BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk
kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang
mengatur tentang konflik bersenjata akan menimbulkan tanggung jawab negara
bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini karena dalam hukum
internasional tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa
menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,
menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut.
Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya.1
Selain menimbulkan Tanggung Jawab Negara (state responsibility),
pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional juga menimbulkan
tanggung jawab individu.Hal ini karena kejahatan terhadap hukum internasional
dilakukan oleh manusia, bukan oleh entitas abstrak, dan hanya dengan
menghukum individu ysng melakukan kejahatan tersebut ketentuan hukum
internasional bisa ditegakkan.Termasuk dalam kategori yang relevan dengan mana
tanggung jawab individu diletakkan sebagai kejahatan terhadap perdamaian,
kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.2
1
Hinggorani, Modern Iinternational Law, edisi ke-2, 1984, hlm 241, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1990 hlm. 173.
2
. Pada Peradilan Nuremberg3 ditunjukkan bahwa hukum internasional membebankan tugas dan tanggung jawab terhadap individu sebagaimana halnya
terhadap negara. Disamping adanya pengakuan yang jelas terhadap tanggung
jawab pidana individu untuk tindak kejahatan internasional, Peradilan Nuremberg
juga merupakan suatu terobosan dengan menghilangkan imunitas pejabat negara
dan mengakhiri doktrin tindakan negara sehingga tidak ada seorang pun dapat
lolos dari tanggung jawab kriminal atas kejahatan internasional, bahkan seorang
kepala negara sekalipun.4
Pada awalnya ICC dibentuk terdapat kekhawatiran oleh beberapa kalangan
dimana mereka menganggap bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma 1998
tentang ICC maka negara-negara harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap Namun terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dari Peradilan
Nuremberg ini sehingga akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan
konferensi-konferensi untuk mendirikan suatu Peradilan Pidana yang permanen
yang diharapkan dapat menyempurnakan Peradilan Internasional
sebelumnya.Oleh karena itu, dibentuklah International Criminal Court
sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 yang telah diratifikasi oleh 122
negara.Perlu diketahui bahwa ICC merupakan peradilan yang independen dan
bukan merupakan organ dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian
multilateral.
3
Peradilan Nuremberg ialah peradilan ad hoc pertama dan merupakan rangkaian persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota utama dari kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi dari NAZI Jerman, dikutip dari Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014, hlm. 154.
4
semua aturan Statuta Roma sehingga dapat mengintervensi sistem hukum suatu
negara. Yang harus diketahui sebelumnya bahwa ICC mempunyai prinsip yang
mendasar dari Statuta Romadimana ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi
pidana nasional sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Statuta Roma
1998.Prinsip ini mengartikan bahwa ICC tidak dimaksudkan untuk menggantikan
sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah
alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan
independen dan efektif tidak tersedia.5
Dalam bukunya, I Wayan Parthiana menuliskan bahwa meskipun HAM
sudah diakui secara universal akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam
kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala Pada prinsipnya ICC harus mendahulukan peradilan nasional kecuali jika
suatu negara tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk
melakukan penyelidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi,maka barulah
ICC dapat mengambil alih kejahatan tersebut. ICC memiliki yurisdiksi yang
terbatas, hanya pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat
internasional secara keseluruhan.Kejahatan internasional dan pelanggaran HAM
berat dikategorikan sebagai kejahatan yang paling serius di mata hukum
internasional.Tujuan ICC ialah untuk mewujudkan keadilan yang global, serta
mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku
kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.
5
bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat
masih saja dilakukan di dunia ini.6
Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan
salah satu dari empat bentuk Pelanggaran HAM Berat yang berada dalam
yurisdiksi International Criminal Court. Disamping itu terdapat pelanggaran
lainnya yaitu The Crimes of Genoside, War Crimes, dan The Crimes of
Aggression.7
Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional ialah kejahatan yang
dilakukan oleh Germain Katanga yang merupakan seorang mantan pemimpin
Pasukan Perlawanan Patriotik di Ituri (Force de Résistance Patriotique en Ituri/
FPRI).Pada awal tahun 2003, Katanga muncul sebagai komandan senior FRPI
dimana kelompok milisi ini terlibat dalam konflik di Ituri.Peristiwa ini
berlangsung sejak tanggal 24 Februari 2003, Katanga diduga memimpin serangan
terhadap desa Bogoro–desa di wilayah Ituri Republik Demokratik Kongo–
vdengan pasukan yang di bawah perintahnya membunuh warga tanpa pandang
bulu.Ia juga telah diduga membantu memimpin kejahatan lainnya termasuk Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dapat dikategorikan sebagai
International Crimes karena mempunyai dampak terhadap pertanggungjawaban
pidana.International Crimes didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan dimana
tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya dan tidak ada
yurisdiksi yang digunakan untuk mencegah proses peradilan terhadapnya.
International crimes menganut asas universal jurisdiction.
6
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89.
7
Kejahatan Kemanusiaan,
pembantaian lebih dari 1.200 warga sipil dalam serangan di Rumah Sakit
Nyakunde pada bulan September 2002.
Selama penyerangan terhadap desa Bogoro, sedikitnya terdapat 200 warga
sipil yang meninggal dunia yang mana sebagian besar dari etnis Hema.Menurut
laporan PBB, terdapat sekitar 260 orang meninggal dan 70 orang lainnya
menghilang sedangkan yang selamat hanya 100 orang. Di antara para korban, 173
orang berada di bawah usia 18 tahun. Desa tersebut juga dijarah oleh anggota
FRPI, perempuan dan gadis belia diculik dan dijadikan budak seksual oleh
mereka.Beberapa korban yang selamat dari serangan dipenjara di sebuah
bangunan yang penuh dengan mayat dan bahkan anak-anak dijadikan sebagai
tentara dalam penyerangan tersebut.8
8
Amnesty International, DRC: All you need to know about the historic case against Germain Katanga,http://www.amnesty.org/en/news/drc-all-you-need-know-about-historic-case-against-germain-katanga-2014-03-06 diakses 22 Desember 2014 Pukul 19.05 WIB.
Sungguh mengerikan peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.Bahkan
sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan
kesedihan di mata masyarakat internasional, ternyata perdamaian dan keamanan
belum dirasakan oleh semua orang.Dari sekilas peristiwa yang dipaparkan di atas
dapat dirasakan betapa kejamnya perbuatan yang terjadi di desa
tersebut.Perbuatan yang keji haruslah dibawa ke ranah hukum, pelakunya harus
bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya dan diberikan
hukuman yang setimpal agar tidak ada lagi terdapat korban jiwa sehingga
masyarakat desa Bogoro dapat merasakan aman dan mendapatkan perlindungan
Germain Katanga akhirnya ditahan dan dibawa ke pengadilan oleh
pemerintah Republik Demokratik Kongo yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
Kasus ini dibawa ke International Criminal Court pada 17 Oktober 2007 dan
proses pengadilan pun dimulai pada 24 November 2008.
Sudah sewajarnya Katanga bertanggung jawab secara pidana atas
kejahatan yang telah diperbuatnya.Tidak boleh ada pengecualian hukuman bagi
siapa pun walaupun Germain Katanga memiliki jabatan sebagai pemimpin
FRPI.Aturan ini telah diatur dan dapat dilihat dalam Pasal 28 Statuta Roma
dimana disebutkan bahwa “Seorang atasan baik militer maupun sipil harus
bertanggung jawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi ICC
yang dilakukan oleh anak buahnya”. Kejahatan dalam bentuk apa pun dan yang
dilakukan oleh siapa pun tetap harus diadili agar ketentuan hukum internasional
dapat ditegakkan.
Melihat peristiwa tersebut Penulis berminat ingin menelaah lebih dalam
mengenai kejahataan yang terjadi di wilayah tersebut.Oleh karena itu, penulis
memilih judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP
KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”. Skripsi ini akan menguraikan tentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di desa Bogoro, Ituri, Republik Demokrasi
Kongo dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Germain Katanga selaku
pemimpin milisi atas kejahatan yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas adapun menjadi
rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu:
1. Bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum
internasional?
2. Bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan
dalam konflik bersenjata?
3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik
bersenjata di Republik Kongo?
C. Tujuan Penulisan
Suatu penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan.Adapun tujuan
yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui pengaturan pelanggaran HAM berat menurut hukum
internasional.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab individu terhadap kejahatan
kemanusiaan dalam konflik bersenjata.
3. Untuk mengetahui putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam
konflik bersenjata di Republik Kongo.
D. Manfaat Penulisan
Penulis berharap skripsi dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin
a. Manfaat Teoritis
Sebagai bentuk penambahan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya
bidang hukum internasional terutama mengenai tanggung jawab individu
terhadapa kejahatan kemanusiaan dalam dalam konflik bersenjata dan upaya
penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal).
b. Manfaat Praktis
Menjadi suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya
serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah
wawasan mengenai masalah tanggung jawab individu terhadap kejahatan
kemanusiaan dalam konflik bersenjata.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah
banyak diangkat dan dibahas, seperti Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan
Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP dan Diluar KUHP,
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949, ataupun dalam makalah Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan Ditinjau Dari Penerapan Yuridiksi Universal. Namun
Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.
Judul dan permasalahan dalam skripsi ini murni merupakan ide dan
pemikiran dari penulis sendiri.Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini,
penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa belum ada atau belum terdapat judul
ini di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga tulisan
ini dijamin keasliannya.Dengan demikian tulisan ini dapat
dipertanggungjawabkan keaslian judul maupun isinya.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. International Crimes
International Crimes oleh Antonio Cassese diartikan sebagai pelanggaran
tehadap ketentuan internasional yang memerlukan pertanggungjawaban individu
dari individu terkait.9
Menurut Bassiouni, international crimes adalah setiap perbuatan yang
mana ditetapkan sebagai kejahatan di dalam konvensi multilateral yang diikuti
beberapa Negara peserta, dan di dalamnya terdapat salah satu dari sepuluh Lebih lanjut lagi Cassese menyebutkan, bahwa international
crimes terjadi karena pelanggaran terhadap aturan kebiasaan internasional
termasuk diantaranya adalah ketentuan perjanjian internasional serta aturan yang
bertujuan melindungi nilai-nilai penting dari keseluruhan masyarakat
internasional dan konsekuensinya mengikat seluruh Negara dan individu.
9
karakter pidana.10Bassiouni mengkualifikasikan 22 (dua puluh dua) perbuatan yang termasuk ke dalam international crimes yang berasal dari 312 instrumen dari
tahun 1815 sampai dengan 1984.11
1) Aggression
Kedua puluh tindak pidana internasional
tersebut antara lain:
2) War crimes
3) Unlawful use of weapons
4) Crimes against humanity
5) Genocide
6) Racial discrimination and apartheid
7) Slavery and related crimes
8) Torture
9) Unlawful human experimentation
10)Piracy
11)Aircraft hijacking
12)Threat and use of force against internationally protected persons
13)Taking of civilian hostages
14)Drug offenses
15)International traffic in obsence publicaitons
16)Destruction and/or theft of national treasures
17)Environmental protection
10
M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law Volume I: Crimes, Transnational Publisher Inc., New York, 1986, p. 2-3
11
18)Theft of nuclear materials
19)Unlawful use of the mails
20)Interfence with submarine cables
21)Falsification and counterfeiting
22)Bribery of foreign public official
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian dari international
crimes sebagai berikut:12
(1) The criminal norm must derive either from a healthy concludent under international law or from customary international law, and must have diret binding force on individuals without intermediate provisions of municipal law;
A crime against international law, occurring when three condition are satisfied:
(2) The provision must be made for the prosecution of acts penalized ny international law in accordance with the principle of universal jurisdiction, so that the international character of the crime might show in the made of prosecution itself (e.g., before the international criminal court (3) A treaty establishing liability for the act must bind the great majority of
countries.
Terjemahan bebas:
Suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional apabila memenuhi tiga kondisi sebagai berikut:
(1) Suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional;”
(2) Ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal, jadi karakter internasional dari kerjahatan tersebut adalah dalam bentuk penututannya seperti tindakan-tindakan yang dapat dituntut di penfgadilan pidana internasional; dan
(3) Suatu perjanijian yang menetapkan tindak pidana internasional tersebut harus mengikat banyak Negara.
12
Sementara itu, Eddy O. S. Hiariej13
1. Dinyatakan sebagai kejahatan internasional, baik dalam konvensi
internasional maupun hukum kebiasaan internasional; dan
berpendapat bahwa kejahatan
internasional adalah “…tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum
kebiasaan internasional aau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang
penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.”
Dari pendapat di atas, maka tampak bahwa dalam batasan tindak pidana
internasional pada intinya mengandung hal-hal berikut:
2. Penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.
2. Pelanggaran HAM Berat
Pelanggaran HAM Berat atau dikenal dengan “gross violation of human
rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara
eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Di dalam Statuta Roma
1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most
serious crimes of concern to the international community as a whole”. Yang
tergolong dalam kategori pelanggaran HAM berat antara lain Crimes Against
Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), The Crimes of Genoside (kejahatan
genosida), War Crimes (kejahatan perang), dan The Crimes of
Aggression(kejahatan agresi)
13
3. Kejahatan Kemanusiaan
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity)
dikembangkan sejak Petersburg Declaration 1868.Semula dikembangkan dalam
konteks hukum perang berdasarkam Konvensi Den Haag 1907 (Hague
Convention) yang merupakan kodefikasi dari hukum kebiasaan mengenai konflik
bersenjata.14
Menurut Wiliam A. Schabas, kejahatan kemanusiaan pertama kali
dipergunakan pada tanggal 24 Mei 1915 dalam deklarasi bersama antara
pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia, ketiga Negara tersebut memutuskan
untuk bereaksi secara keras dan kemudian membuat deklarasi pernyataan (joint
declaration) atas tindakan Turki tersebut. Deklarasi bersama tiga negara ini
ditujukan untuk mengutuk tindakan Turki atas kekejaman terhadap populasi
Armenia di Turki, tindakan Turki tersebut dikatakan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan dan peradaban (crimes against humanity and civilization).15
Kejahatan kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 adalah
perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau
sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dan kelompok
penduduk sipil tersebut mengetahui akan terjadinya serangan itu:16 a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
14
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hlm. 19
15
Eddy O. S. Hiariej, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 15.
16
c) Perbudakan;
d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan
melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
f) Penyiksaan;
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,
penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk
kekerasan seksual lain yang cukup berat;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi
atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya,
agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar
lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan
berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan
setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap
kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
i) Penghilangan paksa;
j) Kejahatan apartheid;
k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara
sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap
badan atau mental atau kesehatan fisik.
Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal,
dimana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara mana pun tanpa
korban.Hal ini dimaksud untuk mewujudkan prinsip no safe heaven (tidak ada
tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hastis
humanis generis (musuh seluruh umat manusia).Untuk kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya
daluawarsa.17
4. Tanggung Jawab Individu
Dari ketentuan tentang penggolongan kejahatan terhadap kemanusiaan
berdasarkan Statuta Roma di atas dapat dilihat bahwa kejahatan ini tidak saja
terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada
masa damai dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas kepada aparatur
negara tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara.
Pertanggungjawaban individual (individual responsibility) merupakan
prinsip yang diikuti sejak diperkenalkan dalam Peradilan Nuremberg. Ketika
Pengadilan Nuremberg digelar, para terdakwa menyangkal bahwa mereka
memiliki kewajiban di depan hukum internasional. Mereka menegaskan, bahwa
sebagai individu, mereka hanya memiliki kewajiban kepada negara Jerman di
bawah Nazi dan negara Jermanlah yang harus memikul pertanggungjawaban
internasional.18
17
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 22.
18
Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 44.
Namun, alasan itu ditolak karena Pasal 6 Piagam London
menyatakan “…leaders, organizers, instigators, and accomplices participacing in
foregoing crimes ares responsible for all acts performed by any persons in
execution of such plan” (para pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki
tangan yang turut serta atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan yang
sedang berlangsung, bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh
setiap orang dalam pelaksaan sebagaimana rencana yang dimaksud).
Indonesia merupakan salah satu negara yang juga menganut prinsip
pertanggungjawaban individu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengailan HAM pasal 1 (4) menyebutkan, “Setiap
orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, miiliter, maupun
polisi yang bertanggung jawab secara individual”.19
5. International Criminal Court
The International Criminal Court (ICC atau ICCt) adalah sebuah
organisasi antar pemerintah dan pengadilan internasional yang berkedudukan di
Den Haag di Belanda.ICC memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu untuk
jenis kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,
dan kejahatan perang dan mungkin suatu hari dapat melaksanakan yurisdiksi atas
kejahatan agresi.
ICC mulai berdiri pada 1 Juli 2002, tepat pada saat Statuta Roma
diberlakukan.Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian multilateral yang
berfungsi sebagai dasar dan mengatur dokumen ICC.Negara yang menjadi pihak
pada Statuta Roma dapat menjadi anggota ICC dengan meratifikasi Statuta
19
tersebut.Saat ini, sudah terdapat 122 negara yang menjadi pihak dalam Statuta
Roma dan menjadi anggota ICC.
ICC diatur dalam Statuta Roma dan merupakan pengadilan pidana
internasional pertama yang pemanen, memiliki perjanjian mendasar yang
didirikan untuk membantu mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan
paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.20
G. Metode Penelitian
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu dengan jalan menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang
bersangkutan.
Suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dengan metode ilmiah agar
kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.Metode penelitian yang
dipergunakan dalam tulisan ini terdiri dari:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang
otonom terlepas dari hubungan hukum tersebut dengan masyarakat.
20
Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis, dimana penulis menggambarkan
dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut
agar diperoleh keterangan dan jawaban yang jelas.
2. Bahan Hukum
Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data
sekunder yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang menjadi
landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti
putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Jenewa dan peraturan
hukum lainnya.
b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang mendukung dan
memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
buku-buku dan pendapat para ahli hukum,
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
internet, jurnal hukum, surat kabar, dan sebagainya.
3. Alat Pengumpul Data
Dalam hal pengumpulan data untuk mendukung dan melengkapi penulisan
skripsi ini penulis menggunakan cara kepustakaan atau Library Research, yaitu
sumber buku yang terdapat di perpustakaan juga melalui jurnal hukum, internet,
dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.21
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi
putusan, jurnal hukum dan sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan
metode analisa kualitatif.Analisa kualitatif merupakan pemaparan tentang
teori-teori yang dikemukakan sehingga teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal
yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas
beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan materi dari skripsi
ini. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian yang
digambarkan sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum
yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan
Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta
Sistematika Penulisan.
21
BAB II: PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan pelanggaran
kejahatan HAM berat menurut hukum internasional. Bab kedua ini
berisikan tentang sejarah dan latar belakang kejahatan HAM berat,
instrumen hukum internasional dalam pelanggaram HAM berat,
pengaturan kejahatan kemanusiaan, dan ICC Statuta Roma 1998
tentang kejahatan internasional.
BAB III: TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP
KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tanggung jawab
individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam suatu konflik
bersenjata. Di dalam bab tiga ini akan dijelaskan secara terperinci
tentang individu sebagai subjek hukum internasional, paham
“Impunity” dalam kejahatan internasional, kejahatan kemanusiaan
dalam konflik bersenjata, dan pengaturan tanggung jawab individu
terhadap kejahatan kemanusiaan berdasarkan ICC.
BAB IV: PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB
INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang
bersenjata di Republik Kongo sebagai kejahatan internasional oleh
Dewan Keamanan PBB, penetapan Germain Katanga sebagai
pelaku kejahatan kemanusiaan, serta putusan ICC dalam kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh Germain Katanga.
BAB V: PENUTUP
Bab kelima ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan
dari keseluruhan materi dalam skripsi ini serta dilengkapi dengan