• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGATURAN MURABAHAH DALAM KEGIATAN PERBANKAN

C. Karakteristik Pembiayaan Murabahah

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk-produk perbankan yang bebas bunga yaitu; mudharabah dan musyarakah, dua produk yang di asumsikan pada sistem bagi hasil, atau yang dikenal sebagai profit and loss sharing (selanjutnya ditulis PLS). Dengan dua produk tersebut bank tidak beroperasi dengan bunga akan tetapi berbagi hasil dengan nasabah.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, bank mulai menyadari bahwa produk-produk yang berbasis PLS adalah sulit untuk diterapkan ,karena

disamping bank berbagi keuntungan dengan nasabah juga harus berbagi kerugian. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Abdullah Saeed terhadap bank-bank syariah di Timur Tengah, yang menyatakan bahwa bank-bank Islam enggan menjalankan produk-produk PLS tersebut karena terlalu besarnya risiko yang diterima oleh pihak bank yang dengan bersama jalannya waktu memaksa pihak bank untuk ‘merenovasi’ bentuk dari produk-produk mudharabah dan musyarakah tersebut.72

Dan pada akhirnya bank-bank Islam mencari-cari bentuk produk lain yang lebih menguntungkan yang dikenal dengan murabahah, yaitu suatu sistem jual beli, dimana pihak pembeli karena satu dan lain hal-tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa mendapatkannya.

Saat ini banyak masyarakat yang menanyakan model pembiayaan murabahah yang dipraktekkan bank syariah. Karena ada indikasi pembiayaan murabahah tersebut menyerupai kredit yang dipraktekkan bank konvensional.73 Pernyataan ini perlu diluruskan, sehingga masyarakat dapat memahami praktek pembiayaan murabahah di bank syariah secara benar. Sekaligus juga dapat membedakan dengan praktek kredit yang biasa dijalankan oleh industri jasa keuangan konvensional.

Adapun karakteristik pembiayaan murabahah yang biasa dipraktekkan oleh industri jasa keuangan syariah adalah sebagai berikut:

72

1. Akad yang digunakan dalam pembiayaan murabahah adalah akad jual beli. Implikasi dari penggunaan akad jual-beli mengharuskan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Penjual dalam hal ini adalah bank syariah, sedangkan pembeli adalah nasabah yang membutuhkan barang. Adapun kewajiban bank syariah, selaku penjual, menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada nasabah. Sedangkan nasabah berkewajiban membayar harga barang tersebut. Berbeda dengan kredit konvensional. Hubungan yang terjalin antara pihak bank konvensional dengan nasabah adalah hubungan kreditur dengan debitur.

2. Harga yang ditetapkan oleh pihak penjual (bank syariah) tidak dipengaruhi oleh frekuensi waktu pembayaran. Artinya, praktek murabahah menghendaki hanya ada satu harga, yaitu harga yang telah disepakati antara pihak bank syariah dengan nasabah. Tidak tergantung dengan jangka waktu pembayaran, seperti yang selama ini dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional. Praktek yang dijalankan oleh konvensional mengharuskan adanya perbedaan pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Semakin lama waktu pembayaran yang diinginkan oleh nasabah, semakin besar jumlah tanggungan yang harus dibayar. Di sini, berlaku ketentuan time value of money, nilai waktu dari uang.

3. Keuntungan dalam pembiayaan murabahah berbentuk margin penjualan yang sudah termasuk harga jual. Keuntungan (ribh) tersebut sewajarnya dapat dinegosiasikan antara pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak bank syariah dengan nasabah. Kelemahan praktek murabahah saat ini, belum

berjalannya daya tawar yang seharusnya dimiliki oleh nasabah. Sehingga posisi nasabah sering kali “agak terpaksa” untuk menerima harga yang ditawarkan oleh pihak bank syariah. Lain halnya, dengan praktek kredit konvensional yang keuntungannya didasarkan pada tingkat suku bunga. Nasabah yang mendapatkan kredit dari bank konvensional dibebani kewajiban membayar cicilan beserta bunga pinjaman sekaligus.

4. Pembayaran harga barang dilakukan secara tidak tunai. Artinya, nasabah membayar harga barang tersebut dengan cara angsuran atau cicilan. Dalam hal ini, nasabah berhutang kepada pihak bank syariah, karena belum melunasi kewajiban membayar harga barang yang ditransaksikan. Sedangkan angsuran pada pembiayaan murabahah tidak terikat dengan jangka waktu pembayaran yang ditetapkan. Kesalahan besar, jika praktek murabahah tergantung pada besaran waktu angsuran. Jika ini terjadi pada pembiayaan murabahah, berarti sudah menyalahi konsep awal dari murabahah. Karena, dari aspek substansi sama dengan praktek kredit yang dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional.

5. Dalam pembiayaan murabahah memungkinkan adanya jaminan, karena sifat dari pembiayaan murabahah merupakan jual-beli yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai. Karena tidak dibayar secara tunai, maka tanggungan pembayaran tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh nasabah. Dalam hal ini, bank syariah memberlakukan prinsip kehati-hatian dengan mengenakan jaminan pada nasabah. Saat ini, adanya jaminan pada pembiayaan murabahah menjadi masalah tersendiri, karena sebagian nasabah

memahami operasional bank syariah menafikan adanya jaminan atau agunan. Pernyataan seperti ini perlu diluruskan.

Inilah diantara karakteristik pembiayaan murabahah yang sejatinya di peraktekan di bank syariah.

Karakteristik transaksi Murabahah

Murabahah secara definisi adalah akad jual beli antara penjual dan pembeli dimana penjual mengutarakan dengan jelas kepada pembeli berapa harga jual dan berapa margin objek jual beli sehingga terjadi transparansi dan apabila terjadi saling menyetujui (‘antaradin) maka dengan syarat dan rukun yang telah dipenuhi barulah dapat terjadi jual beli. Misalnya Tuan A bermaksud mengajukan pembiayaan untuk membeli mobil seharga Rp. 100.000.000.-, kemudian mengajukan pembiayaan ke bank syariah. Lalu bank syariah menyampaikan penawaran sebagai berikut :

a. Harga beli : Rp. 100.000.000.- b. Margin Murabahah : Rp 20.000.000.- c. Harga Jual : Rp. 120.000.000.-

Kemudian Tuan A menyetujui maka terjadilah jual beli murabahah sehingga hutang Tuan A kepada Bank adalah sebesar harga jual yaitu Rp.120.000.000.- yang dibayar sesuai dengan jadwal pembayaran angsuran yang telah disepakati.

Transaksi murabahah merupakan salah satu skim pembiayaan yang banyak digunakan oleh kalangan perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Selain mudah diaplikasikan skim ini tergolong aman bagi bank dan lebih mudah

dalam melakukan analisa persetujuan pembiayaan. Untuk nasabah consumer individual dengan penghasilan tetap bank hanya tinggal menganalisa faktor 5 (lima) C (Capital, Character, Collateral, Condition of economy, Competence) tanpa perlu melakukan penghitungan yang lebih dalam walaupun dengan tetap memegang teguh prinsip kehati-hatian (prudent).

Dalam praktek perbankan, adanya uang muka itu diperbolehkan. Karena permintaan uang muka yang dilakukan oleh pihak bank kepada nasabah itu merupakan suatu tanda yang bisa menunjukan keseriusan nasabah dalam melakukan suatu transaksi. Sehingga pihak bank bisa melihat kadar keseriusan nasabah dalam mengadakan perjanjian dengan pihak bank, khususnya dalam hal ini jual beli murabahah.

Selain untuk mengukur keseriusan nasabah dalam mengadakan perjanjian dengan pihak bank, pembayaran uang muka juga bertujuan agar pihak bank tidak dirugikan sepenuhnya jika terjadi pembatalan dari pihak nasabah, karena jika nasabah memutuskan untuk membeli komoditas tersebut, uang muka tersebut bisa digunakan sebagai pengurang atas harga yang disepakati. Tapi, jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut.

Dokumen terkait