Aditama, 2003.
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wriono.Metode Penelitian Hukum. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2004.
Fidel.Tax Law : Proses Beracara Di Pengadilan Pajak Dan Peradilan Umum.
Tangerang: PT. Carofin Media. 2014.
Kurniawan, Anang Mury.Transfer Pricing Untuk kepentingan Pajak. Yogyakarta:
C.V Andi Offset. 2015.
Lumbantoruan, Sophar.Akuntansi Pajak Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo. 1996.
Mardiasmo.Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta: C.V Andi Offset. 2009.
Mclntyre, Michael J. dan Brian J. Arnold.International Tax Primer. Den Haag:
Kluwer Law International. 2000.
Mertokusumo, Soedikno.Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
1988.
Nahak, Simon.Hukum Pidana Perpajakan. Malang: Setara Press. 2014.
Pandiangan, Liberti.Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan Pasal 26. Jakarta: Salemba Empat. 2009.
Rusjdi, Muhammad.PPH, Pajak Penghasilan. Jakarta: Indeks. 2006
Soematri, Ronitidjo Hanitijo.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimet. Jakarta:
Ghalia Indonesia.; 1990.
Suandy, Erly.Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2003.
Suandy, Erly.Perencanaan Pajak Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat. 2008.
Suandy, Erly.Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2008.
Sumarsan, Thomas.Perpajakan Indonesia. Bogor: Esia Media. 2009.
B. Peraturan-Peraturan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nom diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER - 32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 04/PJ.7/1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing
Agreement between the Government of the Kingdom of the Netherlands and the Government of the Republic of Indonesia for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with respect to Taxes and Income 2002
C. Jurnal/Makalah
Achmadiyah, Ria. “Transaksi Rekayasa Pajak Pada Transfer Pricing Dalam
Perspektif Hukum Islam”, Undergraduate Thesis UIN Sunan
AmpelSurabaya.
Christine. “Tax Fraud : An Emerging Issue For Concern”. Economic Business and
Accounting Review Jurnal and Prosiding Volume 2 Nomor 1. Jan-Apr 2007.
Darussalam dan Danny Septriadi. “Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion,
dan Anti Avoidance Rule”. Danny Darussalam Tax Center. Januari 2009.
Freedman, Judith. “Defining Tax Payer Responsibility : In Support of a
General-Anti Avoidance Principle”. British Tax Review. 2004.
Hutagaol, John dan Wilson Tobing. “SAAR dan GAAR Dalam Menangkal
Penghindaran Pajak”. Inside Tax Edisi Perkenalan. September 2007.
Marcelliana,Elsa. “Pengaruh Cost Of Debit Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012”.
McGee, Robert. “Is tax Evasion Unethical”.Kansas Law Review Volume 42
Nomor 2. 1994.
Merks, Paulus. “Defining International Tax Planning, Avoidance and
Evasion”,Fundamentals of International Tax Planning. 2007.
Nugroho, Adrianto Dwi. “Anti-Avoidance Rules Di Indonesia Pasca Amandemen
UU Pajak Penghasilan”. Mimbar Hukum Volume 21. Februari 2009.
Slamet, Indrayagus. “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata
Perpajakan Indonesia”. Inside Tax Edisi Perkenalan. September 2007.
Vanistendael, Frans. “Tax Avoidance and The Rule of Law”.Graeme S. Cooper.
1997.
D. Website
ArtiTransfer Pricing, http://www.academia.edu/8138768 (diakses pada tanggal 28 Oktober 2015).
Contoh Kasus Transfer Pricing,
Istilah Perpajaka
Kasus Transfer Pricing Internasional,
Kasus Transfer Pricing Toyota tanggal 7 Januari 2016).
Mengapa Manusia Bekerj
Pengertian Transfer Pricing, http://www.academia.edu/5361005 (diakses pada tanggal 28 Oktober 2015).
Penghindaran Paja pada tanggal 28 Oktober 2015).
Penghindaran Pajak Transfer Pricing,
Pentingnya Paja
Penyalahgunaan Transfer Prici
Transfer Pricing dan Resikonya,
(diakses pada tanggal 13 Desember 2015).
A. Pengertian Transfer Pricing
Globalisasi ekonomi telah membawa dampak semakin meningkatnya
transaksi internasional atau cross border transaction. Salah satu masalah
perpajakan yang timbul dari transaksi ini adalah masalah penentuan harga transfer
(transfer pricing). Istilah harga transfer berkaitan erat dengan harga transaksi
barang, jasa, atau harta tak berwujud antar perusahaan dalam suatu perusahaan
multinasional.79
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan
harga transfer suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun
transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok
transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan inter-company transfer
pricing. Intra-company transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi
dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan
transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
Transaksinya sendiri bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer
pricing), maupun dengan negara yang berbeda (international transfer pricing).80
Pengertian di atas merupakan pengertian yang netral, walaupun sering
sekali istilah transfer pricing dikonotasikan dengan sesuatu yang tidak baik
79
Erly Suandy, Perencanaan Pajak Edisi 4 (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.63. 80
Transfer Pricing dan Resikonya,
(sering disebut abuse of transfer pricing).81Harga transfer secara peyoratif
diartikan sebagai harga yang ditetapkan oleh perusahaan multinasional dengan
maksud untuk mengalokasikan penghasilan dari suatu perusahaan ke perusahaan
lainnya pada negara yang berbeda dalam perusahaan multinasional tersebut
dengan tujuan menurunkan laba kena pajak di negara yang mempunyai tarif pajak
tinggi dan mengalihkan labanya di negara lain yang tarif pajaknya rendah atau
bahkan nol. Terutama apabila antara negara-negara tersebut tidak mempunyai
peraturan anti penghindaran pajak. Perusahaan-perusahaan multinasional dapat
dengan mudah menentukan harga barang, jasa, atau harta tak berwujud untuk
tujuan penghindaran pajak.82
Berikut ini pengertian harga transfer oleh beberapa ahli :83
1. Pengertian netral
a. Gunadi
Harga transfer adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan
penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa.
b. Sophar Lumbantoruan
Harga transfer adalah penentuan harga balas jasa suatu transaksi antar
unit dalam suatu perusahaan atau antar perusahaan dalam suatu grup.
c. Edward J. Blocher, Kung H. Chen, dan Thomas W. Lin
Ibid..
82
Erly Suandy, Loc.Cit.
83
Harga transfer adalah penentuan dari harga pertukaran pada saat
unit-unit bisnis yang berbeda di dalam suatu perusahaan bertukar produk atau
jasa. Produk-produk tersebut mungkin merupakan produk akhir yang
dapat dijual pada pelanggan luar atau produk menengah yang
merupakan komponen produk akhir.
2. Pengertian peyoratif
a. Charles T. Horngen dan Gary L. Sundem
Transfer prices are the amount charged by one segment of an
organization for a product that it supplies to another segment of the
same organization in multinational companies, transfer prices are used
to minimize worldwide income taxes and import duties.
b. Gunadi
Harga transfer adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis
dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah
perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara.
c. Rochmat Soemitro
Harga transfer adalah suatu perbuatan pemberian harga faktur (invoice)
pada barang-barang (juga jasa-jasa) yang diserahkan antar bagian /
cabang suatu perusahaan multinasional.
B. Hubungan Istimewa
Perlakuan transfer pricing relevan jika para pihak dipengaruhi oleh
melakukan enforcement dalam kasus transfer pricing. Otoritas pajak harus punya
alasan kuat untuk mengatakan bahwa para pihak telah melakukan transfer pricing
untuk tujuan penghindaran. Sebelum membuktikan adanya transfer pricing untuk
penghindaran pajak, pertama harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa para pihak
terdapat hubungan istimewa.84
Hubungan istimewa dapat dibagi menjadi :85
1. Hubungan istimewa menurut UU PPh
Hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat (3), (3a), dan (4) UU PPh,
yang menyatakan sebagai berikut :86
a. Direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya-plus, atau metode lainnya.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya
hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan
dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun
pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Bila demikian,
84
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.17. 85
Ibid.
86
direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara
para wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Penentukan
kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut menggunakan
metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale
price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode
lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode
laba bersih transaksional (transactional net margin method). Demikian
pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung,
dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka
direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut
sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan,
misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dan
utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.87
b. Direktur jenderal pajak berwenang melakukan perjanjian dengan wajib
pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku
selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
87
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)
adalah kesepakatan antara wajib pajak dan direktur jenderal pajak
mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional.
Persetujuan antara wajib pajak dan direktur jenderal pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan,
dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.88
Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan
kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi
atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu
merupakan kesepakatan antara direktur jenderal pajak dengan wajib
pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan direktur jenderal pajak dengan
otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut wajib pajak yang
berada di wilayah yurisdiksinya.89
Kondisi yang menyebabkan direktur jenderal pajak dapat meninjau
atau membatalkan APA atau kondisi lainnya harus dicantumkan dalam
APA. APA tidak menghalangi direktur jenderal pajak melaksanakan
pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku. Buku, catatan, dokumen, atau informasi yang
88
Penjelasan Pasal 18 ayat (3) huruf a UU PPh. 89
disampaikan oleh wajib pajak dalam pembentukan APA merupakan
kerahasiaan wajib pajak yang tidak dapat diungkapkan kepada pihak lain
sebagaimana dimasud dalam Pasal 34 UU KUP.90
c. Hubungan istimewa dianggap ada, apabila :
1) wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada wajib
pajak lain; hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau
lebih; atau hubungan di antara dua wajib pajak atau lebih yang
disebut terakhir;
2) wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih
wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang
disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal, adanya
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, dan
adanya hubungan darah atau perkawinan.91
90
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.128. 91
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan
kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A
mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh
PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B
mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang
saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
sebesar 25% (dua puluh lima persen). Bila demikian, antara PT A, PT B,
dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga
memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan
PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti
di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.92
Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat juga terjadi karena
penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak
terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila
satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam
penguasaan yang sama tersebut.93
92
Penjelasan Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh. 93
Penjelasan Pasal 18 ayat (4) huruf b UU PPh.
Misalnya, Mr X menjabat sebagai
direktur H Ltd dan PT J. Walaupun antara H Ltd dan PT J dianggap tidak
dianggap ada hubungan istimewa karena Mr X menjadi manajemen
(direktur) di kedua perusahaan tersebut.94
Hubungan istimewa karena faktor teknologi dapat terjadi, misalnya
PT P bergerak dalam bidang industri mobil. Walaupun PT P dapat
memproduksi mobil, tetapi komponen utama berupa mesin hanya
diproduksi oleh Q Ltd. Dengan demikian, secara teknologi antara PT P dan
Q Ltd terdapat hubungan istimewa karena faktor teknologi, yaitu mobil
yang diproduksi oleh PT P sangat terpengaruh dengan mesin yang
dihasilkan Q Ltd.95
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan
“hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat”
adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan
“hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu
derajat” adalah ipar.96
2. Hubungan istimewa menurut persetujuan penghindaran pajak berganda
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi pajak berganda nasional dan
pajak berganda internasional. Pajak berganda nasional (national double taxation)
adalah pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama oleh
suatu negara. Pajak berganda internasional (international double taxation) adalah
pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama oleh lebih dari
94
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.19. 95
Ibid.
96
satu negara. Untuk menghindari pajak berganda internasional maka diadakan
perjanjian penghindaran pajak berganda.97
Apabila suatu negara mempunyai persetujuan penghindaran pajak
berganda (P3B) dengan negara lain, maka pengertian hubungan istimewa
(associated enterprises) mengacu pada definisi hubungan istimewa yang diatur
dalam P3B tersebut. Organisation for Economic Co-operation and Development
(selanjutnya disebut sebagai OECD) Model dan United Nation(selanjutnya
disebut sebagai UN) Model, sebagai model yang sering dijadikan acuan
negara-negara di dunia dalam membuat P3B mengatur mengenai hubungan istimewa di
Pasal 9.98
Pada intinya kedua model P3B tersebut menyatakan bahwa hubungan
istimewa timbul dalam hal berikut :99
a. suatu perusahaan dan suatu negara pihak pada persetujuan, baik secara
langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen,
pengawasan atau modal suatu perusahaan dari negara pihak pada
persetujuan lainnya.
b. Orang dan badan yang sama, baik secara langsung ataupun tidak
langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu
perusahaan di negara pihak pada persetujuan dan suatu perusahaan serta
negara pihak lainnya pada persetujuan model P3B tidak menyebut
secara jelas besarnya penyertaan modal. Dengan demikian, besarnya
97
Erly Suandy, Op.Cit., hlm.255. 98
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.20. 99
penyertaan modal yang dianggap menimbulkan hubungan istimewa
tunduk pada undang-undang domestik masing-masing negara.
3. Hubungan istimewa menurut standar akuntansi keuangan.
Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 7,
pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai
pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan
operasional. Pengendalian dapat terjadi melalui kepemilikan langsung anak
perusahaan dengan lebih dari setengah hak suara dari suatu perusahaan, atau
adanya kepentingan substansial dalam hak suara dan kekuasaan untuk
mengarahkan kebijakan keuangan dan operasi manajemen perusahaan
berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian.100
Lebih lanjut dalam PSAK Nomor 7 disebutkan pula cakupan hubungan
istimewa meliputi pula :101
a. perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermediaries),
mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah
pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding
companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries).
b. perusahaan asosiasi (associated company).
c. perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak
langsung, suatu kepentingan hak suara di eprusahaan pelapor yang
berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari
100
Ibid.
101
perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat
adalah mereka yang dapat diharapkan memengaruhi atau dipengaruhi
perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor).
d. karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan
tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan
kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan
komisaris,direksi, dan manajer dari perusahaan, serta anggota keluarga
dekat orang-orang tersebut.
e. perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara
dimiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang
yang diuraikan dalam (c) datau (d), atau setiap orang tersebut
mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut. Ini mencakup
perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh anggota dewan komisaris,
direksi atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan
perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci
yang sama dengan perusahaan pelapor.
C. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
Pada ketentuan perpajakan di Indonesia, apabila suatu transaksi
dipengaruhi hubungan istimewa, maka wajib pajak harus menerapkan prinsip
merupakan sebuah prinsip perpajakan yang diatur dalam UU PPh sebagai
instrumen untuk mencegah praktik penghindaran pajak.102
Prinsip kewajaran adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa dalam hal
kondisi transaksi afliasi (ada hubungan istimewa) sama dengan kondisi transaksi
independen yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi
afliasi tersebut harus sama dengan harga dab keberadaan transaksi independen
(tidak ada hubungan istimewa) yang menjadi pembanding. Sebaliknya, dalam hal
kondisi transaksi afliasi berbeda berbeda dengan kondisi transaksi independen
yang menjadi pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afliasi harus
berbeda dibandingkan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi
pembanding, dan nilai beda kondisi transaksi sama dengan nilai dari beda harga
transaksi.103
Contohnya PT A menjual barang kepada C Ltd anak perusahaannya (ada
hubungan istimewa) dan menjual barang kepada D Ltd (independen). Jika barang
tersebut dijual kepada D Ltd dengan harga jual Rp.10.000.000,00 dalam hal
kondisi transaksinya sama, penjualan barang tersebut ke C Ltd harga jual
seharusnya sama, yaitu Rp.10.000.000,00. Apabila kondisi transaksinya berbeda,
maka seharusnya harga jual juga berbeda. Misalnya kualitas barang yang dijual ke
C Ltd lebih baik, maka harga jual ke C Ltd harus lebih dari Rp.10.000.000,00.
Artinya, kalau kualitas barang yang dijual ke C Ltd lebih baik tetapi harganya
102
Ibid., hlm.10. 103
sama dengan yang dijual ke D Ltd, berarti tidak sesuai dengan prinsip
kewajaran.104
Yang dimaksud dengan prinsip kelaziman usaha (ordinary practice
business) adalah sebuah prinsip yang mengatur bahwa hasil dan keberadaan suatu
transaksi afliasi harus sama dengan hasil dan transaksi independen yang dilakukan
oleh pelaku usaha lainnya dalam kelompok industri wajib pajak, jika kondisi
transaksi afliasi sama dengan kondisi rata-rata transaksi independen dalam
kelompok industri wajib pajak. Sebaliknya, dalam hal kondisi transaksi afliasi
berbeda dengan kondisi transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha
lainnya dalam kelompok industri wajib pajak ayng emnjadi pembanding, maka
harga dan keberadaan transaksi afliasi harus berbeda dibandingkan harga dan
keberadaan transaksi independen yang dilakukan oleh pelaku usaha lainnya.
Dalam kelompok industri wajib pajak yang menjadi pembanding dan nilai beda
kondisi transaksi, sama dengan nilai dari beda harga transaksi.105
Contohnya PT A, perusahaan yang bergerak dalam bidang produsen
barang elektronik semata-mata melakukan penjualan barang berdasarkan pesanan
dari C Ltd induk perusahaannya (afliasi). PT B perusahaan yang bergerak dalam
bidang produsen barang elektronik berdasarkan pesanan pihak independen. Dalam
kasus ini seharusnya tingkat laba PT A dan PT B seharusnya sama (atau
mendekati) jika kondisi transaksinya sama. Apabila kondisi transaksinya berbeda,
misalnya PT A bahan bakunya disediakan oleh pemesan sedangkan PT B bahan
104
Ibid.
105
bakunya harus membeli sendiri, maka seharusnya laba PT A berbeda dengan laba
PT B.
Pada ketentuan perpajakan di Indonesia, terminologiarm’s length
principle/ALP digunakan untuk sekaligus menyebut kedua prinsip tersebut
(prinsip kewajaran dan kelaziman usaha).106Prinsipkewajaran dan kelaziman
usaha (Arms Length Principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa
apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama
dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi
pembanding.107
OECD menggunakan arm’s length principle dalam menghadapi masalah
transfer pricing, alasannya sebagai berikut :108
1. Karena prinsip ini perusahaan-perusahaan yang dipengaruhi hubungan
istimewa dalam kondisi yang sama dengan perusahaan lainnya yang
dipengaruhi hubungan istimewa, sehingga dapat dihilangkan faktor-faktor
yang menguntungkan maupun merugikan.
2. Dapat diterapkan dalam kasus-kasus yang luas.
106
Ibid.
107
Istilah Perpajakan
108
3. Arm’s length principle menyediakan perkiraan yang lebih mendekati cara
kerja pasar terbuka.
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha mendasarkan pada norma bahwa
harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market
Value/FMV). Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dijadikan pedoman untuk
menentukan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi satu grup perusahaan
(intra-group transactions). Dengan menggunakan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha, transaksi dalam suatu grup perusahaan dibandingkan dengan
transaksi yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak saling terkait (tidak ada
hubungan istimewa) untuk menentukan harga transfer diterima (transfer pricing).
Dengan demikian, untuk tujuan pajak, kondisi pasar yang terdiri dari
perusahaan-perusahaan yang idependen dijadikan ukuran atau patokan untuk mengukur harga
transfer (transfer pricing).
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER – 32/PJ/2011 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010
Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi
Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa Pasal 3,
menjelaskan bahwa prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding. Dalam
yang dapat memengaruhi tingkat kesebandingan, antara lain karakteristik
barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang diperjualbelikan,
termasuk jasa, fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi,
ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian, keadaan ekonomi, dan strategi
usaha. Menentukan pembanding dapat dengan menggunakan data
pembanding, baik internal maupun eksternal.109
2. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat. Penentuan metode
harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk menentukan metode
penentuan harga transfer yang paling sesuai (The Most Appropriate Method).
Metode penentuan harga transfer yang dapat diterapkan dalam ketentuan
perpajakan di Indonesia adalah metode perbandingan harga antara pihak yang
tidak mempunyai hubungan istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP),
metode harga penjualan kembali (Resale Price Method/RPM), metode
biaya-plus (Cost Plus Method), metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM)
atau metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin
Method/TNMM).110
3. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil
analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa; dan
4. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba
wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
109
Ibid., hlm.14. 110
berlaku.Wajib pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan
hasil kajian dalam melakukan analisis kesebandingan dan penentuan
pembanding, penggunaan data pembanding internal dana tau data pembanding
eksternal, pemilihan metode penetapan harga transfer serta menyimpan buku,
dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.111
OECD memberikan panduan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle),
yaitu:112
1. Mengakui transaksi yang terjadi apa adanya
2. Kerugian
3. Dampak kebijakan pemerintah
4. Penggunaan patokan harga untuk keperluan bea masuk
Penting bagi otoritas pajak untuk menerima transaksi yang dilakukan para
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai transaksi apa adanya
(recognition of the actual transactions undertaken), karena belum tentu transaksi
tersebut ditujukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak.113
Pengujian kewajaran rugi yang dilaporkan perlu mendapat perhatian.
Apabila satu perusahaan dalam satu grup perusahaan menderita rugi, tetapi secara
keseluruhan grup perusahaan tersebut laba, maka perlu dicurigai adanya transfer
pricing. Rugi sebenarnya sesuatu hal yang wajar apabila disebabkan oleh keadaan
ekonomi yang tidak baik, awal usaha yang membutuhkan biaya besar atau alasan
lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, kalau kerugian itu berlangsung
111
Ibid., hlm.15. 112
Ibid.
113
terus-menerus, maka tidak wajar. Sebab perusahaan yang tidak dipengaruhi
hubungan istimewa tidak akan membiarkan suatu kerugian berlangsung
terus-menerus. Adanya satu perusahaan dalam grup perusahaan menderita rugi
sedangkan yang lain laba, bisa jadi karena perusahaan tersebut tidak mendapat
kompensasi yang sewajarnya, sehingga perlu diteliti adanya indikasi transfer
pricing yang tidak wajar.114
Kebijakan yang dibuat pemerintah sering berdampak langsung terhadap
wajib pajak (the effect of government policies), sehingga wajib pajak meminta
harga/laba wajar perlu disesuaikan. Misalnya kebijakan pengendalian harga,
pengaturan tingkat bunga, pemberian subsidi, pengawasan devisa, kebijakan
anti-dumping, dan lain sebagainya. Kebijakan pemerintah tersebut perlu diperhatikan
dalam melakukan evaluasi transfer pricing atas harga/laba dari wajib pajak.115
Patokan harga untuk keperluan bea masuk (use of customs valuations)
dapat digunakan untuk kepentingan pajak. Praktiknya, petugas bea cukai lazim
menilai kewajaran harga barang yang diimpor dengan membandingkan antara
transaksi yang dilakukan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa dengan
pihak yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa. Penilaian oleh petugas bea
cukai ini dapat membantu otoritas pajak untuk menilai kewajaran suatu harga.116
D. Mekanisme Penghindaran Pajak Melalui Transfer Pricing
Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan
atau dasar pengenaan pajak dan atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak
114
Ibid., hlm.16. 115
Ibid.
116
lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumlah pajak terutang
atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Transfer pricing dapat dilakukan dengan mengalihkan penghasilan atau biaya
dengan tidak wajar.117
1. Harga penjualan;
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-04/PJ.7/1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing,
kekurangwajaran dari adanya transfer pricing dapat terjadi pada:
2. Harga pembelian;
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang
saham(shareholderloan);
5. Pembayaran komisi,lisensi,franchise,sewa, royalti,imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya;
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah daripada pasar;
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang atau
tidak mempunyai subtansi usaha (misalnya dummy company, letter box
company atau reinvoicing center).
Berikut ini adalah penjelasan dari kekuranganwajaran transfer pricing di
atas:118
1. Harga penjualan (ekspor)
117
Ibid., hlm.129. 118
Harga jual suatu produk atau jasa yang dilakukan perusahaan afiliasi yang
berada di negara yang mempunyai tarif pajak yang relatif tinggi, misalnya
Indonesia, akan cenderung lebih rendah dari harga pasar. Dengan harga jual yang
lebih rendah tersebut maka keuntungan dari perusahaan di Indonesia menjadi
lebih kecil atau bahkan rugi sehingga pajak yang dibayar juga akan kecil, atau
bahkan tidak ada pajak yang dibayar. Sebaliknya, bagi perusahaan yang membeli
produk atau jasa tersebut di luar negeri (negara yang tarif pajaknya rendah) akan
mendapatkan harga beli yang murah, sehingga akan memperoleh marjin laba yang
besar karena harga pokoknya lebih rendah.
Contoh : PT A produsen tas di Indonesia menjual sejumlah tas kepada B
Pte Ltd perusahaan afliasi selaku distributor yang berada di Singapura. Oleh B Pte
Ltd tas tersebut dijual kepada pengecer (pihak independen) di Singapura. Tarif
PPh di Indonesia sebesar 25% sedangkan tarif PPh di Singapura sebesar 17%.
Pada kasus ini, PT A sengaja memperkecil harga jual ketika menjual kepada B Pte
Ltd. Dengan demikian, keuntungan dari penjualan tas akan bergeser kepada B Pte
Ltd yang berada di Singapura. Grup perusahaan merelakan sebagian besar
keuntungannya dipajaki di Singapura karena tarif pajak Singapura lebih rendah
daripada di Indonesia.119
2. Harga pembelian (Impor)
Harga beli suatu produk atau jasa yang dilakukan oleh perusahaan afiliasi
yang berada di negara yang mempunyai tarif pajak tinggi (misalnya Indonesia),
akan cenderung lebih tinggi dari harga pasar. Dengan harga beli yang lebih tinggi,
119
maka keuntungan dari perusahaan di Indonesia menjadi lebih kecil atau bahkan
rugi sehingga pajak yang dibayar juga akan kecil atau bahkan tidak ada pajak
yang dibayar. Sebaliknya, bagi perusahaan yang menjual produk atau jasa tersebut
di luar negeri yang tarif pajaknya lebih rendah akan mendapatkan harga jual yang
lebih tinggi, sehingga akan mendapatkan marjin laba yang lebih besar.
Contoh : PT C selaku distributor barang elektronik di Indonesia membeli
sejumlah barang elektronik dari D Ltd perusahaan afliasi yang berada di
Hongkong. Oleh PT C barang elektronik tersebut dijual kepada pengecer (pihak
independen) di Indonesia. Tarif PPh di Indonesia sebesar 25%, sedangkan tarif
PPh di Hongkong sebesar 16,5%. Pada kasus ini, PT C sengaja memperbesar
harga pembelian ketika membeli dari D Ltd. Dengan demikian, keuntungan dari
penjualan barang elektronik akan bergeser kepada D Ltd yang berada di
Hongkong. Grup perusahaan merelakan sebagian besar keuntungannya dipajaki di
Hongkong karena tarif pajak Hongkong lebih rendah daripada di Indonesia.120
3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
Perusahaan afiliasi yang berada di negara yang mempunyai tarif pajak
yang relatif tinggi, akan cenderung meninggikan biaya-biaya seperti imbalan atas
jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya sehingga keuntungannya kecil dan pajak
yang dibayar juga kecil. Modus alokasi biaya administrasi dan umum (overhead
cost) biasanya dilakukan oleh BUT. Sesuai dengan ketentuan undang-undang
120
PPh, biaya administrasi kantor pusat di luar negeri diperbolehkan untuk
dibebankan sebagai pengurang pajak BUT di Indonesia.121
Kantor pusat berupaya mengalokasikan biaya tersebut sebesar-besarnya
untuk mengurangi pajak yang dibayar di Indonesia. Alasan alokasi biaya tersebut
karena biaya itu berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT di Indonesia. Otoritas
pajak di Indonesia tidak mudah untuk memverifikasi kebenaran biaya ini, karena
pengeluaran dilakukan di luar negeri.122
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
(shareholder loan)
Salah satu modus transfer pricingadalah melakukan thin capitalization.
Thin capitalization adalah pembentukan struktur permodalan dimana jumlah
utang jauh lebih besar daripada saham. Thin capitalization menjadi menarik
karena ketentuan perpajakan memperbolehkan pembayaran bunga sebagai
pengurang pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak dapat menjadi pengurang
pajak. Untuk mengurangi beban pajak pada anak perusahaan, induk perusahaan
cenderung memilih untuk memberikan pinjaman (dan mengenakan bunga)
daripada menambah setoran saham.123
Pinjaman dari shareholder di luar negeri biasanya dengan mengenakan
tarif bunga yang tinggi (tidak wajar) sehingga biaya bunga bagi perusahaan di
Indonesia menjadi tinggi dan keuntungan perusahaan menjadi kecil. Jadi di sini
terjadi pergeseran keuntungan dalam bentuk pembayaran bunga yang tinggi
kepada perusahaan induk di luar negeri.
121
Pasal 5 ayat (3) UU PPh. 122
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.133. 123
Ketentuan perpajakan mengatur adanya pembatasan perbandingan utang
dan modal.124 Supaya penyaluran pinjaman tersebut tidak dideteksi otoritas pajak,
maka wajib pajak memodifikasi skema penyaluran pinjaman tersebut melalui
pihak ketiga, yang sering disebut dengan istilah back to back loan.125
Padaback to back loan, induk perusahaan di luar negeri dalam memberikan
pinjaman ke anak perusahaan tidak secara langsung, tetapi melalui pihak ketiga,
yaitu bank yang berkedudukan di Indonesia. Penyaluran dilakukan melalui bank
supaya pemberian pinjaman kelihatannya lazim. Caranya, induk perusahaan
membuat kesepakatan dengan bank di Indonesia untuk menempatkan dana dalam
bentuk deposito ke bank tersebut, selanjutnya bank memberikan pinjaman ke anak
perusahaan di Indonesia dengan mengenakan bunga dengan tingkat bunga yang
disepakati. Pada skema ini, bank tidak merasa rugi karena tetap mendapat imbalan
dari selisih pendapatan bunga pinjaman dan beban bunga deposito, walaupun
jumlahnya kecil.126
5. Pembayaran royalti
Skema transfer pricing untuk penghindaran pajak dapat berupa
pembayaran royalti kepada induk perusahaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh : PT A adalah produsen minuman dengan merek “A”. Minuman yang
diproduksi dengan merek “A” tersebut sudah sangat terkenal di Indonesia. B Ltd
sebuah perusahaan multinasional berkedudukan di luar negeri yang bergerak
dalam bidang makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang diproduksi B
Ltd menggunakan merek “B”. Walaupun merek “B” dikenal di pasar
124
Pasal 18 ayat (1) UU PPh. 125
Anang Mury Kurniawan, Loc.Cit.
126
internasional, tetapi untuk pasar lokal di Indonesia merek “B” belum dikenal
masyarakat. Pada suatu saat B Ltd mengakuisisi PT A. Setelah akuisisi tersebut
dibuat kebijakan bahwa setiap produk minuman yang diproduksi oleh PT A,
selain mencantumkan merek “A” juga mencantumkan merek dagang B Ltd berupa
logo “B”. Atas pencatuman logo “B” tersebut, PT A harus membayar royalti
kepada B Ltd.127
Pembayararan royalti tersebut dibebankan sebagai biaya dalam
perhitungan pajak. Pembayaran royalti tersebut sesungguhnya tidak perlu, sebab
sebenarnya pemakaian merek dagang “B” tidak signifikan memengaruhi
penjualan minuman, karena PT A sebenarnya telah mempunyai merek dagang
yang kuat. 128
6. Pembayaran jasa intra-group
Pembayaran-pembayaran tersebut biasanya dilakukan dengan
jumlah yang tak wajar sehingga akan meninggikan biaya perusahaan dan
memperkecil keuntungan.
Praktik transfer pricing dapat dilakukan dengan adanya kewajiban
pembayaran jasa seperti jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa lainnya ke induk
perusahaan di luar negeri. Walaupun sebenarnya pembayaran jasa-jasa tersebut
tidak diperlukan. Pembayaran jasa tersebut jumlahnya ditentukan oleh induk
perusahaan, sehingga sering terjadi nilai yang dibayarkan melebihi kewajaran.
Pembayaran jasa tersebut dibebankan sebagai biaya pengurang pajak oleh anak
perusahaan, sehingga kewajiban pajak di Indonesia menjadi lebih kecil.129
127
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.136. 128
Ibid.
129
7. Jasa produksi/maklon
Antara anak perusahaan di Indonesia dan induk perusahaan di luar negeri
mengikat kontrak jasa produksi (maklon). Anak perusahaan memproduksi barang
atas pesanan induk perusahaan, dengan spesifikasi barang dan bahan baku
disediakan oleh induk perusahaan. Atas jasanya anak perusahaan mendapat
imbalan (fee). Barang yang sudah jadi langsung dikirim oleh perusahaan di
Indonesia ke pembeli yang ditunjuk oleh induk perusahaan. Pada skema ini anak
perusahaan di Indonesia diberikan imbalan (fee) jasa produksi (maklon) dengan
nilai sangat rendah, sehingga pajak yang dikenakan menjadi kecil. Induk
perusahaan menjual barang tersebut ke pihak lain dengan harga yang tinggi.
8. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar.
Pembelian harta perusahaan anak oleh perusahaan induk dengan harga
lebih rendah dari harga pasar akan mengakibatkan kerugian perusahaan anak atau
keuntungannya yang menjadi lebih kecil. Pajak yang dibayar oleh perusahaan
anak di Indonesia akan lebih kecil karena rugi.
9. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya letter box company)
Transfer pricing dapat dilakukan dengan melakukan penjualan melalui
Dummy company. Dummy company adalah “perusahaan boneka” yang dibuat di
luar negeri oleh perusahaan di Indonesia untuk kepentingan penjualan barang ke
pihak lain.130
130
Anang Mury Kurniawan, Op.Cit., hlm.138.
dikenal dengan istilah tax haven country yang mempunyai infrastruktur keuangan
dan perbankan yang canggih dan terdapat jaminan kerahasiaan informasi
keuangan perusahaan. Untuk keperluan bisnisnya banyak perusahaan mendirikan
cabang di negara tax haven tersebut dengan hanya berfungsi untuk menerima dan
melakukan pembayaran atau hanya berfungsi untuk membuat invoice. Atau
pembayaran dividen, bunga, capital, gain, komisi, lisensi, franchise, royalti, sewa
dan lainnya dari Indonesia ke negara tax haven country tersebut biasanya
dikenakan tarif pajak penghasilan yang lebih kecil daripada jika pembayaran
tersebut dilakukan ke negara bukan tax haven country.
Negara-negara ini memperbolehkan pendirian perusahaan di negara
tersebut walaupun tanpa subtansi usaha, hanya sekadar alamat (letter box
company). Barang seolah-olah terlebih dahulu dijual ke dummy company,
selanjutnya oleh dummy company barang tersebut dijual ke pihak lain. Walaupun
kenyataan sebenarnya barang langsung dikirim kepada pihak lain tersebut.131
10.Reinvoicing
Dengan alasan untuk kepentingan pemasaran di kawasan terentu,
perusahaan di Indonesia sengaja mendirikan perusahaan yang berfungsi sebagai
kantor perwakilan di luar negeri (regional office). Pendirian regional office ini
dilakukan di negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau memberikan fasilitas
bagi pendirian regional office, misalnya Hongkong dan Singapura.132
Walaupun kenyataannya barang dikirim langsung oleh perusahaan di
Indonesia kepada pihak lain, tetapi penjualan barang kepada pihak lain
131
Ibid.
132
olah dilakukan melalui regional office tersebut. Atas penjualan dari perusahaan di
Indonesia ke regional office, diterbitkan tagihan (invoce). Selanjutnya, oleh
regional office barang dijual ke pihak lain dengan menerbitkan tagihan (invoice)
lagi ke pihak lain tersebut. Praktik seperti ini disebut dengan istilah
re-invoicing.133
11.Penjualan atau pembelian saham
Modus transfer pricing untuk penjualan atau pembelian saham biasanya
melibatkan grup perusahaaan yang berada di negara tax haven country atau
negara-negara yang tidak mengenakan pajak atas capital gain. Beberapa negara
tidak masuk dalam kategori tax havencountry, karena negara tersebut mengenakan
PPh dan bersedia melakukan tukar-menukar informasi dengan negara lain.
Namun, negara tersebut tidak mengenakan pajak atas capital gain.134
Contoh : PT A mempunyai penyertaan saham di PT B sebuah perusahaan
rokok di Indonesia. Saham PT B tersebut diperoleh PT A dengan harga perolehan
2 miliar rupiah. PT A berencana menjual saham PT B tersebut kepada X Corp
yang berkedudukan di Amerika Serikat. Diperkirakan harga pasar saham PT B
saat ini 10 miliar rupiah. Apabila PT A langsung menjual saham tersebut ke X
Corp, maka atas keuntungan penjualan saham 8 miliar rupiah dikenakan pajak di
Indonesia. Untuk memperkecil pajak, terlebih dahulu saham PT B oleh PT A
dijual kepada Z Ltd (perusahaan afliasi dari PT A) yang berkedudukan di tax
haven country untuk memperkecil pajak. Harga jual saham dari PT A ke Z Ltd
ditentukan sebesar 3 miliar rupiah. Selanjutnya, oleh Z Ltd saham PT B tersebut
133
Ibid.
134
dijual ke X Corp dengan harga pasar 10 miliar rupiah. Dengan skema ini, PT A
hanya terutang pajak di Indonesia sebesar keuntungan penjualan saham PT B ke Z
Ltd sebesar 1 miliar rupiah. Keuntungan penjualan saham PT B sebesar 7 miliar
rupiah tidak dikenakan pajak, karena Z Ltd berkedudukan di tax haven country.135
Dengan semakin berkembangnya dunia usaha yang seringkali bersifat
transnasional dan dengan diperkenalkannya metode dan produk usaha baru, maka
bentuk dan variasi transfer pricing dapat tidak terbatas. Namun demikian, dengan
pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang transaksi antar wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa diharapkan dapat meminimalkan atau mengurangi
praktik penghindaran pajak melalui rekayasa transfer pricing tersebut.136
E. Kasus-Kasus Transfer Pricing
Diindikasikan terdapat praktik-praktik usaha mengindari pajak, baik oleh
wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak perusahaan, baik nasional maupun
multinasional. Salah satu praktik tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari
pajak oleh perusahan-perusahaan multinasional, dengan melakukan proses
transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha.137
Namun dari hasil pendalaman dari data-data yang dimiliki direktur
jenderal pajak perihal seberapa besar potensi penerimaan pajak yang hilang akibat
praktik negatif dari transfer pricing sangat sulit diproyeksi, dikarenakan
135
Ibid.
136
Muhamammad Zain,Manajemen Perpajakan (Jakarta, Salemba Empat, 2008), hlm.305. 137
Contoh Kasus Transfer Pricing,
ketidakmungkinan mencari rujukan atau pengenaan dasar bagi transaksi tersebut.
Referensi dari kasus serupa dalam dunia internasional138
misalnya kasus yang
menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, dan Amazon Inggris. Starbucks
Inggris misalnya, pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi
padahal berhasil mencetak penjualan sebesar £398 juta. Selain itu mereka juga
mengaku rugi sejak tahun 2008, dengan jumlah kerugiannya mencapai £112 juta
atau sekitar Rp1,7 triliun. Padahal dalam laporan kepada investornya di Amerika
Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka memperoleh keuntungan yang
besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (2008-2010) mencapai £1,2
miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak
pernah membayar pajak korporasi. Bahkan selama 14 tahun beroperasi di Inggris,
Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Kemudian Google Inggris
pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar £398 juta tetapi hanya
membayar pajak sebesar £6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di
mana mereka berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar £3,35 miliar selama
tahun 2011 tetapi hanya membayar pajak sebesar £1,5 juta. Perusahaan-perusahan
multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk
meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak gampang. Akan tetapi,
dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat
memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh
lebih rendah. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain termasuk di
Amerika Serikat. Tahun 2013 Amazon berhadapan dengan pihak otoritas pajak
Amerika Serikat (IRS) juga untuk kasus transfer pricing dengan nilai US$ 234
juta.
Di Indonesia, contoh kasus transfer pricing terjadi pada 2008 dimana ada
indikasi kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT. Adaro
Indonesia ( PT. Adaro Energy, tbk) , yang kemudian ditangani kejaksaan agung.
Dimana diduga perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah
standar. Waktu itu, kasus mencuat akibat pertarungan konglomerat
SukantoTanoto dengan Edwin Soeradjaya. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro
Indonesiamenjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di
Singapura Coaltrade Services International Pte, Ltd pada 2005 dan 2006. Oleh
Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran. Hal ini
dimaksudkan guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang harusnya
dibayarkan ke kas negara. Pada dokumen laporan keuangan Coaltrade pada
2002-2005, terlihat laba Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Laporan keuangan, tersebut
menimbulkan kecurigaan, bagaimana mungkin Adaro yang memiliki tambang
kalah dengan trader. Kasus tersebut berakhir setelah kejagung sendiri
menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) PT Adaro
Indonesia karena kurangnya bukti dan lolos pula dari penyelidikan DPR setelah
sembilan fraksi di DPR menolak penyelidikan dugaan transfer pricing yang
dilakukan PT Adaro Indonesia. Mereka sepakat menyerahkan kasus tersebut ke
Kejaksaan Agung dan Ditjen Pajak.
Contoh lainnya adalah skandaltransfer pricing Toyota di Indonesia yang
pajak tahunan (SPT) Toyota Motor Manufacturing pada 2005. Dari pemeriksaan
SPT Toyota pada 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada
2004 misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun
(2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross marginatau perimbangan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menyusut dari sebelumnya 14,59
persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian.Apa yang memicu
penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini? Rupanya pada tahun itu,
Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis
produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera: PT Toyota Astra
Motor. Pemilik sahamnya ada dua: PT Astra International Tbk (51%) dan Toyota
Motor Corporation Jepang (49%).Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian
besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang.
Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi.
Walhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor.
Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN).Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan
Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal
pemegang merek dengan nama lama: Toyota Astra Motor (TAM). Pada
perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51
persen saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang.Setelah
restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya
keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang.
Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM)
hanya membayar pajak Rp 168 miliar.Yang janggal, meski laba turun, omzet
produksi dan penjualan mereka pada tahun itu justru naik 40 persen. Jadi kemana
keuntungan Toyota menguap? Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai
tercium. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan
menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar.139
139
INDONESIA
A. Perbedaan Antara Penghindaran Pajak dan Penggelapan Pajak
Wajib pajak selalu menginginkan pembayaran pajak yang kecil. Adanya
keinginan wajib pajak untuk tidak mematuhi peraturan perpajakan, membuat
adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Perlawanan terhadap pajak dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan
pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai
hubungan erat dengan struktur ekonomi, sedangkan perlawanan aktif adalah
semua usaha dan perbuatan secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus)
dengan tujuan untuk menghindari pajak. Perusahaan akan mengupayakan cara
untuk meminimumkan pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal.
Penghindaran pajak secara legal disebut dengan tax avoidance, sedangkan
penghindaran pajak secara ilegal disebut dengan tax evasion.140
Pada buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan
sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
140
Elsa Marcelliana, “Pengaruh Cost Of Debit Pada Perusahaan Manufaktur Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012”,
suatu negara.141Erly Suandy mengatakan bahwa tax avoidance adalah rekayasa
tax affairs yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan.142
Sophar Lumbantoruan mengatakan bahwa tax avoidance adalah penghindaran
pajak dengan menuruti aturan yang ada. Oleh karena itu, pengelakan pajak dengan
cara ini legal dan tidak perlu merasa berdosa.143 Sedangkan menurut Christine tax
avoidance merupakan no illegal action.144
Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan tax avoidance sah-sah
saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. The Asprey Comitte of
Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax
avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum
tapi tidak berdasarkan “bonafide dan adequate consideration”145 atau berlawanan
dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).146
Lebih lanjut A.A.Shenfield mengatakan bahwa arti kalimat “maksud dari
pembuat undang-undang (intension of parliament)” adalah bahwa kalimat tersebut
tidak bisa disimpulkan secara harfiah dari kata-kata yang ada di dalam
undang-undang, karena kata-kata tersebut dapat berbeda artinya dari yang dimaksud oleh
parliament. Menurut A.A.Shenfield, memang sulit untuk memahami spirit of a
law sehingga kita disarankan untuk sangat berhati-hati.147
141
James Kessler, “Tax Avoidance Purpose and Section 741 of the Taxes Act 1988”, dalam British Tax Review, 4 November 2004, hlm.377.
142
Erly Suandy, Perencanaan Pajak (Jakarta: Salemba Empat, 2003), hlm.8. 143
Sophar Lumbantoruan, Akuntansi Pajak Edisi Revisi (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm.493.
144
Christine, “Tax Fraud : An Emerging Issue For Concern”, dalam Economic Business and Accounting Review Jurnal and Prosiding Volume 2, Nomor 1, Jan-Apr 2007.
145
Indrayagus Slamet, “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata Perpajakan Indonesia”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hlm.8.
146
James Kessler, Loc.Cit.
147
Menurut James Kessler pengertian tax avoidance ada dua jenis
sebagaimana ditegaskan juga oleh Roy Rohatgi, yang dikutip oleh Danny
Septriadi dan Darussalam, bahwa di banyak negara penghindaran pajak dibagi
menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax
planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax
avoidance).148Komentar yang sama juga datang dari Brian J. Arnold dalam
artikelnya berjudul The Canadian Anti Avoidance Rule mengatakan bahwa apabila
tujuan utamanya semata-mata hanya untuk menghindari pajak, dan transaksi
tersebut tidak akan dilakukan jika bukan untuk menhindari pajak, maka itu disebut
sebagai unacceptable tax avoidance.149
Judith Freedman juga mengatakan bahwa kadang-kadang unacceptable tax
avoidance tersebut dilakukan dengan cara merekayasa transaksi-transaksi yang
sedemikian kompleksnya dan tidak memiliki tujuan usaha yang baik (no
commercial business purpose), maka itulah yang disebut sebagai aggressive tax
avoidance yang dilarang oleh hakim pengadilan pajak dan otoritas pajak.150
Berbeda dengan unacceptable tax avoidance,acceptable tax avoidance
mempunyai karakteristik sebagai berikut :151
a. memiliki tujuan usaha yang baik
b. bukan semata-mata untuk menghindari pajak
c. sesuai dengan spirit & intention of parliament
148
John Hutagaol, Darussalam, dan Danny Septriadi, Kapita Selekta Perpajakan (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hlm.271.
149
Indrayagus Slamet, Op.Cit., hlm.10. 150
Judith Freedman, “Defining Tax Payer Responsibility : In Support of a General-Anti Avoidance Principle”, dalam British Tax Review, 2004, hlm.334.
151
d. tidak melakukan transaksi yang direkayasa.
Istilah penghindaran pajak (tax avoidance) berbeda dengan penggelapan
pajak (tax evasion). Padatax evasion, upaya wajib pajak untuk mengurangi
pembayaran pajak yang terutang dilakukan dengan melanggar ketentuan pidana
dalam undang-undang di bidang perpajakan.152 Paulus Merks mendefinisikan tax
evasion sebagai “(…) the general term for efforts by taxpayers to migitate taxes
by illegal means”.153
Michael J. Mclntyre dalam International Tax Primer
mendefinisikan tax evasion sebagai upaya mengurangi beban pajak dengan
cara yang illegal, yang biasanya dengan cara tidak melaporkan
Lebih lanjut, dokumen OECD Report on International Tax
Avoidance and Evasion tahun 1987 menyebutkan ruang lingkup tax evasion,
yaitu:
An action by the taxprayer which entails breaking the law and
which moreover can be shown to have been taken with the
intention of escaping payment of tax.(…) Within tax evasion, a
distinction is sometimes made between the less serious offence of
mission, such as the failure to submit complete returns of income
and more serious offense such as false declaration or fake
invoices.
152
Ketentuan pidana untuk jenis pajak PPh dan PPN diatur dalam UU KUP. Sementara itu, untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ketentuan pidananya terdapat dalam UU PBB. Selanjutnya, ketentuan pidana untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
153
penghasilan atau penipuan yang disengaja (willful deceit).154 Frans
Vanistendael memberikan definisi tax evasion sebagai tindakan melanggar
hukum dan dikenakan sanksi pidana, yang kegiatannya meliputi
pemalsuan dokumen, membuat pembukuan ganda (keeping parallel
accounts), tidak melaporkan penghasilan, menyelundupkan atau
menyembunyikan barang atau kekayaan (smuggling or dissimulating
goods or assets).155
Menurut McGee, tax evasion akan membawa akibat, dana pajak
yang seharusnya diterima negara untuk membangun fasilitas umum,
membiayai kegiatan pemerintahan tidak sampai pada negara, sehingga
akan menghambat pembangunan, hak rakyat miskin untuk memperoleh
subsidi dari negara tidak bisa wujudkan. Banyak hal yang terhambat
karena dana dari pembayaran pajak tidak masuk keuangan negara.156
Dari pengertian di atas, dapat disarikan bahwa yang membedakan
tax avoidance dan tax evasion adalah apakah upaya penghematan pajak
yang dilakukan oleh wajib pajak bertentangan dengan undang-undang atau
tidak. 157
154
Michael J. Mclntyre dan Brian J. Arnold, International Tax Primer (Den Haag: Kluwer Law International, 2000), hlm.1167.
155
Frans Vanistendael, “Tax Avoidance and The Rule of Law”, dalam Graeme S. Cooper, IBFD, 1997, hlm.131.
156
Robert McGee,“Is tax Evasion Unethical”, dalam Kansas Law Review, Volume 42,No.2, 1994, hlm.411–435.
157
John Hutagaol dan Wilson Tobing, “SAAR dan GAAR Dalam Menangkal Penghindaran Pajak”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hlm.16.
Tax avoidance bukan merupakan pelanggaran karena
pajak. Tax evasion merupakan kegiatan yang melanggar hukum,
khususnya undang-undang pajak, undang-undang pidana serta perdata.158
B. Sanksi Penghindaran Pajak Melalui Transfer Pricing
Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangan
perpajakan (norma perpajakan) akan ditaati atau dipatuhi. Dengan kata lain,
sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar
norma perpajakan. Pada undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi,
yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu
norma dapat dikenai sanksi administrasi, sanksi pidana, atau sanksi administrasi
dan sanksi pidana.159
Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara,
khususnya berupa bunga dan kenaikan. Menurut ketentuan dalam undang-undang
perpajakan terdapat tiga macam sanksi administrasi, yaitu denda, bunga, dan
kenaikan. Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan. Sanksi
pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus
agar norma perpajakan dipatuhi.160 Terdapat tiga macam sanksi pidana yaitu
denda pidana, kurungan, dan penjara.161
Terhadap penghindaran pajak, upaya pemerintah untuk meningkatkan
kepatuhan pajak (tax compliance), seperti penerapan sunset policy, tidak
diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif terhadap skema-skema
158
Darussalam dan Danny Septriadi, “Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule”, dalam Danny Darussalam Tax Center, Januari 2009.
159
Erly Suandy, Op.Cit., hlm.155. 160
Ibid.
161
penghindaran pajak. Perlu dicatat bahwa UU PPh amandemen ke IV
(undang-undang nomor 36 tahun 2008), memang menambah beberapa ayat pada Pasal 18
yang mengidentifikasi beberapa skema penghindaran pajak baru. Namun,
anti-avoidancerules yang telah lebih dulu ada, seperti thin capitalization dan CFC
tidak mengalami perubahan. Hal yang sama juga terjadi terhadap definisi
hubungan istimewa. Hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi negara, karena
pengaturan-pengaturan tersebut dapat dengan mudah diantisipasi oleh wajib
pajak.162
Anti avoidance rulesyang terdapat dalam Pasal 18 UU PPh antara lain :163
1. Thin capitalization
Thin capitalization adalah pengaturan mengenai penentuan rasio modal
dan hutang untuk kepentingan perpajakan. Pengaturan mengenai thin
capitalization dilakukan pertama kali dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983. Pasca amandemen ke-IV UU PPh, pengaturannya tetap
tidak berubah.Pasal 18 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa :164
Undang-undang ini memberi wewenang kepada menteri keuangan untuk
memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal
perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. menteri keuangan
berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
undang-undang ini.
162
Adrianto Dwi Nugroho, “Anti-Avoidance Rules Di Indonesia Pasca Amandemen UU Pajak Penghasilan”, dalam Mimbar Hukum, Volume 21, Februari 2009, hlm.109.
163
Ibid., hlm.112. 164
Padadunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila
perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas
kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Bila
demikian, untuk penghitungan penghasilan kena pajak, udang-undang ini
menentukan adanya modal terselubung.165
2. Controlled Foreign Corporation (CFC)
Pengaturan mengenai CFC dimaksudkan untuk memberikan kewenangan
kepada negara untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima wajib
pajaknya melalui badan asing yang berada dibawah kontrol wajib pajak tersebut,
dimana pelaksanaan kontrol tersebut memungkinkan wajib pajak tersebut untuk
menunda pendistribusian penghasilan oleh badan asing tersebut, sehingga akan
menunda pula pembayaran pajaknya, bahkan sampai waktu yang tidak
ditentukan.166
Di Indonesia, pengaturan tentang CFC pertama kali dilakukan pada
amandemen ke-II UU PPh (UU Nomor 10 tahun 1994). Sama seperti pengaturan
thin capitalization, pengaturannya pasca amandemen ke-IV UU PPh tidak
berubah. 167 UU PPh mengatur bahwa: 168
165
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh. 166
Adrianto Dwi Nugroho,Loc.Cit.
167
Ibid.,, hlm.115. 168
Pasal 18 ayat (2) UU PPh.
menteri keuangan berwenang
menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas
penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang
a. besarnya penyertaan modal wajib pajak dalam negeri tersebut paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.
3. Interest stripping
Peng