca mAliki yaumid din
arrahmanirrahim.
3. Tertib surah, yaitu setiap surah diletakkan pada tempatnya di dalam mushaf. Ini berdasarkan hasil ijtihad maka hukumnya tidak wajib.
Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur‟an terdiri dari susunan ayat dan surah. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat dan surahnya di-tartib-kan sesuai dengan yang terdapat di lauh mahfuzh, sehingga tampak adanya persesuaian antara yang satu dan yang lainnya.
Menurut Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani (seorang pakar ilmu Al-Qur‟an dari Mekah) dalam buku Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah karya Hasani Ahmad Said, bahwa berkenaan dengan ayat dan surah dalam Al-Qur‟an, kesesuaian (Munasabah) merupakan kaitan makna yang menghubungkan kedekatan hubungan dan kedekatan bentuk, baik kaitan umum maupun khusus diantara ayat-ayat yang rasional
36
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih, Ushulun Fit Tafsir; Pengantar dan
(„aqli), fisik (hissi), dan imajinatif (khayAli) tanpa mengupas lafal-lafal menurut makna peristilahan bahasa ataupun pemikiran filosofis. Sebagian besar kaitannya berkisar sebab dan akibat (musabbab), sifat dan yang disifati („illah wa ma‟lul), antara dua hal yang mirip (an-nazhirain), serta berhadapan sebagai lawan (adhiddad). Misalnya, menyebut rahmat lawan dari azab, menerangkan surga dan neraka, mengarahkan hatu nurani setelah membangkitkan akal pikiran, dan memberikan peringatan setelah mengutarakan ketentuan hukum. Ketentuan fitrah logika mempunyai daya tangkap yang tajam dan lembut untuk dapat mengetahui persesuaian antara ayat-ayat. Oleh sebab itu, segi-segi yang samar dan memerlukan penjelasan tidak banyak lagi, kecuali kaitan yang ada dalam surah-surah.37
Satu di antara cabang dari „Ulum Al-Qur‟an yang membahas persesuaian itu adalah ilmu Munasabah. Timbulnya ilmu Munasabah ini bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah Al-Qur‟an sebagaimana yang terdapat dalam mushaf sekarang (Mushaf Utsmani atau yang lebih dikenAl dengan mushaf Il-Imam), tidak didasarkan
fakta kronologis. Bahwa turunnya ayat atau surah Al-Qur‟an tidak diawali dengan surah Al-Fatihah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari surah Al-„Alaq. Selanjutnya, surah yang kedua turun adalah Surah Al-Muddatsir, sementara Surah kedua dalam mushaf yang sekarang digunakan adalah Surah Al-Baqarah. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan kajian Munasabah dalam konteks „ulumul Qur‟an.38
Menurut Al-Syarahbani, sebagaimana dikutip Al-Suyuthi bahwa orang yang pertama mengenalkan studi Munasabah dalam menafsirkan
kali Al-Naisaburi duduk di atas kursi, apabila dibacakan Al-Qur‟an kepadanya, ia berkata, mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia diletakkan di samping surah ini? jadi beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.39
An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam tafsir waktu itu. Ia mempunyai kemampuan untuk menyingkap kesesuaian, baik antara ayat maupun atar surah, terlepas dari segi tepat atau tidaknya serta sisi pro dan kontra terhadap apa yang ia cetuskan. Satu hal yang jelas, ia dianggap sebagai penggagas ilmu Munasabah. Secara khusus Amir Faishal Fath memetakan abad, tokoh, dan karya-karya yang membuktikan adanya Munasabah, keterkaitan, kedekatan, kesatuan Al-Qur‟an yang komprehensif sebagaimana berikut:40
Abad Tokoh Karya
II Ma‟mar bin Al-Mutsanna Majaz Al-Qur‟an
Al-Farra‟ (w. 207 H) Ma‟an Al-Qur‟an
III Al-Jahiz (w. 255 H)
- Nazhm Al-Qur‟an
- Bayan wa
Al-Tibyan
Ibnu Qutaibah (w. 276 H) Ta‟wil Musykil
Al-Qur‟an
IV Al-Rummani (w. 386 H) Al-Nukah fi I‟jaz
Al-Qur‟an
Al-Kaththabi Bayan I‟jaz Al-Qur‟an V Al-Baqilani (w. 403 H/1013 M) I‟jaz Al-Qur‟an
39
Ibid., hlm. 28.
40
Al-Jurjani (w. 471 H)
VI Ibnu Athiyah (w. 545 H) Al-Mihrar Al-Wajiz
Qadhi Iyadh (w. 544) Al-Syifa‟ bi Ta‟rif
Al-Hakim
Mahmud Syaltut (w. 1963 H) Ila Al-Qur‟an Al-Karim
XV Sa‟id Hawwa Al-Asas fi Al-Tafsir
Dalam perkembangannya, Munasabah meningkat menjadi salah satu disiplin dari ilmu Al-Qur‟an. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun Munasabah secara khusus. Diantara kitab yang khusus dan berbicara tentang
Munasabah adalah Al-Burhan fi Munasabah Tartib Al-Qur‟an susunan Ibnu
bin Ahmad bin Ibrahim Al-Andalusi (w. 807 H). Menurut pengarang Tafsir An-Nur, penulisan yang paling baik mengupas masalah Munasabah adalah
Burhanuddin Al-Biqa‟i dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Al-Adurar fi Tanasub Al-„Ayat wa Al-Suwar.41
Dalam wacana kitab-kitab induk (ummahat Al-kutub) dalam kajian
„Ulum Al-Qur‟an. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi „Ulum
Al-Qur‟an membahas satu bab khusus yang diberi judul Fi Munasabah
Al-Ayat sebelum membahas kajian tentang ayat-ayat mutasyabihat. Muhammad
Badruddin Al-Zarkasyi mengkaji soal Munasabah dalam kitab Al-Burhan fi
„Ulum Al-Qur‟an dalam satu bahasan khusus yang bertajuk ma‟rifah
Al-Munasabah bain Al-ayat. Kajian Munasabah ini ditulis setelah membahas
asbab Al-nuzul. Subhi al-Shalih dalam Kitab Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an
memasukkan pembahasan Munasabah ke dalam bagian ilmu asbab Al-nuzul, tidak ke dalam satu subbab kajian tersendiri. Manna‟ Al-qathan dalam kitab Mabahits fi „Ulum Al-Qur‟an yang menulis lebih awal ketimbang Subhi Al-Shalih tetap menempatkan Munasabah dalam bahasan tersendiri yang ia masukkan ke dalam bab asbab Al-nuzul. Sebaliknya, Sa‟id Ramadhan
41
Ashshiddieqy, Muhammad Hasbi, Tengku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan
Buthi tidak membahas Munasabah dalam kitabnya yang berjudul Min Rawa‟
Al-Qur‟an. M. Quraish Shihab dalam bukunya Sejarah dan „Ulum Al-Qur‟an
memasukkan kajian Munasabah dalam bahasan pokok-pokok kajian „Ulum
Al-Qur‟an.42
Pada tataran praktisnya, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para
mufassir mengenai pengistilahan Munasabah. Fakhruddin Ar-Razi
menggunakan istilah ta‟Alluq sebagai sinonim Munasabah. Hal ini terlihat ketika ia menafsirkan Surah Hud (11) ayat 16-17. Ia menulis sebagai berikut: ketahuilah bahwa pertAlian (ta‟Alluq) antara ayat ini dan ayat sebelumnya
jelas, yaitu apakah orang-orang kafir itu sama dengan orang yang
mempunyai bukti yang nyata dari Tuhannya; sama dengan orang-orang yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya dan orang itu tidaklah
memperoleh di akhirat kecuali neraka.43
Kemudian ulama‟ yang lain seperti Sayyid Quthb (w. 1966 M) dalam Tafsir fi ZhilAl Al-Qur‟an menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti istilah Munasabah. Seperti ketika beliau menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 188. Rasyid Ridho (w. 1935 M) menggunakan istilah Al-ittishAl dan Al-ta‟lil. Hal ini terlihat ketika menafsirkan Surah Al-Ma‟idah ayat 30. Al-Alusi (w. 1854 M) menggunakan istilah tartib ketika menafsirkan kaitan surah maryam dan thaha.44
Wacana ilmu Munasabah erat kaitannya dengan latar belakang diskursus kedudukan tartib Al-Mushaf (penyusunan surah-surah dalam mushaf Al-Qur‟an). Polemik yang mengemuka sebagaimana telah diulas di awal adalah apakah penyusunannya berdasar pada taqifi atau ijtihadi. Jika penyusunannya berdasarkan petunjuk Nabi atau yang lebih dikenal dengan tauqifi, atau penyusunannya berdasarkan wahyu. Maka penyusunannya tidak
serampangan, tetapi mengandung nilai-nilai filosofi atau hikmah yang sangat dalam, melebihi karya susunan yang dibuat manusia biasa. Oleh sebab itu, pertanyaannya menjadi, apakah perlu Munasabah dalam penafisiran
Al-Qur‟an?45 Dalam bahasan tartib Al-ayat wa Al-suwar, tauqifi yang dimaksud
di atas adalah hanya dalam hal ayat, bukan pada bahasan surah. Hal ini sebagaimana Khalid Utsman Al-Sabt menulis dalam Kitab Kaidah berikut:
Susunan tauqifi terdapat pada ayat, bukan (pada bahasan) surah.
Kalau melihat kaidah di atas, tidak ada jalan untuk berijtihad lagi dalam hal tauqifi susunan ayat, tetapi masih terbuka pintu ijtihad untuk tartib fi Al-suwar. Penyusunan tartib Al-Mushaf yang bukan berdasarkan kronologi
turunnya (tartib Al-nuzul) pada hakikatnya mendorong untuk mengkaji susunan setiap surah yang ada pada mushaf. Setiap sesuatu yang telah tersusun mempunyai alasan mengapa susunanya seperti itu atau apakah susunannya sudah memiliki hubungan yang serasi antara satu dan lainnya. Ukuran yang digunakan untuk menilai apakah serasi atau tidak adalah melalui kemampuan pengungkapan bahasa sebagai citra rasa kemampuan yang dimiliki oleh manusia.46
Perbedaan akademik yang terjadi di kalangan para ulama terdapat pada hal tartib Al-Mushaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para sahabat (ijtihadi)? Kalau demikian, adanya Munasabah itu penting karena penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat, dan petunjuk Nabi SAW (tauqifi). Kalau tauqifi, tidak perlu adanya Munasabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan. Al-Qur‟an juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqifi. Dengan kata lain, Al-Qur‟an turun atas petunjuk dan kehendak Allah.
45
Said, Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Mishbah,
(Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 34.
46
Pendapat pertama, mayoritas ulama mengatakan bahwa surah-surah Al-Qur‟an disusun berdasarkan tauqifi. Sudah merupakan kepastian dari Rasulullah membaca berbagai surah menurut susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat atau khutbah Jum‟ah yang disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang nenyatakan bahwa susunan dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari Nabi sendiri. Dengan demikian, dalam mendukung pendapat pertama, hal ini tidak mungkin apabila sahabat Nabi menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah SAW. hal ini merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawatir).47
Susunan dan urutan surah pun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan surah Al-Qur‟an. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Dengan kata lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surah Al-Qur‟an disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa beberapa surah disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk Rasulullah SAW. Pendukung pendapat ini adalah Abu Ja‟far bin Nuhas (w. 338 H), Kirmani, Ibnu Hashar (w. 611 H), Abu Bakr Al-Anbari (271-328 H), dan Al-Baghawi (w. 286 H). Landasan pendapat pertama ini adalah berdasarkan hadis Rasulullah SAW bersabda:48
Saya diberikan tempat Taurat dalam Al-Sab‟a Al-ThiwAl, tempat
Zabur dalam surah Al-Mi‟un, tempat Injil dalam surah Al-Matsani dan
diberikan keutamaan dalam surah Al-Mufashad. (HR. Ahmad)
surah yang terdapat dalam Al-Qur‟an. ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surah ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas. Selain itu, alasan lain yang mengemukakan bahwa susunan surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca berbeda dengan tartib Al-Mushaf yang sekarang dan tentang adanya catatan mushaf sahabat yang mutawatir. Di samping itu, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Al-Qur‟an. oleh karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tartib Al-Mushaf sahabat sangat besar. Para sahabat pun telah sepakat bahwa susuna ayat adalah tauqifi. Ulama yang mendukung pendapat kedua ini, antara lain Imam Malik, Abu Bakr Al-Thib Al-Baqilani, Al-Zarkasyi, dan Al-Suyuthi.49
Salah satu Hadis yang mendukung pendapat ini adalah larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi. Abu sa‟id Al-Khudhuri meriwayatkan dari Rasulullah SAW. beliau bersabda, “Janganlah kAlian menulis (hadis)
dariku. Dan barang siapa menulis dariku selain Al-Qur‟an, maka hendaknya
ia menghapusnya.” (HR. Muslim)50
Pendapat ketiga, serupa dengan pendapat pertama yang menyatakan bahwa kecuali Surah Al-Anfal dan Bara‟ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan surahnya bervariasi. Pendukung pendapat ketiga ini, diantaranya Al-Qadhi Abu Muhammad bin Athiyyah (w. 498 H), Al-Baihaqi, dan Ibnu Hajar Al-Asqalani (773-852 H). Pendapat Al-Baihaqi terlihat dalam karyanya, Al-MakhAl. Ia berpendapat bahwa Al-Qur‟an pada masa Nabi telah tersusun surah-surah dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushaf, kecuali surah Al-Anfal dan Bara‟ah.51
penghimpunan pada masa Abu Bakar (w. 634 M); ketiga, tahap penggandaan pada masa Utsman bin Affan (w. 656 M); keempat, tahap percetakan; kelima, tahap pengajaran diberbagai dunia islam.52
Menurut analisis penulis setelah mengkaji dan menela‟ah realitas dalam sejarah, ternyata pada masa Abu Bakar setelah terbentuk panitia penghimpunan Al-Qur‟an, terungkap bahwa Zaid bin Tsabit (w. 665 M) dan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari Surah At-Taubah/Bara‟ah. Keterangan ini bisa ditela‟ah dari hadis yang menyangkut penghimpunan Al-Qur‟an pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq sebagai berikut:
Dari Ubaid bin Al-Sabbaq ra., sesungguhnya Zaid bin Tsabit ra.
Berkata,”Abu Bakar datang kepadaku di medan ahli Yamamah. Ketika itu
Umar berada di sampingnya.” Abu Bakar kemudian berkata,”sesungguhnya Umar mendatangiku, kemudian ia berkata,”sesungguhnya peperangan pada
hari Yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya) qurra‟
dibeberapa medan perang (lainnya) sehingga banyak ayat hilang
(karenanya) dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan
kepadamu supaya mengumpulkan Al-Qur‟an.‟ Abu Bakar bertanya kepada
Umar,‟Mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan
oleh Rasulullah SAW?‟ Umar menjawab,‟Demi Allah! Ini adAlah perbuatan
baik.‟oleh sebab itu tidak henti-hentinya Umar menjumpai (mendesak) aku
sampai Allah melapangkan hatiku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan
aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.‟ Abu
Bakar berkata,‟Sesungguhnya kamu (Zaid) adAlah seorang pemuda yang
cerdas. Kami tidak menuduh berperasangka buruk kepadamu dan
sesungguhnya kamu adAlah penulis wahyu Al-Qur‟an untuk Rasulullah SAW.
oleh sebab itu, pelajarilah Al-Qur‟an kemudian kumpulkan.” Zaid kemudian
52
berkata,”Demi Allah, seandainya mereka membebani aku untuk memindahkan gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku
daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan
Al-Qur‟an.” Aku menanyakan kepada Abu Bakar,”Mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan Rasulullah SAW?” Abu Bakar
menjawab,”Demi Allah, itu adAlah perbuatan baik. Oleh karena itu, Abu
Bakar tidak henti-hentinya berulang kAli mendesak aku sampai Allah
melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar ra.
Dan Umar ra. Aku lAlu mempelajari Al-Qur‟an dan mengumpulkan dari
pelepah kurma, batu-batu, serta hafAlan para sahabat sampai aku mendapat
catatan akhir Surah Al-Taubah pada Abu Huzaimah Al-Anshari. Aku tidak
menemukannya pada seorang pun selain ia, yaitu ayat: Sungguh, telah
datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu Alami, (ia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang
beriman. Maka jika mereka berpAling (dari keimanan), maka katakanlah
(Muhammad),”Cukupkanlah Allah bagiku; tidak ada tuhan (singgasana)
yang agung.” (QS. Al-Taubah (9) : 128-129) sementara dalam hadits lain
berikut ini: Suhuf itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia wafat, kemudia
disimpan Umar bin Al-Khaththab selama masa hayatnya, kemudian
disimpan oleh Hafsah binti Umar ra.” (HR. Al-Bukhari) 53
Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk mengumpulkan Al-Qur‟an adalah Umar bin Al-Khathab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Tercatat pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis Al-Qur‟an adalah Zaid bin Tsabit atas komando dari Abu Bakar.
53