• Tidak ada hasil yang ditemukan

Murabahah Sebagai Bentuk Pembiayaan Personal Pada Bank Syariah (Studi Kasus Bank Sumut Syariah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Murabahah Sebagai Bentuk Pembiayaan Personal Pada Bank Syariah (Studi Kasus Bank Sumut Syariah)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

DIMAS ANDRA KEWA 050200336

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

DIMAS ANDRA KEWA 050200336

Disetujui oleh

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, SH, M. Hum NIP.19751122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Bismar Nasution, SH, M.Hum Windha, SH, M.Hum NIP.19590511986011001 NIP.19751122005012002

(3)

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji kehadirat Allah SWT atas segala kenikmatan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibunda, Ayahanda, abang–abangku, adik–adikku, atas segala perhatiannya, doa, dan dukungan moril serta materil yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, karena sudah berusaha untuk memberikan perubahan yang maksimal kepada fakultas dengan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di lingkungan kampus Fakultas Hukum USU.

2. Prof. Dr. Budiman, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan I yang telah membantu para mahasiswa memenuhi segala kebutuhan akademik dan administrasi.

3. Bapak Safrudin Hasibuan, SH, M.Hum sebagai Pembantu Dekan II yang telah membantu mahasiswa di pembayaran SPP dan sumbangan-sumbangan kegiatan kampus

(4)

6. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Prof. Bismar Nasution, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang telah menyetujui judul, outline skripsi, membimbing, mengkritisi dan memberikan saran-saran yang konstruktif serta mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripi ini.

8. Para staf dosen Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama delapan semester ini.

9. Seluruh rekan–rekan stambuk 2005 baik reguler maupun program mandirinya yang telah banyak memberikan masukan serta nasehat–nasehat yang amat membantu bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10.Dan tak lupa terima kasih saya haturkan bagi sahabat–sahabat saya, Indra , Wesi, SH, M.Hum, M. Hendrawan, SH, Fachrizal Lbs, SH, Reza, SH, dan sahabat–sahabat lain nya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

11.Kepada adik–adik stambuk yang selalu memberikan suport kepada penulis, Agus, Taufik, Hamdan, serta yang lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu persatu.

(5)

rahmat dan karunia-Nya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 16 April 2012 Penulis

(6)

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………... iv

ABSTRAK ……….. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………... 1

B. Perumusan Masalah ………. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……… 8

D. Keaslian Penulisan ……….. 9

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 10

F. Metode Penelitian ……… 14

G. Sistematika Penulisan ………. 16

BAB II BENTUK-BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL DALAM PERBANKAN SYARIAH A. Pengertian Pembiayaan dalam Perbankan Syariah ………. 18

(7)

Bank Syariah ……….. 30

BAB III PENGATURAN MURABAHAH DALAM KEGIATAN PERBANKAN SYARIAH A.Penerapan Murabahah dalam Hukum Positif di Indonesia …... 35

B.Landasan Syariah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ……… 40

C. Karakteristik Pembiayaan Murabahah ………. 47

D. Persyaratan Pembiayaan Murabahah ……….. 53

E. Resiko Pembiayaan Murabahah ……….. 60

BAB IV MURABAHAH SEBAGAI PEMBIAYAAN PERSONAL PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN A. Transaksi Murabahah sebagai Pembiayaan Personal …………. 65

B. Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Pembiayaan Personal Murabahah ……… 74

(8)

A. Kesimpulan ………. 87

B. Saran ……….. 89

(9)

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H **) Windha, SH. M.Hum

***) Dimas Andra Kewa ABSTRAKSI

Dalam kegiatan perbankan syariah dikenal suatu pembiayaan personal yang disebut murabahah. Murabahah merupakan sistem jual beli berdasarkan fiqh yanng berdasarkan prinsip syariah Islam.

Murabahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada bank syariah memiliki beberapa permasalah, antara lain: bagaimana bentuk-bentuk personal dalam perbankan syariah, bagaimana pengaturan murabahah dalam perbankan syariah dan pelaksanaan murbahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada Bank Sumut Cabang Medan.

Metode penelitian yang dipakai dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpukan bahan-bahan buku, majalah, artikel, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilimiah dan kemudian dilalukan riset langsung ke Bank Sumut Syariah Cabang Medan sebagai tempat penelitian.

Bentuk pembiayaan personal pada bank syariah yang utama dilakukan bank syariah adalah murabahah. Murabahah memiliki keuntungan seperti jauh dari praktek ribawi dan mengedepankan praktek bagi hasil. Bentuk pembiayaan personal syariah antara lain: pembiayaan musyarakah, pembiayaan istisna’, pembiayaan ijaroh, pembiayaan ijaroh muntahia biitamlik, pembiayaan mudhorobah.

Murabahah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005. Murabahah bertujuan untuk menjembatani antara penyedia dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli dibidang usaha tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.

Bank Sumut membuka Unit Usaha Syariah pada 18 Oktober 2004 dengan dibukanya Bank Sumut Syariah Cabang Medan dan Cabang Padang Sidempuan. Mekanisme pembiayaan murabahah di Bank Sumut Syariah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya. Dengan demikian mark-up dalam murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga.

(10)

*) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M.H **) Windha, SH. M.Hum

***) Dimas Andra Kewa ABSTRAKSI

Dalam kegiatan perbankan syariah dikenal suatu pembiayaan personal yang disebut murabahah. Murabahah merupakan sistem jual beli berdasarkan fiqh yanng berdasarkan prinsip syariah Islam.

Murabahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada bank syariah memiliki beberapa permasalah, antara lain: bagaimana bentuk-bentuk personal dalam perbankan syariah, bagaimana pengaturan murabahah dalam perbankan syariah dan pelaksanaan murbahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada Bank Sumut Cabang Medan.

Metode penelitian yang dipakai dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpukan bahan-bahan buku, majalah, artikel, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilimiah dan kemudian dilalukan riset langsung ke Bank Sumut Syariah Cabang Medan sebagai tempat penelitian.

Bentuk pembiayaan personal pada bank syariah yang utama dilakukan bank syariah adalah murabahah. Murabahah memiliki keuntungan seperti jauh dari praktek ribawi dan mengedepankan praktek bagi hasil. Bentuk pembiayaan personal syariah antara lain: pembiayaan musyarakah, pembiayaan istisna’, pembiayaan ijaroh, pembiayaan ijaroh muntahia biitamlik, pembiayaan mudhorobah.

Murabahah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005. Murabahah bertujuan untuk menjembatani antara penyedia dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli dibidang usaha tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.

Bank Sumut membuka Unit Usaha Syariah pada 18 Oktober 2004 dengan dibukanya Bank Sumut Syariah Cabang Medan dan Cabang Padang Sidempuan. Mekanisme pembiayaan murabahah di Bank Sumut Syariah, nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya. Dengan demikian mark-up dalam murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga.

(11)

A. Latar Belakang

Salah satu tonggak penting dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah beroperasinya perbankan syariah yang manakala sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memungkinkan bagi bank-bank konvensional menjalankan dual banking system atau bank konvensional tersebut dapat mendirikan divisi syariah. Dengan adanya undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka unit-unit usaha syariah.Tak heran jika perkembangan perbankan syariah mulai pesat di Indonesia. Sebelumnya pada bank maupun unit syariah hanya boleh melayani calon nasabah di kantor cabang syariah atau kantor cabang pembantu.

(12)

untuk menyebut entitas bank Islam selain istilah bank Islam itu sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest-free bank), bank tanpa riba (lariba bank), dan bank syariah (shari’a bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan bank Islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah”, atau yang secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”. Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.1

Pertumbuhan bank syariah di Indonesia sendiri diawali dengan dikeluarkannya Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian disempurnakan oleh Undang–Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan peluang yang lebih luas bagi bank syariah untuk menyelenggarakan kegiatan usaha, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan

(13)

berdasarkan prinsip syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.

Mencermati perkembangan bank syariah di Indonesia tersebut sekilas memang cukup membanggakan. Namun apabila di bandingkan dengan bank konvensional perkembangan bank syariah hingga saat ini masih kurang menggembirakan.2 Disamping itu, praktek perbankan syariah saat ini masih di dominasi oleh produk murabahah. Hal ini dapat di buktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syariah pada umumnya banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi kurang lebih 75 % (tujuh puluh lima persen) dari total kekayaan mereka.3

Bank syariah menawarkan altenatif sistem yang lebih rasional dan aplicable untuk penanggulangan masalah kemiskinan. Sistem perbankan dimaksud tidak lagi mengandalkan rangsangan dengan fixed return didalam mengerahkan dana masyarakat, tetapi mampu memberikan rangsangan yang mengandung unsur kebersamaan, keterbukaan dan keadilan.

Tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut secara etimologis dapat diartikan dengan tukar menukar atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain atau mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti.4 Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira (beli).

2

Abdullah Saeed, Islamic banking and Interest, A Study of Prohibitation of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden : E.J. Brill, 1996), hlm. 77.

3

Anita Rahmawaty, Ekonomi Syari’ah: Tinjauan Kritis Produk Murabahah dalam Perbankan Syari’ah di Indonesia, Jurnal Ekonomi Islam Vol. I, No.2, Desember 2007.

4

(14)

Dengan demikian dengan al-bai'. Ditinjau dari segi harga, al-bai’dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.

Pelaksanaan pemberian pembiayaan murabahah pada bank syariah khususnya pada Bank Sumut harus dilandasi prinsip kehati-hatian (prudential banking regulation) serta berdasarkan syariah Islam. Bank syariah dalam pembiayaan murabahah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, tetapi bank dapat memberikan kuasa pada pembeli dengan prinsip wakalah dimana pembeli dapat memilih barang yang dinginkannya.

Resiko pembiayaan dalam murabahah dapat di perkecil dengan menggunakan analisa sebagai salah satu rambu-rambu kesehatan bank (prudential standard). Prinsip analisa pembiayaan harus berdasarkan 5 (lima) C (character, capacity, capital, collateral, and condition of economy), dan dalam bank syariah hal ini harus memperhatikan unsur amanah, kepercayaan, dan kejujuran nasabah.5 Dengan mempertimbangkan kinerja yang telah diukir oleh perbankan syariah dan melihat semakin maraknya pertumbuhan bank syariah di tanah air maka PT. Bank Sumut mengangap perlu untuk turut memberikan layanan perbankan yang berbasis syariah kepada masyarakat. Sesuai dengan Surat Edaran

5

(15)

Bank Indonesia Nomor 6/142/DPIP/PRZ/MDN tanggal 18 Oktober 2004 PT. Bank Sumut resmi membuka dua Kantor Cabang Syariah di Medan dan Padang Sidempuan.

Di dalam bank syariah khususnya pada Bank Sumut pemberian pembiayaan di wujudkan dalam 3 (tiga) tahap: wawancara sebagi tahap awal, kemudian hasil wawancara itu di analisa kembali melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah pemohon pembiayaan murabahah. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “MURABAHAH SEBAGAI BENTUK PEMBIAYAAAN PERSONAL PADA BANK SYARIAH (STUDI KASUS BANK SUMUT SYARIAH)”.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peniliti dalam penelitian. Dengan adanya rumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

(16)

3. Bagaimana pelaksanaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada Bank Sumut Syariah Cabang Medan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bentuk–bentuk pembiayaan personal pada bank syariah b. Untuk mengetahui pengaturan murabahah pada bank syariah

c. Untuk mengetahui pelaksanaan murabahah sebagai bentuk pembiayaan personal di Bank Sumut Syariah Cabang Medan

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah : a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan dasar hukum bagi penerapan murabahah sebagai bentuk pembiayaan personal pada perbankan syariah (Studi Kasus Bank Sumut Cabang Medan).

b. Secara Praktis

1) Agar masyarakat mengetahui bagaimana penerapan murabahah pada Bank Sumut Cabang Medan, pelaksanaan transaksi murabahah, serta aplikasi dari produk-produk murabahah pada Bank Sumut Cabang Medan.

(17)

pembiayaan personal pada perbankan syariah khususnya pada Bank Sumut Cabang Medan.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Murabahah Sebagai Bentuk Pembiayaan Personal Pada Bank Syariah (Studi Kasus Bank Sumut Syariah)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Pelaksanaan pemberian pembiayaan murabahah pada bank syariah khususnya pada Bank Sumut harus dilandasi prinsip kehati-hatian (prudential banking regulation) serta berdasarkan syariah Islam. Bank syariah dalam pembiayaan murabahah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, tetapi bank dapat memberikan kuasa pada pembeli dengan prinsip wakalah dimana pembeli dapat memilih barang yang dinginkannya.

(18)

a. Adanya kerelaan kedua belah pihak

b. Memiliki kemampuan untuk melakukan jual beli 2. Barang atau obyek :

a. Barang itu ada meskipun tidak di tempat, namun ada pernyataan kesanggupan untuk mengadakan barang itu.

b. Barang itu milik sah penjual atau seseorang c. Barang yang diperjualbelikan harus berwujud d. Barang itu tidak termasuk kategori yang diharamkan e. Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual

f. Apabila benda bergerak, maka barang itu bisa langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan bila barang itu tidak bergerak dapat dikuasai pembeli setelah dokumentasi jual beli dan perjanjian atau akad diselesaikan.

3. Harga :

a. Harga jual bank adalah harga beli ditambah keuntungan b. Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian c. Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama

Sedangkan syarat-syarat khusus murabahah antara lain:6

1. Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya dari barang yang hendak dijual.

(19)

2. Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menyetujui besarnya keuntungan yang ditetapkan sebagai tambahan terhadap modal sehingga modal ditambah dengan untung merupakan harga barang yang dijual.

3. Barang yang dijual secara murabahah dan harga barang itu bukan dari jenis yang sama dengan barang ribawi yang dilarang diperjualbelikan kecuali dengan timbangan atau takaran yang sama. Dengan demikian tidak sah jual beli secara murabahah atas emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras dan bahan-bahan makanan lainnya yang jenisnya sama.

Karakteristik pembiayaan murabahah sebagai modal kerja, dimana;

1. Tujuan pembiayaan Murabahah ditujukan untuk pembelian fixed asset/aktiva tetap, seperti:

a. Pembelian barang dagangan

b. Pembelian barang baku untuk diproses c.Pembelian barang by order

2. Mekanisme pembiayaan: jual beli dengan bayar tangguh 3. Harga jual :

a. Harga beli tambah margin b. Ditetapkan pada saat realisasi 4. Media penarikan

a. Surat sanggup

b. Surat permohonan pembiayaan

(20)

6. Jangka waktu: 1 tahun Jaminan: a. Stock barang dagangan b. Tagihan

Fixed asset, seperti rumah, kendaraan, alat-alat industri, perusahaan, dan lain-lain.

7. Sifat pembayaran a. Revolving b. Ad hoc

8. Dokumentasi

a. Surat persetujuan prinsip (offering letter) b. Akad jual beli

c. Perjanjian pengikatan jaminan

d. Surat permohonan realisasi murabahah e. Tanda terima uang

f. Tanda terima barang

(21)

checking, trade checking, taksasi, dan analisa yuridis ssnasabah pemohon pembiayaan murabahah. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Murabahah dalam perbankan syariah adalah skim jual beli murabahah.

murabahah dalam perbankan syariah adalah beli barang antara bank dan

nasabah dengan cara pembayaran angsuran. Dalam perjanjian murabahah, bank

membiayai pembelian barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan

membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada

nasabah tersebut dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan.

Dengan kata lain, penjualan barang oleh bank kepada nasabah dilakukan atas

dasar murabahah sebagaimana yang diterapkan dalam perbankan syariah, pada

prinsipnya didasarkan pada 2 (dua) elemen pokok, yaitu harga beli serta biaya

yang terkait dan kesepakatan atas mark-up. Ciri dasar kontrak pembiayaan

murabahah adalah sebagai berikut:

1. Pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga pokok barang dan batas mark-up harus ditetapkan dalam bentuk persentase

dari total harga plus biaya-biayanya;

2. Apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan dibayar dengan uang; 3. Apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh penjual dan penjual

harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli;

Barangkali ada yang beranggapan bahwa ada kemiripan antara praktek

(22)

pembiayaan kredit di bank konvensional dengan bunganya. Untuk itu, kita perlu

mengkritisi serta menganalisis pembiayaan berbasis murabahah.

Bank konvensional dalam meminjamkan uang, misalnya untuk pembelian

barang-barang tertentu, bunga yang dikenakan pada pinjaman dikaitkan dengan

pokok pinjaman dan jatuh tempo pinjaman.

Sedangkan berapa harga barang nasabah itu bukanlah menjadi urusan

bank konvensional. Hal utama yang menjadi perhatian bank konvensional adalah

memperoleh suku bunga yang sedang berlaku bagi pengeluaran-pengeluaran,

semisal dalam hal resiko dan jatuh temponya. Berbeda dengan bank

konvensional, dalam mekanisme pembiayaan murabahah di bank syariah,

nasabah dapat mengetahui total harga barang sebelumnya, dimana hal ini tidak

akan diketahui dalam pembiayaan berbasis bunga. Dalam murabahah,

faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi besarnya mark-up adalah kebutuhan bank

syariah untuk memperoleh keuntungan riil, inflasi, suku bunga berjalan,

kebijakan moneter, dan marketibilitas barang-barang murabahah serta tingkat

laba yang diharapkan dari barang-barang itu.7 Dengan demikian, mark-up dalam

murabahah bisa saja lebih tinggi atau lebih rendah dari suku bunga.

Namun, nampaknya perbedaan antara mark-up murabahah di bank

syariah dengan suku bunga dalam pinjaman kredit di bank konvensional ini tidak

terlalu jauh. Hal inilah yang memicu munculnya persepsi masyarakat yang

menyamakan praktek murabahah di bank syariah dengan pinjaman kredit di bank

7

(23)

konvensional.8 Untuk itu, perlu adanya konsep yang jelas dalam penentuan harga

jual (pricing) murabahah. Para praktisi perbankan berbeda pendapat tentang

harga kredit yang lebih tinggi, dalam konteks ini para praktisi perbankan syariah

membolehkan adanya kenaikan harga pada jual beli murabahah dengan

pembayaran tunda dengan sejumlah argumen telah diajukan untuk mendukung

keabsahannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teks-teks syariah tidak melarangnya;

2. Ada perbedaan antara uang yang tersedia sekarang dengan uang tersedia di masa datang;

3. Kenaikan harga ini bukan sebagai imbalan waktu tunda pembayaran dan karenanya tidak sama dengan riba;

4. Kenaikan harga dikenakan pada saat penjualan, tidak setelah penjualan terjadi;

5. Kenaikan harga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pasar, seperti permintaan dan penawaran, dan naik turunnya daya beli uang

sebagai akibat inflasi dan deflasi;

6. Penjual sedang melakukan suatu aktivitas dagang yang produktif dan diakui; 7. Penjual boleh menetapkan harga berapapun yang dikehendakinya.

Argumen-argumen di atas sering diajukan bank-bank Islam untuk

membenarkan kenaikan harga jual beli murabahah dengan pembayaran tunda

dan hal ini sudah menjadi praktek baku dalam murabahah. Namun

demikian,menurut penulis, penentuan harga jual produk-produk bank syariah

8

(24)

harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan menurut

syariah. Oleh karena itu bank syariah perlu menetapkan metode yang tepat dan

efisien agar kemasan produk murabahah dapat memberikan keuntungan secara

adil antara pihak bank syariah dengan nasabah pembiayaan murabahah.

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode dan teknik tertentu yang bersifat ilmiah, artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.9

1. Jenis penelitian

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.10 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,

9 Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004), hlm 1.

10

(25)

dokumen terkait dan beberapa buku tentang analisis yuridis kebijakan system payment point online bank ditinjau dari hukum perlindungan konsumen.

2. Sumber data

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.11 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer, dapat membantu dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti karya ilmiah (penulisan hukum, tesis dan disertasi) dan hasil penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet.

3. Teknik pengumpulan data

11

(26)

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

4. Teknik analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 (lima) bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

(27)

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II BENTUK–BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL DALAM

PERBANKAN SYARIAH

Berisikan, pengertian pembiayaan dalam kegiatan perbankan syariah, pembiayaan personal dalam perbankan syariah, bentuk pembiayaan personal syariah, dan kelemahan dan kelebihan pembiayaan personal pada bank syariah.

BAB III PENGATURAN MURABAHAH DALAM KEGIATAN

PERBANKAN SYARIAH

Berisikan, keberadaan murabahah dalam Undang-undang perbankan, landasan syariah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, karakteristik pembiayaan murabahah pada bank syariah, persyaratan pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah, dan resiko pembiayaan murabahah dalam perbankan syariah.

BAB IV MURABAHAH SEBAGAI BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL PADA BANK SUMUT SYARIAH CABANG MEDAN

(28)

BAB V PENUTUP

(29)

BAB II

BENTUK-BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL DALAM PERBANKAN SYARIAH

A. Pengertian Pembiayaan Dalam Kegiatan Perbankan Syariah

Mencermati perkembangan bank syariah di Indonesia tersebut sekilas memang cukup membanggakan. Namun apabila di bandingkan dengan bank konvensional perkembangan bank syariah hingga saat ini masih kurang menggembirakan. Disamping itu, praktek perbankan syariah saat ini masih di dominasi oleh produk Murabahah. Hal ini dapat di buktikan dari beberapa hasil survei, ternyata bank-bank syariah pada umumnya banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliput kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total kekayaan mereka.

(30)

Namun sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum dimaksud (Pasal 1) adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan memberikan implikasi tertentu, antara lain:

1. Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

2. Definisi prinsip syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting yaitu:

a. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam; dan

b. Penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.

3. Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.

4. Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan dengan definisi yang ada dalam undang-undang sebelumnnya tentang perbankan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998). Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa, transaksi jual-beli, transaksi pinjam-meminjam dan transaksi sewa-menyewa jasa (multi-jasa).

(31)

Disamping itu pemberian kredit atau pembiayaan juga dapat menjadi sumber utama kegagalan bank, sebab pemberian kredit atau pembiayaan dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan kelangsungan hidup bank.

(32)

untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil.”

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa, transaksi jual-beli, transaksi pinjam-meminjam dan transaksi sewa-menyewa jasa (multi-jasa). Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, definisi pembiayaan sebagai berikut : “Pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa jasa (multi-jasa)”.39

Sejalan dengan upaya restrukturisasi perbankan yang terpuruk akibat krisis yang melanda perekonomian Indonesia terutama sektor perbankan dengan adanya peningkatan kredit macet yang diakibatkan oleh peningkatan tingkat suku bunga sehingga melemahkan iklim investasi, perbankan syariah terbukti mampu bertahan. Hal ini disebabkan sistem operasional bank syariah tidak menjadikan uang sebagai komoditas dalam perdagangan tapi sebatas alat dalam transaksi ekonomi.

Sistem pembiayaan memiliki peran yang sangat penting bagi dunia perbankan karena merupakan salah satu aktivitas utama perbankan, terutama bagi bank syariah. Salah satu bentuk pembiayaan yang dilakukan oleh PT. Bank Sumut Syariah Cabang Medan dalam pelaksanaan prinsip jual beli adalah pembiayaan

38

(33)

Murabahah. Tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut secara etimologis dapat diartikan dengan tukar menukar atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti)40. Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira (beli).

Dengan demikian dengan al-bai'. Ditinjau dari segi harga, al-bai’dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli.41 Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual-beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.42 Murabahah merupakan suatu perjanjian yang disepakati antara bank dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank yaitu harga beli bank ditambah margin keuntungan pada saat jatuh tempo.

Pembiayaan ada kalanya mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan (profit margin). Bank syariah dalam penyaluran dananya kepada nasabah penerima pembiayaan tidak dapat dipastikan memperoleh keuntungan tertentu (modal pembiayaan ditambah return) sebagaimana dalam skim

40

Abdul Ghofur Anshori, Pokok–Pokok Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Citra Media, 2006), hlm. 30.

41

(34)

pembiayaan yang mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan43. Akan tetapi, justru pihak bank sangat memungkinkan mengalami kerugian apabila usaha nasabahnya mengalami kegagalan atau kebangkrutan. Hal inilah yang menjadi konsekuensi dari skim pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Profit and loss sharing adalah berbagi keuntungan dan kerugian selanjutnya disebut (PLS).

Namun sebaliknya, apabila usaha nasabah berhasil maka akan memperoleh bagi hasil yang lebih besar. Apabila dibandingkan penyaluran dana melalui skim pembiayaan berdasarkan margin keuntungan, ini karena di antara kedua pihak telah ada kesepakatan bagi hasilnya, yang biasanya berkisar 30% (tiga puluh persen)-70% (tujuh puluh persen), 40% (empat puluh persen)-60% (enam puluh persen), atau 50% (luma puluh persen)-50% (luma puluh persen).

Atas dasar tingkat spekulasi yang tinggi dalam skim pembiayaan, maka umumnya bank syariah sangat berhati-hati dalam melakukan penyaluran dana melalui skim ini. Terlebih apabila mengingat bahwa bank syariah sebagaimana bank konvensional adalah merupakan lembaga intermediary keuangan, dimana dana yang dikelola oleh bank sebagian besar merupakan dana pihak ketiga (nasabah kreditur) baik yang berupa dana tabungan (titipan/wadi’ah) maupun dana investasi yang berupa deposito (mudharabah atau musyarakah).44 Sebagaimana lazimnya bahwa dana nasabah tersebut dalam sewaktu-waktu atau dalam jangka waktu tertentu akan diambil kembali oleh nasabah dengan tambahan

43

(35)

keuntungan baik yang berupa bagi hasil (bila merupakan dana investasi) atau bonus (bila berupa dana titipan).

Bank syariah yang terdiri dari Bank Unit Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 18) serta Unit Usaha Syariah, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat disamping penyediaan jasa keuangan lainnya. Perbedaannya adalah seluruh kegiatan usaha bank syariah dan Unit Usaha Syariah didasari pada prinsip syariah. Implikasinya, disamping harus selalu dengan prinsip hukum Islam juga adalah prinsip syariah memiliki berbagai variasi akad yang akan menimbulkan variasi produk yang lebih banyak dibandingkan produk bank konvensional.45

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, maka setiap pihak dilarang untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana berdasarkan prinsip syariah tanpa izin Bank Indonesia (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah). Sedangkan di sisi lain, kegiatan penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah harus dilakukan secara berhati-hati melalui penilaian secara seksama, agar bank syariah dan Unit Usaha Syariah memiliki keyakinan atas kemauan dan kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai akad serta keyakinan atas kesesuaian dengan prinsip syariah (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah).

(36)

Sebagai wujud dari sikap kehati-hatian bank melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan ini, sebelum memberikan persetujuan pembiayaan, pihak bank harus melakukan penelitian dan penilaian yang seksama terhadap calon nasabah debiturnya, yaitu dengan melakukan prinsip 5 (lima) C, yaitu: Character, Capital, Collateral, Capacity and Condition of Economy.

Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

B. Pembiayaan Personal Dalam Perbankan Syariah

Kontrak dalam pembiayaan personal merupakan salah satu bentuk natural contract centainty karena dalam pembiayaan personalditentukan berapa required rate of profitnya. Natural centainty contract merupakan kontrak dalam bisnis

(37)

ini menawarkan return yang tetap dan pasti. Objek pertukarannya, biasanya berupa barang dan jasa, harus ditetapkan di awal akad dengan pasti, baik jumlahnya (quantity), mutunya (quality), harganya (price) dan waktu penyerahannya (time of delivery). Produk perbankan syariah yang termasuk dalam kategori ini adalah pembiayaan bai’ al-murabahah dan ijarah.

Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram;

2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan dalam masyarakat; 3. Apakah proyek termasuk perbuatan yang melanggar kesusilaan; 4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian;

5. Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang ilegal;

6. Apakah proyek merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun bentuk dalam pembiayaan personal dalam perbankan syariah dapat di uraikan sebagai berikut:46

1. Pembiayaan Modal Kerja

Yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah untuk perpytaran usaha atau proses produksi perusahaan, seperti pembiayaan likuiditas (cash financing) dan pembiayaan investor (inventory financing).

2. Pembiayaan Investasi

46

(38)

Yaitu yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas yang terkait dengan itu, seperti pembiayaan mesin-mesin pabrik (machinery financing), atau pembiayaan dinas (vehicle financing).

3. Pembiayaan Konsumtif

Yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah untuk kebutuhan konsumsi, seperti pembiayaan sepeda motor, pembiayaan mobil, ataupun pembiayaan elektronik.

4. Pembiayaan Kebajikan

Yaitu pembiayaan yang diberikan kepada nasabah untuk kebutuhan mendesak dan jangka pendek tanpa mengharapakan imbalan dari nasabah. Biasanya pembiayaan ini diberikan unruk membantu usaha-usaha kecil (qardhul hasan) seperti pembiayaan untuk dagang mie aceh, ataupun warteg, dll.

Pembiayaan personal di atas dapat diterapkan pada sektor-sektor usaha : 1. Sektor Perdagangan, seperti perdagangan komoditi hasil industri, bahan

kebutuhan pokok, barang perlengkapan kantor, atau perdagangan kendaraan bermotor.

2. Sektor Industri, seperti pengolahan hasil kayu, hasil perkebunan, tekstil, kerajinan tangan, dan makanan.

(39)

Pada bank syariah, walaupun dasar pertimbangan pembiayaan adalah hasil penilaian berdasarkan prinsip 5 (lima) C, dimana collateral atau jaminan adalah faktor yang penting dalam pemberian pembiayaan, namun unsur yang paling utama adalah prinsip kepercayaan. Bank syariah dapat menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan baik dengan ataupun tanpa adanya jaminan dari pihak yang membutuhkan dana. Hal ini tergantung pada penilaian bank terhadap pihak yang membutuhkan dana, apakah ia sanggup untuk melunasi ataupun mengembalikan dana yang telah diberikan padanya.

Dari hal-hal yang diuraikan diatas, tampak jelas bahwa jaminan bukanlah hal utama yang menjadi acuan dalam pemberian pembiayaan seperti yang dilakukan pada bank konvensional. Hal utama yang paling penting adalah bahwa pembiayaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam syariah Islam.

Sistem pembiayaan merupakan suatu kerangka dari prosedur–prosedur yang berhubungan dengan proses penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

(40)

apabila pihak yang membutuhkan dana dianggap mampu untuk mengembalikan dana yang telah diberikan oleh bank. Hal ini disebabkan karena faktor yang terpenting dari pembiayaan tersebut adalah kepercayaan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa urgensi dalam perjanjian murabahah mutlak harus menggunakan jaminan, agar nasabah dalam melakukan pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara tangguh atau angsur, tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian yang telah disepakati bersama. Jaminan menempatkan pembeli untuk bertanggung jawab sesuai dengan kesepakatan bersama.

C. Bentuk Pembiayaan Personal Syariah

Sebenarnya, keunggulan pembiayaan personal syariah yang dalam hal ini dikategorikan adalah bai’ al-murabahah, karena selain jauh dari praktek ribawi, ia juga berupaya untuk mengunggulkan praktek qirad (bagi hasil) yang ada pada produk syariahnya seperti ;

1. Pembiayaan Musyarakah

Kerjasama dalam penyertaan modal antara pihak bank dan nasabah dengan keuntungan dibagi menurut kesepakatan nisbah bagi hasil.

2. Pembiayaan Istisna’

(41)

transaksi jual beli cicilan pula seperti transaksi murabahah mu’ajjal. Namun berbeda dengan jual beli murabahah, dimana barang diserahkan dimuka sedangkan uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istisna’ barang diserahkan dibelakang, walaupun uanganya juga sama-sama dibayar secara cicilan. Dengan demikian, metode pembayaran pada jual beli murabahah mu’ajjal sama persis dengan metode pemabayaran dalam jual beli istishna’, yakni sama-sama dengan sistem angsuran (installment). Satu-satunya hal yang membedakan antara keduanya adalah waktu penyerahan barangnya. Dalam murabahah mu’ajjal, barang diserahkan dimuka, sedangkan dalam istishna’ barang diserahkan dibelakang, yakni pada akhir periode pembiayaan.

3. Pembiayaan Ijaroh

(42)

4. Pembiayaan Ijaroh Muntahia Bittamlik (IMBT)

Al-Bai Ijaroh Muntahia Bittamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad Al-Bai’ dan akad Ijaroh Muntahia Bittamlik (IMBT), Al-Bai’ merupakan akad jual beli, sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah diakhir masa sewa. Dalam ijarah muntahia bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut :

a. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

b. Pihak yang menyewakan berjanji akan mengubah barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.

c. Ijarah Mumtahia Bittamlik adalah merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah diakhir masa sewa. Dalam ijarah mumtahia bittamlik terjadi kepemindahan hak milik barang yaitu dengan cara :

5. Pembiayaan Mudhorobah

(43)

1) Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha) 2) Obyek Mudharabah (Modal dan kerja)

3) Persetujuan kedua belah pihak (ijab qobul) 4) Nisbah keuntungan.

Ternyata bank-bank syariah pada umumnya banyak menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliput kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total kekayaan mereka. Berbicara tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut dengan al-bai’47. Ditinjau dari segi harga, al-bai’ dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.

Sejatinya skim produk yang disediakan oleh perbankan syariah secara umum terbagi kepada beberapa bagian sebagaimana skema berikut ini.

Produk penghimpunan dana (liabilities) :

JENIS PRODUK

SKIM SYARIAH YANG DIGUNAKAN

Tabungan

Wadi’ah Mudharabah

Giro Wadi’ah

47

(44)

Mudharabah

Deposito Mudharabah

Produk penyaluran dana (assets) :

JENIS PRODUK

SKIM SYARIAH YANG DIGUNAKAN

Jual beli

Murabahah Salam Istishna’

Bagi Hasil

Mudharabah Musyarakah

Jasa Lainnya

Wakalah Kafalah

Ji’alah Hawalah

Ijarah

D. Kelemahan dan Kelebihan Pembiayaan Personal pada Bank Syariah 1. Kelemahan pembiayaan personal pada bank syariah.

(45)

perusahaan dapat tercapai. Oleh karenanya diperlukan sumberdaya manusia yang mampu mengejawantahkan nilai nilai syariah dan hukum positif kedalam praktik perbankan secara baik, komprehensif dan menyeluruh.

Banyak terjadi pembiayaan default pada bank syariah yang disebabkan oleh kekurangpahaman praktisi bank syariah dan kurangnya pengalaman yang dimiliki mereka. Disamping lemahnya akad pembiayaan yang telah mereka buat sehingga tidak memungkinkan dicarikan jalan keluar dengan cara litigasi. Hal ini memberikan PR tersendiri bagi pelaku bisnis perbankan syariah dan kita selaku penegak hukum agar kepastian hukum dapat terwujud tanpa mengenyampingkan kaidah-kaidah syariah yang menjadi dasar hukum keuangan dan perbankan syariah secara umum.

Saat ini banyak masyarakat yang menanyakan model pembiayaan personal yang dipraktekkan bank syariah. Karena ada indikasi pembiayaan personal tersebut menyerupai kredit yang dipraktekkan bank konvensional.48 Pernyataan ini perlu diluruskan, sehingga masyarakat dapat memahami praktek pembiayaan personal di bank syariah secara benar. Sekaligus juga dapat membedakan dengan praktek kredit yang biasa dijalankan oleh industri jasa keuangan konvensional.

Namun demikian halnya perlu dipahami bahwasanya transaksi perbankan syariah adalah sebuah kasus perdata yang tidak dapat dipisahkan dengan praktek kehidupan sehari–hari, hanya saja fitur dari produk produknya lebih unik dan rigid dengan aturan aturan Syariah Islam yang tidak boleh dilanggar. Oleh karenanya siapapun dia yang berhubungan dengan bank syariah harus dapat

48

(46)

memahami dengan benar bagaimana karakter produk yang disediakan oleh perbankan syariah agar tidak terjebak kedalam kesalahpahaman dan menimbulkan perspektif negatif terhadap institusi itu.

2. Kelebihan pembiayaan personal pada bank syariah.

Sudah lebih dua belas tahun usia perbankan syariah di Indonesia, ada sisi yang patut disyukuri namun ada juga yang patut dikritisi. Satu sisi, perkembangan aset perbankan syariah cukup menggembirakan di mana jika pada Februari 2004 tercatat sekitar Rp. 7 (tujuh) triliun, pada Juni 2004 dilaporkan telah mencapai Rp. 8 (delapan) triliun. Kemungkinan paling besar pelonjakan ini karena kesan dari fatwa MUI tentang bunga bank haram pada Desember 2003. Namun di sisi lain, kecenderungan pembiayaan perbankan syariah justru patut dikritisi. Ini karena seperti yang dilaporkan Direktorat Bank Syariah Bank Indonesia, hingga Januari 2004 menunjukkan pembiayaan dengan akad murabahah mencapai Rp. 4,1 triliun atau 85 % (delapan puluh lima persen), sementara pembiayaan Mudarabah (bagi hasil) hanya Rp.899,6 miliar 15% (lima belas persen) .

Sebenarnya, kelebihan pembiayaan personal pada perbankan syariah karena selain jauh dari praktek ribawi, ia juga berupaya untuk mengunggulkan praktek qirad (bagi hasil) yang ada pada produk musyarakah dan mudharabah.49 Ini karena kedua produk bagi hasil inilah yang akan memberikan dampak yang cukup luas terhadap peningkatan perekonomian umat.50 Namun, yang terjadi sampai dengan saat ini kedua produk bagi hasil ini masih termarjinalkan dan yang muncul kepermukaan adalah produk murabahah.

49

(47)

Adapun kelebihan dari pembiayaan personal pada bank syariah sebagai berikut ;

1. Adanya rasa tenteram dan tenang karena pembiayaan syariah terhindar dari transaksi ribawi ;

2. Variasi produk pembiayaan syariah yang lengkap untuk mendukung kegiatan usaha anda; dan

3. Pembiayaan dapat diberikan dalam mata uang Rupiah dan USD.

Manakala kita berhubungan dengan perbankan syariah dan membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan kita, maka yang lebih dahulu dipertanyakan adalah untuk keperluan apa dana yang kita ajukan nanti sebab harus disesuaikan dengan skim syariahnya. Apakah untuk keperluan pembelian barang riil (tangible asset) seperti rumah, mobil dan sebagainya, atau untuk memenuhi kebutuhan jasa non riil (intangible asset) seperti pendidikan dan kesehatan.51

Hal ini terkait erat dengan syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional mengenai karakteristik seluruh skim syariah yang ada. Bagi mereka yang sudah terbiasa berhubungan dengan perbankan konvensional hal ini terkesan agak rumit akan tetapi disinilah sesungguhnya salah satu kelebihan pembiayaan personal pada bank karena eksesnya hal ini akan mendorong tumbuh dan berkembangnya ekenomi sektor riil baik industri dan perdagangan. Bukan melahirkan ekonomi balon udara (bubble economy) yang

51

(48)

rentan terhadap krisis. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan ; “ekonomi sektor finansial harus selalu terkait dengan ekonomi sektir riil”.52

52

(49)

BAB III

PENGATURAN MURABAHAH DALAM KEGIATAN PERBANKAN SYARIAH

A. Keberadaan Murabahah dalam Hukum Positif di Indonesia

Ketentuan fiqh di Indonesia yang mengatur tentang transaksi murabahah yang telah diadopsi ke dalam hukum positif diwujudkan dalam peraturan Bank Indonesia yang merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Akad murabahah atau akad jual beli, adalah salah satu akad yang sering dimunculkan dalam perbankan syariah untuk kegiatan perusahaan dalam pembiayaan syariah. Akad ini sering ditawarkan oleh pihak bank kepada nasabah dan sering juga masyarakat menggunakannya, dengan alasan keunggulan dari akad murabahah itu sendiri yaitu diantaranya jual beli dalam perbankan syariah adalah bank dapat memotong mata rantai jual beli, bank dapat pula menguasai mata rantai dalam jual beli (produsen, distributor, agen, sampai toko sekalipun).53

53

(50)

beli hanya bisa melalui toko saja. Hal inilah yang akhirnya menjadi kompetisi dan keunggulan antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional.

Pengertian Murabahah sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 adalah : “Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok bank ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.”67 Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Pada Pasal 9, mengenai Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’, pada ayat (1) menyatakan bahwa kegiatan penyaluran dana dalam bentuk murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :

1. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang. 2. Jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada bank ditentukan

berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah.

3. Bank dapat membiaya sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Dalam hal bank mewakililkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

67

(51)

5. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah.

6. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank.

7. Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama period Akad.

8. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.

Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam hal bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

1. Dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh bank, maka bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah.

(52)

Secara aplikatif Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Transaksi Murabahah untuk Bank Syariah di Indonesia sebagai berikut :

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

(53)

Secara naturnya transaksi jual beli ini bank dapat memiliki barang persediaan yang dapat diperjual belikan, akan tetapi karena kendala teknis dan biaya, maka bank melakukan transaksi jual beli kepada nasabah dengan didukung oleh supplier (penyedia barang) dan pihak ketiga lainnya sehingga disatu sisi memudahkan bagi bank dan disisi lain berpotensi kepada risiko yang harus ditanggung oleh bank dan nasabah.

Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian.68 Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.

B. Landasan Syariah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

1. Landasan Syariah.

Tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut secara etimologis dapat diartikan dengan (tukar

(54)

menukar) atau (menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain) atau (mengeluarkan benda yang dimiliki dengan suatu pengganti).69 Lafadz al-bai' dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira (beli). Dengan demikian dengan al-bai'.70 Ditinjau dari segi harga, al-bai’ dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai' yang kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Dari Sohib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : Jual beli secara tangguh (murabahah), muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR.Ibnu Majah).

Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.

Murabahah adalah salah satu produk yang dikembangkan oleh bank syariah. Produk ini didasarkan pada prinsip jual beli yang dalam istilah fiqh Islam disebut dengan bai' al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah menjual barang dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Bai' al-murabahah ini merupakan salah satu bentuk bai' al-amanah, disamping bai' at-tauliyyah, yakni menjual barang dengan harga pokok tanpa mengambil keuntungan apapun dan bai'al-wadhi'ah, yakni menjual barang dengan harga jual dibawah harga pokok. Bai' al-murabahah

69

Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm. 34.

70

(55)

dalam fiqh kemudian diterapkan dalam bentuk produk perbankan syariah. Dalam perbankan syariah, produk ini diartikan sebagai akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut, bank mendapatkan keuntungan.

Murabahahtidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari Al-Quran maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam Syafi'i mengatakan bahwa jual beli murabahahitu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi yang jelas dari Hadits.71 Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 Hijriah. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam Al-Quran atau dalam Hadits yang diterima umum, maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung validitasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah. Ia berkata penduduk Madinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati. Imam Syafi'i menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi kepada seseorang dan berkata: “Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah”.

(56)

Ada beberapa pendapat ulama mengenai praktek murabahahdi perbankan syariah, antara lain :

1. Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. 2. Murabahah merupakan jual beli 'inah yang diharamkan Islam.

3. Murabahah merupakan bai' atani fi bai'ah.

4. Murabahahmerupakan jual beli barang yang belum dimiliki.

Pendapat pertama: murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana yang dilakukan oleh bank-bank konvensional. Gambarannya sebagai berikut: Secara hakiki, pembeli datang ke bank untuk mendapatkan uang pinjaman dan bank tidak membeli barang (asset) kecuali dengan maksud untuk menjual kepada pembeli secara kredit. Yang demikian itu bukanlah tujuan jual beli.

Istilah hilah dalam fiqh diidentifikasikan sebagai upaya mencari legitimasi hukum untuk suatu kepentingan dengan tujuan-tujuan ekstra. Tujuan ekstra dalam konteks tersebut diartikan sebagai kepentingan khusus yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hakikat aturan yang ditentukan oleh hukum syari'at.

(57)

Pendapat kedua, murabahah merupakan jual beli inah. Inah berarti pinjaman. Seorang pedagang menjual barangnya dengan harga kredit, kemudian barangnya itu dibelinya lagi dari debitur dengan harga lebih murah. Rafi Yunus mengatakan bahwa jual beli inah adalah seorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi sebelum harganya diterima dengan harga yang lebih rendah dari pada harga jualnya tadi.

Tidaklah dibenarkan menjual sesuatu dengan harga kredit atau membeli dari pembelinya secara kontan dengan harga lebih murah sebelum penjual pertama menerima pembayarannya. Karena kalau yang dimaksud untuk berdalih agar dapat menerima barang seketika dan menjualnya dengan harga yang lebih mahal beberapa hari kemudian, maka tidak diragukan bahwa perbuatan semacam ini adalah riba.

Pendapat ketiga, murabahah adalah bai' atanai fi bai'ah. Ibnu Ruslan dalam syarah as-Sunan menafsirkan bahwa bai' atani fi bai'ah adalah sesorang meminjamkan satu dinar kepada orang lain selama sebulan dengan ketentuan dibayar satu takar gandum. Kemudian setelah datang waktu yang ditentukan dan gandum itu telah dimintanya, maka orang yang meminjam itu berkata: “juallah gandum ini kepada saya dengan tempo pembayaran selama dua bulan yang akan saya bayar dengan dua takar”.

(58)

belum dimiliki, misalnya menjual burung yang lepas tidak ada harapan pulang kembali ke tempatnya.

Itulah beberapa pendapat ulama mengenai murabahah yang saat ini sedang dan masih diterapkan dalam operasional perbankan syariah. Namun demikian ada sebagian fuqaha yang membolehkan pembiayaan murabahah ini, karena mekanisme pembiayaan murabahah ini merupakan pengembangan dari bai' murabahah atau jual beli dengan harga pokok plus margin keuntungan yang telah disepakati. Pembiayaan murabahah ini menjauhkan dari praktek riba dan memberikan kesempatan kepada orang yang membutuhkan barang dalam keadaan yang mendesak.

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Tujuan dari murabahah untuk menjembatani antara penyedia dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli dibidang usaha. Untuk dapat terlaksananya tujuan ini, harus ada hubungan hukum antara penyedia dana (bank) dengan pengelola dana (nasabah). Dalam dunia usaha (khususnya dunia perbankan) hubungan hukum ini terjadi karena adanya suatu kepentingan yang sifatnya timbal balik, dimana satu pihak berhak menuntut sesuatu dari pihak lain dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu itu dinamakan kreditur atau si piutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang.

(59)

prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir, gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional (Pasal 2 dan Pasal 3). Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu ;

1. Dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan

2. Dalam bentul lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk (Pasal 4). Dengan terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah ini, maka telah terjadi suatu perikatan antara bank dengan nasabah. Menurut Prof. Subekti, bahwa : “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Tiap– tiap perikatan ini dapat lahir karena persetujuan atau karena undang–undang”.

(60)

Dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh bank dengan nasabah telah menimbulkan hubungan hukum yang beraspek hukum perdata.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal

Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian yang menganut sistem terbuka, dimana pada Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang–undang bagi yang membuatnya”.

Di dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak diatur masalah bentuk perjanjian kredit (pembiayaan) bank ini, begitu juga dalam peraturan pelaksananya dan dalam undang-undang perbankan yang lama Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 hal ini juga tidak diatur serta dalam undang– undang perbankan syariah yang baru yaitu Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga tidak diatur model perjanjian yang dibuat, sepenuhnya diserahkan kepada lembaga perbankan yang bersangkutan. Dalam Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan :

(61)

b. Pasal 19 point d mengenai “Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istisha, ataupun akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah”.

Dalam mengadakan perjanjian ini, antara bank dengan pemohon mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat bersama mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut dengan ketentuan bahwa perjanjian itu tidak menyimpang dari Syariah Islam dan tidak merugikan masing-masing pihak. Rangkaian perbuatan dalam terjadinya perjanjian pembiayaan ini, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua peristiwa hukum, yaitu :

a. Terjadinya persetujuan pemberian pinjaman uang yang dalam hal ini adalah tercapainya kesepakatan tentang peminjaman uang, maka perbuatan perjanjian ini bersifat konsensual.

b. Terjadinya penyerahan uang dari pihak bank kepada nasabah, maka perbuatan penyerahan ini bersifat riil.

C. Karakteristik Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah

Pada permulaan perkembangannya perbankan syariah menawarkan produk-produk perbankan yang bebas bunga yaitu; mudharabah dan musyarakah, dua produk yang di asumsikan pada sistem bagi hasil, atau yang dikenal sebagai profit and loss sharing (selanjutnya ditulis PLS). Dengan dua produk tersebut bank tidak beroperasi dengan bunga akan tetapi berbagi hasil dengan nasabah.

(62)

disamping bank berbagi keuntungan dengan nasabah juga harus berbagi kerugian. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Abdullah Saeed terhadap bank-bank syariah di Timur Tengah, yang menyatakan bahwa bank-bank Islam enggan menjalankan produk-produk PLS tersebut karena terlalu besarnya risiko yang diterima oleh pihak bank yang dengan bersama jalannya waktu memaksa pihak bank untuk ‘merenovasi’ bentuk dari produk-produk mudharabah dan musyarakah tersebut.72

Dan pada akhirnya bank-bank Islam mencari-cari bentuk produk lain yang lebih menguntungkan yang dikenal dengan murabahah, yaitu suatu sistem jual beli, dimana pihak pembeli karena satu dan lain hal-tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga ia memerlukan perantara untuk bisa mendapatkannya.

Saat ini banyak masyarakat yang menanyakan model pembiayaan murabahah yang dipraktekkan bank syariah. Karena ada indikasi pembiayaan murabahah tersebut menyerupai kredit yang dipraktekkan bank konvensional.73 Pernyataan ini perlu diluruskan, sehingga masyarakat dapat memahami praktek pembiayaan murabahah di bank syariah secara benar. Sekaligus juga dapat membedakan dengan praktek kredit yang biasa dijalankan oleh industri jasa keuangan konvensional.

Adapun

Referensi

Dokumen terkait

Adapun metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah dengan pendekatan kepustakaan ( library research ) atau penelitian normatif, yaitu dengan upaya

Alat pengumpulan data yaitu melalui studi pustaka (Library research) dengan mengumpulkan sumber-sumber/bahan antara lain dari buku-buku, artikel, majalah, dan penelusuran

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan termasuk riset kepustakaan (library research). Yang menjadi bahan kajian adalah buku-buku sejarah tentang

Sedangkan menurut Mahmud dalam bukunya Metode Penelitian Pendidikan menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, jenis penelitian Field Research (penelitian lapangan), teknik penentuan informan menggunakan

Adapun judul skripsi yang saya susun ini berjudul “Penerapan Akad Murabahah Pada Pembiayaan KPR Syariah di Bank Sumut Syariah Cabang Ringroad Medan Selayang”.. Skripsi

Jenis skripsi ini merupakan study kepustakaan (library research) maka sumber data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah buku-buku, literatur, Koran, internet dan sebagainya.

Data sekunder diperoleh dari bahan pustaka seperti kutipan buku-buku, artikel, makalah, situs internet, brosur-brosur asuransi serta buku panduan profil Hijrah