• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Salah satu hal penting yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai karakteristik sosio demografi responden. Menurut Skinner, seorang ahli perilaku, (cit., Notoadmodjo, 1993), lingkungan atau karakteristik seseorang berkaitan dengan pembentukan sikap dan tindakan seseorang tersebut. Dalam penelitian ini, karakteristik responden yang akan dibahas meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan dan pendapatan responden per bulan. Tingkat partisipasi dalam penelitian ini sebesar 93%, yaitu 161 responden.

1. Usia

Pada penelitian ini subjek penelitian yang ditetapkan sebagai kriteria inklusi adalah subjek penelitian yang berusia lebih dari atau sama dengan 18 tahun. Menurut Undang-undang nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, usia 18 tahun merupakan batas usia dewasa seseorang.

Tabel I. Distribusi usia responden Rentang Usia (18-75 tahun) Jumlah N=161 Persentase (%) 18-44 113 70 45-59 43 27 60-69 4 2 ≥70 1 1 Total 161 100

Usia dewasa adalah usia seseorang yang memiliki hak untuk melakukan perbuatannya sendiri dengan tanggung jawabnya sendiri tanpa adanya bantuan

35

dari pihak lain (Adjie, 2013). Perbuatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sikap dan tindakan responden dalam pemilihan obat saat melakukan pengobatan mandiri. Dari hasil penelitian didapatkan rentang usia yang beragam dari 18 – 75 tahun (lihat tabel 1) dengan median usia responden adalah 39 tahun.Menurut Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Tahun 2011, kelompok usia produktif adalah sekelompok penduduk yang berusia 15-44 tahun, kelompok pra usia lanjut adalah 45-59 tahun, kelompok usia lanjut adalah lebih dari 60 tahun, sedangkan kelompok usia lanjut risiko tinggi adalah 70 tahun ke atas. Sebagian besar responden pada penelitian ini berada pada rentang usia produktif.

2. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 1), dari 161 responden yang bersedia mengisi kuesioner, sebanyak 68% (110 responden) adalah perempuan dan sebesar 32% (51 responden) adalah laki-laki.

Gambar 1. Persentase responden laki-laki dan perempuan, N=161 Menurut Noviana (2011), kaum wanita lebih banyak melakukan pengobatan mandiri dan lebih peduli terhadap kesehatan, baik dirinya sendiri mau pun keluarganya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Selain itu, menurut Thoma

36

(2011), wanita yang lebih peduli terhadap kesehatan dibandingkan laki-laki, cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai pengobatan mandiri. 3. Status pernikahan

Status pernikahan responden meliputi menikah dan belum menikah. Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 2), dari 161 responden, sebanyak 91% responden telah menikah, sedangkan sebanyak 9% belum menikah.

Gambar 2. Persentase status pernikahan responden, N=161

Menurut hasil penelitian Widayati (2012), status pernikahan berpengaruh terhadap pola tindakan self-care, termasuk swamedikasi dengan obat modern dan obat tradisional atau herbal.

4. Tingkat pendidikan terakhir

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adikuntati (2008), tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang tentang swamedikasi. Responden dengan pendidikan tinggi cenderung akan lebih mudah menerima informasi dan lebih baik untuk mengaplikasikan informasi atau pengetahuan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel II), didapatkan bahwa sebagian besar responden (61%) adalah lulusan SD. Selain itu, terdapat responden dengan tingkat pendidikan terakhir SMP sebesar 25% (40 responden), SMA/SMK

37

sebesar 7% (11 responden), tidak tamat SD sebesar 3% (6 responden), perguruan tinggi sebesar 2% (3 responden), dan 3 responden yang tidak sekolah dengan persentase sebesar 2%.

Tabel II. Frekuensi tingkat pendidikan terakhir responden No Tingkat Pendidikan Jumlah N=161 Frekuensi (%) 1 SD 98 61 2 SMP 40 25 3 SMA/SMK 11 7 4 Perguruan tinggi 3 2 5 Tidak tamat SD 6 3 6 Tidak sekolah 3 2 Total 161 100

Dari tingkat pendidikan di atas, kemudian dikategorikan lagi menjadi dua, yaitu tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SMP) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA/SMK dan perguruan tinggi), sehingga didapatkan gambar sebagai berikut.

Gambar 3. Presentase tingkat pendidikan responden, N=161

Pada penelitian yang dilakukan oleh Adikuntati (2008), terdapat adanya hubungan antara tingkat pendidikan terhadap pengetahuan responden mengenai swamedikasi. Dari gambar di atas, ditemukan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu sebanyak 91% (147 responden),

38

sedangkan sisanya sebanyak 9% (14 responden) memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.

5. Jenis pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel II), sebagian besar pekerjaan responden adalah sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) dengan persentase 35% (56 responden). Selain itu sebanyak 32% adalah petani, 4% sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 18% sebagai wiraswasta, 4% sebagai pedagang, 4% sebagai pelajar/mahasiswa dan 3% sebagai tukang.

Tabel III. Frekuensi jenis pekerjaan responden No Jenis pekerjaan responden Jumlah N=161 Persentase (%) 1 Swasta 29 18

2 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 6 4

3 Pedagang 7 4

4 Mahasiswa/Pelajar 6 4

5 Ibu Rumah Tangga (IRT) 56 35

6 Petani 52 32

7 Tukang 5 3

Total 161 100

Jenis pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi tingkat sosial dan interaksi sosial seseorang dengan orang lain yang berasal dari lingkungan berbeda (Kurniasari, 2007). Interaksi antar individu akan menyebabkan terjadinya tukar-menukar informasi mengenai swamedikasi dan pemilihan obat untuk menanganinya. Selain itu, seseorang dengan jenis pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan yang tinggi, mungkin cenderung memilih cara pengobatan yang lebih baik karena memiliki kesempatan untuk melakukannya dibandingkan dengan seseorang yang jenis pekerjaannya hanya memberikan sedikit pendapatan.

39 6. Pendapatan per bulan

Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 4), sebagian besar responden (50%) berpendapatan antara Rp300.000,00 sampai Rp1.000.000,00. Kemudian sebanyak38% (61 responden) berpendapatan kurang dari Rp 300.000,00; sebanyak 7% (11 responden) berpendapatan antara Rp1.000.000,00 sampai Rp1.500.000,00; sebanyak 4% (6 responden) berpendapatan lebih dari Rp2.000.000,00; dan sebanyak 1% (2 responden) berpendapatan antara Rp1.500.000,00 sampai Rp2.000.000,00.

Gambar 4. Persentase pendapatan per bulan responden, N=161 Tingkat pendapatan seseorang per bulan terkait dengan tingkat sosial ekonomi seseorang. Menurut Adikuntati (2008), tingkat pendapatan seseorang berpengaruh terhadap sikap seseorang mengenai jenis pengobatan seseorang, termasuk swamedikasi. Masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi akan dengan mudah mengakses semua sarana kesehatan, tetapi masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah akan cenderung menjadikan biaya sebagai pertimbangan utama dalam hal pencarian pengobatan.

40

B.Pengenalan Responden Terhadap Pengobatan Mandiri

Pengobatan mandiri atau swamedikasi merupakan suatu tindakan seseorang untuk mengobati diri sendiri mau pun keluarganya secara tepat dan bertanggungjawab (Manurung, 2010). Berdasarkan pertanyaan “Apakah Anda pernah mendengar istilah pengobatan mandiri atau swamedikasi?”, didapatkan bahwa sebanyak 65.8% (106 responden) menyatakan tidak pernah mendengar istilah pengobatan mandiri atau swamedikasi,sedangkan sebanyak 34.2% (55 responden) menyatakan pernah mendengar istilah tersebut.

Gambar 5. Persentase responden mendengar istilah pengobatan mandiri, N=161

Dari 55 responden yang menyatakan bahwa mereka pernah mendengar istilah tersebut dari dokter/dokter gigi/apoteker/perawat/bidan sebanyak 2% (3 responden), sebanyak 17,2% (29 responden) mendengar istilah tersebut dari media cetak/elektronik, sebanyak 7% (11 responden) mendengar istilah tersebut dari teman/saudara/tetangga, dan sebanyak 6% (10 responden) mendengar istilah tersebut dari tenaga kesehatan lain (kesehatan masyarakat/ahli gizi). Satu responden mendengar istilah tersebut dari volunteer KKN yang pernah mengabdikan diri pada desa mereka dan satu yang lain mendengar istilah tersebut dari perkuliahan.

41

Dari penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan informasi mengenai istilah swamedikasi atau pengobatan mandiri dari media cetak / elektronik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2010) bahwa informasi terbanyak yang mempengaruhi sikap seseorang dalam hal kesehatan berasal dari iklan pada media cetak mau pun elektronik, sehingga pemberian informasi kesehatan lewat media tersebut sebaiknya sesuai dan benar agar masyarakat tidak salah menerima informasi.

Gambar 6. Persentase sumber informasi responden mengenai istilah swamedikasi, N=161

Dalam penelitian ini juga dibahas mengenai definisi swamedikasi atau pengobatan mandiri meurut responden. Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa 50,9% (82 responden) memilih jawaban “a”, yaitu “Upaya pengobatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa bantuan dokter untuk mengatasi keluhan sakit

ringan yang dialaminya”, sebanyak 19,3% (31 responden) memilih jawaban “b”, yaitu “Tindakan penggunaan obat-obatan tanpa resep dokter oleh masyarakat atas inisiatif sendiri”, dan sebanyak 29,8% (48 responden) memilih jawaban “c”, yaitu “tidak tahu”.

42

Gambar 7. Persentase pengertian responden tentang definisi pengobatan mandiri, N=161

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa sebagian responden yang tidak pernah mendengar istilah pengobatan mandiri atau swamedikasi sebenarnya tahu apa definisi dari istilah tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa sebanyak 105 responden menyatakan tidak pernah mendengar istilah pengobatan mandiri atau swamedikasi, tetapi hanya 48 responden yang menyatakan tidak tahu definisinya. Namun demikian, bisa juga terdapat kemungkinan responden asal menjawab pertanyaan dalam kuesioner.

Menurut World Health Organization (1998), swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat baik obat modern mau pun obat tradisional oleh seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya. Obat modern yang bisa digunakan untuk pengobatan mandiri adalah jenis obat bebas dan obat bebas terbatas (Harmanto dan Subroto, 2007). Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 18% (29 responden) berpendapat bahwa pengobatan mandiri hanya bisa dilakukan dengan menggunakan obat moderen, sebanyak 41% (66 responden) menjawab hanya obat tradisional yang dapat digunakan untuk pengobatan mandiri, dan

43

sebanyak 41% (66 responden) berpendapat bahwa baik obat tradisional mau pun obat modern dapat digunakan untuk pengobatan mandiri (Gambar 9).

Pada hasil penelitian didapatkan bahwa banyaknya responden yang memilih obat tradisional dan keduanya (obat tradisional dan modern), sama besarnya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Supardi,dkk. (2001), didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat kota melakukan pengobatan mandiri mengunakan obat modern, sedangkan sebagian besar masyarakat desa cenderung lebih dominan menggunakan obat tradisional ketika melakukan pengobatan mandiri. Namun demikian, pada dasarnya, baik obat modern atau pun obat tradisional dapat digunakan untuk pengobatan mandiri atau swamedikasi.

Gambar 8. Persentase pendapat responden tentang jenis obat yang digunakan dalam pengobatan mandiri, N=161

Dokumen terkait