• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Interaksi Obat Diabetes Melitus Pada Resep Obat Pasien Rawat Jalan Di RSAL Dr.Mintohardjo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi Interaksi Obat Diabetes Melitus Pada Resep Obat Pasien Rawat Jalan Di RSAL Dr.Mintohardjo"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT DIABETES

MELITUS PADA RESEP OBAT PASIEN RAWAT JALAN

DI RSAL DR. MINTOHARDJO

SKRIPSI

KHALIDA HANDAYANI

NIM.1110102000008

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

ii

ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT DIABETES

MELITUS PADA RESEP OBAT PASIEN RAWAT JALAN

DI RSAL DR. MINTOHARDJO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi

KHALIDA HANDAYANI

NIM.1110102000008

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Khalida Handayani

NIM : 1110102000008

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Analisis Potensi Interaksi Obat Diabetes Melitus Pada Resep Obat Pasien Rawat Jalan Di RSAL Dr.Mintohardjo

Interaksi obat merupakan salah satu dari Masalah Terkait Obat yang dapat mempengaruhi terapi pasien. Kemungkinan interaksi obat meningkat 2,5 kali lipat untuk setiap obat yang ditambahkan ke resep pasien, dan pada pasien dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap menghadapi efek samping dari interaksi obat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien, karakteristik resep dan potensi interaksi dari peresepan obat Antidiabetik oral di RSAL Dr. Mintohardjo pada periode Januari-Maret 2014. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan deskriptif dan data diambil secara retrospektif. Dari 310 lembar resep yang memenuhi kriteria inklusi, diperoleh 65,80% berpotensi mengalami interaksi obat dan 85,80% potensi interaksi terdapat pada resep dengan jumlah obat ≥5. Obat yang paling banyak berpotensi menyebabkan interaksi obat adalah Metformin dan potensi interaksi yang paling sering terjadi dalam penelitian ini adalah antara Metformin dengan Akarbosa. Mekanisme interaksi yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik dengan 242 kasus (40,27%). Dengan menggunakan uji statistik Kai Kuadrat diketahui adanya hubungan bermakna antara jumlah obat dalam resep yang mengandung obat antidiabetik oral dengan jumlah interaksi obat yang teridentifikasi (p<0.05). Hasil odds ratio menunjukan bahwa pasien yang menerima jumlah obat ≥5 beresiko 10.278 kali lebih tinggi mengalami potensi interaksi obat (95% CI, 5.933-17.806).

(7)

vii

Name : Khalida Handayani

NIM : 1110102000008

Study Program : Farmasi

Title : Analysis of Potential Drug Interactions of Diabetes

Mellitus Outpatients' Prescription In Mintohardjo

Central Navy Hospital

Drug Interaction is one of the Drug Related Problems (DRPs) that may affect patient treatment outcomes. The probability of drug interaction increased 2,5 fold for each medication added to the patient’s prescription, and those patients with Diabetes Mellitus were more prone to facing adverse effects from drug interactions. The purposes of this research were to reveal the patients and prescribing pattern and potential drug interaction problem on prescribe Oral Antidiabetic in Mintohardjo Navy Central Hospital period in January-March 2014. This research used descriptive design and data retrieved in retrospectively. From 310 outpatient prescriptions that met the inclusion criteria, found 65,80% potential drug interaction and 85,80% potential drug interaction found in prescriptions that has ≥5 drugs. Drug most potentially cause drug interactions is Metformin and potential interactions that occur most frequently in this study were between Metformin with Acarbose. The mechanism of interaction is at most pharmacodynamics interaction with 242 cases (40,27%). By using statistical analysis Chi Square known of the significant correlation between the number of medication in one prescription that containing oral antidiabetic with the number of drug interaction that identified (p<0.05). The odds ratio result showed patients that receiving ≥5 drugs of medication has 10.278 fold higher risk of experiencing a potential drug interactions (95% CI, 5.933-17.806).

(8)

viii

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha penyayang,

yang telah memberi kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Rosul tercinta, Nabi

Muhammad saw yang merupakan suri tauladan bagi umatnya.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan motivasi, bantuan dan

dukungan selama melaksanakan penyusunan skripsi ini. penulis sangat berterima

kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi

ini, diantaranya:

1. Kedua orang tua penulis, Ayah Dr. Abd Aziz Hsb M.Pd dan Mama Siti

Bayinah M.Ag terima kasih untuk semua hal yang sudah diberikan, yang juga

senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan demi kesuksesan

penulis. Serta Kak Dewi, Kak Ami dan Farhan yang telah memberikan

semangat kepada penulis selama masa-masa penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Yardi, M.Si, Apt, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I, terima kasih

penulis ucapkan atas waktunya, semua arahan, inspirasi dan kebaikan dalam

bimbingannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. R.E Aritonang, M.Si, Apt selaku Dosen Pembimbing II, terima

kasih penulis ucapkan atas waktunya, semua arahan, bimbingan, inspirasi,

pelajaran serta kebaikannya dalam bimbingannya kepada penulis selama

(9)

ix

tersebut.

5. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

7. Bapak Ibu Pegawai Apotek RSAL Dr. Mintohardjo. Terima kasih atas

bantuannya, saran serta informasinya.

8. Sahabat terbaik selama menjalani perkuliahan di Program Studi Farmasi,

Silky, Farah dan Deisy. Terima kasih banyak, semoga kita semua menjadi

orang yang sukses, amin.

9. Teman seperjuangan saat bimbingan, Shelly dan Isa. Terima kasih banyak

atas semua bantuannya.

10.Teman-teman Farmasi B dan Andalusia, semoga kita dapat menjadi pionir

dalam mengembangkan profesi Farmasi berbasis Islami dan bermanfaat bagi

orang banyak, amin

11.Rekan-rekan mahasiswa dan segenap pihak yang telah berperan aktif

membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis

sebutkan dalam skripsi ini.

Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahannya datangnya dari

Penulis selaku manusia, sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat Penulis

harapkan demi terciptanya perbaikan di masa yang akan datang.

Tangerang Selatan, April 2015

(10)
(11)

xi

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ...viii

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3PertanyaanPenelitian ... 3

1.4Tujuan Penelitian ... 3

1.5Hipotesis... 3

1.6Manfaat Penelitian ... 3

1.7Ruang Lingkup Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1Interaksi Obat ... 5

2.1.1Pengertian Interaksi Obat ... 5

2.1.2Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 6

2.1.3Jenis Obat yang berinteraksi ... 7

2.1.4Tipe Mekanisme Interaksi Obat ... 8

2.1.4.1Interaksi Farmakokinetika ... 8

2.1.4.2Interaksi Farmakodinamika ... 11

2.2Peran Apoteker dalam Penanganan Interaksi Obat ... 11

(12)

xii

2.3.3Tatalaksana Terapi ... 16

2.4Pengertian Polifarmasi ... 20

2.5Pengertian Resep ... 20

2.6Profil Rumkital Dr. Mintohardjo` ... 21

2.6.1Sejarah Singkat ... 21

2.6.2Apotek BPJS Rawat Jalan... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1Kerangka Konsep ... 23

3.2Definisi Operasional ... 24

3.3Jenis Penelitian ... 25

3.4Populasi dan Sampel ... 25

3.4.1Populasi ... 25

3.4.2Teknik Sampling ... 25

3.4.2.1Kriteria Inklusi ... 25

3.4.2.2Kriteria Eksklusi ... 25

3.4.3Jumlah Sampel ... 26

3.5Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.6Rencana Pengumpulan Data ... 26

3.7Rencana Analisis Data... 26

3.8Sumber data ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

4.1Hasil Penelitian ... 27

4.1.1Analisa Univariat ... 27

4.1.1.1Gambaran Karakteristik Pasien ... 27

4.1.1.2Gambaran Karakteristik Resep ... 28

4.1.1.3Gambaran Potensi Interaksi Obat ... 31

(13)

xiii

4.2Pembahasan Penelitian ... 35 4.2.1Keterbatasan Penelitian ... 35 4.2.2Pembahasan Hasil Penelitian ... 36 4.2.2.1Karakteristik Pasien dan Karakteristik Resep dalam Potensi

(14)

xiv

4.1 Gambaran Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur dalam

Lembar Resep ... 27

4.2 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Jumlah Obat ... 28

4.3 Gambaran Distribusi Obat Berdasarkan Penggunaan Obat Antidiabetik Oral .... 29

4.4 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Penggunaan Golongan Obat

Antidiabetik Oral pada Resep ... 30

4.5 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Ada dan Tidaknya Potensi Interaksi

Obat ... 31

4.6 Gambaran Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Umur Pasien ... 32

4.7 Gambaran Jumlah Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Pemakaian Antidiabetik

Oral pada Resep ... 32

4.8 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tipe Mekanisme Interaksi

dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 33

4.9 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Antidiabetik Oral dan Hasil Klinis

Berdasarkan Penelusuran Literatur Jurnal Terbaru ... 34

4.10 Gambaran Distribusi Jumlah Obat yang Diresepkan dalam Lembar Resep

(15)

xv

(16)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat ( drug-related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien, dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan

kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya

interaksi obat semakin besar (Setiawan (Abstrak), 2011).

Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain

(antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap dan

9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadang-kadang

evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik selain

interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi (Peng, C.C et al,

2003 dalam Gitawati, 2008).

Sebuah studi di Amerika Serikat mencatat bahwa hampir semua pasien diabetes

melitus di instalasi rawat jalan (92,5%) berada pada risiko mengalami interaksi obat

tingkat sedang, dan 70,5% berisiko mengalami interaksi obat tingkat ringan (Dinesh

et al, 2007). Adapun di Swedia, dari 5.125 pasien rawat jalan yang kebanyakan pasien

geriatrik, rata-rata setiap pasien memiliki 1,6 jumlah interaksi obat dimana obat

antidiabetes penyebab terbanyak yang menyebabkan interaksi (Bregendal, Friberg, &

Schaffrath, 1995). Menurut penelitian Utami (2013) di Pontianak, dari 1.435 resep

pasien diabetes melitus rawat jalan, diperoleh bahwa interaksi obat terjadi pada

62,16% resep obat yang menerima obat antidibetik oral, dan dalam penelitian tersebut

disebutkan bahwa kejadian potensi interaksi obat 6 kali lebih besar pada resep yang

mengandung jumlah obat ≥5 dibandingkan dengan resep yang mengandung jumlah

obat <5; adapun penelitian yang dilakukan Dinesh et al (2007) pada sebuah rumah

sakit di Pokhara, Nepal, pasien diabetes yang berumur 51-60 tahun memiliki risiko

lebih tinggi mengalami interaksi obat tingkat moderate, dimana yang paling banyak dalam potensial menyebabkan interaksi obat adalah penggunaan obat antara

metformin dengan enalapril.

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menurut Marquito et al (2014) yang dikutip oleh Bastos (2014), kemungkinan

interaksi obat meningkat 2,5 kali lipat untuk setiap obat yang ditambahkan ke resep

pasien, dan pada individu dengan diabetes melitus termasuk lebih rentan menghadapi

efek samping dari interaksi obat.Pada penggunaan obat antidiabetik oral (ADO) pada

pasien diabetes melitus, dapat terjadi interaksi dengan obat-obat tertentu yang

digunakan oleh pasien sehingga menyebabkan terjadinya gejala hipoglikemia yang

merupakan efek samping paling berbahaya. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat,

tremor, takikardia, kesemutan, pandangan kabur, konsentrasi berkurang, ataksia,

hemiplegia dan koma (Sari, 2008).

World Health Organization (2013) menyebutkan bahwa 347 juta orang di dunia menderita diabetes melitus dan 80% terjadi pada negara berkembang menengah

maupun menengah kebawah, dimana Indonesia berada di peringkat keempat kejadian

diabetes terbesar di dunia setelah India, Amerika Serikat, dan China, dengan jumlah

orang dengan diabetes sebesar 8,4 juta pada tahun 2000 dan diprediksi akan

bertambah hingga 21,3 juta orang pada tahun 2030.

Menurut riset Riskesdas 2013, prevalensi diabetes melitus mengalami

peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2.1% (2013) berdasarkan diagnosis atau

gejala. Pada data profil kesehatan Kemenkes (2012) berdasarkan diagnosis atau

gejala, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes melitus tertinggi

yaitu sebesar 2,6%, diikuti oleh Aceh sebesar 1,7% (Kemenkes, 2013).

Dari hasil pengamatan sampling awal pada Apotek RSAL Dr. Mintohardjo, lembar resep obat antidiabetik oral perhari mencapai 20-50 resep dan sekitar >200

lembar perbulannya. Tiap resep dengan jumlah obat 2->5 berpotensi mengalami

interaksi obat. Berdasarkan yang telah dijabarkan diatas, peneliti ingin menganalisis

gambaran potensi interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien diabetes melitus

di RSAL Dr Mintohardjo dan mengetahui apakah ada hubungan yang bermakna

(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang menunjukan bahwa efek terapi yang diinginkan

pada pasien diabetes melitus dipengaruhi oleh jumlah obat dan terjadinya potensi

interaksi obat pada peresepan obat antidiabetik oral.

1.3Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien dan karakteristik resep/obat pada

lembar resep pasien diabetes melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo?

2. Bagaimana gambaran potensi interaksi obat pada pasien diabetes melitus

rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo?

1.4Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui potensi interaksi obat pada penggunaan obat antidiabetik

oral pada pasien diabetes melitus rawat jalan.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik pasien dan karakteristik resep/obat pada

lembar pasien diabetes melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo

2. Untuk mengetahui gambaran potensi interaksi obat pada pasien diabetes

melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo

1.5Hipotesis

Adanya potensi yang bermakna pada peresepan obat antidiabetik oral yakni antara

jumlah obat yang diresepkan dengan jumlah interaksi obat.

1.6Manfaat Penelitian

1.6.1Manfaat Secara Aplikatif (Bagi RSAL Dr Mintohardjo)

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai program informasi atau

intervensi dalam mengatasi cikal bakal masalah kesehatan dengan adanya

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.6.2Manfaat Secara Teoritis (Bagi Program Farmasi UIN Jakarta)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai tambahan

referensi guna memberikan masukan data dan informasi yang dapat digunakan

sebagai bahan pustaka dalam pengembangan ilmu kefarmasian terutama

farmasi klinis mengenai diabetes melitus dan interaksi obat.

1.6.3Manfaat Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung

serta menambah wawasan dalam dunia farmasi klinis mengenai potensi

interaksi obat yang terjadi dalam penggunaan antidiabetik oral, sehingga

peneliti dapat menerapkan ilmu kefarmasian khususnya dalam farmasi klinis.

1.7Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi interaksi obat dalam

penggunaan obat antidiabetik oral pada pasien rawat jalan diabetes melitus RSAL

Dr Mintohardjo Jakarta tahun 2014. Sasaran dalam penelitian ini adalah pasien

diabetes melitus rawat jalan RSAL Dr Mintohardjo Jakarta. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2014. Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain retrospektif, data yang

diambil adalah data resep pasien diabetes melitus rawat jalan di Apotek RSAL Dr.

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan perubahan aktivitas farmakologi suatu obat karena

pemakaian bersamaan dengan obat lain agen kimia lain. Interaksi obat dapat

mengurangi efek obat, meningkatkan efek obat, atau meningkatkan toksisitas.

Dalam beberapa hal, interaksi obat dapat menguntungkan tetapi interaksi obat

dapat menjadi merugikan bahkan berbahaya bagi kesehatan.

1.1.1 Pengertian Interaksi obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dengan zat lain

yang mencegah obat melakukan efek seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku

untuk interaksi obat dengan obat lain (interaksi obat-obat), serta obat dengan

makanan (interaksi obat-makanan) dan zat yang lainnya (Arulselvi et al, 2013).

Interaksi obat adalah keadaan dimana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat,

dimana dapat menghasilkan efek meningkat atau menurun atau menghasilkan

efek baru yang tidak dihasilkan oleh obat tersebut. Interaksi ini dapat terjadi dari

penyalahgunaan yang disengaja atau karena kurangnya pengetahuan tentang

bahan-bahan aktif yang terdapat dalam zat terkait. (Bushra et al, 2011). Adapun

menurut Penzak (2010) yang dikutip dari Tatro (1992) interaksi obat merupakan

respon farmakologis atau klinis yang berbeda antara efek dari obat yang

dikombinasikan dengan efek yang telah diketahui apabila obat-obat tersebut

diberikan sendiri-sendiri.

Menurut Raich et al (1997) secara sederhananya pengertian interaksi obat adalah

perubahan dalam efek satu obat bila diberikan dengan obat lain, makanan, atau

substansi lainnya. Misalnya, dua atau lebih obat yang diminum bersama-sama

dapat mengubah cara obat tersebut bekerja dalam tubuh. Hal ini ini mungkin

dapat membuat satu atau lebih obat menjadi kurang aman dikonsumsi atau dapat

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyebabkan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sedangkan menurut Stockley

(2008) interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat yang dikonsumsi diubah

oleh adanya obat lain, jamu, makanan, minuman, atau oleh beberapa agen kimia

lainnya.

Menurut Hansten & Horn dalam bukunya yang berjudul The Top 100 Drug Interactions 2014 (2014) dalam arti luas interaksi obat terjadi ketika satu obat mempengaruhi farmakokinetik, farmakodinamik, khasiat, atau toksisitas dari obat

lain. Kedua obat tidak perlu secara fisik berinteraksi satu sama lain untuk

menghasilkan efek. Ketika kombinasi obat menghasilkan efek yang tidak

diinginkan, interaksi obat menjadi interaksi obat yang merugikan. Interaksi obat

jauh lebih umum daripada interaksi obat yang merugikan (adverse drug interactions).

Interaksi obat dapat mungkin tidak terjadi pada setiap individu. Karena ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan bahwa interaksi dapat terjadi

atau tidak. Faktor-faktor ini termasuk perbedaan antara individu seperti gen,

fisiologi, gaya hidup (diet, olahraga), penyakit yang diderita, dosis obat, durasi

terapi kombinasi, dan waktu relatif administrasi dua zat (terkadang interaksi dapat

dihindari jika dua obat dikonsumsi pada waktu yang berbeda) (Kashif et al, 2012).

1.1.2 Tingkat keparahan (Severity Level) interaksi obat

Potensi interaksi obat yang diklasifikasikan menurut klasifikasi yang diusulkan

oleh Hansten dan Horn (2002) secara internasional diterima dan digunakan secara

luas di seluruh dunia. Interaksi obat secara teratur diperbarui dan sistem

klasifikasi ini memberikan ringkasan yang rinci dari hasil klinis, mekanisme aksi

yang terjadi dan informasi tambahan. Interaksi obat dikategorikan sebagai

major/besar, moderate/sedang atau minor/kecil tergantung pada keparahan hasil dan kualitas dokumentasi.

Menurut Tatro (2001) derajat keparahan akibat interaksi diklasifikasikan menjadi

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kerusakan organ), dan major (efek fatal, dapat menyebabkan kematian) (Yasin,

Widyastuti, & Dewi, 2005). Sedangkan menurut Ayuningtyas (2010) yang dikutip

dari Tatro (2001), tingkat keparahan major atau efek berat ialah efek potensial

yang menyebabkan kerusakan menetap atau mengancam jiwa, tingkat keparahan

moderat atau efek sedang dapat menyebabkan perubahan status klinik dan

penambahan pengobatan, sedangkan tingkat keparahan minor atau efek ringan

dari interaksi obat biasanya tidak membutuhkan pengobatan tambahan.

1.1.3Jenis obat yang berinteraksi

Menurut penelitian Dinesh et al (2007), pada 182 pasien rawat jalan yang

menerima obat antidiabetik oral, obat antidiabetik metformin menduduki

peringkat pertama sebagai obat yang paling banyak menyebabkan interaksi obat.

Adapun menurut peneltian Santi Purna Sari, Mahdi Jufri, dan Dini Permana Sari

di Depok (2008) pada resep pasien diabetes rawat jalan rawat jalan, resep obat

antidiabetik oral yang diketahui berinteraksi sebanyak 41,69% dari jumlah sampel

dimana interaksi obat yang sering terjadi adalah interaksi obat antara golongan

sulfonilurea yaitu glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dan golongan biguanid

yaitu metformin.

Menurut penelitian Utami di tahun 2013 dari 1.435 resep pasien diabetes melitus

rawat jalan, diperoleh bahwa interaksi obat terjadi pada 62,16% resep obat yang

menerima obat antidibetik oral. Dalam penelitian tersebut jenis-jenis obat yang

sering berinteraksi adalah metformin dan gliklazid.

Menurut penelitian Sulistiana dkk (2013) interaksi obat yang paling banyak

terjadi antara obat antidiabetik oral yang dikombinasi adalah metformin dengan

acarbose yaitu sebesar 51,85% dari total 155 pasien yang masuk inklusi,

sedangkan interaksi yang paling banyak terjadi antara obat antidiabetik oral

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1.4Tipe Interaksi Obat

Interaksi obat sering diklasifikasikan sebagai interaksi farmakodinamik atau

interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik termasuk yang

mengakibatkan aditif atau efek farmakologis antagonis. Interaksi farmakokinetik

melibatkan induksi atau inhibisi enzim metabolisme di hati atau di tempat lain,

situs perpindahan obat dari ikatan protein plasma, perubahan dalam penyerapan

gastrointestinal, atau kompetisi untuk sekresi ginjal yang aktif (Bailie et al,

2004).

1.1.4.1 Interaksi Farmakokinetik

Menurut Stockley (2008) interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat

mempengaruhi proses dengan yang obat diserap, didistribusikan, dimetabolisme

dan diekskresikan (disebut juga Interaksi ADME); Interaksi dalam proses

farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)

dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.

Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat

diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu

kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia,

yangmenghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi

farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi

oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non sedatif lainnya

(Gitawati, 2008).

Bailie et al (2004) menjabarkan interaksi-interaksi yang terjadi pada tahap

farmakokinetika obat, yaitu:

1) Interaksi akibat perubahan dalam penyerapan di gastrointestinal Tingkat penyerapan obat setelah pemberian oral dapat mungkin untuk

diubah oleh agen obat lainnya. Penyerapan obat merupakan fungsi dari

kemampuan obat untuk berdifusi dari lumen saluran pencernaan ke dalam

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

obat serta pelarutan bentuk sediaan. Sebagai contohnya penyerapan

ketoconazole menjadi kurang karena adanya pemberian antasida atau

antagonis H2 yang mengurangi pelarutan tablet ketokonazole.

2) Interaksi akibat perubahan dalam metabolisme enzim

Hati adalah tempat/situs utama dalam metabolisme obat. Situs lain yaitu

ginjal dan lapisan saluran pencernaan. Dua tipe utama metabolisme obat di

hati yaitu reaksi Tahap I dan Tahap II. Tahap I reaksi oksidatif adalah

langkah awal dalam biotransformasi obat, dan dimediasi oleh sitokrom

P-450 (CYP). Enzim ini dapat dirangsang atau dihambat oleh agen lain,

sehingga menyebabkan peningkatan atau penurunan dalam metabolisme

obat primer. Pada reaksi Tahap II terjadi setelah reaksi Tahap I, dalam

proses ini metabolit obat diubah menjadi senyawa yang semakin larut

dalam air sehingga menjadi dapat lebih mudah dieliminasi ginjal.

Induksi enzim dapat mengakibatkan peningkatan sintesis enzim CYP, obat

lebih cepat di metabolisme, konsentrasi obat subterapeutik dan risiko

terapi obat tidak efektif. Kecepatan dari induksi enzim tergantung pada

paruh obat yang menginduksi serta laju sintesis enzim. contoh obat yang

menyebabkan induksi enzim adalah barbiturat, beberapa antikonvulsan

dan rifampisin.

Sedangkan Penghambatan enzim bisa terjadi akibat inhibisi nonkompetitif

atau kompetitif dari enzim CYP oleh obat kedua, dan efek yang terjadi

mungkin terjadi dengan cepat. contoh dari inhibitor enzim di hati

termasuk cimetidine, flukonazol dan eritromisin. Hasil kompetitif enzim

inhibisi dengan penambahan agen kedua adalah metabolisme lebih lambat

dari obat pertama, konsentrasi obat plasma yang lebih tinggi, dan risiko

toksisitas. Dalam kasus penghambatan kompetitif, metabolisme kedua

obat dapat dikurangi, sehingga konsentrasi yang diharapkan menjadi lebih

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3) Interaksi Akibat Perubahan dalam Pengikatan Protein (Protein Binding)

Obat yang terdapat dalam plasma baik itu terikat secara reversibel pada

protein plasma dapat pula dalam keadaan bebas/tidak terikat. Protein

plasma utama yang membentuk ikatan obat-protein plasma adalah

albumin dan α1-asam glikoprotein yang merupakan obat bebas yang dapat memberikan efek farmakologis. Obat dapat bersaing satu sama lain pada

situs pengikatan protein plasma, dan ketika hal ini terjadi, satu obat dapat

menggantikan lain yang sebelumnya terikat pada protein.

Pemindahan obat dari binding-sites ini akan meningkatkan konsentrasi agen yang tidak terikat dan kemungkinan dapat mengakibatkan toksisitas.

biasanya beberapa obat ada yang terdapat pada situs protein binding yang

tinggi sampai melebihi 90%. Jadi bahkan penurunan kecil protein-binding secara signifikan dapat menigkatkan konsentrasi bebas obat. Obat yang

biasanya sangat terikat dengan protein (protein-binding), dan yang mungkin berpatisipasi dalam interaksi ikatan adalah obat antikonvulsan

dan warfarin.

4) Interaksi Akibat Perubahan Ekskresi Ginjal

Sebagian besar obat yang dieliminasi oleh ginjal diekskresikan melalui

filtrasi pasif glomerulus. Beberapa obat dieliminasi melalui sekresi tubular

aktif yaitu seperti penisilin, sefalosporin, dan sebagian besar diuretik.

Sekresi aktif dapat dihambat oleh agen sekunder seperti simetidin,

obat-obat antiinflamasi nonsteroid dan probenesid, dengan mengakibatkan

peningkatan konsentrasi obat dalam serum dan penurunan konsentrasi

obat dalam kemih. Dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan interaksi

yang diinginkan, sementara yang lain dapat menyebabkan hasil terapi

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.1.4.2 Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem

reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek

yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma

ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya

dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang

berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek

farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik

dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui

mekanisme kerja obat (Gitawati, 2008).

1.2 Peran Apoteker dalam Penanganan Interaksi Obat

Apoteker, bersama dengan dokter memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa

pasien mengetahui akan risiko efek samping dan tindakan yang tepat saat hal

tersebut terjadi. Dengan pengetahuan yang rinci tentang obat-obatan, apoteker

memiliki kemampuan untuk mengetahui tentang gejala tak terduga yang dialami

oleh pasien untuk efek samping yang mungkin terjadi dalam terapi obat mereka.

Praktek farmasi klinik juga memastikan bahwa kejadian ADR (Adverse Drug Reaction) diminimalkan dengan menghindari obat dengan efek samping yang potensial pada pasien yang rentan. Jadi, apoteker memiliki peran utama dalam

kaitannya dengan pencegahan, deteksi dan pelaporan ADR (Camargo, 2006

dalam Palanisamy, 2009).

Dalam jurnal Ansari (2010), disebutkan beberapa pilihan dalam manajemen

interaksi obat pada pasien adalah:

1. Menghindari kombinasi seluruhnya

Untuk beberapa interaksi obat, risiko selalu melebihi efek terapinya, dan

kombinasi harus dihindari.

2. Menyesuaikan dosis obat

Terkadang dalam memberikan dua obat yang berinteraksi kemungkinan

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Berikan jarak penggunaan untuk menghindari interaksi

Untuk beberapa interaksi yang melibatkan ikatan dalam saluran

pencernaan, untuk menghindari interaksi, dapat diberikan jarak

penggunaan antara obat-obat minimal 2 jam sebelumnya atau 4 jam

setelahnya.

4. Pemantauan untuk deteksi dini

Terkadang dalam beberapa kasus ketika kombinasi antara obat yang

berinteraksi diperlukan dalam penggunaan, pasien harus terus dipantau

untuk melihat efek dari interaksi yang mungkin terjadi. Dengan

pemantauan ini, perubahan dosis yang tepat dapat dibuat atau penggunaan

obat dihentikan bila perlu

5. Memberikan informasi kepada pasien kemungkinan efek yang merugikan

dari interaksi antar obat yang digunakan

Terkadang pasien menggunakan kombinasi obat yang berinteraksi tanpa

diberikan informasi tentang konsekuensi dari penggunaan obat yang

diberikan.

6. Meningkatkan kegunaan sistem penyaringan/screening komputerisasi Sistem screening interaksi obat komputerisasi belum sesukses sebagai salah satu harapan pengidentifikasi interaksi obat yang ideal. Sehingga

harus lebih ditingkatkan fungsinya.

Menurut Mulyani (2006) farmasis mempunyai peran penting dalam

mengidentifikasi masalah yang timbul, kemudian menyelesaikannya secara

tepat dan cepat, serta mengupayakan pencegahan; sebagai penyedia informasi

yang berkaitan dengan terapi obat dan permasalahan yang terkait dengan terapi.

Farmasis juga berperan penting sebagai penyedia jasa penyuluhan dan

pendidikan, untuk memotivasi pasien dan keiuarga pasien agar tercapai luaran

(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.3 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah secara terus menerus (kronis)

akibat kekurangan insulin baik kualitatif maupun kuantitatif (Tapan, 2005).

Sedangkan menurut Depkes RI (2007) diabetes melitus adalah penyakit dengan

kadar gula darah yang melebihi normal dan menunjukkan gejala cepat lapar,

cepat haus, sering buang air kecil terutama di malam hari (Mahendra, 2009).

Menurut WHO (1999) diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu

penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai

dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.

Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau

disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes,

2005).

2.3.1 Tipe Diabetes

Menurut International Diabetes Federation (2014) Tipe diabetes yang utama adalah:

1. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 dulu disebut diabetes juvenile-onset. Hal ini biasanya disebabkan oleh reaksi auto-imun dimana sistem pertahanan tubuh

menyerang sel-sel yang memproduksi insulin. Alasan bagaimana hal ini

terjadi tidak dipahami sepenuhnya. Orang dengan diabetes tipe 1

menghasilkan insulin sangat sedikit atau tidak sama sekali. Penyakit ini

dapat mempengaruhi orang dari segala usia, tetapi biasanya berkembang

pada anak-anak atau dewasa muda. Orang dengan diabetes tipe 1

membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengendalikan kadar

glukosa dalam darah mereka. Jika orang-orang dengan diabetes tipe 1

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 dulu disebut diabetes non insulin-dependent atau adult-onset, dan menyebabkan setidaknya 90% dari semua kasus diabetes. Hal ini ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif, salah

satu atau keduanya dapat ditemukan pada saat didiagnosis diabetes.

Diagnosis diabetes tipe 2 dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe 2

mungkin tetap tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan diagnosis

baru dikatakan ketika telah ada komplikasiatau tes glukosa darah atau

tes urin rutin dilakukan. Hal ini sering, namun tidak selalu, berhubungan

dengan kelebihan berat badan atau obesitas, yang dengan sendirinya

dapat menyebabkan resistensi insulin dan menyebabkan kadar glukosa

darah tinggi. Orang dengan diabetes tipe 2 pada awalnya sering dapat

mengelola kondisi mereka melalui olahraga dan diet. Namun, seiring

waktu kebanyakan orang akan memerlukan obat oral dan atau insulin.

3. Gestational diabetes (GDM)

Gestational diabetes adalah suatu bentuk diabetes yang terdiri dari kadar

glukosa darah tinggi selama kehamilan. Hal ini dapat terjadi pada 1 dari

25 kehamilan di seluruh dunia dan berhubungan dengan komplikasi bagi

ibu dan bayi. GDM biasanya hilang setelah kehamilan, tetapi wanita

dengan GDM dan anak-anak mereka berada pada peningkatan risiko

terkena diabetes tipe 2 di kemudian hari. Sekitar setengah dari wanita

dengan riwayat GDM terus terkena diabetes tipe 2 dalam waktu lima

sampai sepuluh tahun setelah melahirkan.

2.3.2. Pemantauan Diabetes Melitus

Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan pengelolaan diabetes ini

menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan apoteker di apotek mungkin lebih tinggi daripada pertemuannya

dengan dokter (Depkes, 2005).

Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat

pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau

dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat

diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi.Apoteker harus

mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan

yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan

tim kesehatan lainnya dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral

(OHO). Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes

disebabkan karena komplikasi, antara lain komplikasi makrovaskular. Hasil

penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula saja dapat tidak dapat

menurunkan komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada area lain dari

diabetes yang harus diperhatikan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas

secara keseluruhan, antara lain:

1. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg)

2. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)

3. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko

jantung

4. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)

5. Vaksinasi influenza dan pneumokokal

Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien

mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi

pencegahan. (Depkes, 2005)

Menurut Palaian et al (2004) karena ekspansi yang cepat dari agen terapi

tersedia untuk mengobati diabetes, peran apoteker dalam merawat pasien

diabetes melitus juga telah berkembang. Apoteker dapat mendidik pasien

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menjelaskan perangkat monitoring, dan membuat rekomendasi untuk

produk bagi pasien diabetes melitus.

Apoteker, meskipun bukan sebagai profesional kesehatan untuk

mendiagnosa diabetes, mempunyai peran penting dalam membantu pasien

mengontrol penyakit mereka. Apoteker dapat memantau kadar glukosa

darah pasien dan menjaga tetap stabil. Selama berinteraksi dengan apoteker,

pasien dapat menanyakan apoteker pertanyaan-pertanyaan yang tidak

mereka tanyakan kepada dokter dan bisa mendapatkan informasi lebih lanjut

mengenai penyakit diabetes. Apoteker juga dapat memberi informasi kepada

pasien tentang pemberian insulin secara teratur sehingga timbulnya

komplikasi dapat dicegah dengan memiliki kontrol glikemik yang ketat.

Peran penting lain dari apoteker adalah selalu tersedia untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan dari para pasien. Secara keseluruhan, hal tersebut

adalah peran apoteker yang paling efisien untuk membantu pasien diabetes

dalam mengatasi penyakit mereka (Setter, 2000 dalam Palaian, 2004).

2.3.3 Tatalaksana terapi

Menurut Depkes RI (2005) penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir

untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas diabetes melitus, yang secara

spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu menjaga agar kadar

glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau

meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan terapi

menurut Depkes RI (2005) ada dua jenis terapi yaitu terapi tanpa obat dan

terapi obat:

a. Terapi tanpa obat

1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1) Karbohidrat : 60-70%

2) Protein : 10-15%

3) Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut, dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai

dan mempertahankan berat badan ideal. Dalam salah satu penelitian

dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar

HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM),

dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4

bulan tambahan waktu harapan hidup.

Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling

tidak 25 gram perhari. Disamping akan menolong menghambat

penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh

tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan

penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu,

makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya

kaya akan vitamin dan mineral.

2. Olah raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan

nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk

penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga

ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya

bagi kesehatan. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan

meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga

meningkatkan penggunaan glukosa.

b. Terapi Obat

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)

belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi

keduanya.

1. Terapi insulin.

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM

Tipe-1.Pada DM Tipe-1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita

rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai

penggantinya, maka penderita DM Tipe 1 harus mendapat insulin

eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam

tubuhnya dapat berjalan normal.

Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan

terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin di

samping terapi hipoglikemik oral.

2. Terapi obat Hipoglikemia oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang

tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada

tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi

hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat

atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen

hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat

keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien

secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat

dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat

hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinid (meglitinid dan

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel

terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanid

dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan

insulin secara lebih efektif.

3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase

yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan

untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.

Menurut Dipiro (2009) algoritma pelaksanaan terapi diabetes melitus agar terapi

berjalan optimal adalah sebagai berikut:

Target Tercapai

Pantau HbA1C tiap 3-6 bulan

Pilihan monoterapi lain: Pioglitazon, Rosiglitazone,

Repaglinid, Nateglinid, Acarbose, Insulin/Insulin

Analog

Tambahkan terapi insulin Intervensi Awal

Edukasi/Diet/Olahraga Target:

HbA1C: ≤6,5-7,0% GDS: <110-130 mg/dl GDPP: <140-180 mg/dl

Target tidak Tercapai setelah 1 bulan

Monoterapi/kombinasi ADO

Sulfonilurea dan/Metformin

Pilihan kombinasi lain:

 Metformin/Sulfonilurea + Pioglitazon/Rosiglitazon atau Akarbose/Miglitol

 Metformin + Nateglinid atau Repaglinid atau

Insulin/Insulin Analog Target tidak Tercapai

setelah 3 bulan

Kombinasi Sulfonilurea dan

Metformin

Target tidak Tercapai setelah 3-6 bulan Target Tercapai

Lanjutkan Terapi Pantau HbA1C tiap

3-6 bulan

Target Tercapai

Lanjutkan Terapi Pantau HbA1C tiap

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4 Pengertian Polifarmasi

Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak

sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah

mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi,

tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang

banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak

sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi

indikasi utama akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan

adanya efek klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe dkk

2012, dalam Dewi et al 2014). Adapun menurut Bjerrum et al (2003) seorang

individu yang mengalami polifarmasi diidentifikasi dimana apabila

menggunakan secara bersamaan dari dua atau lebih obat.

Polifarmasi yang didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan beberapa obat,

dapat menimbulkan risiko kesehatan seperti reaksi obat merugikan (adverse drug reaction), interaksi obat-obat (drug-drug interaction), kesalahan pengobatan (medication error) dan kepatuhan yang buruk (poor compliance). Jumlah obat yang di konsumsi merupakan prediktor dari komplikasi ini, dan

penggunaan bersamaan dari lima atau lebih menyebabkan risiko dari kejadian

masalah terkait obat (Bjerrum, 1998).

2.5 Pengertian Resep

Berdasarkan Kepmenkes (2004) resep adalah permintaan tertulis dari dokter,

dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan

obat bagi pasien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun

menurut Syamsuni (2005) resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada

APA (Apoteker Pengelola Apotek) untuk menyiapkan dan/atau membuat,

meracik, serta menyerahkan obat kepada pasien. Yang berhak menulis resep

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6 Profil Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta 2.6.1Sejarah Singkat

Rumah Sakit TNI AL (RSAL) Dr. Mintohardjo Jakarta berlokasi di jalan

Bendungan Hilir No. 17 Pejompongan Jakarta Pusat, tampak asri, besar dan

kokoh, yang dibangun diatas lahan seluas 42.586 m2. Sejarah RSAL Dr.

Mintohardjo berawal dari tempat perawatan sementara yang merupakan

poliklinik Dinas Kesehatan Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD). Pada

tahun 1957 dengan berkembangnya TNI AL dan tuntutan kebutuhan pelayanan

dan perawatan kesehatan dibangun suatu Rumah Sakit dengan nama Rumah

Sakit Angkatan Laut Djakarta (RSALD) dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus

1957.

Pada tanggal 15 Mei 1974 RSALD berganti nama menjadi RSAL Dr.

Mintohardjo, yang pada awalnya mempunyai UGD, poliklinik umum, poliklinik

spesialis dan poliklinik sub spesialis serta Ruang Udara Bertekanan Tinggi

(RUBT) yang merupakan satu-satunya di Jakarta.

RSAL Dr. Mintohardjo ini yang memiliki uji kesehatan (medical check up)

yang ditunjang oleh unit rawat inap dan unit penunjang lain yang dapat

meningkatkan mutu pelayanan; Adapun RSAL Dr. Mintohardjo merupakan

Rumah Sakit rujukan wilayah Indonesia bagian Barat khususnya untuk anggota

TNI beserta keluarga. Sebagai RSU tipe B telah terakreditasi sejak tahun 1998

dengan status akreditasi penuh dan sekarang telah merupakan Rumah Sakit tipe

B atau kelas dua (II). Tugas utamanya adalah melakukan pelayanan kesehatan

baik anggota TNI beserta keluarga maupun masyarakat umum serta

dimanfaatkan guna kepentingan pendidikan calon dokter, calon apoteker, calon

perawat, calon ahli gizi, calon radiologi dan lain-lain.

2.6.2Apotek RSAL Mintohardjo

Apotek berada diruang lingkup RSAL Dr. Mintohardjo melayani resep anggota

BPJS. Apotek BPJS memperoleh barang-barang dari gudang farmasi berupa

(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

baku untuk produksi obat tertentu seperti vaselin, asam silisilat, talk, CaCO3.

Permintaan barang ke gudang farmasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan

dengan menggunakan formulir permintaan barang setiap seminggu dua kali.

Resep yang masuk di beri nomor urut, kemudian pasien di beri kartu nomor

panggil sesuai dengan nomor resepnya. Selanjutnya obat disiapkan, dikemas,

dan diserahkan kepada pasien, kemudian resep disimpan sebagai arsip.

Obat-obat dari apotek BPJS diberikan tanpa dipungut biaya. Jika Obat-obat tidak tersedia

di apotek BPJS, maka obat direstitusi dari apotik Yanmasum dengan membuat

salinan resep yang telah ditanda tangani oleh Apoteker (tim restitusi) kemudian

obat tersebut dapat diambil di apotek Yanmasum dengan ketentuan obat-obat

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa

dalam peresepan obat antidiabetes oral kemungkinan terdapat potensi interaksi obat

dimana interaksi tersebut dapat terjadi dalam tingkatan keparahan tertentu sesuai efek

yang telah diprediksi melalui literatur. Adapun penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara jumlah obat yang diresepkan dengan jumlah potensi

interaksi obat yang terjadi pada resep rawat jalan pasien diabetes melitus periode

Januari-Maret 2014. Sehingga bagan kerangka konsep yang ada seperti terlihat pada

bagan berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

23

Karakteristik Pasien

1. Jenis Kelamin 2. Umur

Potensi Interaksi Obat Karakteristik

Resep

(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

Potensi Interaksi

Obat

Potensi interaksi obat adalah potensi aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan

(Sari, 2012)

Pembacaan Resep, dengan: Medscape. com dan teks book Drug Interaction Stockley

Jumlah jenis obat yang diresepkan dalam satu resep pada peresepan obat antidiabetik oral pada pasien rawat

(Utami,2013) Nominal

Umur

Jumlah usia pasien

yang tertera pada resep Pembacaan Resep Umur Rasio

Jenis Kelamin

Perbedaan biologis dan fisiologis yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat diubah (Umyati, 2010)

Pembacaan Resep

1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

3.3 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan

metode bersifat deskriptif analitik. Penelitian ini menggunakan desain studi

retrospektif, dan pengumpulan data dilakukan dengan cara pengambilan data

lembar resep pasien rawat jalan diabetes melitus.

3.4Populasi dan Sampel 3.4.1Populasi

Populasi merupakan suatu kumpulan menyeluruh dari suatu obyek yang

merupakan perhatian peneliti, dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh

lembar resep pasien diabetes melitus di Apotek RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta

(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

resepnya di Apotek RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta. Populasi terjangkau adalah

populasi target pada periode Januari-Maret 2014.

3.4.2 Teknik sampling

Pada penelitian ini pengambilan sampel pasien diabetes melitus di Apotek

RSAL Dr. Mintohardjo dengan menggunakan teknik simple random sampling. Lebih dari dua ribu lembar resep yang mengandung obat antidiabetik oral, sampel yang masuk kriteria inklusi yang didapatkan

sejumlah 1.232 kemudian diurutkan dari awal sampai akhir dan diambil satu

per satu secara acak dengan bantuan aplikasi Random Number Generator. Kriteria sampel pada penelitian ini yaitu semua pasien diabetes melitus rawat

jalan yang mendapatkankan terapi obat antidiabetik oral pada bulan

Janurari-Maret 2014 di Apotek RSAL Dr.Mintohardjo. Adapun kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah:

3.4.2.1Kriteria Inklusi

1. Resep yang mengandung ≥2 macam obat

2. Resep yang mengandung minimal satu obat antidiabetik oral

3.4.2.2Kriteria Eksklusi

1. Resep yang tidak terbaca dengan jelas

2. Resep rawat inap

3.4.3 Jumlah sampel

Pada penelitian ini rumus yang dipakai untuk menentukan jumlah sampel

adalah: n=

( ) (Rumus Slovin) (Wasis, 2006) dimana n = jumlah sampel,

N= jumlah populasi, dan d= tingkat kesalahan yang dipilih, dalam penelitian

ini peneliti memilih tingkat kesalahan 5% dan jumlah populasi adalah jumlah

sampel yang masuk kriteria inklusi yakni sejumlah 1.232 lembar resep.

Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, minimal sampel yang bisa

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

n = 1.232

1.232( 5% ) + 1 = 301,96 = 302

maka sampel yang diambil pada penelitian ini adalah sebesar 310.

3.5Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Apotek RSAL Dr Mintohardjo, pada bulan

September dan Oktober 2014.

3.6Rencana Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan secara retrospektif, yaitu dengan melihat data lembar

resep pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi obat antidiabetik oral di RSAL

Dr. Mintohardjo. Jenis data yang direncanakan pada penelitian ini yaitu data

sekunder berupa lembar resep pasien rawat jalan diabetes melitus.

3.7Rencana Analisis Data

Evaluasi interaksi obat dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur

dengan penapisan secara media online menggunakan situs medscape.com dan penapisan secara manual menggunakan buku teks Drug Interactions Stockley. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif; ditentukan persentase

gambaran karakteristik pasien dan karakteristik resep, gambaran potensi interaksi

obat antidibetik oral dalam resep, dan untuk melihat adanya hubungan yang

bermakna antara jumlah dari jenis obat yang diresepkan dengan jumlah interaksi

yang terjadi dianalisis menggunakan metode uji Chi-Square

3.8Sumber Data

Sumber data berasal dari lembar resep pasien diabetes melitus di Apotek RSAL

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1HASIL PENELITIAN

Penelitian retrospektif ini dilakukan terhadap 310 lembar resep pasien rawat jalan

yang menerima obat antidiabetik oral di RSAL Dr. Mintohardjo, adapun tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien dan karakteristik obat

yang terdapat dalam lembar resep, dan gambaran potensi interaksi obat dalam

peresepan obat antidiabetik oral.

4.1.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif data karakteristik

pasien seperti umur dan jenis kelamin, karakteristik obat yaitu jumlah jenis obat yang

diterima pasien, gambaran resep dan gambaran potensi interaksi obat.

4.1.1.1Gambaran Karakteristik Pasien

Gambaran karakteristik pasien diabetes melitus rawat jalan berdasarkan jenis kelamin

dan umur pasien yang tertera dalam resep obat diabetes melitus rawat jalan adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.1

Gambaran Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur dalam Lembar Resep

No Karakteristik Pasien Jumlah Persentase (%)

1 Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

154 156

49,68 50,33

Total 310 100

2 Umur

31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90

4 16 77 121

86 6

1,29 5,16 24,83 39,03 27,74 1,93

Total 310 100

Berdasarkan tabel 4.1, dapat diketahui bahwa 154 pasien (49,68%) berjenis kelamin

laki-laki dan sebanyak 156 pasien (50,33%) berjenis kelamin perempuan.

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berdasarkan distribusi umur pasien, pasien yang menerima obat antidiabetik oral

paling banyak pada rentang umur 61-70 tahun sebanyak 121 (39,03%) dari 310

sampel, sedangkan yang paling sedikit pada pasien dengan umur 31-40 tahun yaitu

hanya sebanyak 4 orang (1,29%).

4.1.1.2Gambaran Karakteristik Resep

Pada penelitian ini, sekitar lebih dari dua ribu lembar resep obat diabetes melitus

yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo, resep yang memenuhi kriteria inklusi

sebanyak 1.232 lembar dan data lembar resep yang diambil sesuai perhitungan adalah

310 lembar. Resep dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok resep yang

mempunyai jumlah jenis obat dua hingga kurang dari lima dan resep yang

mempunyai jumlah jenis obat ≥5, data keseluruhan dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2

Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Jumlah Jenis Obat Kategori Jumlah Jumlah Resep Persentase (%)

Jenis Obat 2 - <5 ≥5 127

183

40,96 59,03

Total 310 100

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui dalam penelitian ini, resep obat dengan jenis obat ≥5

lebih banyak dari pada jenis obat dua hingga kurang dari lima yakni sebanyak 183

lembar (59,03%), sedangkan resep dengan jenis obat dua hingga kurang dari lima

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.3

Gambaran Distribusi Obat Berdasarkan Penggunaan Obat Antidiabetik Oral

No Penggunaan Obat Nama Obat Jumlah

Resep

Total Persentase (%)

1 Obat Tunggal Akarbosa 9 63 20,32

Glimepirid 12

Glikuidon 7

Gliklazid 3

Metformin 32

2 Kombinasi 2 Obat Akarbosa + Metformin 7 183 59,03

Akarbosa + Glikuidon 23

Akarbosa + Glimepirid 9

Akarbosa + Gliklazid 1

Akarbosa + Pioglitazon 1

Akarbosa + Glibenklamid 1

Glimepirid + Metformin 98

Glimepirid + Gliklazid 2

Glimepirid + Pioglitazon 10

Gliklazid + Glikuidon 1

Metformin + Glikuidon 3

Metformin + Gliklazid 19

Metformin + Glibenklamid 6

Metformin + Pioglitazon 1

Pioglitazon + Gliklazid 1

3 Kombinasi 3 Obat Akarbosa+Glibenklamid +Metformin 4 58 18,70

Akarbosa + Glikuidon + Pioglitazon 1

Akarbosa + Metformin Gliklazid 4

Akarbosa + Glimepirid + Metformin 31

Akarbosa + Glimepirid + Pioglitazon 1

(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No Penggunaan Obat Nama Obat Jumlah

Resep

Total Persentase (%)

3 Kombinasi 3 Obat Akarbosa + Glimepirid + Glikuidon 4

Glimepirid+ Metformin + Pioglitazon 11

Metformin + Pioglitazon + Glikuidon 1

4 Kombinasi 4 Obat Akarbosa + Glimepirid + Metformin

+ Pioglitazon 4

6 1,93

Akarbosa + Metformin + Glikuidon +

Pioglitazon 2

*Sumber: Rahmiati, Supadmi (2010)telah diolah kembali

Berdasarkan jumlah penggunaan obat antidiabetik oral dalam satu resep, yang paling

banyak digunakan/diresepkan di RSAL Dr. Mintohardjo adalah kombinasi dua obat

antidiabetik oral yaitu sebanyak 183 lembar (59,03%) dan yang paling sedikit

diresepkan adalah kombinasi 4 obat antidiabetik oral, yakni sebanyak 6 lembar

(1,93%) dari 310 jumlah lembar resep.

Tabel 4.4

Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Penggunaan Golongan Obat Antidiabetik Oral Pada Resep

Golongan Antidiabetik oral

Pemakaian Antidiabetik oral pada

Resep

Persentase (%) Inhibitor α-glukosidase (Akarbosa)

Sulfonilurea

Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa golongan obat antidiabetik oral yang paling banyak

diresepkan dalam penelitian ini adalah golongan sulfonilurea, yakni sebanyak 268

lembar (43,29%) dan golongan yang paling sedikit diresepkan yaitu tiazolidindion

(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.1.1.3Gambaran Potensi Interaksi Obat

Pada penelitian ini resep dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu kelompok resep

yang mempunyai jumlah obat dua hingga kurang dari lima obat dan resep yang

mempunyai jumlah obat ≥5. Dari kelompok-kelompok resep tersebut dilihat

gambaran potensi interaksi obat yang terdapat pada tabel 4.5 berikut

Tabel 4.5

Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Ada dan Tidaknya Potensi Interaksi Obat

Ada_interaksi

Total Kategori

Ada Interaksi

Tidak ada Interaksi

Jenis obat

≥ 5 obat N 157 26 183

% 85,80% 14,20% 100%

< 5 obat N 47 80 127

% 37,00% 63,00% 100%

Total N 204 106 310

% 65,80% 34,20% 100%

Berdasarkan hasil analisis lembar resep pasien yang menerima obat antidiabetik oral,

sebanyak 204 lembar (65,80%) resep pasien berpotensi mengalami interaksi obat dan

sebanyak 106 lembar (34,19%) resep pasien tidak berpotensi mengalami interaksi

obat. Dari tabel 4.5 tersebut dapat dilihat bahwa potensi interaksi obat lebih banyak

terjadi pada lembar resep yang terdapat jumlah obat ≥5, yaitu sebanyak 157 lembar

(85,80%) sedangkan yang potensi interaksi obat lebih sedikit terjadi pada lembar

resep yang terdapat jenis obat dua hingga kurang dari lima, yaitu sebanyak 80 lembar

(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.6

Gambaran Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Umur Pasien

Umur Pasien

*Sumber: Sari (2008) telah diolah kembali

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pasien yang mengalami potensi interaksi

obat paling banyak adalah kelompok umur 61-70 tahun dengan jumlah pasien yang

berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 77 pasien (37,74%) dan paling sedikit

pada kelompok umur <41 hanya sebanyak 4 pasien (1,96%). Data jumlah potensi

interaksi dari penggunaan antidiabetik oral pada pasien dapat dilihat pada tabel 4.7

Tabel 4.7

Gambaran Jumlah Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Pemakaian Antidiabetik Oral pada Resep

Golongan Antidiabetik oral

Pemakaian

Inhibitor α-glukosidase (Akarbosa) Sulfonilurea

Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa pada pemakaian antidiabetik oral pada

resep, golongan sulfonilurea memperlihatkan potensi interaksi terbesar yaitu sebesar

142 (47,34%) dari 268 jumlah obat sulfonilurea yang diresepkan, dimana glimepirid

(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

banyak berpotensi menyebabkan interaksi obat. Golongan obat antidiabetik oral yang

juga banyak menyebabkan potensi interaksi obat adalah golongan biguanid yaitu

metformin sebesar 134 (44,67%) dari 215 lembar resep metformin yang diresepkan

pada pasien, dan dilihat dari masing-masing obatnya, metformin merupakan obat

yang paling banyak menyebabkan potensi interaksi obat.

Tabel 4.8

Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tipe Mekanisme Interaksi dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Potensi

Interaksi Kategori Jumlah

Persentase (%)

Mekanisme Interaksi

Farmakokinetik Farmakodinamik

Tidak Diketahui

242 178 181

40,27 29,62 30,12

Total 601 100

Tingkat Keparahan

Ringan Sedang Berat

164 388 49

27,29 64,56 8,16

Total 601 100

Hasil analisis terhadap 204 resep yang berpotensi mengalami interaksi obat, diperoleh

hasil bahwa terdapat total potensi kejadian interaksi obat antidiabetik oral adalah

sebanyak 601 kasus yang terdiri dari interaksi farmakodinamik dengan 242 kasus

(40,27%) sebagai tipe mekanisme potensi interaksi obat yang terbanyak, kemudian

interaksi farmakokinetik dengan 178 kasus (29,62%), dan interaksi lainnya dengan

181 kasus (30,12%). Hasil analisis tingkat keparahan potensi interaksi obat pada

lembar resep antidiabetik oral yang diperoleh dari tingkat keparahan ringan sebanyak

164 (27,29%), tingkat keparahan sedang 388 (64,56%), dan tingkat keparahan berat

sebanyak 49 (8,16%). Untuk distribusi data potensi interaksi obat dari tiap resep

selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.

Pada penelitian ini, juga dilakukan penelusuran terhadap hasil klinis interaksi obat

antara obat antidiabetik oral dengan obat lain pada tingkat keparahan sedang dan

Gambar

Tabel
Gambaran karakteristik pasien diabetes melitus rawat jalan berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Jumlah Jenis Obat
Gambaran Distribusi Obat Berdasarkan Penggunaan Obat Antidiabetik Oral
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis deskriptif kualitatif menjelaskan kondisi sentra produksi dan pasar yang ada, sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk perhitungan analisis usaha perikanan pada

Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah

– Status solusi ( solution state ): satu atau lebih status yang menyatakan solusi persoalan. •

BPKH Tembusan MEN - HUT &amp; penyam- paian peta arahan indikatif Provinsi peta arahan indikatif per Provinsi peta arahan indikatif per Provinsi peta arahan indikatif per

Bersama ini kami sampaikan ralat atau perbaikan pada Berita Acara Evaluasi Dokumen Penawaran dan Berita Acara Hasil Pelelangan terdapat salah tulis pada tabel evaluasi

Pada hari ini Selasa, tanggal sembilan bulan Oktober tahun dua ribu dua belas, kami selaku Pokja Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk Belanja Modal dan Belanja Barang ULP

Permasalahan yang penting ditampilkan adalah pemantauan atau monitoring Sesar Kaligarang ini yang dapat menyebabkan pergeseran tanah di lingkungan sekitarnya. Penulis

Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara tanpa Sektor pertanian tahun 2008-2011 Ketimpangan Pendapatan (Indeks Williamson) Keterkaitan Sektor pertanian dengan Sektor-