i
ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT DIABETES
MELITUS PADA RESEP OBAT PASIEN RAWAT JALAN
DI RSAL DR. MINTOHARDJO
SKRIPSI
KHALIDA HANDAYANI
NIM.1110102000008
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
ii
ANALISIS POTENSI INTERAKSI OBAT DIABETES
MELITUS PADA RESEP OBAT PASIEN RAWAT JALAN
DI RSAL DR. MINTOHARDJO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi
KHALIDA HANDAYANI
NIM.1110102000008
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
vi
Nama : Khalida Handayani
NIM : 1110102000008
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Analisis Potensi Interaksi Obat Diabetes Melitus Pada Resep Obat Pasien Rawat Jalan Di RSAL Dr.Mintohardjo
Interaksi obat merupakan salah satu dari Masalah Terkait Obat yang dapat mempengaruhi terapi pasien. Kemungkinan interaksi obat meningkat 2,5 kali lipat untuk setiap obat yang ditambahkan ke resep pasien, dan pada pasien dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap menghadapi efek samping dari interaksi obat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien, karakteristik resep dan potensi interaksi dari peresepan obat Antidiabetik oral di RSAL Dr. Mintohardjo pada periode Januari-Maret 2014. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan deskriptif dan data diambil secara retrospektif. Dari 310 lembar resep yang memenuhi kriteria inklusi, diperoleh 65,80% berpotensi mengalami interaksi obat dan 85,80% potensi interaksi terdapat pada resep dengan jumlah obat ≥5. Obat yang paling banyak berpotensi menyebabkan interaksi obat adalah Metformin dan potensi interaksi yang paling sering terjadi dalam penelitian ini adalah antara Metformin dengan Akarbosa. Mekanisme interaksi yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik dengan 242 kasus (40,27%). Dengan menggunakan uji statistik Kai Kuadrat diketahui adanya hubungan bermakna antara jumlah obat dalam resep yang mengandung obat antidiabetik oral dengan jumlah interaksi obat yang teridentifikasi (p<0.05). Hasil odds ratio menunjukan bahwa pasien yang menerima jumlah obat ≥5 beresiko 10.278 kali lebih tinggi mengalami potensi interaksi obat (95% CI, 5.933-17.806).
vii
Name : Khalida Handayani
NIM : 1110102000008
Study Program : Farmasi
Title : Analysis of Potential Drug Interactions of Diabetes
Mellitus Outpatients' Prescription In Mintohardjo
Central Navy Hospital
Drug Interaction is one of the Drug Related Problems (DRPs) that may affect patient treatment outcomes. The probability of drug interaction increased 2,5 fold for each medication added to the patient’s prescription, and those patients with Diabetes Mellitus were more prone to facing adverse effects from drug interactions. The purposes of this research were to reveal the patients and prescribing pattern and potential drug interaction problem on prescribe Oral Antidiabetic in Mintohardjo Navy Central Hospital period in January-March 2014. This research used descriptive design and data retrieved in retrospectively. From 310 outpatient prescriptions that met the inclusion criteria, found 65,80% potential drug interaction and 85,80% potential drug interaction found in prescriptions that has ≥5 drugs. Drug most potentially cause drug interactions is Metformin and potential interactions that occur most frequently in this study were between Metformin with Acarbose. The mechanism of interaction is at most pharmacodynamics interaction with 242 cases (40,27%). By using statistical analysis Chi Square known of the significant correlation between the number of medication in one prescription that containing oral antidiabetic with the number of drug interaction that identified (p<0.05). The odds ratio result showed patients that receiving ≥5 drugs of medication has 10.278 fold higher risk of experiencing a potential drug interactions (95% CI, 5.933-17.806).
viii
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha pengasih dan Maha penyayang,
yang telah memberi kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Rosul tercinta, Nabi
Muhammad saw yang merupakan suri tauladan bagi umatnya.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis selalu mendapatkan motivasi, bantuan dan
dukungan selama melaksanakan penyusunan skripsi ini. penulis sangat berterima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi
ini, diantaranya:
1. Kedua orang tua penulis, Ayah Dr. Abd Aziz Hsb M.Pd dan Mama Siti
Bayinah M.Ag terima kasih untuk semua hal yang sudah diberikan, yang juga
senantiasa mendoakan setiap langkah yang penulis kerjakan demi kesuksesan
penulis. Serta Kak Dewi, Kak Ami dan Farhan yang telah memberikan
semangat kepada penulis selama masa-masa penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Yardi, M.Si, Apt, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I, terima kasih
penulis ucapkan atas waktunya, semua arahan, inspirasi dan kebaikan dalam
bimbingannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Drs. R.E Aritonang, M.Si, Apt selaku Dosen Pembimbing II, terima
kasih penulis ucapkan atas waktunya, semua arahan, bimbingan, inspirasi,
pelajaran serta kebaikannya dalam bimbingannya kepada penulis selama
ix
tersebut.
5. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc, Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Bapak Ibu Pegawai Apotek RSAL Dr. Mintohardjo. Terima kasih atas
bantuannya, saran serta informasinya.
8. Sahabat terbaik selama menjalani perkuliahan di Program Studi Farmasi,
Silky, Farah dan Deisy. Terima kasih banyak, semoga kita semua menjadi
orang yang sukses, amin.
9. Teman seperjuangan saat bimbingan, Shelly dan Isa. Terima kasih banyak
atas semua bantuannya.
10.Teman-teman Farmasi B dan Andalusia, semoga kita dapat menjadi pionir
dalam mengembangkan profesi Farmasi berbasis Islami dan bermanfaat bagi
orang banyak, amin
11.Rekan-rekan mahasiswa dan segenap pihak yang telah berperan aktif
membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis
sebutkan dalam skripsi ini.
Akhir kata, kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan kesalahannya datangnya dari
Penulis selaku manusia, sehingga saran dan kritik dari pembaca sangat Penulis
harapkan demi terciptanya perbaikan di masa yang akan datang.
Tangerang Selatan, April 2015
xi
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ...viii
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 3
1.3PertanyaanPenelitian ... 3
1.4Tujuan Penelitian ... 3
1.5Hipotesis... 3
1.6Manfaat Penelitian ... 3
1.7Ruang Lingkup Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1Interaksi Obat ... 5
2.1.1Pengertian Interaksi Obat ... 5
2.1.2Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 6
2.1.3Jenis Obat yang berinteraksi ... 7
2.1.4Tipe Mekanisme Interaksi Obat ... 8
2.1.4.1Interaksi Farmakokinetika ... 8
2.1.4.2Interaksi Farmakodinamika ... 11
2.2Peran Apoteker dalam Penanganan Interaksi Obat ... 11
xii
2.3.3Tatalaksana Terapi ... 16
2.4Pengertian Polifarmasi ... 20
2.5Pengertian Resep ... 20
2.6Profil Rumkital Dr. Mintohardjo` ... 21
2.6.1Sejarah Singkat ... 21
2.6.2Apotek BPJS Rawat Jalan... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23
3.1Kerangka Konsep ... 23
3.2Definisi Operasional ... 24
3.3Jenis Penelitian ... 25
3.4Populasi dan Sampel ... 25
3.4.1Populasi ... 25
3.4.2Teknik Sampling ... 25
3.4.2.1Kriteria Inklusi ... 25
3.4.2.2Kriteria Eksklusi ... 25
3.4.3Jumlah Sampel ... 26
3.5Tempat dan Waktu Penelitian ... 26
3.6Rencana Pengumpulan Data ... 26
3.7Rencana Analisis Data... 26
3.8Sumber data ... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 27
4.1Hasil Penelitian ... 27
4.1.1Analisa Univariat ... 27
4.1.1.1Gambaran Karakteristik Pasien ... 27
4.1.1.2Gambaran Karakteristik Resep ... 28
4.1.1.3Gambaran Potensi Interaksi Obat ... 31
xiii
4.2Pembahasan Penelitian ... 35 4.2.1Keterbatasan Penelitian ... 35 4.2.2Pembahasan Hasil Penelitian ... 36 4.2.2.1Karakteristik Pasien dan Karakteristik Resep dalam Potensi
xiv
4.1 Gambaran Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur dalam
Lembar Resep ... 27
4.2 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Jumlah Obat ... 28
4.3 Gambaran Distribusi Obat Berdasarkan Penggunaan Obat Antidiabetik Oral .... 29
4.4 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Penggunaan Golongan Obat
Antidiabetik Oral pada Resep ... 30
4.5 Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Ada dan Tidaknya Potensi Interaksi
Obat ... 31
4.6 Gambaran Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Umur Pasien ... 32
4.7 Gambaran Jumlah Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Pemakaian Antidiabetik
Oral pada Resep ... 32
4.8 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tipe Mekanisme Interaksi
dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 33
4.9 Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Antidiabetik Oral dan Hasil Klinis
Berdasarkan Penelusuran Literatur Jurnal Terbaru ... 34
4.10 Gambaran Distribusi Jumlah Obat yang Diresepkan dalam Lembar Resep
xv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat ( drug-related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien, dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan
kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya
interaksi obat semakin besar (Setiawan (Abstrak), 2011).
Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain
(antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat-inap dan
9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadang-kadang
evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik selain
interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi (Peng, C.C et al,
2003 dalam Gitawati, 2008).
Sebuah studi di Amerika Serikat mencatat bahwa hampir semua pasien diabetes
melitus di instalasi rawat jalan (92,5%) berada pada risiko mengalami interaksi obat
tingkat sedang, dan 70,5% berisiko mengalami interaksi obat tingkat ringan (Dinesh
et al, 2007). Adapun di Swedia, dari 5.125 pasien rawat jalan yang kebanyakan pasien
geriatrik, rata-rata setiap pasien memiliki 1,6 jumlah interaksi obat dimana obat
antidiabetes penyebab terbanyak yang menyebabkan interaksi (Bregendal, Friberg, &
Schaffrath, 1995). Menurut penelitian Utami (2013) di Pontianak, dari 1.435 resep
pasien diabetes melitus rawat jalan, diperoleh bahwa interaksi obat terjadi pada
62,16% resep obat yang menerima obat antidibetik oral, dan dalam penelitian tersebut
disebutkan bahwa kejadian potensi interaksi obat 6 kali lebih besar pada resep yang
mengandung jumlah obat ≥5 dibandingkan dengan resep yang mengandung jumlah
obat <5; adapun penelitian yang dilakukan Dinesh et al (2007) pada sebuah rumah
sakit di Pokhara, Nepal, pasien diabetes yang berumur 51-60 tahun memiliki risiko
lebih tinggi mengalami interaksi obat tingkat moderate, dimana yang paling banyak dalam potensial menyebabkan interaksi obat adalah penggunaan obat antara
metformin dengan enalapril.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Marquito et al (2014) yang dikutip oleh Bastos (2014), kemungkinan
interaksi obat meningkat 2,5 kali lipat untuk setiap obat yang ditambahkan ke resep
pasien, dan pada individu dengan diabetes melitus termasuk lebih rentan menghadapi
efek samping dari interaksi obat.Pada penggunaan obat antidiabetik oral (ADO) pada
pasien diabetes melitus, dapat terjadi interaksi dengan obat-obat tertentu yang
digunakan oleh pasien sehingga menyebabkan terjadinya gejala hipoglikemia yang
merupakan efek samping paling berbahaya. Gejala hipoglikemia berupa berkeringat,
tremor, takikardia, kesemutan, pandangan kabur, konsentrasi berkurang, ataksia,
hemiplegia dan koma (Sari, 2008).
World Health Organization (2013) menyebutkan bahwa 347 juta orang di dunia menderita diabetes melitus dan 80% terjadi pada negara berkembang menengah
maupun menengah kebawah, dimana Indonesia berada di peringkat keempat kejadian
diabetes terbesar di dunia setelah India, Amerika Serikat, dan China, dengan jumlah
orang dengan diabetes sebesar 8,4 juta pada tahun 2000 dan diprediksi akan
bertambah hingga 21,3 juta orang pada tahun 2030.
Menurut riset Riskesdas 2013, prevalensi diabetes melitus mengalami
peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2.1% (2013) berdasarkan diagnosis atau
gejala. Pada data profil kesehatan Kemenkes (2012) berdasarkan diagnosis atau
gejala, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan prevalensi diabetes melitus tertinggi
yaitu sebesar 2,6%, diikuti oleh Aceh sebesar 1,7% (Kemenkes, 2013).
Dari hasil pengamatan sampling awal pada Apotek RSAL Dr. Mintohardjo, lembar resep obat antidiabetik oral perhari mencapai 20-50 resep dan sekitar >200
lembar perbulannya. Tiap resep dengan jumlah obat 2->5 berpotensi mengalami
interaksi obat. Berdasarkan yang telah dijabarkan diatas, peneliti ingin menganalisis
gambaran potensi interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien diabetes melitus
di RSAL Dr Mintohardjo dan mengetahui apakah ada hubungan yang bermakna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang menunjukan bahwa efek terapi yang diinginkan
pada pasien diabetes melitus dipengaruhi oleh jumlah obat dan terjadinya potensi
interaksi obat pada peresepan obat antidiabetik oral.
1.3Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien dan karakteristik resep/obat pada
lembar resep pasien diabetes melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo?
2. Bagaimana gambaran potensi interaksi obat pada pasien diabetes melitus
rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo?
1.4Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui potensi interaksi obat pada penggunaan obat antidiabetik
oral pada pasien diabetes melitus rawat jalan.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik pasien dan karakteristik resep/obat pada
lembar pasien diabetes melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo
2. Untuk mengetahui gambaran potensi interaksi obat pada pasien diabetes
melitus rawat jalan di RSAL Dr Mintohardjo
1.5Hipotesis
Adanya potensi yang bermakna pada peresepan obat antidiabetik oral yakni antara
jumlah obat yang diresepkan dengan jumlah interaksi obat.
1.6Manfaat Penelitian
1.6.1Manfaat Secara Aplikatif (Bagi RSAL Dr Mintohardjo)
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai program informasi atau
intervensi dalam mengatasi cikal bakal masalah kesehatan dengan adanya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.6.2Manfaat Secara Teoritis (Bagi Program Farmasi UIN Jakarta)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan sebagai tambahan
referensi guna memberikan masukan data dan informasi yang dapat digunakan
sebagai bahan pustaka dalam pengembangan ilmu kefarmasian terutama
farmasi klinis mengenai diabetes melitus dan interaksi obat.
1.6.3Manfaat Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung
serta menambah wawasan dalam dunia farmasi klinis mengenai potensi
interaksi obat yang terjadi dalam penggunaan antidiabetik oral, sehingga
peneliti dapat menerapkan ilmu kefarmasian khususnya dalam farmasi klinis.
1.7Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi interaksi obat dalam
penggunaan obat antidiabetik oral pada pasien rawat jalan diabetes melitus RSAL
Dr Mintohardjo Jakarta tahun 2014. Sasaran dalam penelitian ini adalah pasien
diabetes melitus rawat jalan RSAL Dr Mintohardjo Jakarta. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2014. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain retrospektif, data yang
diambil adalah data resep pasien diabetes melitus rawat jalan di Apotek RSAL Dr.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan perubahan aktivitas farmakologi suatu obat karena
pemakaian bersamaan dengan obat lain agen kimia lain. Interaksi obat dapat
mengurangi efek obat, meningkatkan efek obat, atau meningkatkan toksisitas.
Dalam beberapa hal, interaksi obat dapat menguntungkan tetapi interaksi obat
dapat menjadi merugikan bahkan berbahaya bagi kesehatan.
1.1.1 Pengertian Interaksi obat
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dengan zat lain
yang mencegah obat melakukan efek seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku
untuk interaksi obat dengan obat lain (interaksi obat-obat), serta obat dengan
makanan (interaksi obat-makanan) dan zat yang lainnya (Arulselvi et al, 2013).
Interaksi obat adalah keadaan dimana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat,
dimana dapat menghasilkan efek meningkat atau menurun atau menghasilkan
efek baru yang tidak dihasilkan oleh obat tersebut. Interaksi ini dapat terjadi dari
penyalahgunaan yang disengaja atau karena kurangnya pengetahuan tentang
bahan-bahan aktif yang terdapat dalam zat terkait. (Bushra et al, 2011). Adapun
menurut Penzak (2010) yang dikutip dari Tatro (1992) interaksi obat merupakan
respon farmakologis atau klinis yang berbeda antara efek dari obat yang
dikombinasikan dengan efek yang telah diketahui apabila obat-obat tersebut
diberikan sendiri-sendiri.
Menurut Raich et al (1997) secara sederhananya pengertian interaksi obat adalah
perubahan dalam efek satu obat bila diberikan dengan obat lain, makanan, atau
substansi lainnya. Misalnya, dua atau lebih obat yang diminum bersama-sama
dapat mengubah cara obat tersebut bekerja dalam tubuh. Hal ini ini mungkin
dapat membuat satu atau lebih obat menjadi kurang aman dikonsumsi atau dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyebabkan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sedangkan menurut Stockley
(2008) interaksi obat terjadi ketika efek dari satu obat yang dikonsumsi diubah
oleh adanya obat lain, jamu, makanan, minuman, atau oleh beberapa agen kimia
lainnya.
Menurut Hansten & Horn dalam bukunya yang berjudul The Top 100 Drug Interactions 2014 (2014) dalam arti luas interaksi obat terjadi ketika satu obat mempengaruhi farmakokinetik, farmakodinamik, khasiat, atau toksisitas dari obat
lain. Kedua obat tidak perlu secara fisik berinteraksi satu sama lain untuk
menghasilkan efek. Ketika kombinasi obat menghasilkan efek yang tidak
diinginkan, interaksi obat menjadi interaksi obat yang merugikan. Interaksi obat
jauh lebih umum daripada interaksi obat yang merugikan (adverse drug interactions).
Interaksi obat dapat mungkin tidak terjadi pada setiap individu. Karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan bahwa interaksi dapat terjadi
atau tidak. Faktor-faktor ini termasuk perbedaan antara individu seperti gen,
fisiologi, gaya hidup (diet, olahraga), penyakit yang diderita, dosis obat, durasi
terapi kombinasi, dan waktu relatif administrasi dua zat (terkadang interaksi dapat
dihindari jika dua obat dikonsumsi pada waktu yang berbeda) (Kashif et al, 2012).
1.1.2 Tingkat keparahan (Severity Level) interaksi obat
Potensi interaksi obat yang diklasifikasikan menurut klasifikasi yang diusulkan
oleh Hansten dan Horn (2002) secara internasional diterima dan digunakan secara
luas di seluruh dunia. Interaksi obat secara teratur diperbarui dan sistem
klasifikasi ini memberikan ringkasan yang rinci dari hasil klinis, mekanisme aksi
yang terjadi dan informasi tambahan. Interaksi obat dikategorikan sebagai
major/besar, moderate/sedang atau minor/kecil tergantung pada keparahan hasil dan kualitas dokumentasi.
Menurut Tatro (2001) derajat keparahan akibat interaksi diklasifikasikan menjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kerusakan organ), dan major (efek fatal, dapat menyebabkan kematian) (Yasin,
Widyastuti, & Dewi, 2005). Sedangkan menurut Ayuningtyas (2010) yang dikutip
dari Tatro (2001), tingkat keparahan major atau efek berat ialah efek potensial
yang menyebabkan kerusakan menetap atau mengancam jiwa, tingkat keparahan
moderat atau efek sedang dapat menyebabkan perubahan status klinik dan
penambahan pengobatan, sedangkan tingkat keparahan minor atau efek ringan
dari interaksi obat biasanya tidak membutuhkan pengobatan tambahan.
1.1.3Jenis obat yang berinteraksi
Menurut penelitian Dinesh et al (2007), pada 182 pasien rawat jalan yang
menerima obat antidiabetik oral, obat antidiabetik metformin menduduki
peringkat pertama sebagai obat yang paling banyak menyebabkan interaksi obat.
Adapun menurut peneltian Santi Purna Sari, Mahdi Jufri, dan Dini Permana Sari
di Depok (2008) pada resep pasien diabetes rawat jalan rawat jalan, resep obat
antidiabetik oral yang diketahui berinteraksi sebanyak 41,69% dari jumlah sampel
dimana interaksi obat yang sering terjadi adalah interaksi obat antara golongan
sulfonilurea yaitu glibenklamid, glimepirid dan gliklazid dan golongan biguanid
yaitu metformin.
Menurut penelitian Utami di tahun 2013 dari 1.435 resep pasien diabetes melitus
rawat jalan, diperoleh bahwa interaksi obat terjadi pada 62,16% resep obat yang
menerima obat antidibetik oral. Dalam penelitian tersebut jenis-jenis obat yang
sering berinteraksi adalah metformin dan gliklazid.
Menurut penelitian Sulistiana dkk (2013) interaksi obat yang paling banyak
terjadi antara obat antidiabetik oral yang dikombinasi adalah metformin dengan
acarbose yaitu sebesar 51,85% dari total 155 pasien yang masuk inklusi,
sedangkan interaksi yang paling banyak terjadi antara obat antidiabetik oral
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.1.4Tipe Interaksi Obat
Interaksi obat sering diklasifikasikan sebagai interaksi farmakodinamik atau
interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakodinamik termasuk yang
mengakibatkan aditif atau efek farmakologis antagonis. Interaksi farmakokinetik
melibatkan induksi atau inhibisi enzim metabolisme di hati atau di tempat lain,
situs perpindahan obat dari ikatan protein plasma, perubahan dalam penyerapan
gastrointestinal, atau kompetisi untuk sekresi ginjal yang aktif (Bailie et al,
2004).
1.1.4.1 Interaksi Farmakokinetik
Menurut Stockley (2008) interaksi farmakokinetik adalah interaksi yang dapat
mempengaruhi proses dengan yang obat diserap, didistribusikan, dimetabolisme
dan diekskresikan (disebut juga Interaksi ADME); Interaksi dalam proses
farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME)
dapat meningkatkan ataupun menurunkan kadar plasma obat.
Interaksi obat secara farmakokinetik yang terjadi pada suatu obat tidak dapat
diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk obat lainnya meskipun masih dalam satu
kelas terapi, disebabkan karena adanya perbedaan sifat fisikokimia,
yangmenghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda. Contohnya, interaksi
farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh H2-bloker lainnya; interaksi
oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh antihistamin non sedatif lainnya
(Gitawati, 2008).
Bailie et al (2004) menjabarkan interaksi-interaksi yang terjadi pada tahap
farmakokinetika obat, yaitu:
1) Interaksi akibat perubahan dalam penyerapan di gastrointestinal Tingkat penyerapan obat setelah pemberian oral dapat mungkin untuk
diubah oleh agen obat lainnya. Penyerapan obat merupakan fungsi dari
kemampuan obat untuk berdifusi dari lumen saluran pencernaan ke dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
obat serta pelarutan bentuk sediaan. Sebagai contohnya penyerapan
ketoconazole menjadi kurang karena adanya pemberian antasida atau
antagonis H2 yang mengurangi pelarutan tablet ketokonazole.
2) Interaksi akibat perubahan dalam metabolisme enzim
Hati adalah tempat/situs utama dalam metabolisme obat. Situs lain yaitu
ginjal dan lapisan saluran pencernaan. Dua tipe utama metabolisme obat di
hati yaitu reaksi Tahap I dan Tahap II. Tahap I reaksi oksidatif adalah
langkah awal dalam biotransformasi obat, dan dimediasi oleh sitokrom
P-450 (CYP). Enzim ini dapat dirangsang atau dihambat oleh agen lain,
sehingga menyebabkan peningkatan atau penurunan dalam metabolisme
obat primer. Pada reaksi Tahap II terjadi setelah reaksi Tahap I, dalam
proses ini metabolit obat diubah menjadi senyawa yang semakin larut
dalam air sehingga menjadi dapat lebih mudah dieliminasi ginjal.
Induksi enzim dapat mengakibatkan peningkatan sintesis enzim CYP, obat
lebih cepat di metabolisme, konsentrasi obat subterapeutik dan risiko
terapi obat tidak efektif. Kecepatan dari induksi enzim tergantung pada
paruh obat yang menginduksi serta laju sintesis enzim. contoh obat yang
menyebabkan induksi enzim adalah barbiturat, beberapa antikonvulsan
dan rifampisin.
Sedangkan Penghambatan enzim bisa terjadi akibat inhibisi nonkompetitif
atau kompetitif dari enzim CYP oleh obat kedua, dan efek yang terjadi
mungkin terjadi dengan cepat. contoh dari inhibitor enzim di hati
termasuk cimetidine, flukonazol dan eritromisin. Hasil kompetitif enzim
inhibisi dengan penambahan agen kedua adalah metabolisme lebih lambat
dari obat pertama, konsentrasi obat plasma yang lebih tinggi, dan risiko
toksisitas. Dalam kasus penghambatan kompetitif, metabolisme kedua
obat dapat dikurangi, sehingga konsentrasi yang diharapkan menjadi lebih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3) Interaksi Akibat Perubahan dalam Pengikatan Protein (Protein Binding)
Obat yang terdapat dalam plasma baik itu terikat secara reversibel pada
protein plasma dapat pula dalam keadaan bebas/tidak terikat. Protein
plasma utama yang membentuk ikatan obat-protein plasma adalah
albumin dan α1-asam glikoprotein yang merupakan obat bebas yang dapat memberikan efek farmakologis. Obat dapat bersaing satu sama lain pada
situs pengikatan protein plasma, dan ketika hal ini terjadi, satu obat dapat
menggantikan lain yang sebelumnya terikat pada protein.
Pemindahan obat dari binding-sites ini akan meningkatkan konsentrasi agen yang tidak terikat dan kemungkinan dapat mengakibatkan toksisitas.
biasanya beberapa obat ada yang terdapat pada situs protein binding yang
tinggi sampai melebihi 90%. Jadi bahkan penurunan kecil protein-binding secara signifikan dapat menigkatkan konsentrasi bebas obat. Obat yang
biasanya sangat terikat dengan protein (protein-binding), dan yang mungkin berpatisipasi dalam interaksi ikatan adalah obat antikonvulsan
dan warfarin.
4) Interaksi Akibat Perubahan Ekskresi Ginjal
Sebagian besar obat yang dieliminasi oleh ginjal diekskresikan melalui
filtrasi pasif glomerulus. Beberapa obat dieliminasi melalui sekresi tubular
aktif yaitu seperti penisilin, sefalosporin, dan sebagian besar diuretik.
Sekresi aktif dapat dihambat oleh agen sekunder seperti simetidin,
obat-obat antiinflamasi nonsteroid dan probenesid, dengan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi obat dalam serum dan penurunan konsentrasi
obat dalam kemih. Dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan interaksi
yang diinginkan, sementara yang lain dapat menyebabkan hasil terapi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.1.4.2 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek
yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada perubahan kadar plasma
ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi farmakodinamik umumnya
dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang
berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui
mekanisme kerja obat (Gitawati, 2008).
1.2 Peran Apoteker dalam Penanganan Interaksi Obat
Apoteker, bersama dengan dokter memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa
pasien mengetahui akan risiko efek samping dan tindakan yang tepat saat hal
tersebut terjadi. Dengan pengetahuan yang rinci tentang obat-obatan, apoteker
memiliki kemampuan untuk mengetahui tentang gejala tak terduga yang dialami
oleh pasien untuk efek samping yang mungkin terjadi dalam terapi obat mereka.
Praktek farmasi klinik juga memastikan bahwa kejadian ADR (Adverse Drug Reaction) diminimalkan dengan menghindari obat dengan efek samping yang potensial pada pasien yang rentan. Jadi, apoteker memiliki peran utama dalam
kaitannya dengan pencegahan, deteksi dan pelaporan ADR (Camargo, 2006
dalam Palanisamy, 2009).
Dalam jurnal Ansari (2010), disebutkan beberapa pilihan dalam manajemen
interaksi obat pada pasien adalah:
1. Menghindari kombinasi seluruhnya
Untuk beberapa interaksi obat, risiko selalu melebihi efek terapinya, dan
kombinasi harus dihindari.
2. Menyesuaikan dosis obat
Terkadang dalam memberikan dua obat yang berinteraksi kemungkinan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Berikan jarak penggunaan untuk menghindari interaksi
Untuk beberapa interaksi yang melibatkan ikatan dalam saluran
pencernaan, untuk menghindari interaksi, dapat diberikan jarak
penggunaan antara obat-obat minimal 2 jam sebelumnya atau 4 jam
setelahnya.
4. Pemantauan untuk deteksi dini
Terkadang dalam beberapa kasus ketika kombinasi antara obat yang
berinteraksi diperlukan dalam penggunaan, pasien harus terus dipantau
untuk melihat efek dari interaksi yang mungkin terjadi. Dengan
pemantauan ini, perubahan dosis yang tepat dapat dibuat atau penggunaan
obat dihentikan bila perlu
5. Memberikan informasi kepada pasien kemungkinan efek yang merugikan
dari interaksi antar obat yang digunakan
Terkadang pasien menggunakan kombinasi obat yang berinteraksi tanpa
diberikan informasi tentang konsekuensi dari penggunaan obat yang
diberikan.
6. Meningkatkan kegunaan sistem penyaringan/screening komputerisasi Sistem screening interaksi obat komputerisasi belum sesukses sebagai salah satu harapan pengidentifikasi interaksi obat yang ideal. Sehingga
harus lebih ditingkatkan fungsinya.
Menurut Mulyani (2006) farmasis mempunyai peran penting dalam
mengidentifikasi masalah yang timbul, kemudian menyelesaikannya secara
tepat dan cepat, serta mengupayakan pencegahan; sebagai penyedia informasi
yang berkaitan dengan terapi obat dan permasalahan yang terkait dengan terapi.
Farmasis juga berperan penting sebagai penyedia jasa penyuluhan dan
pendidikan, untuk memotivasi pasien dan keiuarga pasien agar tercapai luaran
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah secara terus menerus (kronis)
akibat kekurangan insulin baik kualitatif maupun kuantitatif (Tapan, 2005).
Sedangkan menurut Depkes RI (2007) diabetes melitus adalah penyakit dengan
kadar gula darah yang melebihi normal dan menunjukkan gejala cepat lapar,
cepat haus, sering buang air kecil terutama di malam hari (Mahendra, 2009).
Menurut WHO (1999) diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes,
2005).
2.3.1 Tipe Diabetes
Menurut International Diabetes Federation (2014) Tipe diabetes yang utama adalah:
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu disebut diabetes juvenile-onset. Hal ini biasanya disebabkan oleh reaksi auto-imun dimana sistem pertahanan tubuh
menyerang sel-sel yang memproduksi insulin. Alasan bagaimana hal ini
terjadi tidak dipahami sepenuhnya. Orang dengan diabetes tipe 1
menghasilkan insulin sangat sedikit atau tidak sama sekali. Penyakit ini
dapat mempengaruhi orang dari segala usia, tetapi biasanya berkembang
pada anak-anak atau dewasa muda. Orang dengan diabetes tipe 1
membutuhkan suntikan insulin setiap hari untuk mengendalikan kadar
glukosa dalam darah mereka. Jika orang-orang dengan diabetes tipe 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu disebut diabetes non insulin-dependent atau adult-onset, dan menyebabkan setidaknya 90% dari semua kasus diabetes. Hal ini ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif, salah
satu atau keduanya dapat ditemukan pada saat didiagnosis diabetes.
Diagnosis diabetes tipe 2 dapat terjadi pada semua usia. Diabetes tipe 2
mungkin tetap tidak terdeteksi selama bertahun-tahun dan diagnosis
baru dikatakan ketika telah ada komplikasiatau tes glukosa darah atau
tes urin rutin dilakukan. Hal ini sering, namun tidak selalu, berhubungan
dengan kelebihan berat badan atau obesitas, yang dengan sendirinya
dapat menyebabkan resistensi insulin dan menyebabkan kadar glukosa
darah tinggi. Orang dengan diabetes tipe 2 pada awalnya sering dapat
mengelola kondisi mereka melalui olahraga dan diet. Namun, seiring
waktu kebanyakan orang akan memerlukan obat oral dan atau insulin.
3. Gestational diabetes (GDM)
Gestational diabetes adalah suatu bentuk diabetes yang terdiri dari kadar
glukosa darah tinggi selama kehamilan. Hal ini dapat terjadi pada 1 dari
25 kehamilan di seluruh dunia dan berhubungan dengan komplikasi bagi
ibu dan bayi. GDM biasanya hilang setelah kehamilan, tetapi wanita
dengan GDM dan anak-anak mereka berada pada peningkatan risiko
terkena diabetes tipe 2 di kemudian hari. Sekitar setengah dari wanita
dengan riwayat GDM terus terkena diabetes tipe 2 dalam waktu lima
sampai sepuluh tahun setelah melahirkan.
2.3.2. Pemantauan Diabetes Melitus
Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan pengelolaan diabetes ini
menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan apoteker di apotek mungkin lebih tinggi daripada pertemuannya
dengan dokter (Depkes, 2005).
Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat
pertemuan konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau
dengan melakukan hubungan telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat
diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis terapi.Apoteker harus
mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan kesehatan
yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan
tim kesehatan lainnya dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral
(OHO). Kebanyakan morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes
disebabkan karena komplikasi, antara lain komplikasi makrovaskular. Hasil
penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula saja dapat tidak dapat
menurunkan komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada area lain dari
diabetes yang harus diperhatikan untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas
secara keseluruhan, antara lain:
1. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg)
2. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)
3. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko
jantung
4. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)
5. Vaksinasi influenza dan pneumokokal
Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien
mengerti mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi
pencegahan. (Depkes, 2005)
Menurut Palaian et al (2004) karena ekspansi yang cepat dari agen terapi
tersedia untuk mengobati diabetes, peran apoteker dalam merawat pasien
diabetes melitus juga telah berkembang. Apoteker dapat mendidik pasien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menjelaskan perangkat monitoring, dan membuat rekomendasi untuk
produk bagi pasien diabetes melitus.
Apoteker, meskipun bukan sebagai profesional kesehatan untuk
mendiagnosa diabetes, mempunyai peran penting dalam membantu pasien
mengontrol penyakit mereka. Apoteker dapat memantau kadar glukosa
darah pasien dan menjaga tetap stabil. Selama berinteraksi dengan apoteker,
pasien dapat menanyakan apoteker pertanyaan-pertanyaan yang tidak
mereka tanyakan kepada dokter dan bisa mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit diabetes. Apoteker juga dapat memberi informasi kepada
pasien tentang pemberian insulin secara teratur sehingga timbulnya
komplikasi dapat dicegah dengan memiliki kontrol glikemik yang ketat.
Peran penting lain dari apoteker adalah selalu tersedia untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari para pasien. Secara keseluruhan, hal tersebut
adalah peran apoteker yang paling efisien untuk membantu pasien diabetes
dalam mengatasi penyakit mereka (Setter, 2000 dalam Palaian, 2004).
2.3.3 Tatalaksana terapi
Menurut Depkes RI (2005) penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir
untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas diabetes melitus, yang secara
spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu menjaga agar kadar
glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau
meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan terapi
menurut Depkes RI (2005) ada dua jenis terapi yaitu terapi tanpa obat dan
terapi obat:
a. Terapi tanpa obat
1. Pengaturan diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1) Karbohidrat : 60-70%
2) Protein : 10-15%
3) Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut, dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai
dan mempertahankan berat badan ideal. Dalam salah satu penelitian
dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM),
dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4
bulan tambahan waktu harapan hidup.
Masukan serat sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling
tidak 25 gram perhari. Disamping akan menolong menghambat
penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh
tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan
penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu,
makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya
kaya akan vitamin dan mineral.
2. Olah raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan
nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk
penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga
ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya
bagi kesehatan. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.
b. Terapi Obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi
keduanya.
1. Terapi insulin.
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM
Tipe-1.Pada DM Tipe-1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita
rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita DM Tipe 1 harus mendapat insulin
eksogen untuk membantu agar metabolism karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal.
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan
terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin di
samping terapi hipoglikemik oral.
2. Terapi obat Hipoglikemia oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang
tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi
hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat
atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat
keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien
secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi yang ada.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinid (meglitinid dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanid
dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan
insulin secara lebih efektif.
3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan
untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker”.
Menurut Dipiro (2009) algoritma pelaksanaan terapi diabetes melitus agar terapi
berjalan optimal adalah sebagai berikut:
Target Tercapai
Pantau HbA1C tiap 3-6 bulan
Pilihan monoterapi lain: Pioglitazon, Rosiglitazone,
Repaglinid, Nateglinid, Acarbose, Insulin/Insulin
Analog
Tambahkan terapi insulin Intervensi Awal
Edukasi/Diet/Olahraga Target:
HbA1C: ≤6,5-7,0% GDS: <110-130 mg/dl GDPP: <140-180 mg/dl
Target tidak Tercapai setelah 1 bulan
Monoterapi/kombinasi ADO
Sulfonilurea dan/Metformin
Pilihan kombinasi lain:
Metformin/Sulfonilurea + Pioglitazon/Rosiglitazon atau Akarbose/Miglitol
Metformin + Nateglinid atau Repaglinid atau
Insulin/Insulin Analog Target tidak Tercapai
setelah 3 bulan
Kombinasi Sulfonilurea dan
Metformin
Target tidak Tercapai setelah 3-6 bulan Target Tercapai
Lanjutkan Terapi Pantau HbA1C tiap
3-6 bulan
Target Tercapai
Lanjutkan Terapi Pantau HbA1C tiap
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4 Pengertian Polifarmasi
Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam jumlah yang banyak dan tidak
sesuai dengan kondisi kesehatan pasien. Meskipun istilah polifarmasi telah
mengalami perubahan dan digunakan dalam berbagai hal dan berbagai situasi,
tetapi arti dasar dari polifarmasi itu sendiri adalah obat dalam jumlah yang
banyak dalam suatu resep (dan atau tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak
sesuai. Jumlah yang spesifik dari suatu obat yang diambil tidak selalu menjadi
indikasi utama akan adanya polifarmasi akan tetapi juga dihubungkan dengan
adanya efek klinis yang sesuai atau tidak sesuai pada pasien (Rambadhe dkk
2012, dalam Dewi et al 2014). Adapun menurut Bjerrum et al (2003) seorang
individu yang mengalami polifarmasi diidentifikasi dimana apabila
menggunakan secara bersamaan dari dua atau lebih obat.
Polifarmasi yang didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan beberapa obat,
dapat menimbulkan risiko kesehatan seperti reaksi obat merugikan (adverse drug reaction), interaksi obat-obat (drug-drug interaction), kesalahan pengobatan (medication error) dan kepatuhan yang buruk (poor compliance). Jumlah obat yang di konsumsi merupakan prediktor dari komplikasi ini, dan
penggunaan bersamaan dari lima atau lebih menyebabkan risiko dari kejadian
masalah terkait obat (Bjerrum, 1998).
2.5 Pengertian Resep
Berdasarkan Kepmenkes (2004) resep adalah permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun
menurut Syamsuni (2005) resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada
APA (Apoteker Pengelola Apotek) untuk menyiapkan dan/atau membuat,
meracik, serta menyerahkan obat kepada pasien. Yang berhak menulis resep
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6 Profil Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta 2.6.1Sejarah Singkat
Rumah Sakit TNI AL (RSAL) Dr. Mintohardjo Jakarta berlokasi di jalan
Bendungan Hilir No. 17 Pejompongan Jakarta Pusat, tampak asri, besar dan
kokoh, yang dibangun diatas lahan seluas 42.586 m2. Sejarah RSAL Dr.
Mintohardjo berawal dari tempat perawatan sementara yang merupakan
poliklinik Dinas Kesehatan Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD). Pada
tahun 1957 dengan berkembangnya TNI AL dan tuntutan kebutuhan pelayanan
dan perawatan kesehatan dibangun suatu Rumah Sakit dengan nama Rumah
Sakit Angkatan Laut Djakarta (RSALD) dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus
1957.
Pada tanggal 15 Mei 1974 RSALD berganti nama menjadi RSAL Dr.
Mintohardjo, yang pada awalnya mempunyai UGD, poliklinik umum, poliklinik
spesialis dan poliklinik sub spesialis serta Ruang Udara Bertekanan Tinggi
(RUBT) yang merupakan satu-satunya di Jakarta.
RSAL Dr. Mintohardjo ini yang memiliki uji kesehatan (medical check up)
yang ditunjang oleh unit rawat inap dan unit penunjang lain yang dapat
meningkatkan mutu pelayanan; Adapun RSAL Dr. Mintohardjo merupakan
Rumah Sakit rujukan wilayah Indonesia bagian Barat khususnya untuk anggota
TNI beserta keluarga. Sebagai RSU tipe B telah terakreditasi sejak tahun 1998
dengan status akreditasi penuh dan sekarang telah merupakan Rumah Sakit tipe
B atau kelas dua (II). Tugas utamanya adalah melakukan pelayanan kesehatan
baik anggota TNI beserta keluarga maupun masyarakat umum serta
dimanfaatkan guna kepentingan pendidikan calon dokter, calon apoteker, calon
perawat, calon ahli gizi, calon radiologi dan lain-lain.
2.6.2Apotek RSAL Mintohardjo
Apotek berada diruang lingkup RSAL Dr. Mintohardjo melayani resep anggota
BPJS. Apotek BPJS memperoleh barang-barang dari gudang farmasi berupa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
baku untuk produksi obat tertentu seperti vaselin, asam silisilat, talk, CaCO3.
Permintaan barang ke gudang farmasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan
dengan menggunakan formulir permintaan barang setiap seminggu dua kali.
Resep yang masuk di beri nomor urut, kemudian pasien di beri kartu nomor
panggil sesuai dengan nomor resepnya. Selanjutnya obat disiapkan, dikemas,
dan diserahkan kepada pasien, kemudian resep disimpan sebagai arsip.
Obat-obat dari apotek BPJS diberikan tanpa dipungut biaya. Jika Obat-obat tidak tersedia
di apotek BPJS, maka obat direstitusi dari apotik Yanmasum dengan membuat
salinan resep yang telah ditanda tangani oleh Apoteker (tim restitusi) kemudian
obat tersebut dapat diambil di apotek Yanmasum dengan ketentuan obat-obat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan bahwa
dalam peresepan obat antidiabetes oral kemungkinan terdapat potensi interaksi obat
dimana interaksi tersebut dapat terjadi dalam tingkatan keparahan tertentu sesuai efek
yang telah diprediksi melalui literatur. Adapun penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara jumlah obat yang diresepkan dengan jumlah potensi
interaksi obat yang terjadi pada resep rawat jalan pasien diabetes melitus periode
Januari-Maret 2014. Sehingga bagan kerangka konsep yang ada seperti terlihat pada
bagan berikut:
Variabel Bebas Variabel Terikat
23
Karakteristik Pasien
1. Jenis Kelamin 2. Umur
Potensi Interaksi Obat Karakteristik
Resep
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Potensi Interaksi
Obat
Potensi interaksi obat adalah potensi aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan
(Sari, 2012)
Pembacaan Resep, dengan: Medscape. com dan teks book Drug Interaction Stockley
Jumlah jenis obat yang diresepkan dalam satu resep pada peresepan obat antidiabetik oral pada pasien rawat
(Utami,2013) Nominal
Umur
Jumlah usia pasien
yang tertera pada resep Pembacaan Resep Umur Rasio
Jenis Kelamin
Perbedaan biologis dan fisiologis yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat diubah (Umyati, 2010)
Pembacaan Resep
1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
3.3 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan
metode bersifat deskriptif analitik. Penelitian ini menggunakan desain studi
retrospektif, dan pengumpulan data dilakukan dengan cara pengambilan data
lembar resep pasien rawat jalan diabetes melitus.
3.4Populasi dan Sampel 3.4.1Populasi
Populasi merupakan suatu kumpulan menyeluruh dari suatu obyek yang
merupakan perhatian peneliti, dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh
lembar resep pasien diabetes melitus di Apotek RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
resepnya di Apotek RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta. Populasi terjangkau adalah
populasi target pada periode Januari-Maret 2014.
3.4.2 Teknik sampling
Pada penelitian ini pengambilan sampel pasien diabetes melitus di Apotek
RSAL Dr. Mintohardjo dengan menggunakan teknik simple random sampling. Lebih dari dua ribu lembar resep yang mengandung obat antidiabetik oral, sampel yang masuk kriteria inklusi yang didapatkan
sejumlah 1.232 kemudian diurutkan dari awal sampai akhir dan diambil satu
per satu secara acak dengan bantuan aplikasi Random Number Generator. Kriteria sampel pada penelitian ini yaitu semua pasien diabetes melitus rawat
jalan yang mendapatkankan terapi obat antidiabetik oral pada bulan
Janurari-Maret 2014 di Apotek RSAL Dr.Mintohardjo. Adapun kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah:
3.4.2.1Kriteria Inklusi
1. Resep yang mengandung ≥2 macam obat
2. Resep yang mengandung minimal satu obat antidiabetik oral
3.4.2.2Kriteria Eksklusi
1. Resep yang tidak terbaca dengan jelas
2. Resep rawat inap
3.4.3 Jumlah sampel
Pada penelitian ini rumus yang dipakai untuk menentukan jumlah sampel
adalah: n=
( ) (Rumus Slovin) (Wasis, 2006) dimana n = jumlah sampel,
N= jumlah populasi, dan d= tingkat kesalahan yang dipilih, dalam penelitian
ini peneliti memilih tingkat kesalahan 5% dan jumlah populasi adalah jumlah
sampel yang masuk kriteria inklusi yakni sejumlah 1.232 lembar resep.
Berdasarkan perhitungan dengan rumus tersebut, minimal sampel yang bisa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
n = 1.232
1.232( 5% ) + 1 = 301,96 = 302
maka sampel yang diambil pada penelitian ini adalah sebesar 310.
3.5Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Apotek RSAL Dr Mintohardjo, pada bulan
September dan Oktober 2014.
3.6Rencana Pengumpulan Data
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif, yaitu dengan melihat data lembar
resep pasien rawat jalan yang mendapatkan terapi obat antidiabetik oral di RSAL
Dr. Mintohardjo. Jenis data yang direncanakan pada penelitian ini yaitu data
sekunder berupa lembar resep pasien rawat jalan diabetes melitus.
3.7Rencana Analisis Data
Evaluasi interaksi obat dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur
dengan penapisan secara media online menggunakan situs medscape.com dan penapisan secara manual menggunakan buku teks Drug Interactions Stockley. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif; ditentukan persentase
gambaran karakteristik pasien dan karakteristik resep, gambaran potensi interaksi
obat antidibetik oral dalam resep, dan untuk melihat adanya hubungan yang
bermakna antara jumlah dari jenis obat yang diresepkan dengan jumlah interaksi
yang terjadi dianalisis menggunakan metode uji Chi-Square
3.8Sumber Data
Sumber data berasal dari lembar resep pasien diabetes melitus di Apotek RSAL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1HASIL PENELITIAN
Penelitian retrospektif ini dilakukan terhadap 310 lembar resep pasien rawat jalan
yang menerima obat antidiabetik oral di RSAL Dr. Mintohardjo, adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien dan karakteristik obat
yang terdapat dalam lembar resep, dan gambaran potensi interaksi obat dalam
peresepan obat antidiabetik oral.
4.1.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif data karakteristik
pasien seperti umur dan jenis kelamin, karakteristik obat yaitu jumlah jenis obat yang
diterima pasien, gambaran resep dan gambaran potensi interaksi obat.
4.1.1.1Gambaran Karakteristik Pasien
Gambaran karakteristik pasien diabetes melitus rawat jalan berdasarkan jenis kelamin
dan umur pasien yang tertera dalam resep obat diabetes melitus rawat jalan adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Gambaran Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur dalam Lembar Resep
No Karakteristik Pasien Jumlah Persentase (%)
1 Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
154 156
49,68 50,33
Total 310 100
2 Umur
31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 81-90
4 16 77 121
86 6
1,29 5,16 24,83 39,03 27,74 1,93
Total 310 100
Berdasarkan tabel 4.1, dapat diketahui bahwa 154 pasien (49,68%) berjenis kelamin
laki-laki dan sebanyak 156 pasien (50,33%) berjenis kelamin perempuan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan distribusi umur pasien, pasien yang menerima obat antidiabetik oral
paling banyak pada rentang umur 61-70 tahun sebanyak 121 (39,03%) dari 310
sampel, sedangkan yang paling sedikit pada pasien dengan umur 31-40 tahun yaitu
hanya sebanyak 4 orang (1,29%).
4.1.1.2Gambaran Karakteristik Resep
Pada penelitian ini, sekitar lebih dari dua ribu lembar resep obat diabetes melitus
yang terdapat di RSAL Dr. Mintohardjo, resep yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 1.232 lembar dan data lembar resep yang diambil sesuai perhitungan adalah
310 lembar. Resep dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok resep yang
mempunyai jumlah jenis obat dua hingga kurang dari lima dan resep yang
mempunyai jumlah jenis obat ≥5, data keseluruhan dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2
Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Jumlah Jenis Obat Kategori Jumlah Jumlah Resep Persentase (%)
Jenis Obat 2 - <5 ≥5 127
183
40,96 59,03
Total 310 100
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui dalam penelitian ini, resep obat dengan jenis obat ≥5
lebih banyak dari pada jenis obat dua hingga kurang dari lima yakni sebanyak 183
lembar (59,03%), sedangkan resep dengan jenis obat dua hingga kurang dari lima
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3
Gambaran Distribusi Obat Berdasarkan Penggunaan Obat Antidiabetik Oral
No Penggunaan Obat Nama Obat Jumlah
Resep
Total Persentase (%)
1 Obat Tunggal Akarbosa 9 63 20,32
Glimepirid 12
Glikuidon 7
Gliklazid 3
Metformin 32
2 Kombinasi 2 Obat Akarbosa + Metformin 7 183 59,03
Akarbosa + Glikuidon 23
Akarbosa + Glimepirid 9
Akarbosa + Gliklazid 1
Akarbosa + Pioglitazon 1
Akarbosa + Glibenklamid 1
Glimepirid + Metformin 98
Glimepirid + Gliklazid 2
Glimepirid + Pioglitazon 10
Gliklazid + Glikuidon 1
Metformin + Glikuidon 3
Metformin + Gliklazid 19
Metformin + Glibenklamid 6
Metformin + Pioglitazon 1
Pioglitazon + Gliklazid 1
3 Kombinasi 3 Obat Akarbosa+Glibenklamid +Metformin 4 58 18,70
Akarbosa + Glikuidon + Pioglitazon 1
Akarbosa + Metformin Gliklazid 4
Akarbosa + Glimepirid + Metformin 31
Akarbosa + Glimepirid + Pioglitazon 1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Penggunaan Obat Nama Obat Jumlah
Resep
Total Persentase (%)
3 Kombinasi 3 Obat Akarbosa + Glimepirid + Glikuidon 4
Glimepirid+ Metformin + Pioglitazon 11
Metformin + Pioglitazon + Glikuidon 1
4 Kombinasi 4 Obat Akarbosa + Glimepirid + Metformin
+ Pioglitazon 4
6 1,93
Akarbosa + Metformin + Glikuidon +
Pioglitazon 2
*Sumber: Rahmiati, Supadmi (2010)telah diolah kembali
Berdasarkan jumlah penggunaan obat antidiabetik oral dalam satu resep, yang paling
banyak digunakan/diresepkan di RSAL Dr. Mintohardjo adalah kombinasi dua obat
antidiabetik oral yaitu sebanyak 183 lembar (59,03%) dan yang paling sedikit
diresepkan adalah kombinasi 4 obat antidiabetik oral, yakni sebanyak 6 lembar
(1,93%) dari 310 jumlah lembar resep.
Tabel 4.4
Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Penggunaan Golongan Obat Antidiabetik Oral Pada Resep
Golongan Antidiabetik oral
Pemakaian Antidiabetik oral pada
Resep
Persentase (%) Inhibitor α-glukosidase (Akarbosa)
Sulfonilurea
Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa golongan obat antidiabetik oral yang paling banyak
diresepkan dalam penelitian ini adalah golongan sulfonilurea, yakni sebanyak 268
lembar (43,29%) dan golongan yang paling sedikit diresepkan yaitu tiazolidindion
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.1.3Gambaran Potensi Interaksi Obat
Pada penelitian ini resep dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu kelompok resep
yang mempunyai jumlah obat dua hingga kurang dari lima obat dan resep yang
mempunyai jumlah obat ≥5. Dari kelompok-kelompok resep tersebut dilihat
gambaran potensi interaksi obat yang terdapat pada tabel 4.5 berikut
Tabel 4.5
Gambaran Distribusi Resep Berdasarkan Ada dan Tidaknya Potensi Interaksi Obat
Ada_interaksi
Total Kategori
Ada Interaksi
Tidak ada Interaksi
Jenis obat
≥ 5 obat N 157 26 183
% 85,80% 14,20% 100%
< 5 obat N 47 80 127
% 37,00% 63,00% 100%
Total N 204 106 310
% 65,80% 34,20% 100%
Berdasarkan hasil analisis lembar resep pasien yang menerima obat antidiabetik oral,
sebanyak 204 lembar (65,80%) resep pasien berpotensi mengalami interaksi obat dan
sebanyak 106 lembar (34,19%) resep pasien tidak berpotensi mengalami interaksi
obat. Dari tabel 4.5 tersebut dapat dilihat bahwa potensi interaksi obat lebih banyak
terjadi pada lembar resep yang terdapat jumlah obat ≥5, yaitu sebanyak 157 lembar
(85,80%) sedangkan yang potensi interaksi obat lebih sedikit terjadi pada lembar
resep yang terdapat jenis obat dua hingga kurang dari lima, yaitu sebanyak 80 lembar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6
Gambaran Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Umur Pasien
Umur Pasien
*Sumber: Sari (2008) telah diolah kembali
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pasien yang mengalami potensi interaksi
obat paling banyak adalah kelompok umur 61-70 tahun dengan jumlah pasien yang
berpotensi mengalami interaksi obat sebanyak 77 pasien (37,74%) dan paling sedikit
pada kelompok umur <41 hanya sebanyak 4 pasien (1,96%). Data jumlah potensi
interaksi dari penggunaan antidiabetik oral pada pasien dapat dilihat pada tabel 4.7
Tabel 4.7
Gambaran Jumlah Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Pemakaian Antidiabetik Oral pada Resep
Golongan Antidiabetik oral
Pemakaian
Inhibitor α-glukosidase (Akarbosa) Sulfonilurea
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa pada pemakaian antidiabetik oral pada
resep, golongan sulfonilurea memperlihatkan potensi interaksi terbesar yaitu sebesar
142 (47,34%) dari 268 jumlah obat sulfonilurea yang diresepkan, dimana glimepirid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
banyak berpotensi menyebabkan interaksi obat. Golongan obat antidiabetik oral yang
juga banyak menyebabkan potensi interaksi obat adalah golongan biguanid yaitu
metformin sebesar 134 (44,67%) dari 215 lembar resep metformin yang diresepkan
pada pasien, dan dilihat dari masing-masing obatnya, metformin merupakan obat
yang paling banyak menyebabkan potensi interaksi obat.
Tabel 4.8
Data Distribusi Potensi Interaksi Obat Berdasarkan Tipe Mekanisme Interaksi dan Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Potensi
Interaksi Kategori Jumlah
Persentase (%)
Mekanisme Interaksi
Farmakokinetik Farmakodinamik
Tidak Diketahui
242 178 181
40,27 29,62 30,12
Total 601 100
Tingkat Keparahan
Ringan Sedang Berat
164 388 49
27,29 64,56 8,16
Total 601 100
Hasil analisis terhadap 204 resep yang berpotensi mengalami interaksi obat, diperoleh
hasil bahwa terdapat total potensi kejadian interaksi obat antidiabetik oral adalah
sebanyak 601 kasus yang terdiri dari interaksi farmakodinamik dengan 242 kasus
(40,27%) sebagai tipe mekanisme potensi interaksi obat yang terbanyak, kemudian
interaksi farmakokinetik dengan 178 kasus (29,62%), dan interaksi lainnya dengan
181 kasus (30,12%). Hasil analisis tingkat keparahan potensi interaksi obat pada
lembar resep antidiabetik oral yang diperoleh dari tingkat keparahan ringan sebanyak
164 (27,29%), tingkat keparahan sedang 388 (64,56%), dan tingkat keparahan berat
sebanyak 49 (8,16%). Untuk distribusi data potensi interaksi obat dari tiap resep
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.
Pada penelitian ini, juga dilakukan penelusuran terhadap hasil klinis interaksi obat
antara obat antidiabetik oral dengan obat lain pada tingkat keparahan sedang dan