• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH

ITURI REPUBLIK KONGO

(Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

TENGKU DEVY MALINDA 110200209

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH

ITURI REPUBLIK KONGO

(Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

TENGKU DEVY MALINDA 110200209

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Diketahui/ Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP. 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas

berkat rahmat dan hidayat-Nya yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan

kepada penulis dalam menyusun skripsi ini sehingga penulis dapat

menyelesaikannya dengan baik.

Skripsi merupakan karya tulis ilmiah yang wajib disusun dan diajukan

oleh mahasiswa dalam rangka memenuhi tugas akhir dan melengkapi salah satu

syarat akademik untuk menyelesaikan progam studi S1 dan memperoleh gelar

Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Oleh karena itu,

penulis menyusun skripsi yang diberi judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan serta

dukungan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan izinkanlah penulis

mengucapkan terimakasih yang sebesar-sebesarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum

(4)

3. Bapak Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang membantu

Penulis dan memberikan masukan serta ide dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Sulaiman Hamid, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang sangat

membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan bersedia

memberikan bimbingan serta meluangkan waktu dan pikirannya.

5. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu dan membimbing Penulis dengan tulus dalam penyusunan skripsi.

Terimakasih Bapak telah meluangkan waktu juga memberikan masukan

sehingga Penulis dapat menyempurnakan penulisan skipsi ini.

6. Seluruh dosen Departemen Hukum Internasional dan dosen pengajar di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan ilmu

pengetahuan kepada Penulis selama duduk di bangku perkuliahan serta

pegawai administrasi yang membantu dalam proses menuju sidang meja

hijau.

7. Terkhusus untuk kedua orangtua yang Penulis cintai, Penulisucapkan banyak

terimakasih untuk Ayahanda Tengku Ali Akbar, S.H., M.Hum. dan Ibunda

Marlini yang telah membesarkan Penulis dan telah memberikan banyak

pengorbanan materi dari kecil hingga kini Penulis menyelesaikan

perkuliahan. Terimakasih atas semangat, dukungan, perhatian, dan doa yang

tak hentinya kalian berikan,skripsi ini Penulis persembahkan untuk Mama

(5)

8. Abang dan Kakak yang Penulis sayangi yaitu Tengku Fuad Maulana, S.T.

dan Tengku Dian Fahrani, S.H. yang memberikan motivasi agar Penulis

selalu tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas

bantuan-bantuan dan saran-saran yang sering kalian berikan kepada Penulis.

9. Seseorang yang sering memberikan kejutan dan selalu ada di sisi Penulis baik

dalam keadaan suka maupun duka yang memberikan semangat, kebahagiaan,

dukungan, dan perhatian dengan tulus serta selalu menemani hari-hari Penulis

dalam mengerjakan skripsi. Kepada Fachrindra, S.P. terimakasih atas segala

hal yang telah diberikan selama ini.Our story will always in my memory. 10. Sahabat terbaik Penulis, Nida Syafwani Nasution, yang tidak pernah

meninggalkan Penulis dari awal perkuliahan hingga sama-sama

menyelesaikan perkuliahan dan terus berada disamping Penulis dalam suka

maupun duka.

11. Sahabat-sahabat Penulis semasa perkuliahan “Vouch” yang selalu

memberikan canda dan tawa di hari-hari Penulis yaitu Lia, Viza, Intan, Desty,

Daniel, Dendi, Wahjow, Harris, Inal, Imam, Fairuz, Adi, Ryan, Padel, Ricky

Fauzan (Boteng), Nanda dan terkhususnya untuk Dyan Indriani yang

merupakan sahabat terdekat Penulis dari awal bangku perkuliahan serta

teman-teman yang berjuang bersama dengan Penulis dari awal memulai

skripsi hingga terselesaikannya skripsi ini yaitu Feby Vidha, M. Febriyandri,

dan Virsa. I hope our friendship will be last forever guys.

12. Sahabat Penulis yang memiliki sifat yang unik yaitu “Circle!” Nida Syafwani,

(6)

menyemangati satu sama lain. Penulis berharap semoga kita berempat kelak

menjadi orang yang sukses di masa depan dan persahabatan kita seperti

lingkaran yang tidak akan pernah terputus dan juga “Penyu” Nida Syafwani

Nasution, Astri Ramadhani Sipahutar, Nur Fairuz Diba Nasution, Ulfa

Nabila.

13. Keluarga besar ILSA (International Law Student Association) 2011 Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Fakultas Hukum USU Periode

2013 – 2014 yang Penulis anggap seperti keluarga sendiri yaitu Bang Hary

Azhar, Kak Izma Suci, Kak Nurul Atika, Bang Ihsan An Auwali, Nida,

Hadyan, Fito, Ibnu, Putri, Kiki, Pupimbiddi, Winaldi, Baktiaruddin, Ray,

Anggie, Rafika serta keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas

Hukum USU baik senioren ataupun adik-adik HMI yang dekat dengan

Penulis yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kata sempurna oleh karenanya segala kritik dan saran yang

bersifat membangun akan diterima oleh Penulis. Namun besar harapan Penulis

skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat berguna bagi yang membacanya.Atas

perhatiannya Penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2015

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vii

DAFTAR SINGKATAN ix

ABSTRAKSI x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Permasalahan 7

C. Tujuan Penulisan 7

D. Manfaat Penulisan 7

E. Keaslian Penulisan 8

F. Tinjauan Kepustakaan 9

G. Metode Penelitian 17

H. Sistematika Penulisan 19

BAB II PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat 22

B. Instrumen Hukum Internasional Tentang Pelanggaran HAM

Berat 26

C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan 34

(8)

BAB III TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA

A. Individu Sebagai Subjek Hukum Internasional 61

B. Paham “Impunity” Dalam Kejahatan Internasional 62

C. Kejahatan Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata 65

D. Pengaturan Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan

Kemanusiaan Berdasarkan ICC 77

BAB IV PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO

A. Latar Belakang Konflik Bersenjata di Republik Kongo 83

B. Penetapan Konflik Bersenjata di Republik Kongo Sebagai

Kejahatan Internasional oleh Dewan Keamanan PBB 89 C. Putusan ICC dalam Kejahatan Pelanggaran Kemanusiaan oleh

Germain Katanga 95

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 97

B. Saran 99

(9)

DAFTAR SINGKATAN

CAR= Conflict Against Racist

CIMFTE= Charter of the Internatinal Military Tribunal For The Far East

DRC= Democratic Republic of Congo

DUHAM= Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

FNI= Front des Nationalistes et Intégrationnistes

FRPI= Force de Résistance Patriotique en Ituri

ICC = International Criminal Court

ICRC= International Committee of the Red Cross

ICTR= International Criminal Tribunal for Rwanda

ICTY= International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia

ILC= International Law Comission

IMFTE= Internatinal Military Tribunal For The Far East

OTP= Office of the Prosecutor

PBB= Perserikatan Bangsa Bangsa

UN= United Nations

(10)

ABSTRAKSI Tengku Devy Malinda* Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

) **

Arif, S.H., M.Hum.

) ***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011

**

Dosen Pembimbing I

***

Dosen Pembimbing II

)

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat internasional.Bahkan sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan kesedihan di mata masyarakat internasional.Crimes against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan salah satu bentuk kekejaman yang menorehkan kesedihan tersebut.Kejahatan tidak dapat dihindari karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seperti kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga di wilayah Ituri tepatnya di desa Bogoro yang terletak di Republik Demokratik Kongo.Katanga yang merupakan seorang pemimpin kelompok milisi diduga memimpin dalam penyerangan yang terjadi di Bogoro.Dari peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan apakah seorang pemimpin bisa disalahkan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata; dan (3) bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo.

Dalam penulisan skripsi ini, metode penulisan yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal internet, instrumen hukum yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini.Mengenai kejahatan HAM berat sendiri disebutkan dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg (Piagam London) dan Statuta Roma. Dalam Piagam London yang merupakan kejahatan HAM berat ialah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sedangkan dalam Statuta Roma 1998 ialah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Agar setiap pelaku kejahatan tidak terlepas dari kejahatan yang dilakukannya maka dikenallah paham impunity yang menegaskan bahwa tidak boleh adanya sebuah imunitas terhadap setiap individu walaupun ia memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan yang sulit terjangkau hukum. Salah satu peristiwa yang terjadi di Republik Kongo ialah kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga yang pada akhirnya Katanga dibawa ke ICC dimana ia dihukum dengan hukuman penjara selama 12 tahun. Agar masyarakat internasional dapat merasakan perdamaian dan keamanan dunia maka setiap pelaku kejahatan harus dihukum karena dengan demikian maka hukum dapat ditegakkan dan tidak boleh adanya imunitas bagi setiap individu.

(11)

ABSTRAKSI Tengku Devy Malinda* Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

) **

Arif, S.H., M.Hum.

) ***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011

**

Dosen Pembimbing I

***

Dosen Pembimbing II

)

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat internasional.Bahkan sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan kesedihan di mata masyarakat internasional.Crimes against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan salah satu bentuk kekejaman yang menorehkan kesedihan tersebut.Kejahatan tidak dapat dihindari karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seperti kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga di wilayah Ituri tepatnya di desa Bogoro yang terletak di Republik Demokratik Kongo.Katanga yang merupakan seorang pemimpin kelompok milisi diduga memimpin dalam penyerangan yang terjadi di Bogoro.Dari peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan apakah seorang pemimpin bisa disalahkan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata; dan (3) bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo.

Dalam penulisan skripsi ini, metode penulisan yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal internet, instrumen hukum yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini.Mengenai kejahatan HAM berat sendiri disebutkan dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg (Piagam London) dan Statuta Roma. Dalam Piagam London yang merupakan kejahatan HAM berat ialah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sedangkan dalam Statuta Roma 1998 ialah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Agar setiap pelaku kejahatan tidak terlepas dari kejahatan yang dilakukannya maka dikenallah paham impunity yang menegaskan bahwa tidak boleh adanya sebuah imunitas terhadap setiap individu walaupun ia memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan yang sulit terjangkau hukum. Salah satu peristiwa yang terjadi di Republik Kongo ialah kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga yang pada akhirnya Katanga dibawa ke ICC dimana ia dihukum dengan hukuman penjara selama 12 tahun. Agar masyarakat internasional dapat merasakan perdamaian dan keamanan dunia maka setiap pelaku kejahatan harus dihukum karena dengan demikian maka hukum dapat ditegakkan dan tidak boleh adanya imunitas bagi setiap individu.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk

kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang

mengatur tentang konflik bersenjata akan menimbulkan tanggung jawab negara

bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini karena dalam hukum

internasional tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa

menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,

menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut.

Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya.1

Selain menimbulkan Tanggung Jawab Negara (state responsibility), pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional juga menimbulkan

tanggung jawab individu.Hal ini karena kejahatan terhadap hukum internasional

dilakukan oleh manusia, bukan oleh entitas abstrak, dan hanya dengan

menghukum individu ysng melakukan kejahatan tersebut ketentuan hukum

internasional bisa ditegakkan.Termasuk dalam kategori yang relevan dengan mana

tanggung jawab individu diletakkan sebagai kejahatan terhadap perdamaian,

kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.2

1

Hinggorani, Modern Iinternational Law, edisi ke-2, 1984, hlm 241, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1990 hlm. 173.

2

(13)

. Pada Peradilan Nuremberg3 ditunjukkan bahwa hukum internasional

membebankan tugas dan tanggung jawab terhadap individu sebagaimana halnya

terhadap negara. Disamping adanya pengakuan yang jelas terhadap tanggung

jawab pidana individu untuk tindak kejahatan internasional, Peradilan Nuremberg

juga merupakan suatu terobosan dengan menghilangkan imunitas pejabat negara

dan mengakhiri doktrin tindakan negara sehingga tidak ada seorang pun dapat

lolos dari tanggung jawab kriminal atas kejahatan internasional, bahkan seorang

kepala negara sekalipun.4

Pada awalnya ICC dibentuk terdapat kekhawatiran oleh beberapa kalangan

dimana mereka menganggap bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma 1998

tentang ICC maka negara-negara harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap Namun terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dari Peradilan

Nuremberg ini sehingga akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan

konferensi-konferensi untuk mendirikan suatu Peradilan Pidana yang permanen

yang diharapkan dapat menyempurnakan Peradilan Internasional

sebelumnya.Oleh karena itu, dibentuklah International Criminal Court

sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 yang telah diratifikasi oleh 122

negara.Perlu diketahui bahwa ICC merupakan peradilan yang independen dan

bukan merupakan organ dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian

multilateral.

3

Peradilan Nuremberg ialah peradilan ad hoc pertama dan merupakan rangkaian persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota utama dari kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi dari NAZI Jerman, dikutip dari Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014, hlm. 154.

4

(14)

semua aturan Statuta Roma sehingga dapat mengintervensi sistem hukum suatu

negara. Yang harus diketahui sebelumnya bahwa ICC mempunyai prinsip yang

mendasar dari Statuta Romadimana ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi

pidana nasional sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Statuta Roma

1998.Prinsip ini mengartikan bahwa ICC tidak dimaksudkan untuk menggantikan

sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah

alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan independen dan efektif tidak tersedia.5

Dalam bukunya, I Wayan Parthiana menuliskan bahwa meskipun HAM

sudah diakui secara universal akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam

kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala Pada prinsipnya ICC harus mendahulukan peradilan nasional kecuali jika

suatu negara tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi,maka barulah

ICC dapat mengambil alih kejahatan tersebut. ICC memiliki yurisdiksi yang

terbatas, hanya pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat

internasional secara keseluruhan.Kejahatan internasional dan pelanggaran HAM

berat dikategorikan sebagai kejahatan yang paling serius di mata hukum

internasional.Tujuan ICC ialah untuk mewujudkan keadilan yang global, serta

mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku

kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.

5

(15)

bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat

masih saja dilakukan di dunia ini.6

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan salah satu dari empat bentuk Pelanggaran HAM Berat yang berada dalam

yurisdiksi International Criminal Court. Disamping itu terdapat pelanggaran lainnya yaitu The Crimes of Genoside, War Crimes, dan The Crimes of Aggression.7

Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional ialah kejahatan yang

dilakukan oleh Germain Katanga yang merupakan seorang mantan pemimpin

Pasukan Perlawanan Patriotik di Ituri (Force de Résistance Patriotique en Ituri/ FPRI).Pada awal tahun 2003, Katanga muncul sebagai komandan senior FRPI

dimana kelompok milisi ini terlibat dalam konflik di Ituri.Peristiwa ini

berlangsung sejak tanggal 24 Februari 2003, Katanga diduga memimpin serangan

terhadap desa Bogoro–desa di wilayah Ituri Republik Demokratik Kongo–

vdengan pasukan yang di bawah perintahnya membunuh warga tanpa pandang

bulu.Ia juga telah diduga membantu memimpin kejahatan lainnya termasuk Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dapat dikategorikan sebagai

International Crimes karena mempunyai dampak terhadap pertanggungjawaban pidana.International Crimes didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan dimana tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya dan tidak ada

yurisdiksi yang digunakan untuk mencegah proses peradilan terhadapnya.

International crimes menganut asas universal jurisdiction.

6

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89.

7

Kejahatan Kemanusiaan,

(16)

pembantaian lebih dari 1.200 warga sipil dalam serangan di Rumah Sakit

Nyakunde pada bulan September 2002.

Selama penyerangan terhadap desa Bogoro, sedikitnya terdapat 200 warga

sipil yang meninggal dunia yang mana sebagian besar dari etnis Hema.Menurut

laporan PBB, terdapat sekitar 260 orang meninggal dan 70 orang lainnya

menghilang sedangkan yang selamat hanya 100 orang. Di antara para korban, 173

orang berada di bawah usia 18 tahun. Desa tersebut juga dijarah oleh anggota

FRPI, perempuan dan gadis belia diculik dan dijadikan budak seksual oleh

mereka.Beberapa korban yang selamat dari serangan dipenjara di sebuah

bangunan yang penuh dengan mayat dan bahkan anak-anak dijadikan sebagai

tentara dalam penyerangan tersebut.8

8

Amnesty International, DRC: All you need to know about the historic case against

Germain Katanga,http://www.amnesty.org/en/news/drc-all-you-need-know-about-historic-case-against-germain-katanga-2014-03-06 diakses 22 Desember 2014 Pukul 19.05 WIB.

Sungguh mengerikan peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.Bahkan

sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan

kesedihan di mata masyarakat internasional, ternyata perdamaian dan keamanan

belum dirasakan oleh semua orang.Dari sekilas peristiwa yang dipaparkan di atas

dapat dirasakan betapa kejamnya perbuatan yang terjadi di desa

tersebut.Perbuatan yang keji haruslah dibawa ke ranah hukum, pelakunya harus

bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya dan diberikan

hukuman yang setimpal agar tidak ada lagi terdapat korban jiwa sehingga

masyarakat desa Bogoro dapat merasakan aman dan mendapatkan perlindungan

(17)

Germain Katanga akhirnya ditahan dan dibawa ke pengadilan oleh

pemerintah Republik Demokratik Kongo yang berwenang untuk ditindaklanjuti.

Kasus ini dibawa ke International Criminal Court pada 17 Oktober 2007 dan proses pengadilan pun dimulai pada 24 November 2008.

Sudah sewajarnya Katanga bertanggung jawab secara pidana atas

kejahatan yang telah diperbuatnya.Tidak boleh ada pengecualian hukuman bagi

siapa pun walaupun Germain Katanga memiliki jabatan sebagai pemimpin

FRPI.Aturan ini telah diatur dan dapat dilihat dalam Pasal 28 Statuta Roma

dimana disebutkan bahwa “Seorang atasan baik militer maupun sipil harus

bertanggung jawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi ICC

yang dilakukan oleh anak buahnya”. Kejahatan dalam bentuk apa pun dan yang

dilakukan oleh siapa pun tetap harus diadili agar ketentuan hukum internasional

dapat ditegakkan.

Melihat peristiwa tersebut Penulis berminat ingin menelaah lebih dalam

mengenai kejahataan yang terjadi di wilayah tersebut.Oleh karena itu, penulis

memilih judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”. Skripsi ini akan menguraikan tentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di desa Bogoro, Ituri, Republik Demokrasi

Kongo dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Germain Katanga selaku

pemimpin milisi atas kejahatan yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang

(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas adapun menjadi

rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum

internasional?

2. Bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan

dalam konflik bersenjata?

3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik

bersenjata di Republik Kongo?

C. Tujuan Penulisan

Suatu penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan.Adapun tujuan

yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan pelanggaran HAM berat menurut hukum

internasional.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab individu terhadap kejahatan

kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

3. Untuk mengetahui putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam

konflik bersenjata di Republik Kongo.

D. Manfaat Penulisan

Penulis berharap skripsi dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin

(19)

a. Manfaat Teoritis

Sebagai bentuk penambahan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya

bidang hukum internasional terutama mengenai tanggung jawab individu

terhadapa kejahatan kemanusiaan dalam dalam konflik bersenjata dan upaya

penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal).

b. Manfaat Praktis

Menjadi suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya

serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah

wawasan mengenai masalah tanggung jawab individu terhadap kejahatan

kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah

banyak diangkat dan dibahas, seperti Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan

Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP dan Diluar KUHP, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Perspektif Hak

Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949, ataupun dalam makalah Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan Ditinjau Dari Penerapan Yuridiksi Universal. Namun

(20)

Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.

Judul dan permasalahan dalam skripsi ini murni merupakan ide dan

pemikiran dari penulis sendiri.Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini,

penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa belum ada atau belum terdapat judul

ini di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga tulisan

ini dijamin keasliannya.Dengan demikian tulisan ini dapat

dipertanggungjawabkan keaslian judul maupun isinya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. International Crimes

International Crimes oleh Antonio Cassese diartikan sebagai pelanggaran tehadap ketentuan internasional yang memerlukan pertanggungjawaban individu

dari individu terkait.9

Menurut Bassiouni, international crimes adalah setiap perbuatan yang mana ditetapkan sebagai kejahatan di dalam konvensi multilateral yang diikuti

beberapa Negara peserta, dan di dalamnya terdapat salah satu dari sepuluh Lebih lanjut lagi Cassese menyebutkan, bahwa international crimes terjadi karena pelanggaran terhadap aturan kebiasaan internasional termasuk diantaranya adalah ketentuan perjanjian internasional serta aturan yang

bertujuan melindungi nilai-nilai penting dari keseluruhan masyarakat

internasional dan konsekuensinya mengikat seluruh Negara dan individu.

9

(21)

karakter pidana.10Bassiouni mengkualifikasikan 22 (dua puluh dua) perbuatan

yang termasuk ke dalam international crimes yang berasal dari 312 instrumen dari

tahun 1815 sampai dengan 1984.11

1) Aggression

Kedua puluh tindak pidana internasional

tersebut antara lain:

2) War crimes

3) Unlawful use of weapons 4) Crimes against humanity 5) Genocide

6) Racial discrimination and apartheid 7) Slavery and related crimes

8) Torture

9) Unlawful human experimentation 10)Piracy

11)Aircraft hijacking

12)Threat and use of force against internationally protected persons 13)Taking of civilian hostages

14)Drug offenses

15)International traffic in obsence publicaitons 16)Destruction and/or theft of national treasures 17)Environmental protection

10

M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law Volume I: Crimes, Transnational Publisher Inc., New York, 1986, p. 2-3

11

(22)

18)Theft of nuclear materials 19)Unlawful use of the mails

20)Interfence with submarine cables 21)Falsification and counterfeiting 22)Bribery of foreign public official

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian dari international crimes sebagai berikut:12

(1) The criminal norm must derive either from a healthy concludent under international law or from customary international law, and must have diret binding force on individuals without intermediate provisions of municipal law;

A crime against international law, occurring when three condition are satisfied:

(2) The provision must be made for the prosecution of acts penalized ny international law in accordance with the principle of universal jurisdiction, so that the international character of the crime might show in the made of prosecution itself (e.g., before the international criminal court (3) A treaty establishing liability for the act must bind the great majority of

countries.

Terjemahan bebas:

Suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional apabila memenuhi tiga kondisi sebagai berikut:

(1) Suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional;”

(2) Ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal, jadi karakter internasional dari kerjahatan tersebut adalah dalam bentuk penututannya seperti tindakan-tindakan yang dapat dituntut di penfgadilan pidana internasional; dan

(3) Suatu perjanijian yang menetapkan tindak pidana internasional tersebut harus mengikat banyak Negara.

12

(23)

Sementara itu, Eddy O. S. Hiariej13

1. Dinyatakan sebagai kejahatan internasional, baik dalam konvensi

internasional maupun hukum kebiasaan internasional; dan

berpendapat bahwa kejahatan

internasional adalah “…tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum

kebiasaan internasional aau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang

penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.”

Dari pendapat di atas, maka tampak bahwa dalam batasan tindak pidana

internasional pada intinya mengandung hal-hal berikut:

2. Penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.

2. Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM Berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Di dalam Statuta Roma

1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Yang tergolong dalam kategori pelanggaran HAM berat antara lain Crimes Against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), The Crimes of Genoside (kejahatan genosida), War Crimes (kejahatan perang), dan The Crimes of Aggression(kejahatan agresi)

13

(24)

3. Kejahatan Kemanusiaan

Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity)

dikembangkan sejak Petersburg Declaration 1868.Semula dikembangkan dalam

konteks hukum perang berdasarkam Konvensi Den Haag 1907 (Hague Convention) yang merupakan kodefikasi dari hukum kebiasaan mengenai konflik bersenjata.14

Menurut Wiliam A. Schabas, kejahatan kemanusiaan pertama kali

dipergunakan pada tanggal 24 Mei 1915 dalam deklarasi bersama antara

pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia, ketiga Negara tersebut memutuskan

untuk bereaksi secara keras dan kemudian membuat deklarasi pernyataan (joint declaration) atas tindakan Turki tersebut. Deklarasi bersama tiga negara ini ditujukan untuk mengutuk tindakan Turki atas kekejaman terhadap populasi

Armenia di Turki, tindakan Turki tersebut dikatakan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan dan peradaban (crimes against humanity and civilization).15

Kejahatan kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 adalah

perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau

sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dan kelompok

penduduk sipil tersebut mengetahui akan terjadinya serangan itu:16

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

14

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hlm. 19

15

Eddy O. S. Hiariej, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 15.

16

(25)

c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan

melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk

kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi

atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya,

agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar

lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan

berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan

setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap

kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;

i) Penghilangan paksa;

j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara

sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap

badan atau mental atau kesehatan fisik.

Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal,

dimana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara mana pun tanpa

(26)

korban.Hal ini dimaksud untuk mewujudkan prinsip no safe heaven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hastis humanis generis (musuh seluruh umat manusia).Untuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya

daluawarsa.17

4. Tanggung Jawab Individu

Dari ketentuan tentang penggolongan kejahatan terhadap kemanusiaan

berdasarkan Statuta Roma di atas dapat dilihat bahwa kejahatan ini tidak saja

terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada

masa damai dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas kepada aparatur

negara tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara.

Pertanggungjawaban individual (individual responsibility) merupakan prinsip yang diikuti sejak diperkenalkan dalam Peradilan Nuremberg. Ketika

Pengadilan Nuremberg digelar, para terdakwa menyangkal bahwa mereka

memiliki kewajiban di depan hukum internasional. Mereka menegaskan, bahwa

sebagai individu, mereka hanya memiliki kewajiban kepada negara Jerman di

bawah Nazi dan negara Jermanlah yang harus memikul pertanggungjawaban

internasional.18

17

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 22.

18

Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 44.

Namun, alasan itu ditolak karena Pasal 6 Piagam London

(27)

foregoing crimes ares responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan” (para pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki tangan yang turut serta atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan yang

sedang berlangsung, bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh

setiap orang dalam pelaksaan sebagaimana rencana yang dimaksud).

Indonesia merupakan salah satu negara yang juga menganut prinsip

pertanggungjawaban individu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengailan HAM pasal 1 (4) menyebutkan, “Setiap

orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, miiliter, maupun

polisi yang bertanggung jawab secara individual”.19

5. International Criminal Court

The International Criminal Court (ICC atau ICCt) adalah sebuah organisasi antar pemerintah dan pengadilan internasional yang berkedudukan di

Den Haag di Belanda.ICC memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu untuk

jenis kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

dan kejahatan perang dan mungkin suatu hari dapat melaksanakan yurisdiksi atas

kejahatan agresi.

ICC mulai berdiri pada 1 Juli 2002, tepat pada saat Statuta Roma

diberlakukan.Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian multilateral yang

berfungsi sebagai dasar dan mengatur dokumen ICC.Negara yang menjadi pihak

pada Statuta Roma dapat menjadi anggota ICC dengan meratifikasi Statuta

19

(28)

tersebut.Saat ini, sudah terdapat 122 negara yang menjadi pihak dalam Statuta

Roma dan menjadi anggota ICC.

ICC diatur dalam Statuta Roma dan merupakan pengadilan pidana

internasional pertama yang pemanen, memiliki perjanjian mendasar yang

didirikan untuk membantu mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan

paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.20

G. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu dengan jalan menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan

yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang

bersangkutan.

Suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dengan metode ilmiah agar

kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.Metode penelitian yang

dipergunakan dalam tulisan ini terdiri dari:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang

otonom terlepas dari hubungan hukum tersebut dengan masyarakat.

20

(29)

Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis, dimana penulis menggambarkan

dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut

agar diperoleh keterangan dan jawaban yang jelas.

2. Bahan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data

sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang menjadi

landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti

putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Jenewa dan peraturan

hukum lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang mendukung dan

memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

buku-buku dan pendapat para ahli hukum,

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

internet, jurnal hukum, surat kabar, dan sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam hal pengumpulan data untuk mendukung dan melengkapi penulisan

(30)

sumber buku yang terdapat di perpustakaan juga melalui jurnal hukum, internet,

dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.21

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

putusan, jurnal hukum dan sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan

metode analisa kualitatif.Analisa kualitatif merupakan pemaparan tentang

teori-teori yang dikemukakan sehingga teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal

yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas

beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan materi dari skripsi

ini. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian yang

digambarkan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum

yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta

Sistematika Penulisan.

21

(31)

BAB II: PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan pelanggaran

kejahatan HAM berat menurut hukum internasional. Bab kedua ini

berisikan tentang sejarah dan latar belakang kejahatan HAM berat,

instrumen hukum internasional dalam pelanggaram HAM berat,

pengaturan kejahatan kemanusiaan, dan ICC Statuta Roma 1998

tentang kejahatan internasional.

BAB III: TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tanggung jawab

individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam suatu konflik

bersenjata. Di dalam bab tiga ini akan dijelaskan secara terperinci

tentang individu sebagai subjek hukum internasional, paham

Impunity” dalam kejahatan internasional, kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata, dan pengaturan tanggung jawab individu

terhadap kejahatan kemanusiaan berdasarkan ICC.

BAB IV: PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB

INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang

(32)

bersenjata di Republik Kongo sebagai kejahatan internasional oleh

Dewan Keamanan PBB, penetapan Germain Katanga sebagai

pelaku kejahatan kemanusiaan, serta putusan ICC dalam kejahatan

kemanusiaan yang dilakukan oleh Germain Katanga.

BAB V: PENUTUP

Bab kelima ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan

dari keseluruhan materi dalam skripsi ini serta dilengkapi dengan

(33)

BAB II

PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum

dirasakan oleh masyarakat internasional.Hampir setengah abad setelah Perang

Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek

pembersihan etnis yang terjadi di Eropa yakni di negara bekas Yugoslavia,

tindakan pembersihan etnis tersebut sangat mengancam perdamaian dan

keamanan internasional.22

Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali

mengejutkan nurani dunia, dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar

800.000 orang dan mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang.

Peristiwa tragis yang terjadi di negara tersebut

menewaskan ribuan orang termasuk lebih dari dua ratus personil PBB dan

anggota pasukan perdamaian PBB, serta mengakibatkan pengungsian lebih dari

2,2 juta orang.

23

Pasca berakhirnya Perang Dunia II memberikan dampak yang luar biasa di

hadapan masyarakat internasional.Hukum Internasional Hak Asasi Manusia Bahkan

sampai sekarang pun juga masih ada terdapat kejahatan yang mengerikan yang

terjadi di berbagai belahan dunia ini,

22

Roy Gutman and David Rief, Crimes of War; What Public Should Know, W.W Norton Company, New York-London, 1999, hlm. 53.

23

(34)

mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan dengan sendirinya yang

menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional,

masyarakat internasional dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa

pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM

berat dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang

berkembang pasca perang dunia kedua, yang dapat dilihat dalam Pengadilan

Nuremberg yang meliputi genocide, War Crime, Crime Against Humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia(ICTY) dan

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes,

Crimes against humanity, dan Genocide.

Istilah Kejahatan HAM Berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini

belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi maupun

perjanjian HAM. Kejahatan HAM Berat dipahami sebagai suatu perbuatan

pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada

jiwa, raga dan peradaban manusia.

Cecilia Meidina Quiroga24

24

Andrey Sujatmoko,Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Indonesia, Timor Leste, dan lainnya, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 71mengutip Cecilia MedinaQuiroga, The battle of Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American system, Dordrech/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1988, p 16.

menjelaskan istilah Pelanggaran HAM Berat

sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran,

sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan

dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk

(35)

suatu Negara secara terus menerus yang dilanggar atau diancam. Menurut Peter

Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah

yang meliputi the prohibiton of slavery, the right to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, dissappearences and ethnic cleansing.

Berbagai bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu

definisi hukum. Kejahatan HAM Berat juga disebutkan di dalam Piagam

Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, kejahatan yang dikategorikan

sebagai kejahatan HAM berat sebagai berikut:25

1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan,

memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar

perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau

jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau

komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan

perbuatan-perbuatan tersebut di atas.

2. Kejahatan Perang (War Crimes). Yang termasuk dalam kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan

perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap

penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, memberlakukan kerja

paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan

perang dengan kejam, membunuh, atau memperlakukan orang yang

25

(36)

berada di laut secara demikian; merampas milik negara atau milik

perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan berlebihan atau

semena-mena, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.

3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan

(murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang

dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar

berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau

orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang

turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama

komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut

bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan

rencana tersebut.

International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan

kejahatan HAM berat yaitu:26

1. Kejahatan genosida

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan

3. Kejahatan perang

4. Kejahatan agresi.

26

(37)

Kejahatan HAM Berat termasuk kejahatan dalam yurisdiksi ICC dimana

dalam Pasal 5 Statuta Roma disebutkan “the jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole…”.

B. Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran Ham Berat

Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Kejahatan

maupun pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan hukuman bagi

yang melakukannya.Namun masing-masing negara tentunya memiliki hukum

nasional yang mengatur hal tersebut.Hal ini dapat menyebabkan ketidaksamaan

hukum antara rakyat dari beraneka negara.Mengenai perbedaan dalam pengakuan

dan perlindungan hak asasi manusia maka perlu ditafsirkan dan diterapkan

perundang-undangan internasional yang seragam sebagai standar minimum oleh

negara terhadap tiap individu.

Instrumen internasional merupakan alat yang berupa standar-standar

pembatasanpelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan

kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM.Oleh karena dibutuhkan adanya

pembatasan untuk melindungi HAM maka dibuat lah beberapa instrumen hukum

internasional yang berlaku universal terbentuk atas kesepakatan antar negara

sehingga dapat menjadi pedoman bagi suatu negara dalam menghukum pelaku

kejahatan tersebut.

Instrumen hukum internasional bentuknya berupa kovenan (perjanjian)

(38)

yangmenandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaandengan

treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian).Sedangkan protokol merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang memiliki

fungsi untuk lebih lanjut mencapaitujuan-tujuan suatu kovenan.

Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia

maka negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam instrumen-instrumen

hukum internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut.

Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat

diantaranya:27

1. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)

Selama berumur lebih dari 40 tahun hampir tidak ada negara, pemegang

kekuasaan atau organ lain apa pun dari masyarakat nasional atau internasional

yang meragukan Deklarasi Universal. Deklarasi Universal merupakan instrumen

hidup yang memaksa supaya orang memperhatikan ancaman baru terhadap

martabat manusia dan kelangsungan hidup kemanusiaan, seperti persenjataan

berlebihan dan senjata penghancur massal, dan juga bahaya potensial akibat

manipulasi genetik28

Kembali ke isi Deklarasi Universal sendiri, prinsip kebebasan, persamaan,

dan persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis menjadi dasar untuk

membangun Deklarasi Universal.Hak-hak kebebasan merupakan hal yang utama

27

United Nation Human Right,

diakses 15 Februari 2015.

28

(39)

baik yang berhubungan dengan kebebasan integritas pribadi maupun hak-hak

politik. Prinsip kebebasan terdapat dalam rumus non diskriminasi dan dalam

persamaan di depan hukum.29

Selain ketiga prinsip di atas, Deklarasi Universal juga mengatur ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam pelanggaran HAM berat seperti

larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan larangan diskriminasi.Di dalam

Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorang pun dapat diperbudak atau

diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang. Sedangkan

untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM yang

menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dianiaya atau diperlakukan secara

kejam dengan tak mengingat kemanusiaan atau pun cara perlakuan atau hukuman

yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku

penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau

tempat pelanggaran yang dituduhkan.30

2. Charter of The United Nation (Piagam PBB)

Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi,

maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi

sebagai pengakuan martabat manusia sulitdiwujudkan, Untuk itu supaya tujuan

DUHAM, dapat menjadi kenyataandiperlukan alat/instrumen HAM internasional

lainnya.

Piagam PBB ditandatangani pada tanggal 26 Juni 1945, di San Francisco,

pada akhir Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional, dan mulai berlaku

29

Peter Baehr, Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1997, hlm. 62

30

(40)

pada tanggal 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional merupakan

bagian integral Piagam tersebut.

Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan

untuk menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali dalam

hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung bagi umat manusia, untuk

menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai

pribadi manusia, dalam kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan

negara-negara besar dan kecil, untuk membangun kondisi dimana keadilan dan

penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian dan sumber hukum

internasional dapat dipertahankan, danuntuk mempromosikan kemajuan sosial dan

standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar.31

1. Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk itu:

untuk mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk pencegahan

dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan

tindakan agresi atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk

membawa dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan

dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa

internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan pelanggaran

perdamaian;

Adapun tujuan dari organisasi ini ialah:

2. Untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa didasarkan

pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib

31

(41)

sendiri rakyat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk

memperkuat perdamaian universal;

3. Untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah

internasional karakter ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan

dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi

manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis

kelamin, bahasa, atau agama; dan

4. Untuk menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian

tujuan tersebut umum.

3. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

Semua manusia pada dasarnya sama di hadapan hukum dan berhak atas

perlindungan hukum sama terhadap diskriminasi dan terhadap hasutan apapun

untuk diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras,

warna kulit, atau asal usul etnis merupakan suatu penghalang bagi hubungan

persahabatan dan damai di antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu

perdamaian dan keamanan antar negara.

Dengan demikian maka dibentuklah konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini

sendiri ialah untuk menghapus adanya diskriminasi rasial dalam segala bentuknya

dan menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal-usul

kebangsaan atau etnis, persamaan di depan hukum dan khususnya menikmati

(42)

untuk kebangsaan, hak kemana pribadi dan perlindungan oleh negara terhadap

kekerasan baik yang ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau kelompok indivdu

atau lembaga, dan hak lainnya.

4. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Genosida menimbulkan kerugian besar pada umat manusia dalam setiap

periode sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia maka

diperlukan kerjasama internasional yang akhirnya melahirkan konvensi ini.

Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan di

masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan yang

dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan atau

sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh anggota

kelompok, menyebabkan tubuh atau mental yang berat, membawa kehancuran

fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan tindakan yang mencegah

kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara paksa anak-anak dari

kelompok ke kelompok lain.

Orang yang didakwa dengan genosida atau tindakan-tindakan lain akan

diadili oleh pengadilan yang kompeten dari negara di wilayah dimana perbuatan

itu dilakukan, atau dengan pengadilan pidana internasional seperti mungkin

memiliki yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut yang akan menerima

(43)

5. Konvensi tentang Non-Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Dalam pembukaan konvensi ini disebutkan mengingat bahwa kejahatan

perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu kejahatan paling

parah dalam hukum internasional.Tidak ada deklarasi khidmat, instrumen atau

konvensi yang berhubungan dengan penuntutan dan penghukuman terhadap

kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan ketentuan yang dibuat untuk jangka

waktu terbatas.

Konvensi ini menyebutkan bahwa tidak ada batasan hukum yang berlaku

bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi ini berlaku

untuk perwakilan dari otoritas negara dan individu swasta yang berpartisipasi atau

langsung menghasut orang lain untuk setiap kejahatan tersebut.

6. Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya

Jenis tindak pidana internasional atau pelanggaran hukum hak-hak asasi

manusia dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non internasional

diatur dalam konvensi-konvensi Jenewa dan protokol, yaitu:32

a. Geneva Convention for The Amelioration of the condition of the wounded and sick in armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur perbaikan kondisi yang luka dan sakit dalam pertempuran di darat,

melindungi kombatan yang luka dan sakit serta orang-orang yang

32

(44)

menyertai mereka, bangunan dimana mereka berlindung serta peralatan

yang dipakai mereka

b. Geneva Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick and ship wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949, mengatur mengenai perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam

anggota angkatan bersenjata di laut.

c. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949, mengatur mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota angkatan bersenjata yang menjadi tawanan perang.

d. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12, 1949, mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil pada waktu perang.

e. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur mengenai perluasan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil dan membatasi alat dan cara berperang dalam

sengketa bersenjata internasional.

(45)

g. Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau

akibat membabi buta.

Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:33

1) Pembunuhan yang disengaja

2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat

manusia

3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas

4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang

5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan

teratur

6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa

7) Menjatuhkan hukuman kurungan

8) Melakukan penyanderaan

C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan

Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, istilah “kejahatan

terhadap kemanusiaan” dikemukakan pertama kali pada tahun 1915 melalui

deklarasi pertama tiga negara Perancis, Inggris, Rusia. Namun ternyata istilah ini

hanyalah sebuah perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan

33

(46)

politis, hal ini terlihat dalam kenyataannnya setelah deklarasi tersebut tidak ada

upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut.34

Pengaturan lebih tegas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat

dalam Piagam London. Kejahatan tersebut mencakup35

Kejahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam Pasal 5 huruf c Statuta

IMTFE yang menyatakan

namely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrate”,

(pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masayarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan-penindasan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan lain yang termasuk di dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah melanggar atau tidak hukum domistik negara dimana perbuatan dilakukan).

36

34

Tolib Effendi, Op.Cit., hlm. 100.

35

Ibid.

36

Ibid.

Crimes against humanityNamely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political or racial grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and accomplices participacing in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan”,

(47)

Kejahatan dalam kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan

Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap

Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968,

tercantum dalam Pasal 1 (b):37

Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam

Pasal 5 yang menyebutkan Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk

menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang

dilakukan selama konflik senjata berlangsung, yang bersifat internasional maupun

internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil:

“Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersejata, atau pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid dan kejahatan genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara-negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”.

Pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan telah banyak

dirumuskan dan dapat dilihat dari pengaturan yang telah disebutkan di atas.Selain

itu, kejahatan ini juga dirumuskan dalam tiga statuta lainnya, yaitu Statuta ICTY,

Statuta ICTR, dan Statuta Roma 1998.

38

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Pendeportasian;

37

Eddy Omar Sharif Hiariej.Op.Cit.,hlm. 62.

38

(48)

e) Penahanan;

f) Penyiksaan;

g) Pemerkosaan;

h) Penindasan berdasarkan politik, ras, dan agama;

i) Tindakan tidak manusiawi lainnya.

Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah dilakukan

pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas Yugoslavia

termasuk Macedonia dan Kosovo.39

Berbeda dengan Statuta ICTY, Statuta ICTR memberikan pengaturan

tentang kejahatan kemanusiaan sedikit berbeda.Pengaturan kejahatan

kemanusiaan diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTR sebagai berikut “Pengadilan

Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang

yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian

dari serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil atas dasar

kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.”40

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Pendeportasian;

e) Penahanan;

f) Penyiksaan;

g) Pemerkosaan;

39

Ibid. hlm. 103.

40

(49)

h) Penindasan terhadap politik, ras, dan agama;

i) Tindakan tidak manusiawi lainnya.

Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari

kedua Statuta di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan tersebut

dilakukan.Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya kejahatan

terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat situasi

konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat internal.Sedangkan

dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan tersebut

dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis serta

perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan,

politik, etnis, ras, atau agama.

Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan terhadap

kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi Diplomatik

PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pengadilan

Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan

menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya kejahatan

terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep tersebut

menjadi suatu treaty norm.41

Pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap

kemanusiaan terdapat dalam Statuta Roma 1998. Secara substantif pengaturan

41

(50)

dalam Statuta ini hampir sama dengan kedua Statuta sebelumnya namun dalam

Statuta Roma lebih dipertegas dan dilengkapi.

Kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma dimana ayat

(1) membahas tentang jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi kejahatan

terhadap kemanusiaan serta ayat (2) dan (3) mengenai penjelasan terhadap istiliah

yang terdapat dalam ayat (1).

(1) Untuk kepentingan dari statuta ini, kejahatan terhadap kemanusiaan berarti

setiap tindakan berikut yang dilakukan sebagai bagian dari serangan

meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk

sipil, dengan pengetahuan terhadap serangan:

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Pendeportasian atau memindah secara p

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan- bahan dari buku,

Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, wacana

transfer pricing. Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan

Jenis metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), metode mengumpulkan, menyusun dan menelaah data-data

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan ( library research ) yaitu dengan mengumpulkan bahan- bahan dari buku, surat kabar,

yang merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan kerugian yang luar biasa besar atau penderitaan yang tidak perlu atau yang secara hakiki tidak pandang bulu

The warrant of arrest against Ahmad Al Mahdi Al Faqi was issued by ICC Pre-Trial Chamber I on 18 September 2015, for war crimes of intentionally directing attacks against

Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan bahan- bahan dari buku, surat kabar,