• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada "

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk

kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang

mengatur tentang konflik bersenjata akan menimbulkan tanggung jawab negara

bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini karena dalam hukum

internasional tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa

menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,

menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut.

Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya.1

Selain menimbulkan Tanggung Jawab Negara (state responsibility),

pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional juga menimbulkan

tanggung jawab individu.Hal ini karena kejahatan terhadap hukum internasional

dilakukan oleh manusia, bukan oleh entitas abstrak, dan hanya dengan

menghukum individu ysng melakukan kejahatan tersebut ketentuan hukum

internasional bisa ditegakkan.Termasuk dalam kategori yang relevan dengan mana

tanggung jawab individu diletakkan sebagai kejahatan terhadap perdamaian,

kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.2

1

Hinggorani, Modern Iinternational Law, edisi ke-2, 1984, hlm 241, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1990 hlm. 173.

2

(2)

. Pada Peradilan Nuremberg3 ditunjukkan bahwa hukum internasional membebankan tugas dan tanggung jawab terhadap individu sebagaimana halnya

terhadap negara. Disamping adanya pengakuan yang jelas terhadap tanggung

jawab pidana individu untuk tindak kejahatan internasional, Peradilan Nuremberg

juga merupakan suatu terobosan dengan menghilangkan imunitas pejabat negara

dan mengakhiri doktrin tindakan negara sehingga tidak ada seorang pun dapat

lolos dari tanggung jawab kriminal atas kejahatan internasional, bahkan seorang

kepala negara sekalipun.4

Pada awalnya ICC dibentuk terdapat kekhawatiran oleh beberapa kalangan

dimana mereka menganggap bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma 1998

tentang ICC maka negara-negara harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap Namun terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dari Peradilan

Nuremberg ini sehingga akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan

konferensi-konferensi untuk mendirikan suatu Peradilan Pidana yang permanen

yang diharapkan dapat menyempurnakan Peradilan Internasional

sebelumnya.Oleh karena itu, dibentuklah International Criminal Court

sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 yang telah diratifikasi oleh 122

negara.Perlu diketahui bahwa ICC merupakan peradilan yang independen dan

bukan merupakan organ dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian

multilateral.

3

Peradilan Nuremberg ialah peradilan ad hoc pertama dan merupakan rangkaian persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota utama dari kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi dari NAZI Jerman, dikutip dari Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014, hlm. 154.

4

(3)

semua aturan Statuta Roma sehingga dapat mengintervensi sistem hukum suatu

negara. Yang harus diketahui sebelumnya bahwa ICC mempunyai prinsip yang

mendasar dari Statuta Romadimana ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi

pidana nasional sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Statuta Roma

1998.Prinsip ini mengartikan bahwa ICC tidak dimaksudkan untuk menggantikan

sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah

alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan

independen dan efektif tidak tersedia.5

Dalam bukunya, I Wayan Parthiana menuliskan bahwa meskipun HAM

sudah diakui secara universal akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam

kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala Pada prinsipnya ICC harus mendahulukan peradilan nasional kecuali jika

suatu negara tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk

melakukan penyelidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi,maka barulah

ICC dapat mengambil alih kejahatan tersebut. ICC memiliki yurisdiksi yang

terbatas, hanya pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat

internasional secara keseluruhan.Kejahatan internasional dan pelanggaran HAM

berat dikategorikan sebagai kejahatan yang paling serius di mata hukum

internasional.Tujuan ICC ialah untuk mewujudkan keadilan yang global, serta

mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku

kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.

5

(4)

bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat

masih saja dilakukan di dunia ini.6

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan

salah satu dari empat bentuk Pelanggaran HAM Berat yang berada dalam

yurisdiksi International Criminal Court. Disamping itu terdapat pelanggaran

lainnya yaitu The Crimes of Genoside, War Crimes, dan The Crimes of

Aggression.7

Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional ialah kejahatan yang

dilakukan oleh Germain Katanga yang merupakan seorang mantan pemimpin

Pasukan Perlawanan Patriotik di Ituri (Force de Résistance Patriotique en Ituri/

FPRI).Pada awal tahun 2003, Katanga muncul sebagai komandan senior FRPI

dimana kelompok milisi ini terlibat dalam konflik di Ituri.Peristiwa ini

berlangsung sejak tanggal 24 Februari 2003, Katanga diduga memimpin serangan

terhadap desa Bogoro–desa di wilayah Ituri Republik Demokratik Kongo–

vdengan pasukan yang di bawah perintahnya membunuh warga tanpa pandang

bulu.Ia juga telah diduga membantu memimpin kejahatan lainnya termasuk Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dapat dikategorikan sebagai

International Crimes karena mempunyai dampak terhadap pertanggungjawaban

pidana.International Crimes didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan dimana

tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya dan tidak ada

yurisdiksi yang digunakan untuk mencegah proses peradilan terhadapnya.

International crimes menganut asas universal jurisdiction.

6

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89.

7

Kejahatan Kemanusiaan,

(5)

pembantaian lebih dari 1.200 warga sipil dalam serangan di Rumah Sakit

Nyakunde pada bulan September 2002.

Selama penyerangan terhadap desa Bogoro, sedikitnya terdapat 200 warga

sipil yang meninggal dunia yang mana sebagian besar dari etnis Hema.Menurut

laporan PBB, terdapat sekitar 260 orang meninggal dan 70 orang lainnya

menghilang sedangkan yang selamat hanya 100 orang. Di antara para korban, 173

orang berada di bawah usia 18 tahun. Desa tersebut juga dijarah oleh anggota

FRPI, perempuan dan gadis belia diculik dan dijadikan budak seksual oleh

mereka.Beberapa korban yang selamat dari serangan dipenjara di sebuah

bangunan yang penuh dengan mayat dan bahkan anak-anak dijadikan sebagai

tentara dalam penyerangan tersebut.8

8

Amnesty International, DRC: All you need to know about the historic case against Germain Katanga,http://www.amnesty.org/en/news/drc-all-you-need-know-about-historic-case-against-germain-katanga-2014-03-06 diakses 22 Desember 2014 Pukul 19.05 WIB.

Sungguh mengerikan peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.Bahkan

sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan

kesedihan di mata masyarakat internasional, ternyata perdamaian dan keamanan

belum dirasakan oleh semua orang.Dari sekilas peristiwa yang dipaparkan di atas

dapat dirasakan betapa kejamnya perbuatan yang terjadi di desa

tersebut.Perbuatan yang keji haruslah dibawa ke ranah hukum, pelakunya harus

bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya dan diberikan

hukuman yang setimpal agar tidak ada lagi terdapat korban jiwa sehingga

masyarakat desa Bogoro dapat merasakan aman dan mendapatkan perlindungan

(6)

Germain Katanga akhirnya ditahan dan dibawa ke pengadilan oleh

pemerintah Republik Demokratik Kongo yang berwenang untuk ditindaklanjuti.

Kasus ini dibawa ke International Criminal Court pada 17 Oktober 2007 dan

proses pengadilan pun dimulai pada 24 November 2008.

Sudah sewajarnya Katanga bertanggung jawab secara pidana atas

kejahatan yang telah diperbuatnya.Tidak boleh ada pengecualian hukuman bagi

siapa pun walaupun Germain Katanga memiliki jabatan sebagai pemimpin

FRPI.Aturan ini telah diatur dan dapat dilihat dalam Pasal 28 Statuta Roma

dimana disebutkan bahwa “Seorang atasan baik militer maupun sipil harus

bertanggung jawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi ICC

yang dilakukan oleh anak buahnya”. Kejahatan dalam bentuk apa pun dan yang

dilakukan oleh siapa pun tetap harus diadili agar ketentuan hukum internasional

dapat ditegakkan.

Melihat peristiwa tersebut Penulis berminat ingin menelaah lebih dalam

mengenai kejahataan yang terjadi di wilayah tersebut.Oleh karena itu, penulis

memilih judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”. Skripsi ini akan menguraikan tentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di desa Bogoro, Ituri, Republik Demokrasi

Kongo dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Germain Katanga selaku

pemimpin milisi atas kejahatan yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang

(7)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas adapun menjadi

rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum

internasional?

2. Bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan

dalam konflik bersenjata?

3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik

bersenjata di Republik Kongo?

C. Tujuan Penulisan

Suatu penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan.Adapun tujuan

yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan pelanggaran HAM berat menurut hukum

internasional.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab individu terhadap kejahatan

kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

3. Untuk mengetahui putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam

konflik bersenjata di Republik Kongo.

D. Manfaat Penulisan

Penulis berharap skripsi dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin

(8)

a. Manfaat Teoritis

Sebagai bentuk penambahan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya

bidang hukum internasional terutama mengenai tanggung jawab individu

terhadapa kejahatan kemanusiaan dalam dalam konflik bersenjata dan upaya

penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal).

b. Manfaat Praktis

Menjadi suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya

serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah

wawasan mengenai masalah tanggung jawab individu terhadap kejahatan

kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah

banyak diangkat dan dibahas, seperti Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan

Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP dan Diluar KUHP,

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Perspektif Hak

Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949, ataupun dalam makalah Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan Ditinjau Dari Penerapan Yuridiksi Universal. Namun

(9)

Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.

Judul dan permasalahan dalam skripsi ini murni merupakan ide dan

pemikiran dari penulis sendiri.Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini,

penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa belum ada atau belum terdapat judul

ini di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga tulisan

ini dijamin keasliannya.Dengan demikian tulisan ini dapat

dipertanggungjawabkan keaslian judul maupun isinya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. International Crimes

International Crimes oleh Antonio Cassese diartikan sebagai pelanggaran

tehadap ketentuan internasional yang memerlukan pertanggungjawaban individu

dari individu terkait.9

Menurut Bassiouni, international crimes adalah setiap perbuatan yang

mana ditetapkan sebagai kejahatan di dalam konvensi multilateral yang diikuti

beberapa Negara peserta, dan di dalamnya terdapat salah satu dari sepuluh Lebih lanjut lagi Cassese menyebutkan, bahwa international

crimes terjadi karena pelanggaran terhadap aturan kebiasaan internasional

termasuk diantaranya adalah ketentuan perjanjian internasional serta aturan yang

bertujuan melindungi nilai-nilai penting dari keseluruhan masyarakat

internasional dan konsekuensinya mengikat seluruh Negara dan individu.

9

(10)

karakter pidana.10Bassiouni mengkualifikasikan 22 (dua puluh dua) perbuatan yang termasuk ke dalam international crimes yang berasal dari 312 instrumen dari

tahun 1815 sampai dengan 1984.11

1) Aggression

Kedua puluh tindak pidana internasional

tersebut antara lain:

2) War crimes

3) Unlawful use of weapons

4) Crimes against humanity

5) Genocide

6) Racial discrimination and apartheid

7) Slavery and related crimes

8) Torture

9) Unlawful human experimentation

10)Piracy

11)Aircraft hijacking

12)Threat and use of force against internationally protected persons

13)Taking of civilian hostages

14)Drug offenses

15)International traffic in obsence publicaitons

16)Destruction and/or theft of national treasures

17)Environmental protection

10

M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law Volume I: Crimes, Transnational Publisher Inc., New York, 1986, p. 2-3

11

(11)

18)Theft of nuclear materials

19)Unlawful use of the mails

20)Interfence with submarine cables

21)Falsification and counterfeiting

22)Bribery of foreign public official

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian dari international

crimes sebagai berikut:12

(1) The criminal norm must derive either from a healthy concludent under international law or from customary international law, and must have diret binding force on individuals without intermediate provisions of municipal law;

A crime against international law, occurring when three condition are satisfied:

(2) The provision must be made for the prosecution of acts penalized ny international law in accordance with the principle of universal jurisdiction, so that the international character of the crime might show in the made of prosecution itself (e.g., before the international criminal court (3) A treaty establishing liability for the act must bind the great majority of

countries.

Terjemahan bebas:

Suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional apabila memenuhi tiga kondisi sebagai berikut:

(1) Suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional;”

(2) Ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal, jadi karakter internasional dari kerjahatan tersebut adalah dalam bentuk penututannya seperti tindakan-tindakan yang dapat dituntut di penfgadilan pidana internasional; dan

(3) Suatu perjanijian yang menetapkan tindak pidana internasional tersebut harus mengikat banyak Negara.

12

(12)

Sementara itu, Eddy O. S. Hiariej13

1. Dinyatakan sebagai kejahatan internasional, baik dalam konvensi

internasional maupun hukum kebiasaan internasional; dan

berpendapat bahwa kejahatan

internasional adalah “…tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum

kebiasaan internasional aau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang

penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.”

Dari pendapat di atas, maka tampak bahwa dalam batasan tindak pidana

internasional pada intinya mengandung hal-hal berikut:

2. Penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.

2. Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM Berat atau dikenal dengan “gross violation of human

rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara

eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Di dalam Statuta Roma

1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most

serious crimes of concern to the international community as a whole”. Yang

tergolong dalam kategori pelanggaran HAM berat antara lain Crimes Against

Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), The Crimes of Genoside (kejahatan

genosida), War Crimes (kejahatan perang), dan The Crimes of

Aggression(kejahatan agresi)

13

(13)

3. Kejahatan Kemanusiaan

Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity)

dikembangkan sejak Petersburg Declaration 1868.Semula dikembangkan dalam

konteks hukum perang berdasarkam Konvensi Den Haag 1907 (Hague

Convention) yang merupakan kodefikasi dari hukum kebiasaan mengenai konflik

bersenjata.14

Menurut Wiliam A. Schabas, kejahatan kemanusiaan pertama kali

dipergunakan pada tanggal 24 Mei 1915 dalam deklarasi bersama antara

pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia, ketiga Negara tersebut memutuskan

untuk bereaksi secara keras dan kemudian membuat deklarasi pernyataan (joint

declaration) atas tindakan Turki tersebut. Deklarasi bersama tiga negara ini

ditujukan untuk mengutuk tindakan Turki atas kekejaman terhadap populasi

Armenia di Turki, tindakan Turki tersebut dikatakan sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan dan peradaban (crimes against humanity and civilization).15

Kejahatan kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 adalah

perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau

sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dan kelompok

penduduk sipil tersebut mengetahui akan terjadinya serangan itu:16 a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

14

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hlm. 19

15

Eddy O. S. Hiariej, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 15.

16

(14)

c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan

melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi,

penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk

kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi

atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya,

agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar

lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan

berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan

setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap

kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;

i) Penghilangan paksa;

j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara

sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap

badan atau mental atau kesehatan fisik.

Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal,

dimana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara mana pun tanpa

(15)

korban.Hal ini dimaksud untuk mewujudkan prinsip no safe heaven (tidak ada

tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hastis

humanis generis (musuh seluruh umat manusia).Untuk kejahatan terhadap

kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya

daluawarsa.17

4. Tanggung Jawab Individu

Dari ketentuan tentang penggolongan kejahatan terhadap kemanusiaan

berdasarkan Statuta Roma di atas dapat dilihat bahwa kejahatan ini tidak saja

terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada

masa damai dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas kepada aparatur

negara tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara.

Pertanggungjawaban individual (individual responsibility) merupakan

prinsip yang diikuti sejak diperkenalkan dalam Peradilan Nuremberg. Ketika

Pengadilan Nuremberg digelar, para terdakwa menyangkal bahwa mereka

memiliki kewajiban di depan hukum internasional. Mereka menegaskan, bahwa

sebagai individu, mereka hanya memiliki kewajiban kepada negara Jerman di

bawah Nazi dan negara Jermanlah yang harus memikul pertanggungjawaban

internasional.18

17

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 22.

18

Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 44.

Namun, alasan itu ditolak karena Pasal 6 Piagam London

menyatakan “…leaders, organizers, instigators, and accomplices participacing in

(16)

foregoing crimes ares responsible for all acts performed by any persons in

execution of such plan” (para pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki

tangan yang turut serta atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan yang

sedang berlangsung, bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh

setiap orang dalam pelaksaan sebagaimana rencana yang dimaksud).

Indonesia merupakan salah satu negara yang juga menganut prinsip

pertanggungjawaban individu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengailan HAM pasal 1 (4) menyebutkan, “Setiap

orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, miiliter, maupun

polisi yang bertanggung jawab secara individual”.19

5. International Criminal Court

The International Criminal Court (ICC atau ICCt) adalah sebuah

organisasi antar pemerintah dan pengadilan internasional yang berkedudukan di

Den Haag di Belanda.ICC memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu untuk

jenis kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

dan kejahatan perang dan mungkin suatu hari dapat melaksanakan yurisdiksi atas

kejahatan agresi.

ICC mulai berdiri pada 1 Juli 2002, tepat pada saat Statuta Roma

diberlakukan.Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian multilateral yang

berfungsi sebagai dasar dan mengatur dokumen ICC.Negara yang menjadi pihak

pada Statuta Roma dapat menjadi anggota ICC dengan meratifikasi Statuta

19

(17)

tersebut.Saat ini, sudah terdapat 122 negara yang menjadi pihak dalam Statuta

Roma dan menjadi anggota ICC.

ICC diatur dalam Statuta Roma dan merupakan pengadilan pidana

internasional pertama yang pemanen, memiliki perjanjian mendasar yang

didirikan untuk membantu mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan

paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.20

G. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum

tertentu dengan jalan menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan

yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang

bersangkutan.

Suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dengan metode ilmiah agar

kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.Metode penelitian yang

dipergunakan dalam tulisan ini terdiri dari:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang

otonom terlepas dari hubungan hukum tersebut dengan masyarakat.

20

(18)

Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis, dimana penulis menggambarkan

dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut

agar diperoleh keterangan dan jawaban yang jelas.

2. Bahan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data

sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang menjadi

landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti

putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Jenewa dan peraturan

hukum lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang mendukung dan

memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

buku-buku dan pendapat para ahli hukum,

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

internet, jurnal hukum, surat kabar, dan sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam hal pengumpulan data untuk mendukung dan melengkapi penulisan

skripsi ini penulis menggunakan cara kepustakaan atau Library Research, yaitu

(19)

sumber buku yang terdapat di perpustakaan juga melalui jurnal hukum, internet,

dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.21

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi

putusan, jurnal hukum dan sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan

metode analisa kualitatif.Analisa kualitatif merupakan pemaparan tentang

teori-teori yang dikemukakan sehingga teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal

yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas

beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan materi dari skripsi

ini. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian yang

digambarkan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum

yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan

Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta

Sistematika Penulisan.

21

(20)

BAB II: PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan pelanggaran

kejahatan HAM berat menurut hukum internasional. Bab kedua ini

berisikan tentang sejarah dan latar belakang kejahatan HAM berat,

instrumen hukum internasional dalam pelanggaram HAM berat,

pengaturan kejahatan kemanusiaan, dan ICC Statuta Roma 1998

tentang kejahatan internasional.

BAB III: TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tanggung jawab

individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam suatu konflik

bersenjata. Di dalam bab tiga ini akan dijelaskan secara terperinci

tentang individu sebagai subjek hukum internasional, paham

“Impunity” dalam kejahatan internasional, kejahatan kemanusiaan

dalam konflik bersenjata, dan pengaturan tanggung jawab individu

terhadap kejahatan kemanusiaan berdasarkan ICC.

BAB IV: PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB

INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang

(21)

bersenjata di Republik Kongo sebagai kejahatan internasional oleh

Dewan Keamanan PBB, penetapan Germain Katanga sebagai

pelaku kejahatan kemanusiaan, serta putusan ICC dalam kejahatan

kemanusiaan yang dilakukan oleh Germain Katanga.

BAB V: PENUTUP

Bab kelima ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan

dari keseluruhan materi dalam skripsi ini serta dilengkapi dengan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uji linearitas yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada deviation from linearity untuk variabel dukungan sosial akademik

memilih alat dan bahan • Keterampilan pengerjaan praktikum • Ketepatan penulisan laporan praktikum (sistematika, tata bahasa, dan konsep kimia) Bentuk penilaian : •

Berdasarkan uraian diatas, masih rendahnya wanita pasangan usia subur dalam menggunakanMetode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) membuat penulis tertarik untuk

Jenis gelling agent tidak mem- berikan perbedaan nyata terhadap aroma daun hantap dengan penilaian mutu hedonik tertinggi untuk xanthan gum (p>0,05), sedangkan tingkat

yang dikembangkan untuk pencarian rute dengan kedua metode, khususnya metode A*, tergantung pada besar kecilnya ukuran peta dan grid peta serta jarak antara node awal dan node

Adapun faktor yang dimaksud yaitu (1) apakah sarana dan prasarana angkutan sudah memadai, dalam rangka mengirim barang ke tujuan secara tepat waktu ( transportation ),

sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga. dimensi tersebut

Saya memerlukan informasi untuk mendukung penelitian yang akan saya lakukan dengan judul “Pengaruh Integritas Auditor, Independensi Auditor dan Gaya Kepemimpinan