• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PAJAK PENGHASILAN PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM MEDIA SOSIAL DI INDONESIA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ASPEK HUKUM PAJAK PENGHASILAN PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM MEDIA SOSIAL DI INDONESIA SKRIPSI"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh : ERWIN TJIA NIM : 160200309

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Erwin Tjia NIM : 160200309 Departemen : Hukum Ekonomi

Judul Skripsi : Aspek Hukum Pajak Penghasilan Profesi Youtuber dan Selebgram Media Sosial di Indonesia

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa ini skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciptaan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak mana pun.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkat, karunia, dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Telah menjadi Kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis melakukan kewajiban sebagaimana mestinya untuk menyusun suatu skripsi dengan judul

“ASPEK HUKUM PAJAK PENGHASILAN PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM MEDIA SOSIAL DI INDONESIA”.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada para pihak yang telah memberikan dukungan, pengetahuan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Serta secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan ilmu kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi;

8. Ibu Dr. Detania Sukarja, S.H., LLM, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan ilmu kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi;

9. Ibu Dr. Affila, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama penulis duduk di bangku perkuliahan;

10. Dan seluruh Dosen, Staf Pengajar, Staf Pegawai, Staf Pendidikan serta Staf Kepustakaan yang telah banyak memberikan bantuan, arahan, dan ilmu yang berguna bagi penulis selama penulis menjalani perkuliahan maupun selama proses penyelesaian skripsi ini;

11. Kedua orang tua penulis, Bapak Alm. Tjia Fung Tjong dan Ibu Alice Ruslan, yang telah memberikan dorongan, semangat, dan inspirasi bagi penulis agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

12. Kepada kakak-kakak senior Alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan teman-teman baik di dalam dan di luar lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan, semangat dan inspirasi bagi penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi.

(6)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bisa menambah dan menambah wawasan kita semua, terima kasih.

Medan, 23 Juli 2020 Penulis,

Erwin Tjia

(7)

ASPEK HUKUM PAJAK PENGHASILAN PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM MEDIA SOSIAL DI INDONESIA

Erwin Tjia* Mahmul Siregar**

Detania Sukarja***

ABSTRAK

YouTuber dan Selebgram adalah profesi yang mulai naik daun baru-baru ini. Sistem kerja yang mudah, tidak mengikat, serta penghasilan yang besar menjadi salah satu alasan mengapa profesi ini semakin dilirik. Melihat besarnya potensi pajak dari profesi YouTuber dan Selebgram ini, DJP (Direktorat Jenderal Pajak) mulai mencari peluang untuk mengenakan pajak terhadap YouTuber dan Selebgram yang pendapatannya sudah melebihi PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik pengumpulan data studi pustaka. Analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif.

Setiap Wajib Pajak yang telah menerima tambahan kemampuan ekonomis yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan harus membayar pajak. Penghasilan yang diterima oleh YouTuber dan Selebgram harus dikenakan pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perhitungan pajak profesi YouTuber dan Selebgram belum diatur secara khusus, maka perhitungan pajak YouTuber dan Selebgram merujuk pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto. YouTuber dan Selebgram masuk ke dalam kategori Kegiatan Pekerja Seni dengan tarif pajak sebesar 50%. Perhitungan PPh YouTuber dan Selebgram dapat dihitung menggunakan cara norma atau pembukuan. Sistem pajak di Indonesia adalah self assessment system, Wajib Pajak yang berperan aktif dalam perhitungan dan pemenuhan kewajiban perpajakannya, sedangkan pemerintah hanya bertindak sebagai pengawas. Kurangnya sosialisasi antara DJP dengan YouTuber dan Selebgram, ditambah ketentuan PPh yang rumit berdampak pada kesadaran diri pemenuhan pajak YouTuber dan Selebgram rendah. Sumber penghasilan YouTuber dan Selebgram yang beragam dan sulit ditakar membuat pengawasan dari DJP semakin sulit dilaksanakan. Saat ini pengawasan dari DJP dilakukan secara manual, dan kedepannya pengawasan oleh DJP terhadap YouTuber dan Selebgram diharapkan bisa dilaksanakan secara otomatis dan digital dengan diluncurkannya SONETA (Social Network Analytics).

Kata Kunci: Pajak Penghasilan, Youtuber, Selebgram, Influencer

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

ABSTRAK...iv

DAFTAR ISI...v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PEMBEBANAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2008 ... 31

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Penghasilan ... 31

B. Subjek Pajak Penghasilan ... 33

C. Objek Pajak Penghasilan ... 42

D. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan ... 45

E. Tarif Pajak Penghasilan ... 47

BAB III KEDUDUKAN PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM BERDASARKAN HUKUM DI INDONESIA ... 60

A. Tinjauan Umum Tentang YouTuber dan Selebgram ... 60

1. Pengertian YouTuber dan Selebgram ... 60

2. Aturan-Aturan yang mengikat YouTuber dan Selebgram... 62 3. Dasar hukum keberadaan profesi YouTuber dan Selebgram 72

(9)

B. Kedudukan Profesi YouTuber dan Selebgram Berdasarkan Hukum di

Indonesia ... 79

1. Kedudukan YouTuber dan Selebgram sebagai sebuah profesi/pekerjaan ... 79

2. Kewajiban YouTuber dan Selebgram dalam menjalankan profesi/pekerjaan ... 80

3. Penghasilan YouTuber dan Selebgram ... 84

BAB IV PENERAPAN UU NO. 36 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PROFESI YOUTUBER DAN SELEBGRAM ... 94

A. Pengenaan Pajak Penghasilan Profesi YouTuber dan Selebgram ... 94

1. Dasar pengenaan PPh kepada YouTuber dan Selebgram .... 94

2. Jenis PPh yang dikenakan dan besaran tariff ... 95

3. Pemungutan, pembayaran dan pelaporan PPh Profesi YouTuber dan Selebgram ... 104

B. Pengawasan Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap YouTuber dan Selebgram ... 106

C. Kendala YouTuber dan Selebgram Dalam Upaya Pembayaran Pajak Penghasilan ... 110

BAB V PENUTUP ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 118

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi yang sangat pesat menjadi salah satu alasan terjadinya globalisasi. Seperti contoh munculnya teknologi satelit, komputer, kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan internet.

Munculnya teknologi internet mendatangkan dampak yang besar pada kehidupan manusia. Mudahnya akses internet inilah yang menjadikan seolah-olah tidak ada lagi batasan jarak antara satu orang dengan orang lain.

Teknologi sudah menjadi poros kehidupan bagi orang-orang yang hidup pada masa ini. Semua hal yang biasanya dianggap tidak praktis dan memakan banyak waktu pada masa lalu, sekarang dapat dilakukan dengan mudah dengan adanya teknologi. Seperti transaksi bank, dapat dilakukan dengan aplikasi di komputer atau telepon genggam. Bisa dibilang, teknologi telah mengubah cara kehidupan orang-orang di era globalisasi ini.

Selain untuk kebutuhan finansial, teknologi juga dimanfaatkan banyak orang untuk memenuhi kebutuhan hiburan dan sosial. Seperti mendengarkan lagu tanpa perlu mengunduh file lagu, menonton video atau bahkan film layar lebar kapan saja dan di mana saja. Sedangkan untuk kebutuhan sosial, banyak bermunculan media sosial yang dijadikan tempat oleh banyak orang untuk bersosialisasi, dan bahkan sebagai platform untuk melakukan penjualan produk atau promosi. Media sosial yang dimaksud di antaranya ada Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, YouTube dan lainnya.

(11)

Dalam media sosial tersebut, sering terdengar istilah Selebgram, atau YouTuber. Selebgram adalah gabungan dari kata selebriti dan instagram merupakan istilah untuk orang yang terkenal di media sosial Instagram.1 Selebgram sering menerima tawaran untuk menjadi bintang iklan untuk mempromosikan (endorse atau endorsement) barang dagangan dari toko online yang memberi tawaran kepada Selebgram tersebut.

Selain endorse, selebgram juga kerap menerima tawaran paid promote, berasal dari gabungan kata paid berati bayar dan promote berati promosi. Jadi paid promote dapat didefinisikan sebagai layanan jasa promosi berbayar.2 Tarif paid promote umumnya adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif endorsement, hal ini dapat dilihat seperti contoh pemilik akun Instagram

@Awkarin, salah satu Selebgram terkenal di Indonesia dengan jumlah pengikut sekitar 5,4 juta orang, tarif endorse Awkarin bisa mencapai harga Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) sekali posting sedangkan untuk tarif paid promote Awkarin adalah sekitar Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah).3

Tidak jauh berbeda dengan istilah YouTuber yang merupakan sebutan untuk orang yang terkenal di Youtube. YouTuber juga sering mengiklankan produk-produk tertentu di video yang mereka unggah di akun Youtube mereka.

Salah satu sumber pendapatan YouTuber adalah dari Google AdSense. Google

1 iBigAcademy, "Apa itu Selebgram? Ini dia asal-usulnya!", https://www.ibigacademy.com/apa-itu-selebgram-asal-usul-endorse/ (diakses pada 23 Juli 2020, pukul 14:56).

2 Sab, "Pengertian dari Selebgram, Paid Promote, Endorse, dan Influencer", https://www.sab.id/blog/pengertian-dari-selebgram-paid-promote-endorse-dan-influencer (diakses pada 23 Juli 2020, pukul 15:04).

3 Rizka Marhani, "15 Daftar Harga Endorse Selebgram Termahal 2019", https://www.tipspintar.com/daftar-harga-endorse-selebgram/ (diakses pada 23 Juli 2020, pukul 15:12).

(12)

AdSense adalah program kerja sama periklanan melalui media internet yang diselenggarakan oleh Google Corporation4. Sistem perhitungan penghasilan yang diberikan Google melalui Google AdSense kepada YouTuber ini sering disebut dengan istilah cost per mille (CPM) atau cost per thousand (CPT), adalah berapa banyak cost yang harus dikeluarkan adversiter untuk 1.000 penonton iklan.5 Dengan adanya Google Adsense, YouTuber bisa meletakan titik di mana iklan akan muncul pada saat orang-orang menonton video mereka dan YouTuber akan mendapatkan bayaran berdasarkan berapa banyak orang yang menonton iklan di video mereka. Sistem CPM atau CPT ini kerap digunakan dalam dunia periklanan atau advertising.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), melihat peluang yang bisa dijadikan upaya untuk meningkatkan pemasukan tambahan bagi negara melalui pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap YouTuber dan Selebgram yang sudah menerima penghasilan melalui YouTube atau Instagram, maupun yang sudah menjadikan YouTuber dan Selebgram sebagai pekerjaan utama.6

Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan disebutkan bahwa objek pajak adalah penghasilan. Maka dari penjelasan di atas, hasil yang didapat Selebgram atau YouTuber dalam mempromosikan atau menjual produk-produk di media sosial tentu termasuk objek pajak. Oleh sebab itu, Selebgram dan YouTuber tentu wajib membayar pajak karena mendapat

4 Cahyo Prayogo, "Apa Itu AdSense?" https://www.wartaekonomi.co.id/read263914/apa- itu-adsense (diakses pada tanggal 07 Juli 2020, pukul 16:20).

5 ClearCode, "Cost per mille (CPM) / effective cost per mille (eCPM)".

https://clearcode.cc/glossary/cost-per-mille-cpm-effective-cost-per-mille-ecpm/ (diakses pada 23 Juli 2020, pukul 15:38).

6 Ni Putu Suci Vikansari dan I Wayan Parsa, Pengawasan Penghenaan Pajak Penghasilan Terhadap YouTubers Sebagai Pelaku Influencer di Platform Media Sosial YouTube, (Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum, 2019), hlm. 3.

(13)

penghasilan dari kerja sama dengan toko online dan dari Google AdSense itu sendiri.

Saat ini, sistem pemungutan pajak di Indonesia sebagian besarnya menggunakan sistem self assessment artinya Wajib Pajak sendirilah yang menghitung dan menilai pemenuhan kewajiban perpajakannya. 7 Apabila penghasilan dari Wajib Pajak telah melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 54.000.000,-), maka Wajib Pajak berkewajiban melapor Pajak Penghasilan secara self assessment.8 Dengan kata lain, Wajib Pajak sendiri menghitung, melapor, dan membayar sendiri pajak mereka. Sedangkan pihak pemerintah dan DJP hanya mengawasi. Namun dalam praktiknya, pemerintah kewalahan dalam mengawasi Wajib Pajak dalam membayar pajak. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya Wajib Pajak yang tidak patuh dalam pembayaran pajak. Pemerintah berusaha meminimalisir tindakan tidak patuh ini dengan memberikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Akan tetapi, tingkat Wajib Pajak yang belum patuh dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak masih tinggi.

Pengawasan yang dilakukan oleh DJP dan pemerintah terhadap YouTuber dan Selebgram juga belum maksimal. Sumber penghasilan YouTuber dan Selebgram yang beragam dan sistem perhitungan penghasilan yang abstrak sama sekali tidak membantu DJP dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Saat ini DJP sedang mengembangkan suatu program bernama Social Network Analysis

7 Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Sistem, dan Implementasi, (Bandung : Rekayasa Sains, 2020), hlm. 112.

8 Aprilia Sukandar Clara,"Siapa Saja YouTuber yang Wajib Bayar Pajak", https://www.wartaekonomi.co.id/read258421/siapa-saja-YouTuber-yang-wajib-bayar-pajak (diakses pada 13 November 2019, pukul 18:40)

(14)

(SONETA), dengan ini DJP bisa mengawasi penghasilan YouTuber dan Selebgram dari media sosial secara otomatis. Apabila SONETA terbukti dapat memberikan angka penghasilan YouTuber dan Selebgram secara tepat, maka pengawasan dari DJP bisa dilaksanakan secara mudah dan efisien. Namun SONETA masih dalam tahap pengembangan dan hanya dicoba oleh tim internal DJP sendiri.

Pengawasan yang dilakukan DJP saat ini adalah dengan cara manual memantau aktivitas YouTuber dan Selebgram dari media sosial. Pengawasan dengan cara manual ini tentu memiliki banyak keterbatasan mengingat semakin banyaknya YouTuber dan Selebgram baru yang tidak teridentifikasi.

Profesi YouTuber dan Selebgram yang masih jarang mengakibatkan belum ada ketentuan yang mengatur secara lugas dan jelas tentang pengenaan pajak terhadap profesi YouTuber dan Selebgram, berbeda dengan profesi-profesi yang sudah umum terdengar seperti advokat, dokter, dan profesi lainnya. Tidak ada satupun ketentuan perpajakan yang dengan jelas mengatur tentang profesi YouTuber, Selebgram, atau secara umum bisa dikategorikan sebagai konten kreator. Kurangnya sosialisasi antara DJP dengan YouTuber dan Selebgram, kurangnya pengetahuan tata cara perpajakan dan mekanisme perhitungan pajak juga menjadi salah satu alasan banyaknya YouTuber dan Selebgram belum memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penelitian tentang Aspek Hukum Pajak Penghasilan YouTuber dan Selebgram di Indonesia perlu dilakukan.

(15)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pembebanan Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan di Indonesia?

2. Bagaimana aturan-aturan yang mengikat YouTuber dan Selebgram dalam menjalankan profesinya?

3. Bagaimana penerapan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terhadap profesi YouTuber dan Selebgram?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain :

1. Untuk memahami dan menjelaskan tentang pembebanan Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan aturan-aturan yang mengikat YouTuber dan Selebgram dalam menjalankan profesinya..

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terhadap profesi YouTuber dan Selebgram.

Selain beberapa tujuan di atas, adapun beberapa manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain:

(16)

1. Secara teoritis

Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan Hukum Ekonomi dan Hukum Pajak khususnya pajak penghasilan di Indonesia.

2. Secara praktis

Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat tentang pengenaan pajak penghasilan terhadap profesi YouTuber dan Selebgram di Indonesia, serta dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran bukan hanya kepada YouTuber dan Selebgram, namun semua pelaku usaha di Indonesia dalam memenuhi kewajiban pemenuhan pajak.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka memenuhi Tugas Akhir dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, penulis mengajukan skripsi dengan judul

“Aspek Hukum Pajak Penghasilan Profesi Youtuber dan Selebgram Media Sosial Media Sosial di Indonesia" dan penulisan ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya, namun ada beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang pajak penghasilan Selebgram yaitu :

Yasmin Restu Pratiwi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung (2018), dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Pemungutan Pajak Penghasilan Terhadap Selebritis Instagram Dari Hasil Endorsement Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Ada pun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

(17)

1. Bagaimana pengaturan pemungutan pajak penghasilan terhadap selebritis instagram atas hasil endorsement dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan?

2. Bagaimana pelaksanaan dan kendala pemungutan pajak penghasilan terhadap selebritis instagram atas hasil endorsement dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan?

3. Upaya apakah yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam memaksimalkan kepatuhan selebritis instagram sebagai wajib pajak untuk melaporkan seluruh penghasilan yang didapat dari hasil endorsement dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)?

Persamaan dalam penelitian ini adalah penerapan ketentuan UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terhadap Selebgram, sedangkan perbedaan dengan penelitian ini yaitu penerapan UU PPh terhadap YouTuber dan Selebgram serta terhadap penghasilan YouTuber dari AdSense dan penghasilan Selebgram dari endorsement dan paid promote.

Pratama Arisna Putra, Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (2018), dengan judul penelitian Penerapan Perhitungan Pajak Penghasilan YouTuber Orang Pribadi di Indonesia dengan Norma Perhitungan Penghasilan Neto. Ada pun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana penerapan perhitungan pajak penghasilan YouTuber di Indonesia dengan norma penghasilan neto sesuai PER-17/PJ/2015?

Persamaan dalam penelitian ini adalah perhitungan pajak penghasilan YouTuber di Indonesia, sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini membahas

(18)

tentang perhitungan pajak penghasilan terhadap YouTuber dan Selebgram berdasarkan ketentuan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Tuhfah Qur'ana Tartila, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (2018), dengan judul penelitian Tanggung Jawab YouTuber Sebagai Pelaku Usaha di Media Online tentang Pembayaran Pajak Penghasilan. Ada pun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban oleh YouTuber dalam pembayaran pajak penghasilan?

2. Bagaimana mekanisme pembayaran pajak penghasilan oleh YouTuber di Kota Malang?

3. Bagaimana kendala dan upaya yang dihadapi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Utara dalam mengupayakan pembayaran pajak penghasilan bagi YouTuber?

Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang tanggung jawab YouTuber dan mekanisme pembayaran PPh oleh YouTuber, sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini membahas penerapan pajak penghasilan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terhadap YouTuber dan Selebgram di Indonesia.

Nur Intan Septiani, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (2018), dengan judul penelitian Kepatuhan Selebgram Dalam Membayar Pajak Penghasilan (PPh) 21 Perspektif Hukum Islam dan Regulasi Dalam Perpajakan.

Ada pun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pandangan Islam mengenai pemungutan pajak penghasilan terhadap Selebgram?

(19)

2. Bagaimana kepatuhan Selebgram yang ada pada media sosial Instagram dalam membayar pajak penghasilan (PPh) 21?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpatuhan Selebgram dalam membayar pajak penghasilan (PPh) 21?

Persamaan dalam penelitian ini adalah membahas tentang pemungutan pajak penghasilan terhadap Selebgram dan kepatuhan Selebgram dalam membayar PPh, sedangkan perbedaannya yaitu penelitian ini juga membahas tentang pemungutan pajak penghasilan terhadap YouTuber.

Penelitian ini merupakan hal yang baru dan asli karena sesuai dengan asas- asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pajak

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.9

9 Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung : Refika Aditama, 2013) hlm. 2.

(20)

Pengertian pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan tercantum dalam Pasal 1, yang berbunyi:

"Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Secara sederhana, pajak adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan seorang warga negara kepada pemerintahnya. Kontribusi ini bersifat memaksa dan pembayar pajak tidak akan mendapatkan imbalan secara langsung. dengan kata lain, uang yang dibayarkan pembayar pajak kepada pemerintah akan dikembalikan dalam bentuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum. Misalnya pembangunan jalan raya, penerangan jalan dan fasilitas lainnya.10

Pajak dari sisi hukum merupakan perikatan yang lahir berdasarkan undang-undang yang mewajibkan seseorang yang karena telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat dikenakan pajak (syarat tatbestand) sehingga kepadanya diwajibkan (dapat dipaksakan dan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung/individual) untuk membayar sejumlah uang ke kas negara, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara (biaya rutin pemerintahan dan biaya pembangunan) dan sebagai alat pengontrol (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan investasi dan ekonomi.

10 Choerul Muzammil, Pedoman Praktis Membayar Pajak (Yogyajarta : Genesis Learning, 2016), hlm. 2.

(21)

Sementara, pajak ditinjau dari sisi ekonomi mikro, merupakan peralihan uang (harta) dari sektor swasta/individu ke negara/pemerintah tanpa disertai imbalan secara langsung.11 Pajak merupakan beban yang bersifat mengurangi pendapatan individu, daya beli seseorang, kesejahteraan individu, serta mengubah pola hidup dan pola konsumsi individu. Adapun dari sisi ekonomi makro, pajak merupakan pendapatan bagi pemerintah (penerimaan negara) tanpa menimbulkan kewajiban negara untuk memberikan kontraprestasi langsung kepada Wajib Pajak yang bersangkutan secara individual dari hasil pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan rutin demi kelangsungan negara.12 Uang pajak yang diterima pemerintah dikeluarkan lagi ke masyarakat untuk membiayai kepentingan umum masyarakat, sehingga berdampak besar bagi pertumbuhan ekonomi makro. 13 Pajak dapat mempengaruhi harga, kondisi dan stabilitas pasar, tingkat upah dan penyerapan tenaga kerja dan seterusnya yang menggambarkan bahwa pada intinya pengeluaran pemerintah kepada masyarakat mempunyai dampak multiplier ekonomis yang sangat besar, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan pengetahuan ilmu ekonomi.14

Pajak yang dimaksud adalah semua jenis pajak baik pajak langsung maupun tidak langsung, pajak pusat maupun daerah, termasuk bea masuk dan cukai dipungut oleh negara melalui pejabat yang berwenang baik

11 Neneng Hartati, Pengantar Perpajakan, cet. ke-1 (Bandung : Pustaka Setia, 2015), hlm.

5.

12 Ibid.

13 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, Asas-asas dan Dasar Perpajakan (Bandung : Refika Aditama, 2010), hlm. 2.

14 Ibid.

(22)

pemerintah pusat maupun daerah, yang diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.15

Pajak memberikan manfaat bukan hanya bagi pemerintah atau negara sebagai pemungut pajak. Tetapi juga memberikan manfaat dan dampak positif bagi Wajib Pajak pada khususnya dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya. Jika pengelolaannya baik, jujur, serta amanah, pungutan pajak memberi manfaat untuk seluruh rakyat. Namun, apabila pengelolaannya tidak baik, bisa jadi terjadi banyak kebocoran di sana sini sehingga hasil dana pungutan pajak tersebut menjadi tidak optimal.16 Pengaturan pajak, pada awalnya diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang. Setelah Undang- Undang Dasar 1945 diamandemen, Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 diganti dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara tegas memisahkan antara pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa. Termasuk dalam pengertian pungutan lain yang bersifat memaksa adalah retribusi, iuran, dan sebagainya. Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar konstitusional bagi negara untuk memungut pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa kepada warga negaranya, termasuk warga negara asing, yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, atau memiliki,

15 Vide Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3), UU Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.

16 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Pokok-Pokok Hukum Perpajakan, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2015), hlm. 25.

(23)

menguasai, atau memanfaatkan segala objek pajak yang berada di Indonesia.

Dalam pemungutan pajak terdapat asas bahwa yang berwenang melakukan pemungutan pajak adalah negara dan tidak boleh dilimpahkan kepada pihak swasta. Hanya pemerintah saja termasuk aparatnya selaku wakil negara, yang berwenang melakukan pemungutan pajak. Pihak swasta tidak diperkenankan atau dilarang melakukan pemungutan pajak karena masalah pajak melibatkan rakyat sebagai Wajib Pajak untuk menyerahkan sebagian kekayaannya kepada negara sehingga tidak ada ketentuan hukum yang berlaku yang membolehkan pihak swasta melakukan pemungutan pajak.

Seperti dijelaskan, pemungutan pajak tidak selalu dilakukan oleh petugas pajak, sepanjang Undang-Undang Pajak memberikan kekhususan kepada orang pribadi atau badan untuk memungut pajak seperti halnya yang terjadi pada pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Demikian halnya dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dilakukan oleh pemotong atau pemungut yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.17

17 Ibid.

(24)

Berdasarkan pengertian-pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli, bisa kita simpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada hukum pajak adalah : 18

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dipaksakan.

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah.

c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

d. Pajak memiliki fungsi budgeter dan mengatur (fungsi reguler).

Pada umumnya, dikenal dua macam fungsi pajak yang utama bagi pemerintah, antara lain : 19

a. Fungsi budgeter

Yaitu memasukkan yang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara. Pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan memungut pajak dari rakyatnya.

b. Fungsi reguler

18 Ibid, hlm. 9.

19 Farouq Sulaiman, Op. Cit., hlm. 139.

(25)

Yaitu sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik dan hukum dengan tujuan tertentu. Pajak digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Pajak digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yakni untuk mengatur dan melaksanakan kebaikan di bidang sosial dan ekonomi. Fungsi ini disebut sebagai tambahan dari pajak karena fungsi ini merupakan pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgeter. Fungsi mengatur merupakan salah satu usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala bidang dalam penyelenggara tujuan-tujuan yang ingin dicapai pemerintah. Fungsi mengatur banyak ditujukan kepada sektor swasta. Akhir-akhir ini fungsi mengatur mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan politik di segala bidang.

c. Fungsi lainnya

Di Indonesia, fungsi pajak berkembang tidak hanya dalam fungsi anggaran tetapi juga fungsi pengaturan. Menurut Mar'ie Muhammad fungsi pajak adalah;20 (i) Pajak merupakan alat atau instrumen penerimaan negara, (ii) Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi, dan (iii) Pajak merupakan alat redistribusi. Pajak sebagai alat atau instrumen penerimaan negara, merupakan manifesasi fungsi anggaran. Sementara,

20 Ibid, hlm. 142.

(26)

pajak sebagai alat pendorong investasi dan alat redistribusi mengarah pada fungsi mengatur (reguler).

Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan, syarat-syarat tersebut yaitu :21

a. Pemungut pajak harus adil (syarat keadilan)

Adil dalam perundang-undangan di antaranya mengenakan pajak secara umun dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)

Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23.

Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)

21 Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2016), hlm. 4-5.

(27)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan sederhana harus memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

2. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang diterapkan kepada penghasilan yang didapatkan oleh Wajib Pajak. Penghasilan menurut UU PPh terdapat dalam Pasal 4 UU No. 36 Tahun 2008, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis untuk yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 merupakan evolusi keempat UU PPh di Indonesia. UU PPh yang pernah berlaku di Indonesia antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983

Dalam UU No. 7 Tahun 1983 ini diatur beberapa hal mendasar yang menyangkut pajak penghasilan yaitu semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan diatur dalam Undang-Undang ini, sedangkan

(28)

untuk ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak penghasilan atau pajak lainnya diatur dalam UU KUP.22 Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga masyarakat dapat lebih mudah memahami ketentuan perpajakan yang berlaku.

Manfaat dari penyederhanaan UU PPh ini antara lain:23

1) Mempermudah Wajib Pajak untuk menghitung dan administrasi pajak lebih mudah menguji perhitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak;

2) Terciptanya keadilan dan pemerataan beban, karena tarif yang diberlakukan adalah sama bagi tingkat penghasilan yang sama dari mana pun diterima atau diperoleh;

3) Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarif marginal tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat;

4) Mengurangi pengalihan penghasilan dari beban kepada perseorangan atau sebaiknya.

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991

Perubahan pertama terhadap UU No. 7 Tahun 1983.

Ketentuan tentang subjek dan objek pajak diatur lebih

22 Farouq Sulaiman, Op. Cit., hlm 45.

23 Ibid.

(29)

mendetail, tarif pajak yang disesuaikan dan juga tentang ketentuan penanaman modal asing.

c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994

Seiring dengan perkembangan sosial ekonomi nasional, diketahui banyak penyelenggaraan usaha yang aspek pajaknya belum diatur. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan nasional, diatur ketentuan-ketentuan yang menunjang kegiatan ekstensinya dan intensifikasi pengenaan pajak, maka melalui UU No. 10 Tahun 1994 diadakan perubahan mendasar dalam, antara lain :24

1) Ketentuan mengenai subjek pajak diatur secara lebih luwes agar dapat mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan perkembangan bentuk-bentuk aktivitas bisnis yang timbul dan berkembang di masyarakat;

2) Ketentuan mengenai objek pajak diatur dengan lebih rinci, jelas , dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pengenaan pajak;

3) Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya;

24 Ibid, hlm 46.

(30)

4) Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pengeluaran untuk biaya pelatihan, magang, dan beasiswa dapat dibebankan sebagai biaya;

5) Dalam rangka menunjang kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan nasional di segala bidang, dapat diberikan fasilitas perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;

6) Kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari sepuluh tahun yang diatur selaras dengan kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan nasional;

7) Untuk menunjang program pemerintah dalam pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan bahwa biaya pengelolahan limbah boleh dibebankan sebagai biaya dan diatur mengenai pembentukan atau pemupukan cadangan untuk biaya reklamasi;

8) Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal penghitungan penyusutan atas harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha serta lebih menyelaraskan pembukuan Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada Wajib Pajak

(31)

diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan atas harta berwujud bukan bangunan;

9) Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan mengatur kembali besarnya lapisan penghasilan kena pajak dan besarnya lapisan tarif pajak dengan tetap mempertahankan progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan kesempatan melakukan pengembangan kegiatan usaha dan persaingan dunia usaha dalam era globalisasi;

10) Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba dalam waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di luar negeri;

11) Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal yang tersedia, dan menunjang sistem self assesment melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan efisien;

12) Dalam rangka kemudahan atau kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak diatur pemungutan pajak yang bersifat final penghasilan-penghasilan tertentu.

d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000

(32)

Pokok-pokok perubahan UU PPh dalam UU No. 17 Tahun 2000 antara lain :25

1) Perluasan subjek dan objek dalam al tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak.

Struktur tarif pajak yang berlaku juga diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan Wajib Pajak Badan;

2) Perbaikan penerapan sistem pembayaran pajak self assessment. Perubahan dilakukan pada sistem dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak yang menjalankan usaha;

3) Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur kembali bentuk-bentuk insentif pajak penghasilan yang dapat diberikan.

e. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Perubahan terakhir UU PPh sampai pada saat ini.

Perubahan dalam UU No. 36 Tahun 2008 secara garis besar antara lain :26

25 Ibid., hlm 47

26 Ibid, hlm. 48.

(33)

1) Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak, maka kembali diberlakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal tertentu dan pembatasan pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya;

2) Dalam rangka meningkatkan daya saing dengan negara lain, mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam penetapan tarif, dan memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha-usaha kecil.

Struktur tarif pajak yang berlaku juga diubah dan disederhanakan yang meliputi penurunan tarif secara bertahap, terencana, pembedaan tarif, serta penyederhanaan lapisan yang dimaksudkan untuk memberikan beban pajak yang lebih proporsional bagi tiap golongan Wajib Pajak;

3) Dilakukan perbaikan dalam sistem self assessment.

Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak. Pajka orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, kemudahan yang diberikan berupa peningkatan batas peredaran bruto untuk dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan netto. Peningkatan batas peredaran bruto untuk menggunakna norma ini sejalan dengan realitas dunia usaha saat ini yang

(34)

makin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan Wajib Pajak agar dapat melaksanakan pembukuan dengan tertib dan taat asas.

3. YouTuber dan Selebgram

YouTube adalah sebuah portal website yang menyediakan layanan video sharing.27 YouTube didirikan pada tahun 2005 oleh tiga mantan karyawan PayPal yang merupakan perusahaan pembayaran transaksi melalui internet. Kemudian pada tanggal 13 November 2006, Google membeli YouTube dengan harga 1,65 trilliun dolar. 28 YouTuber merupakan istilah yang digunakan untuk pengguna YouTube, namun istilah Youtuber ini lebih digunakan untuk menggambarkan pengguna YouTube yang membuat konten di YouTube atau memiliki kanal Youtube.29 Tidak hanya kalangan umum, para selebriti yang dulunya hanya muncul di Televisi pun juga ikut meramaikan membuat konten di YouTube.30

Sedangkan Selebgram merupakan gabungan dari kata Selebriti dan Instagram.31 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, Selebriti adalah orang yang terkenal atau masyhur. Biasanya artis.

Sedangkan Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, mengambil video, menerapkan

27 Asdani Kindarto dan SmitDec Community, Belajar Sendiri YouTube, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 2.

28 Ibid, hlm. 3.

29 Daeng Hermanto, "Mau Jadi 'YouTuber'? Baca Dulu Artinya!", https://today.line.me/id/pc/article/Kata+Gaul+Mau+Jadi+Youtuber+Baca+Dulu+Artinya-k6vpJ1 (diakses pada 23 Juli 2020, pukul 15:56).

30 Ibid.

31 Sab, Op. Cit.

(35)

filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial.32 Jadi bisa disimpulkan bahwa Selebgram adalah istilah untuk para pengguna akun Instagram yang terkenal di jejaring sosial Instagram.

Istilah Selebgram ini baru mulai dikenal belum lama ini yaitu pada saat Instagram baru mulai naik daun dan banyak orang mulai menggunakan Instagram sebagai suatu platform untuk melakukan jual beli secara online dan pihak yang melakukan jual beli secara online ini sekarang dikenal dengan istilah online shop atau toko online. Agar lebih mudah untuk menyebut pemilik akun Instagram yang terkenal, maka muncullah istilah Selebgram.

F. Metode Penulisan

Penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian Yuridis Normatif merupakan metode penelitian penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur33 yang berkaitan dengan pengenaan ketentuan Pajak Penghasilan pada profesi YouTuber dan Selebgram di Indonesia.

32 Witanti Prihatningsih, Penggunaan Media Sosial Instagram di Kalangan Remaja, (Jakarta : Universitas Pembangunan Nasional "Veteran", 2017), hlm. 52.

33 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudy, Penelitian hukum normatif, (Jakarta : Rajawali pers, 2001), hlm. 13-14.

(36)

Sifat penelitian dari skripsi ini adalah deskriptif, artinya skripsi ini disusun dengan tujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, menyeluruh dan mendalam mengenai pengenaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan terhadap profesi YouTuber dan Selebgram di Indonesia.

2. Data penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, data yang digunakan adalah data sekunder, karena jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Bahan hukum primer, seperti peraturan undang-undangan, yurisprudensi, traktat, atau putusan pengadilan. Adapun peraturan- peraturan yang akan penulis kaji antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan 4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan;

6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak;

(37)

7) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto;

8) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235/KMK.03/2003 Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000 tentang Kriteria Wajib Pajak Yang Dapat Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku ilmiah dengan topik yang terkait, skripsi, tesis, disertasi dan lainnya;

c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi kamus bahasa dan kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan- laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.34 Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mengumpulkan data-data sekunder berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

4. Analisis data

Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan Skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan menelaah dan memahami permasalahan yang

34 M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 111.

(38)

dikaji dan menarik kesimpulan dari permasalahan. Dalam menganalisis bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan juga digunakan pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas35, dalam penelitian ini adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan ketentuan pajak penghasilan YouTuber dan Selebgram. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deduktif, yaitu cara penarikan kesimpulan yang sudah diketahui, diyakini, dan dikumpulkan secara lengkap, kemudian melalui data atau gejala umum ini dibandingkan serta dianalisis dengan data-data atau gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan yang bersifat khusus.36

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang masing- masing memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut.

Bab I merupakan bab Pendahuluan. Pada Bab ini di dalamnya berisi tentang latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

Bab II berjudul Pembebanan Pajak Penghasilan (PPh) Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Dasar Hukum Pajak Penghasilan, Subjek dan Objek Pajak Penghasilan, Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan dan Tarif dari Pajak Penghasilan.

35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudy, Op. Cit. hlm 12-13.

36 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 11.

(39)

Bab III berjudul Kedudukan Profesi YouTuber dan Selebgram Berdasarkan Hukum di Indonesia. Di dalam bab ini termuat Tinjauan Umum tentang YouTuber dan Selebgram, serta Kedudukan Profesi YouTuber dan Selebgram Berdasarkan Hukum di Indonesia.

Bab IV berjudul Penerapan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Terhadap Profesi YouTuber dan Selebgram. Di dalam bab ini berisikan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap YouTuber dan Selebgram, Jenis PPh yang dikenakan, besaran tariff, Pemungutan, Pembayaran dan Pelaporan PPh Profesi YouTuber dan Selebgram, Pengawasan Pajak Penghasilan Terhadap YouTuber dan Selebgram, serta Kendala YouTuber dan Selebgram Dalam Upaya Pembayaran Pajak Penghasilan.

Bab V berisi kesimpulan terhadap bab-bab sebelumnya yang telah diuraikan dan ditutup dengan saran yang ingin disampaikan dari penulisan skripsi ini.

(40)

BAB II

PEMBEBANAN PAJAK PENGHASILAN (PPH) BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2008

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang diterapkan kepada penghasilan yang didapatkan oleh Wajib Pajak. Menurut KBBI, arti dari penghasilan yang berasal dari kata hasil adalah pendapatan, uang yang diterima dan sebagainya.

Sedangkan penghasilan berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis untuk yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi maupun menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Berdasarkan pengertian penghasilan menurut Pasal 4 UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh terdapat sejumlah unsur, yakni :

1. Tambahan kemampuan ekonomis

Segala sesuatu yang dapat menambah kemampuan ekonomis, atau kemampuan seseorang untuk menguasai atau memiliki sesuatu dapat dikenakan pajak. Bentuk penambahan kemampuan ekonomis ini bisa berupa penghasilan atau imbalan seperti gaji, upah, hadiah, laba usaha, dividen dan lainnya merujuk pada Pasal 4 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008.

(41)

2. Diterima oleh Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat- syarat objektif, yaitu menerima penghasilan lebih dari PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak)

3. Berasal dari Indonesia atau luar Indonesia

Penambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak bisa berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia sering juga disebut dengan istilah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri. Wajib Pajak Dalam Negeri adalah siapa pun yang memperoleh atau menerima penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), dan Wajib Pajak Luar Negeri adalah siapa pun yang menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang ada di Indonesia yang tidak ada batas minimumnya (PTKP).37 4. Dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib

Pajak

Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak dapat digunakan untuk konsumsi dan menambah kekayaan Wajib Pajak. Artinya segala tambahan kemampuan ekonomis tersebut bisa dinikmati oleh Wajib Pajak.

5. Dengan nama dan bentuk apa pun

Penambahan kemampuan ekonomis bisa dalam nama dan bentuk apa pun. Seperti barang ataupun jasa.

37 Siti Kurnia Rahayu, Op. Cit., hlm. 176.

(42)

Berdasarkan penjelasan di atas bisa ditarik inti dari pengertian Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang berada baik di Indonesia ataupun di luar Indonesia atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi atau badan.

Undang-Undang Pajak Penghasilan di Indonesia sudah ada dan berlaku sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 pada tanggal 1 Januari 1984. Sampai saat ini UU tersebut telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni :

1. UU No. 7 tahun 1991 (perubahan pertama);

2. UU No. 10 tahun 1994 (perubahan kedua);

3. UU No. 17 tahun 2000 (perubahan ketiga);

4. UU No. 26 tahun 2008 (perubahan keempat dan masih berlaku sampai saat ini).

B. Subjek Pajak Penghasilan

Pasal 1 UU PPh menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak tersebut dalam tahun pajak. Dari pernyataan Pasal 1 UU PPh ini telah menyatakan bukan hanya subjek pajak, namun juga objek dari pajak itu sendiri. Artinya suatu Subjek Pajak mempunyai kemungkinan atau potensi diwajibkan untuk membayar pajak.

Kemungkinan itu menjadi pasti atau baru terjadi apabila Subjek Pajak tersebut mendapat Objek Pajak, yaitu penghasilan.

Pasal 2 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa yang termasuk Subjek Pajak adalah :

(43)

1. a. Orang pribadi;

Orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal (domisili) atau berada di Indonesia (residensi) ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak tidak melihat batasan umur, jenjang sosial ekonomi dan kebangsaan atau kewarganegaraan. Dengan kata lain istilah orang pribadi yang dapat menjadi Subjek Pajak PPh Indonesia berlaku sama untuk semua orang (comprehensive, all inclusive).38

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;

Warisan termasuk dalam Subjek Pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Selain menggantikan yang berhak sampai dengan adanya kejelasan (kepastian) hukum, Subjek Pajak warisan juga dapat menggantikan pemenuhan kewajiban dan penunjukan yang mewariskan (almarhum). Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut secara administratif tetap dapat dilaksanakan. Demikian juga dengan tindakan penagihan selanjutnya sehingga hak negara atas sebagian dana masyarakat tidak terputus karena kematian seseorang.39

2. Badan

Badan yang dimaksud dalam UU PPh ini adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan

38 Gunadi, Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, (Jakarta : Salemba Empat, 2002), hlm. 17.

39 Ibid.

(44)

usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.40 3. Bentuk Usaha Tetap

Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa41 :

a. tempat kedudukan manajemen;

b. cabang perusahaan;

c. kantor perwakilan;

d. gedung kantor;

e. pabrik;

f. bengkel;

g. pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

40 Wirawan B. Ilyas & Rudy Suhartono, Padnduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2000 dan Aturan Pelaksanaan Terbaru, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007), hlm. 11.

41 Ibid, hlm. 12.

(45)

j. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

k. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Selanjutnya UU PPh juga membagi lagi Subjek Pajak menjadi Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.

Subjek Pajak dalam negeri adalah Subjek Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. UU PPh mencantumkan yang termasuk Subjek Pajak dalam negeri adalah42 :

1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan;

b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

42 Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

(46)

c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan

d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

3. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 bulan. Juga termasuk badan usaha yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap, atau badan usaha yang tidak didirikan dan tidak bertempat di Indonesia, tapi dapat menerima penghasilan di Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Yang tidak termasuk Subjek Pajak menurut ketentuan Pasal 3 UU PPh antara lain :

1. Kantor perwakilan negara asing;

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya;

3. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain

(47)

untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Subjek-subjek pajak yang telah dijabarkan di atas sering juga disebut dengan istilah Wajib Pajak. Wajib Pajak artinya orang pribadi atau badan usaha yang mendapatkan penghasilan yang besarnya lebih dari Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Dari ketentuan yang dimuat dalam UU Pajak Nasional terdapat hak-hak dari Wajib Pajak dan juga kewajibannya seperti :43

1. Melaksanakan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas diri Wajib Pajak. Dengan diperolehnya NPWP, berati Wajib Pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak.

Fungsi Nomor Wajib Pajak tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Wajib Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam hal pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan dikenakan sanksi pidana;

2. Mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan (SPT) di tempat-tempat yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Fungsi SPT adalah sebagai sarana Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan laporan tentang

43 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 141.

(48)

pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu tahun pajak, serta laporan tentang pembayaran pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan);

3. Wajib Pajak wajib untuk mengisi dengan benar dan lengkap dan menandatangani sendiri surat pemberitahuan itu kepada Kantor Inspeksi Pajak (Pasal 3 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan);

4. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatat-pencatatan. Pada dasarnya setiap orang dan badan usaha yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diharuskan mengadakan pembukuan. Tetapi Wajib Pajak yang karena kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan, tetapi dianjurkan untuk membuat catatan-catatan yang merupakan pembuatan pembukuan sederhana yang memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan pajak yang terutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan. Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau perusahaan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun, supaya dalam batas waktu tersebut sewaktu-waktu dapat diadakan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak setiap waktu dapat melaksanakan pemeriksaan atas pembukuan Wajib Pajak.

Bagi Wajib Pajak yang tidak bersedia memperlihatkan pembukuan akan dikenakan sanksi pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder maupun tersier

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data

Jenis penelitian yang di lakukan adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder, yang

Sifat atau jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data

Tipe penelitian adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian normatif adalah penelitian berupa hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.6 Penelitian hukum