• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Interaksi Obat dalam Resep Obat Antidiabetik Oral

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.2 Pembahasan Hasil Penelitian

4.2.2.2 Potensi Interaksi Obat dalam Resep Obat Antidiabetik Oral

Hasil terhadap 310 lembar resep, ditemukan 204 lembar diantaranya (65,80%) mengalami potensi interaksi obat dan interaksi lebih banyak didapat pada lembar resep yang menerima obat ≥5 macam obat. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi et

al (2014) yang mengutip Viktil, Blix, Moger dan Reikvam (2006) bahwa makin banyak jumlah obat yang digunakan maka akan semakin besar pula terjadinya DTPs pada pasien, dimana interaksi obat termasuk dalam kategori drug therapy problems (DTPs). Hal ini juga didukung dalam penelitian Johnson (1994) yang dikutip oleh Lin (2003) bahwa semakin meningkatnya jumlah obat yang diterima pasien, risiko terjadinya interaksi obat juga semakin tinggi, risiko terjadinya interaksi obat kurang lebih naik 6% pada pasien yang menerima dua obat, 50% untuk yang menerima lima obat hingga 100% bagi pasien yang menerima sepuluh macam jumlah obat.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pasien yang berusia 50 tahun keatas lebih banyak berisiko mengalami interaksi obat, hal ini dikarenakan seiring dengan lamanya waktu biasanya makin banyak komplikasi penyakit yang di derita pasien, terutama pada pasien geriatri. Menurut Zachrotur (2010), orang usia lanjut mengalami proses degeneratif yaitu penurunan fungsi atau perubahan struktur dari keseluruhan organ, degenerasi organ tersebut menimbulkan beberapa penyakit, sehingga memungkinkan mereka menerima obat untuk tiap penyakit, hal ini dapat menyebabkan polifarmasi yang akan meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat. Penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang memerlukan banyak obat untuk mencegah terjadinya komplikasi atau mengobati komplikasi akibat dari diabetes melitus itu sendiri, sehingga pasien menerima banyak macam obat. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa dengan semakin bertambahnya usia, makin banyak penyakit yang dapat ditimbulkan dan dengan semakin banyaknya penyakit yang diderita, makin banyak pula obat-obatan yang dikonsumsi sehingga dapat meningkatkan terjadinya interaksi obat pada pasien.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Metformin, sebagai first-line monotherapy dan sebagai obat yang paling sering diresepkan ternyata juga merupakan jenis obat yang paling sering berpotensi mengalami interaksi obat. Dalam penelitian ini, dari 215 pemakaian metformin dalam resep, 134 diantaranya (44,67%) mengalami potensi interaksi obat. Hal ini sesuai dengan penelitian Dinesh et al (2007) dan Utami (2013) bahwa metformin termasuk dalam jenis obat yang paling banyak berinteraksi, diantara jenis obat-obat yang mengalami potensi interaksi obat, metformin menduduki peringkat pertama. Metformin merupakan obat bersifat kationik yang dapat berinteraksi dengan obat bersifat kationik lainnya melalui transporter ion kationik organik di dalam ginjal. Obat-obat bersifat kationik seperti digoksin, trimetroprim, vankomisin dan simetidin dapat berinteraksi dengan metformin dalam eliminasi di ginjal, tetapi hanya interaksi dengan simetidin yang menyebabkan asidosis laktat. Dalam jurnal Lubis (2006), menurut Grenbaum (2004), asidosis laktat merupakan keadaan asidosis metabolik dengan anion gap yang luas, dikarakteristikkan dengan pH < 7,35 dan kadar laktat di plasma >5 mmol/L. Hal ini dapat terjadi bila oksigenasi jaringan tidak adekuat memenuhi kebutuhan energi sebagai akibat dari hipoperfusi atau hipoksia, menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat dalam jumlah berlebihan.

Mekanisme interaksi yang paling banyak terjadi dalam penelitian ini adalah mekanisme interaksi farmakodinamik yaitu sebanyak 40,27% dari total potensi interaksi yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa potensi interaksi lebih banyak terjadi pada tingkat sistem reseptor, sistem fisiologis atau tempat kerja yang sama sehingga terjadi efek aditif (efek berlebihan), sinergis (saling memperkuat), atau antagonistik (efek berlawanan). Interaksi obat farmakodinamik lebih mudah diklasifikasikan daripada interaksi farmakokinetik. Selain itu, menurut May (1997); Kastrup (2000); dalam Gitawati (2008) umumnya kejadian interaksi farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme kerja obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keparahan interaksi yang paling banyak adalah tingkat moderat/sedang. Hal ini sejalan dengan penelitian Dinesh (2007) dan Utami (2013) dimana tingkat keparahan sedang juga yang paling banyak terjadi dalam peresepan obat antidiabetik oral pasien rawat jalan. Potensi interaksi obat antidiabetik oral tingkat sedang yang paling sering terjadi adalah interaksi antara glimepirid dan meloxicam. Potensi interaksi yang terjadi antara glimepirid dengan meloxicam dapat menyebabkan meningkatnya kadar glimepirid dalam darah dengan mekanisme interaksi yang belum diketahui. Menurut Drugs.com Database (2014) obat-obatan yang merangsang sekresi insulin (seperti sulfonilurea dan biguanid) dapat diperkuat oleh obat-obatan tertentu seperti obat NSAID, sehingga meningkatkan efek dari obat hipoglikemik oral tersebut. Dalam Drugs.com Database (2014) juga disebutkan bahwa interaksi antara glimepirid dan meloxicam dapat dikarenakan adanya penghambatan metabolisme glimepirid, karena glimepirid dan meloxicam dimetabolisme pada enzim yang sama yaitu enzim CYP2C9. Dengan meningkatnya efek glimepirid ini dapat menyebabkan gejala hipoglikemia pada pasien yaitu berupa berkeringat, tremor, takikardia, kesemutan, pandangan kabur, konsentrasi berkurang, ataksia, hemiplegia dan koma. Bahkan kadar gula yang rendah dapat menyebabkan otak mengalami kerusakan sehingga dapat menyebabkan kematian. Menurut Kannan dkk (2011) yang mengutip dari penelitian Klasco (2006) yang menggunakan data MicroMedex, penggunaan obat antidiabetik oral yang dipakai bersamaan dengan obat NSAID dapat menyebabkan peningkatan risiko hipoglikemia, dokter yang meresepkan harus lebih memperhatikan saat meresepkan kedua obat ini.

Pada tingkat keparahan minor/ringan dalam penelitian ini, metformin paling banyak berinteraksi dengan sesama obat antidiabetik oral lain yaitu akarbosa, jenis interaksi yang juga merupakan interaksi yang paling sering terjadi dalam penelitian ini. Metformin dengan akarbosa berinteraksi dengan tipe mekanisme interaksi farmakokinetik, akarbosa menurunkan kadar plasma metformin dalam darah dengan menghambat penyerapan metformin dalam usus. Dalam buku Drug Interactions Stockley’s (2008), disebutkan bahwa 19 pasien diabetes yang diberikan akarbosa 50

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

atau 100 mg tiga kali sehari dan metformin 500 mg dua kali sehari mengalami penurunan AUC 12-13% dan kadar plasma metformin turun 17-20%. Selain dengan akarbos, metformin juga banyak ditemukan berinteraksi dengan bisoprolol dalam penelitian ini, interaksi tingkat ringan antara metformin dengan bisoprolol menyebabkan penurunan efek dari metformin tetapi masih belum diketahui mekanisme interaksinya. Selain metformin, obat golongan sulfonilurea lain juga berinteraksi dengan bisoprolol, dan yang paling sering terjadi pada glimepirid. Sama seperti metformin, interaksi antara glimepirid dengan bisoprolol juga bersifat ringan dan masih belum diketahui mekanisme interaksinya.

Pada penelitian ini, potensi interaksi yang terjadi pada tingkat keparahan major/berat hanya antara pioglitazon dengan gemfibrozil. Gemfibrozil menyebabkan meningkatnya konsentrasi plasma dari pioglitazon dengan cara menghambat metabolisme pioglitazon melalui penghambatan enzim CYP450-2C8. Menurut penelitian Jaakola dkk (2005) gemfibrozil meningkatkan rata-rata total AUC pada pioglitazon sekitar 3,2 kali lipat dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya dari 8,3 jam menjadi 22,7 jam (P<0.001) pada 12 sukarelawan sehat, sedangkan menurut penelitian Deng (2005) pada 10 sukarelawan sehat yang mengonsumsi gemfibrozil berbarengan dengan pioglitazon dan mengonsumsi pioglitazon 1 jam setelah menerima gemfibrozil, total AUC pioglitazon meningkat 3,4 kali lipat dalam darah (P<0.001), dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya dari 6,5 jam menjadi 15.1 jam. Menurut Stockley (2008) walaupun sudah dibuktikan bahwa gemfibrozil dapat meningkatkan AUC pioglitazon, masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk mendapatkan relevansi klinis yang signifikan, misalnya dengan melakukan penelitian pada pasien diabetes.

Hasil penelusuran literatur jurnal-jurnal dalam rentang lima tahun terakhir terhadap potensi interaksi antara obat antidiabetik oral dengan obat lain, hanya ada satu hasil klinis yang ditemukan yaitu antara glimepirid dengan ramipril. Menurut Sanovi-aventis Canada (2013) pemberian 2 mg glimepirid dengan 5 mg ramipril secara bersamaan terhadap pasien diabetes tipe 2 tidak ada gejala hipoglikemik dan tidak

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menunjukan adanya interaksi obat yang merugikan; tetapi karena informasi yang didapat adalah informasi produk yang tidak dapat diketahui bagaimana jenis desain penelitiannya dan cara penelitiannya secara lengkap, maka hal tersebut belum dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat bahwa tidak ada gejala hipoglikemik antara penggunaan glimepirid bersamaan dengan ramipril. Selain glimepirid dan ramipril, ditemukan pula beberapa hasil klinis dari penelusuran jurnal-jurnal tetapi tidak termasuk dalam jurnal terbaru rentang lima tahun terakhir, salah satunya adalah interaksi antara glimepirid dengan gemfibrozil, dalam jurnal Niemi, Neuvonen & Kivisto (2001) disebutkan gemfibrozil dapat meningkatkan konsentrasi plasma glimepirid sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi; hasil penelitian tersebut dilakukan terhadap 10 sukarelawan sehat yang diberikan gemfibrozil dosis tunggal 600 mg dan 1 jam kemudian diberikan 0,5 mg glimepirid.

Hasil analisis dengan uji Chi-Square atau Kai-Kuadrat menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah jenis obat yang diresepkan dengan potensi interaksi obat dalam resep. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sari (2008) dan Utami

(2013) bahwa nilai probabilitas α = 0.00001 ini lebih kecil dari α = 0.05, maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jumlah jenis obat dalam satu resep yang mengandung obat antidiabetik oral dengan banyaknya interaksi yang terjadi. Hasil odds ratio menunjukan bahwa pasien yang menerima jumlah jenis obat

≥5 beresiko 10.278 kali lebih tinggi mengalami potensi interaksi obat (95% CI, 5.933-17.806). Hal ini pun membuktikan teori dimana kemungkinan terjadinya interaksi obat lebih tinggi dalam terjadinya kompleksitas obat-obat yang diresepkan, sesuai kata Stockley (2005) dalam Putra (2007) yang menyebutkan bahwa kompleksnya terapi yang diperlukan memaksa banyaknya penggunaan berbagai kombinasi obat (polifarmasi) yang cenderung akan meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

Dokumen terkait