BAB III MEKANISME PENGHINDARAN PAJAK MELALUI TRANSFER
E. Kasus-Kasus Transfer Pricing
Diindikasikan terdapat praktik-praktik usaha mengindari pajak, baik oleh wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak perusahaan, baik nasional maupun multinasional. Salah satu praktik tersebut adalah dilakukannya usaha menghindari pajak oleh perusahan-perusahaan multinasional, dengan melakukan proses transfer pricing yang tidak memenuhi aspek kewajaran usaha.137
Namun dari hasil pendalaman dari data-data yang dimiliki direktur jenderal pajak perihal seberapa besar potensi penerimaan pajak yang hilang akibat
praktik negatif dari transfer pricing sangat sulit diproyeksi, dikarenakan
135
Ibid.
136
Muhamammad Zain,Manajemen Perpajakan (Jakarta, Salemba Empat, 2008), hlm.305. 137
Contoh Kasus Transfer Pricing,
7 Januari 2015).
ketidakmungkinan mencari rujukan atau pengenaan dasar bagi transaksi tersebut.
Referensi dari kasus serupa dalam dunia internasional138
misalnya kasus yang menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, dan Amazon Inggris. Starbucks Inggris misalnya, pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi padahal berhasil mencetak penjualan sebesar £398 juta. Selain itu mereka juga mengaku rugi sejak tahun 2008, dengan jumlah kerugiannya mencapai £112 juta atau sekitar Rp1,7 triliun. Padahal dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (2008-2010) mencapai £1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Bahkan selama 14 tahun beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar £8,6 juta. Kemudian Google Inggris pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar £398 juta tetapi hanya membayar pajak sebesar £6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di mana mereka berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar £3,35 miliar selama tahun 2011 tetapi hanya membayar pajak sebesar £1,5 juta. Perusahaan-perusahan
multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk
meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain termasuk di Amerika Serikat. Tahun 2013 Amazon berhadapan dengan pihak otoritas pajak
Amerika Serikat (IRS) juga untuk kasus transfer pricing dengan nilai US$ 234 juta.
Di Indonesia, contoh kasus transfer pricing terjadi pada 2008 dimana ada
indikasi kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT. Adaro
Indonesia ( PT. Adaro Energy, tbk) , yang kemudian ditangani kejaksaan agung. Dimana diduga perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah standar. Waktu itu, kasus mencuat akibat pertarungan konglomerat SukantoTanoto dengan Edwin Soeradjaya. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro Indonesiamenjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura Coaltrade Services International Pte, Ltd pada 2005 dan 2006. Oleh Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang harusnya dibayarkan ke kas negara. Pada dokumen laporan keuangan Coaltrade pada 2002-2005, terlihat laba Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Laporan keuangan, tersebut menimbulkan kecurigaan, bagaimana mungkin Adaro yang memiliki tambang kalah dengan trader. Kasus tersebut berakhir setelah kejagung sendiri menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) PT Adaro Indonesia karena kurangnya bukti dan lolos pula dari penyelidikan DPR setelah
sembilan fraksi di DPR menolak penyelidikan dugaan transfer pricing yang
dilakukan PT Adaro Indonesia. Mereka sepakat menyerahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung dan Ditjen Pajak.
Contoh lainnya adalah skandaltransfer pricing Toyota di Indonesia yang
pajak tahunan (SPT) Toyota Motor Manufacturing pada 2005. Dari pemeriksaan SPT Toyota pada 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp 1,5 triliun
(2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio gross marginatau perimbangan
antara laba kotor dengan tingkat penjualan juga menyusut dari sebelumnya 14,59 persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian.Apa yang memicu penurunan pendapatan perusahaan multinasional ini? Rupanya pada tahun itu, Toyota melakukan restrukturisasi mendasar. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu bendera: PT Toyota Astra Motor. Pemilik sahamnya ada dua: PT Astra International Tbk (51%) dan Toyota Motor Corporation Jepang (49%).Pada pertengahan 2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Walhasil, Toyota Jepang kini menguasai 95 persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN).Untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek dengan nama lama: Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota Motor Corporation Jepang.Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa membayar pajak sampai setengah triliun rupiah.
Pada 2004, pasca-restrukturisasi, dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp 168 miliar.Yang janggal, meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun itu justru naik 40 persen. Jadi kemana
keuntungan Toyota menguap? Di sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai
tercium. Toyota diduga ‘memainkan’ harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan
menambah beban biaya lewat pembayaran royalti secara tidak wajar.139
139
Kasus Transfer Pricing Toyota, tanggal 7 Januari 2016).
INDONESIA
A. Perbedaan Antara Penghindaran Pajak dan Penggelapan Pajak
Wajib pajak selalu menginginkan pembayaran pajak yang kecil. Adanya keinginan wajib pajak untuk tidak mematuhi peraturan perpajakan, membuat adanya perlawanan pajak yang mereka berikan. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi, sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Perusahaan akan mengupayakan cara untuk meminimumkan pembayaran pajaknya baik secara legal maupun ilegal.
Penghindaran pajak secara legal disebut dengan tax avoidance, sedangkan
penghindaran pajak secara ilegal disebut dengan tax evasion.140
Pada buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan
sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
140
Elsa Marcelliana, “Pengaruh Cost Of Debit Pada Perusahaan Manufaktur Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2012”,
suatu negara.141Erly Suandy mengatakan bahwa tax avoidance adalah rekayasa tax affairs yang masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan.142
Sophar Lumbantoruan mengatakan bahwa tax avoidance adalah penghindaran
pajak dengan menuruti aturan yang ada. Oleh karena itu, pengelakan pajak dengan
cara ini legal dan tidak perlu merasa berdosa.143 Sedangkan menurut Christine tax
avoidance merupakan no illegal action.144
Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan tax avoidance sah-sah
saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. The Asprey Comitte of
Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih dalam koridor hukum
tapi tidak berdasarkan “bonafide dan adequate consideration”145 atau berlawanan
dengan maksud dari pembuat undang-undang (the intention of parliament).146
Lebih lanjut A.A.Shenfield mengatakan bahwa arti kalimat “maksud dari
pembuat undang-undang (intension of parliament)” adalah bahwa kalimat tersebut
tidak bisa disimpulkan secara harfiah dari kata-kata yang ada di dalam undang-undang, karena kata-kata tersebut dapat berbeda artinya dari yang dimaksud oleh parliament. Menurut A.A.Shenfield, memang sulit untuk memahami spirit of a
law sehingga kita disarankan untuk sangat berhati-hati.147
141
James Kessler, “Tax Avoidance Purpose and Section 741 of the Taxes Act 1988”, dalam British Tax Review, 4 November 2004, hlm.377.
142
Erly Suandy, Perencanaan Pajak (Jakarta: Salemba Empat, 2003), hlm.8. 143
Sophar Lumbantoruan, Akuntansi Pajak Edisi Revisi (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm.493.
144
Christine, “Tax Fraud : An Emerging Issue For Concern”, dalam Economic Business and Accounting Review Jurnal and Prosiding Volume 2, Nomor 1, Jan-Apr 2007.
145
Indrayagus Slamet, “Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Mata Perpajakan Indonesia”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hlm.8.
146
James Kessler, Loc.Cit.
147
Menurut James Kessler pengertian tax avoidance ada dua jenis sebagaimana ditegaskan juga oleh Roy Rohatgi, yang dikutip oleh Danny Septriadi dan Darussalam, bahwa di banyak negara penghindaran pajak dibagi
menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax
planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance).148Komentar yang sama juga datang dari Brian J. Arnold dalam
artikelnya berjudul The Canadian Anti Avoidance Rule mengatakan bahwa apabila
tujuan utamanya semata-mata hanya untuk menghindari pajak, dan transaksi tersebut tidak akan dilakukan jika bukan untuk menhindari pajak, maka itu disebut
sebagai unacceptable tax avoidance.149
Judith Freedman juga mengatakan bahwa kadang-kadang unacceptable tax
avoidance tersebut dilakukan dengan cara merekayasa transaksi-transaksi yang
sedemikian kompleksnya dan tidak memiliki tujuan usaha yang baik (no
commercial business purpose), maka itulah yang disebut sebagai aggressive tax avoidance yang dilarang oleh hakim pengadilan pajak dan otoritas pajak.150
Berbeda dengan unacceptable tax avoidance,acceptable tax avoidance
mempunyai karakteristik sebagai berikut :151
a. memiliki tujuan usaha yang baik
b. bukan semata-mata untuk menghindari pajak
c. sesuai dengan spirit & intention of parliament
148
John Hutagaol, Darussalam, dan Danny Septriadi, Kapita Selekta Perpajakan (Jakarta: Salemba Empat, 2006), hlm.271.
149
Indrayagus Slamet, Op.Cit., hlm.10. 150
Judith Freedman, “Defining Tax Payer Responsibility : In Support of a General-Anti Avoidance Principle”, dalam British Tax Review, 2004, hlm.334.
151
d. tidak melakukan transaksi yang direkayasa.
Istilah penghindaran pajak (tax avoidance) berbeda dengan penggelapan
pajak (tax evasion). Padatax evasion, upaya wajib pajak untuk mengurangi
pembayaran pajak yang terutang dilakukan dengan melanggar ketentuan pidana
dalam undang-undang di bidang perpajakan.152 Paulus Merks mendefinisikan tax
evasion sebagai “(…) the general term for efforts by taxpayers to migitate taxes
by illegal means”.153
Michael J. Mclntyre dalam International Tax Primer
mendefinisikan tax evasion sebagai upaya mengurangi beban pajak dengan
cara yang illegal, yang biasanya dengan cara tidak melaporkan
Lebih lanjut, dokumen OECD Report on International Tax
Avoidance and Evasion tahun 1987 menyebutkan ruang lingkup tax evasion, yaitu:
An action by the taxprayer which entails breaking the law and which moreover can be shown to have been taken with the intention of escaping payment of tax.(…) Within tax evasion, a distinction is sometimes made between the less serious offence of mission, such as the failure to submit complete returns of income and more serious offense such as false declaration or fake invoices.
152
Ketentuan pidana untuk jenis pajak PPh dan PPN diatur dalam UU KUP. Sementara itu, untuk jenis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ketentuan pidananya terdapat dalam UU PBB. Selanjutnya, ketentuan pidana untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
153
Paulus Merks, “Defining International Tax Planning, Avoidance and Evasion”, dalam Fundamentals of International Tax Planning, 2007, hlm.49.
penghasilan atau penipuan yang disengaja (willful deceit).154 Frans
Vanistendael memberikan definisi tax evasion sebagai tindakan melanggar
hukum dan dikenakan sanksi pidana, yang kegiatannya meliputi
pemalsuan dokumen, membuat pembukuan ganda (keeping parallel
accounts), tidak melaporkan penghasilan, menyelundupkan atau
menyembunyikan barang atau kekayaan (smuggling or dissimulating
goods or assets).155
Menurut McGee, tax evasion akan membawa akibat, dana pajak
yang seharusnya diterima negara untuk membangun fasilitas umum, membiayai kegiatan pemerintahan tidak sampai pada negara, sehingga akan menghambat pembangunan, hak rakyat miskin untuk memperoleh subsidi dari negara tidak bisa wujudkan. Banyak hal yang terhambat
karena dana dari pembayaran pajak tidak masuk keuangan negara.156
Dari pengertian di atas, dapat disarikan bahwa yang membedakan tax avoidance dan tax evasion adalah apakah upaya penghematan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak bertentangan dengan undang-undang atau
tidak. 157
154
Michael J. Mclntyre dan Brian J. Arnold, International Tax Primer (Den Haag: Kluwer Law International, 2000), hlm.1167.
155
Frans Vanistendael, “Tax Avoidance and The Rule of Law”, dalam Graeme S. Cooper, IBFD, 1997, hlm.131.
156
Robert McGee,“Is tax Evasion Unethical”, dalam Kansas Law Review, Volume 42,No.2, 1994, hlm.411–435.
157
John Hutagaol dan Wilson Tobing, “SAAR dan GAAR Dalam Menangkal Penghindaran Pajak”, dalam Inside Tax, Edisi Perkenalan, September 2007, hlm.16.
Tax avoidance bukan merupakan pelanggaran karena menggunakan celah-celah hukum yang bisa digunakan untuk mengurangi
pajak. Tax evasion merupakan kegiatan yang melanggar hukum,
khususnya undang-undang pajak, undang-undang pidana serta perdata.158
B. Sanksi Penghindaran Pajak Melalui Transfer Pricing
Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangan perpajakan (norma perpajakan) akan ditaati atau dipatuhi. Dengan kata lain, sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Pada undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma dapat dikenai sanksi administrasi, sanksi pidana, atau sanksi administrasi
dan sanksi pidana.159
Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya berupa bunga dan kenaikan. Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan terdapat tiga macam sanksi administrasi, yaitu denda, bunga, dan kenaikan. Sedangkan sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan. Sanksi pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus
agar norma perpajakan dipatuhi.160 Terdapat tiga macam sanksi pidana yaitu
denda pidana, kurungan, dan penjara.161
Terhadap penghindaran pajak, upaya pemerintah untuk meningkatkan
kepatuhan pajak (tax compliance), seperti penerapan sunset policy, tidak
diimbangi dengan pengaturan yang komprehensif terhadap skema-skema
158
Darussalam dan Danny Septriadi, “Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule”, dalam Danny Darussalam Tax Center, Januari 2009.
159
Erly Suandy, Op.Cit., hlm.155. 160
Ibid.
161
penghindaran pajak. Perlu dicatat bahwa UU PPh amandemen ke IV (undang-undang nomor 36 tahun 2008), memang menambah beberapa ayat pada Pasal 18
yang mengidentifikasi beberapa skema penghindaran pajak baru. Namun,
anti-avoidancerules yang telah lebih dulu ada, seperti thin capitalization dan CFC tidak mengalami perubahan. Hal yang sama juga terjadi terhadap definisi hubungan istimewa. Hal ini dapat menimbulkan kerugian bagi negara, karena pengaturan-pengaturan tersebut dapat dengan mudah diantisipasi oleh wajib
pajak.162
Anti avoidance rulesyang terdapat dalam Pasal 18 UU PPh antara lain :163 1. Thin capitalization
Thin capitalization adalah pengaturan mengenai penentuan rasio modal
dan hutang untuk kepentingan perpajakan. Pengaturan mengenai thin
capitalization dilakukan pertama kali dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Pasca amandemen ke-IV UU PPh, pengaturannya tetap
tidak berubah.Pasal 18 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa :164
Undang-undang ini memberi wewenang kepada menteri keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
menteri keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan undang-undang ini.
162
Adrianto Dwi Nugroho, “Anti-Avoidance Rules Di Indonesia Pasca Amandemen UU Pajak Penghasilan”, dalam Mimbar Hukum, Volume 21, Februari 2009, hlm.109.
163
Ibid., hlm.112. 164
Padadunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila
perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Bila demikian, untuk penghitungan penghasilan kena pajak, udang-undang ini
menentukan adanya modal terselubung.165
2. Controlled Foreign Corporation (CFC)
Pengaturan mengenai CFC dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak atas penghasilan yang diterima wajib pajaknya melalui badan asing yang berada dibawah kontrol wajib pajak tersebut, dimana pelaksanaan kontrol tersebut memungkinkan wajib pajak tersebut untuk menunda pendistribusian penghasilan oleh badan asing tersebut, sehingga akan menunda pula pembayaran pajaknya, bahkan sampai waktu yang tidak
ditentukan.166
Di Indonesia, pengaturan tentang CFC pertama kali dilakukan pada amandemen ke-II UU PPh (UU Nomor 10 tahun 1994). Sama seperti pengaturan thin capitalization, pengaturannya pasca amandemen ke-IV UU PPh tidak
berubah. 167 UU PPh mengatur bahwa: 168
165
Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh. 166
Adrianto Dwi Nugroho,Loc.Cit.
167
Ibid.,, hlm.115. 168
Pasal 18 ayat (2) UU PPh.
menteri keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal wajib pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
3. Interest stripping
Pengaturan interest stripping ini serupa dengan thin capitalizationrule.
Kedua skema tersebut dilakukan secara lintas batas dan dipicu oleh perbedaan
perlakuan pajak atas dividen dan bunga. Namun demikian, interest stripping lebih
menekankan pada adanya dugaan penyertaan modal yang teselubung oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, yang diindikasikan dengan adanya pembayaran bunga yang eksesif dan tidak lazim terjadi antara para pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Pengaturan interest stripping pertama kali dilakukan dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 dan tidak mengalami perubahan sampai amandemen ke-IV. UU PPh
mengatur bahwa :169
169
Pasal 18 ayat (3) UU PPh.
direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Bila demikian, direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang maka direktur jenderal pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap
sebagai dividen yang dikenai pajak.170
4. Conduit company
Pembentukan conduit company dilakukan untuk memperoleh manfaat
yang terdapat dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Beganda (P3B/tax treaties).
Perlu dicatat bahwa umumnya tax treaties memberikan pengurangan tarif pajak
pemotongan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti. Sebagai contoh, pembayaran dividen atas penyertaan saham yang dilakukan wajib pajak dalam negeri pada perusahaan yang juga wajib pajak dalam negeri dengan presentase penyertaan kurang dari 25% dan dividen tersebut tidak berasal dari cadangan laba
170
yang ditahan akan dikenai withholding tax sebesar 15% dari jumlah bruto
dividen.171 Sementara itu, tarif yang terdapat dalam tax treaties, sebagai contoh,
antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda ditetapkan sebesar 10%.172
Di Indonesia, pengaturan mengenai conduit company baru pertama kali
dilakukan pada amandemen ke-IV UU PPh. UU PPh mengatur bahwa :
Hal ini memicu wajib pajak dalam negeri tersebut membentuk perusahaan di Belanda atau menggunakan perusahaan lain yang sudah ada (selama ada hubungan istimewa) dengan maksud untuk membeli saham atau aktiva lain di perusahaan wajib pajak dalam negeri lainnya, agar tarif yang lebih rendah (10%) dapat dicapai.
173
5. International hiring-out of labor
wajib pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain
atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company),
dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
Berbeda dengan skema-skema penghindaran pajak seelumnya, international hiring-out of labor ditujukan khusus kepada wajib pajak badan yang memberikan kontrak pekerjaan. Namun demikian, di Indonesia, pengaturan ini ditujukan kepada wajib pajak orang pribadi (dalam hal ini karyawan), walaupun
171
Pasal 23 ayat (1) huruf (a) angka 1UU PPh. 172
Pasal 10 ayat (2) Agreement between the Government of the Kingdom of the Netherlands and the Government of the Republic of Indonesia for the Avoidance of Double Taxation and the Prevention of Fiscal Evasion with respect to Taxes and Income, 2002, IBFD.