• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pasien dan Karakteristik Resep dalam Potensi Interaksi Obat Resep Antidiabetik Oral

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.2 Pembahasan Hasil Penelitian

4.2.2.1 Karakteristik Pasien dan Karakteristik Resep dalam Potensi Interaksi Obat Resep Antidiabetik Oral

Penelitian tentang potensi interaksi obat pada peresepan obat antidiabetik oral ini dilakukan di apotek rawat jalan RSAL Dr. Mintohardjo menggunakan lembar resep pasien yang menerima obat antidiabetik oral selama periode Januari-Maret 2014, hasil inklusi sebanyak 1.232 dan sampel yang diambil menggunakan teknik random sampling sebanyak 310 lembar resep pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki yang menerima obat antidiabetik oral, hal ini mungkin dikarenakan sampel yang diambil untuk penelitian kebanyakan lembar resep pasien yang berjenis kelamin perempuan, dengan hasil penelitian kali ini dapat dikatakan bahwa pria dan wanita mempunyai potensi yang hampir sama dalam kejadian interaksi obat.

Dalam peneltian ini, berdasarkan informasi dari lembar resep pasien, rata-rata pasien yang menerima obat antidiabetik oral lebih banyak pada usia diatas 60 tahun. Menurut Gambert & Pinkstaff (2006) separuh dari pasien yang mengalami diabetes melitus adalah pasien yang berusia >60 tahun dimana prevalensi tertinggi ditemukan pada pasien yang berusia >80 tahun, dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

meningkat hingga mencapai 40 juta jiwa di tahun 2050. Seiring bertambahnya usia, risiko terjadinya diabetes melitus semakin meningkat, menurut Rochmah (2007) dalam Kurniawan (2010) seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi, selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatrik. Hal ini membuktikan teori Spence (1921) yang pertama kali mengatakan bahwa semakin bertambahnya usia, toleransi tubuh terhadap glukosa akan semakin menurun, sehingga menyebabkan banyaknya kasus diabetes melitus pada usia lanjut.

Berdasarkan jumlah obat antidiabetik oral yang digunakan dalam satu lembar resep pasien, obat antidiabetik oral dengan 2 jenis kombinasi merupakan yang terbanyak diresepkan di RSAL Dr. Mintohardjo yaitu sebanyak 183 lembar (59,03%), hal tersebut dapat memberikan gambaran pada penelitian ini bahwa kemungkinan pasien diabetes melitus tersebut mempunyai kadar glukosa yang tinggi yang belum dapat dikontrol dengan baik apabila menggunakan satu jenis obat antidiabetik oral. Golongan obat antidiabetik oral yang paling sering digunakan/diresepkan dalam penelitian ini adalah golongan sulfonilurea (47,34%), hal ini mungkin dikarenakan obat-obat golongan sulfonilurea adalah obat yang efektif menurunkan kadar gula darah.

Menurut Depkes (2005) golongan ini dapat menurunkan kadar glukosa darah pada 85-90% pasien diabetes melitus tipe 2, tetapi hanya efektif apabila sel-sel β

Langerhans pankreas masih dapat memproduksi insulin. Dalam penelitian ini, obat dari golongan sulfonilurea yang paling sering diresepkan adalah Glimepirid (29,24%) dimana dari 310 lembar resep yang dianalisis, 181 diantaranya mengandung obat glimepirid. Golongan sulfonilurea yang paling sedikit diresepkan adalah obat Glibenklamid (2,10%), menurut Depkes (2005) glimepirid lebih sering digunakan dari pada glibenklamid karena dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik, dan salah satu efek samping yang beresiko pada pasien diabetes melitus geriatri adalah hipoglikemik; Glimepirid memiliki

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

waktu mula kerja yang pendek dan waktu kerja yang lama, sehingga umum diberikan dengan cara pemberian dosis tunggal; dan untuk pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Pasien diabetes melitus yang terdapat dalam penelitian ini mungkin memiliki komplikasi gangguan ginjal akibat diabetes melitus, karena itu dokter lebih sering meresepkan obat glimepirid dibandingkan obat lainnya.

Selain glimepirid, metformin dari golongan biguanid juga merupakan obat yang paling sering diresepkan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan, diantara jenis obat-obat lain dalam penelitian ini metformin merupakan obat-obat yang paling sering diresepkan. Sekitar 215 (34.73%) dari 310 lembar resep mengandung metformin. Metformin secara teoritis merupakan pilihan untuk pasien dengan berat badan berlebih, tetapi dalam penelitian ini tidak dapat diketahui informasi berat badan pasien, karena informasi berat badan tidak tercantum dalam lembar resep. Menurut Depkes (2005) metformin merupakan satu-satunya golongan biguanid yang masih dipergunakan sebagai obat hipoglikemik oral, dan masih banyak dipakai di beberapa negara termasuk Indonesia, karena frekuensi terjadinya asidosis laktat cukup sedikit asal dosis tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Berdasarkan Dipiro (2009), American Diabetes Association (ADA), American College of Endocrinology (ACE), dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) (2013) dalam hal manajemen terapi hiperglikemia, metformin merupakan obat lini pertama terapi tunggal dalam penanganan diabetes melitus tipe 2, juga sebagai lini pertama dalam terapi kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya. Metformin merupakan pilihan pertama pada pasien yang baru di diagnosis diabetes melitus tipe 2 dalam terapi tunggal, atau pasien yang gagal dalam mengubah gaya hidupnya dalam mengontrol kadar gula darahnya. Menurut Desai (2012) yang dikutip dari Irons (2013) metformin banyak dijadikan pilihan karena banyak hal seperti tolerabilitasnya, harganya yang tidak terlalu mahal, efektivitas reduksi hemoglobin A1C, tidak menyebabkan hipoglikemia, dan kemampuannya yang dapat dikombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya untuk menangani diabetes melitus

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tipe 2. Tapi terkadang metformin sebagai terapi tunggal saja tidak cukup sehingga biasanya dikombinasi dengan obat diabetes melitus dari golongan lain, seperti obat golongan sulfonilurea sebagai kombinasi yang umum.

Menurut Depkes (2005) golongan sulfonilurea dan biguanid memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya mempunyai efek saling menunjang, dimana sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk senyawa biguanid bekerja efektif; pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.

Obat antidiabetik oral yang paling sedikit diresepkan adalah pioglitazon dari golongan obat tiazolidindion. Disamping harganya yang lebih mahal dibanding obat antidiabetik oral lainnya dan bukan sebagai first-line terapi diabetes melitus tipe 2, penggunaan pioglitazon untuk terapi diabetes melitus masih menjadi perdebatan dalam FDA (Food and Drug Administration). Dalam berbagai studi mengatakan bahwa penggunaan obat pioglitazon dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung, risiko osteoporosis, dan yang lebih buruk lagi risiko kanker kandung kemih. Menurut penelitian Piccinni et al (2011) menggunakan Adverse Event Reporting System dari FDA menyebutkan bahwa risiko kanker kandung kemih 4 kali lebih besar pada penggunaan pioglitazon dibandingkan obat antidiabetik oral lainnya dengan odds ratio 4.3 (95% CI, 2.82-6.52). Sedangkan menurut penelitian Wei, MacDonald, dan Mackenzie (2013) dengan General Practice Research Database (GPRD) penggunaan pioglitazon tidak secara signifikan menyebabkan kanker kandung kemih dibandingkan dengan obat antidiabetik oral lainnya dengan Hazard Ratio 1.16 (95% CI, 0.83-1.62). Pemerintah negara Jerman dan Perancis secara resmi menghentikan penggunaan pioglitazon dalam negaranya, sedangkan FDA dan European Medicines Agency (EMA) masih akan terus menyelidiki masalah ini. FDA juga memberi peraturan untuk selalu memberikan labelling/peringatan pada pasien yang akan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menggunakan tiazolidindion sebagai pilihan terapi, terutama bagi pasien yang mengalami kanker kandung kemih.

Dokumen terkait