• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGATURAN MURABAHAH DALAM KEGIATAN PERBANKAN

B. Landasan Syariah dan Undang-Undang Nomor

1. Landasan Syariah.

Tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut secara etimologis dapat diartikan dengan (tukar

menukar) atau (menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain) atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti).69 Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira (beli). Dengan demikian dengan al-bai'.70 Ditinjau dari segi harga, al-bai’ dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Dari Sohib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : Jual beli secara tangguh (murabahah), muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).

Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.

Murabahah adalah salah satu produk yang dikembangkan oleh bank syariah. Produk ini didasarkan pada prinsip jual beli yang dalam istilah fiqh Islam disebut dengan bai' al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah menjual barang dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bai' al-murabahah ini merupakan salah satu bentuk bai' al-amanah, disamping bai' at-tauliyyah, yakni menjual barang dengan harga pokok tanpa mengambil keuntungan apapun dan bai'al-wadhi'ah, yakni menjual barang dengan harga jual dibawah harga pokok. Bai' al-murabahah

69

Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm. 34.

70

dalam fiqh kemudian diterapkan dalam bentuk produk perbankan syariah. Dalam perbankan syariah, produk ini diartikan sebagai akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut, bank mendapatkan keuntungan.

Murabahahtidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari Al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahahitu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadits.71 Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 Hijriah. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam Al-Quran atau dalam Hadits yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung validitasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata penduduk Madinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati. Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: “Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah”.

Ada beberapa pendapat ulama mengenai praktek murabahahdi perbankan syariah, antara lain :

1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. 2. Murabahah merupakan jual beli 'inah yang diharamkan Islam.

3. Murabahah merupakan bai' atani fi bai'ah.

4. Murabahahmerupakan jual beli barang yang belum dimiliki.

Pendapat pertama: murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank konvensional. Gambarannya sebagai berikut: Secara hakiki, pembeli datang ke bank untuk mendapatkan uang pinjaman dan bank tidak membeli barang (asset) kecuali dengan maksud untuk menjual kepada pembeli secara kredit. Yang demikian itu bukanlah tujuan jual beli.

Istilah hilah dalam fiqh diidentifikasikan sebagai upaya mencari legitimasi hukum untuk suatu kepentingan dengan tujuan-tujuan ekstra. Tujuan ekstra dalam konteks tersebut diartikan sebagai kepentingan khusus yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hakikat aturan yang ditentukan oleh hukum syari'at.

Dalam kasus murabahah ini kadang pembeli membeli barang atau sesuatu untuk memanfaatkannya dan kadang membeli barang untuk menjualnya kembali (seperti Bank Islam), kedua hal ini dibolehkan, namun kadang pembeli bermaksud untuk mengambil riba. Dengan demikian tergantung niat dari pembeli tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi SAW : “Sesungguhnya amal perbuatan itu berdasarkan niatnya”

Pendapat kedua, murabahah merupakan jual beli inah. Inah berarti pinjaman. Seorang pedagang menjual barangnya dengan harga kredit, kemudian barangnya itu dibelinya lagi dari debitur dengan harga lebih murah. Rafi Yunus mengatakan bahwa jual beli inah adalah seorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi sebelum harganya diterima dengan harga yang lebih rendah dari pada harga jualnya tadi.

Tidaklah dibenarkan menjual sesuatu dengan harga kredit atau membeli dari pembelinya secara kontan dengan harga lebih murah sebelum penjual pertama menerima pembayarannya. Karena kalau yang dimaksud untuk berdalih agar dapat menerima barang seketika dan menjualnya dengan harga yang lebih mahal beberapa hari kemudian, maka tidak diragukan bahwa perbuatan semacam ini adalah riba.

Pendapat ketiga, murabahah adalah bai' atanai fi bai'ah. Ibnu Ruslan dalam syarah as-Sunan menafsirkan bahwa bai' atani fi bai'ah adalah sesorang meminjamkan satu dinar kepada orang lain selama sebulan dengan ketentuan dibayar satu takar gandum. Kemudian setelah datang waktu yang ditentukan dan gandum itu telah dimintanya, maka orang yang meminjam itu berkata: “juallah gandum ini kepada saya dengan tempo pembayaran selama dua bulan yang akan saya bayar dengan dua takar”.

Pendapat keempat, murabahah adalah jual beli barang yang belum dimiliki. Al-Baghawi berkata: termasuk jual beli yang fasid ialah menjual sesuatu yang

belum dimiliki, misalnya menjual burung yang lepas tidak ada harapan pulang kembali ke tempatnya.

Itulah beberapa pendapat ulama mengenai murabahah yang saat ini sedang dan masih diterapkan dalam operasional perbankan syariah. Namun demikian ada sebagian fuqaha yang membolehkan pembiayaan murabahah ini, karena mekanisme pembiayaan murabahah ini merupakan pengembangan dari bai' murabahah atau jual beli dengan harga pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati. Pembiayaan murabahah ini menjauhkan dari praktek riba dan memberikan kesempatan kepada orang yang membutuhkan barang dalam keadaan yang mendesak.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Tujuan dari murabahah untuk menjembatani antara penyedia dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli dibidang usaha. Untuk dapat terlaksananya tujuan ini, harus ada hubungan hukum antara penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah). Dalam dunia usaha (khususnya dunia perbankan) hubungan hukum ini terjadi karena adanya suatu kepentingan yang sifatnya timbal balik, dimana satu pihak berhak menuntut sesuatu dari pihak lain dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu itu dinamakan kreditur atau si piutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.

Asas dari kegiatan usaha perbankan syariah adalah prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan berasaskan

prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional (Pasal 2 dan Pasal 3). Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu ;

1. Dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan

2. Dalam bentul lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4). Dengan terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah ini, maka telah terjadi suatu perikatan antara bank dengan nasabah. Menurut Prof. Subekti, bahwa : “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Tiap– tiap perikatan ini dapat lahir karena persetujuan atau karena undang–undang”.

Bila dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, maka perjanjian murabahah ini juga merupakan suatu hubungan hukum setara penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah) yang melahirkan perikatan. Hubungan hukum ini timbul karena adanya suatu peristiwa hukum, yaitu kesepakatan antara bank dengan nasabah untuk sama-sama mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

Dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh bank dengan nasabah telah menimbulkan hubungan hukum yang beraspek hukum perdata.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal

Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian yang menganut sistem terbuka, dimana pada Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang–undang bagi yang membuatnya”.

Di dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak diatur masalah bentuk perjanjian kredit (pembiayaan) bank ini, begitu juga dalam peraturan pelaksananya dan dalam undang-undang perbankan yang lama Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 hal ini juga tidak diatur serta dalam undang– undang perbankan syariah yang baru yaitu Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga tidak diatur model perjanjian yang dibuat, sepenuhnya diserahkan kepada lembaga perbankan yang bersangkutan. Dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan :

a. Pasal 1 ayat 25 point c berbunyi “Transaksi jual beli dalam bentuk Piutang murabahah, Salam, dan Istisha”.

b. Pasal 19 point d mengenai “Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istisha, ataupun akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.

Dalam mengadakan perjanjian ini, antara bank dengan pemohon mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat bersama mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut dengan ketentuan bahwa perjanjian itu tidak menyimpang dari Syariah Islam dan tidak merugikan masing-masing pihak. Rangkaian perbuatan dalam terjadinya perjanjian pembiayaan ini, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua peristiwa hukum, yaitu :

a. Terjadinya persetujuan pemberian pinjaman uang yang dalam hal ini adalah tercapainya kesepakatan tentang peminjaman uang, maka perbuatan perjanjian ini bersifat konsensual.

b. Terjadinya penyerahan uang dari pihak bank kepada nasabah, maka perbuatan penyerahan ini bersifat riil.

Dokumen terkait