• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Hasil Belajar

D. Karakteristik Siswa SD

Piaget (1964: 177-178) membagi perkembangan intelektual siswa dalam empat tahap, sebagai berikut.

1. Tahap Sensori Motor (usia 0 – 2 tahun)

Tahap ini berlangsung selama 18 bulan pertama kehidupan manusia. Selama tahap ini, terjadi perkembangan pengetahuan praktis yang merupakan gambaran dari pengetahuan. Contohnya adalah pembentukan skema dari benda konkret. Selama bulan pertama kehidupan, bayi belum bisa menyimpan ingatannya secara tetap. Ketika ingatannya tentang suatu objek menghilang, bayi akan mencarinya berdasarkan lokalisasi spasial. Akibatnya, selama terjadi pembentukan konsep tentang objek-objek konkret, terbentuklah juga konsep spasial atau sensori motor. Terdapat hubungan antara pembentukan serangkaian konsep dan hubungan sebab akibat. Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dikembangkan perlahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap

skema-64

skema anak karena adanya masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru.

2. Tahap Pra-Operasional (usia 2 – 7 tahun)

Tahap ini merupakan awal dari perkembangan bahasa anak, fungsi simbolis, fungsi pikiran atau representasi. Pada tahap ini siswa mulai mampu menggunakan kata-kata yang benar dan mampu mengekspresikan kalimat pendek secara efektif. Tetapi pada tingkat representasi pemikiran, harus ada sebuah rekonstruksi yang dikembangkan pada tingkat sensorik-motor, karena tindakan sensori motor tidak langsung diwujudkan dalam bentuk tindakan. Faktanya selama tahap ini berlangsung, belum ada tindakan seperti yang telah didefinisikan sebelumnya. Secara khusus, belum ada konservasi yang merupakan kriteria adanya tindakan yang dapat dibalik. Sebagai contoh, jika kita menuangkan cairan dari satu gelas ke gelas lain yang berbeda bentuk, anak pada tahap ini akan berpikir bahwa salah satu gelas memiliki cairan yang lebih banyak. Dalam ketiadaan pengetahuan tentang tindakan yang dapat dibalik, maka tidak ada konservasi kuantitas.

3. Tahap Operasional Konkret (usia 7 – 11 tahun)

Tahap ini disebut sebagai operasi konkret karena siswa bertindak pada objek dan belum pada pengungkapan hipotesis secara verbal. Sebagai contoh, yaitu adanya tindakan mengklasifikasikan; menata; pembentukan konsep bilangan, ruang dan waktu; dan semua tindakan yang berdasar pada logika di kelas dan hubungan dengan teman sebaya; pengetahuan tentang matematika dasar, geometri dasar dan bahkan fisika dasar. Siswa sudah mempu memahami

aspek-65

aspek kumulatif (volume dan jumlah), memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang tingkatannya bervariasi, dan mampu berpikir secara sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. 4. Tahap Operasinal Formal (usia 11 – 14 tahun)

Pada tahap ini tindakan siswa sudah mencapai tingkat yang disebut operasi formal, maksudnya siswa sudah dapat mengungkapkan alasan atas hipotesis yang ia buat, dan dapat berpikir secara abstrak. Siswa sudah dapat berpikir menggunakan logikanya dan tidak hanya sebatas hal-hal yang terdapat di dalam kelas, hubungan teman sebaya, maupun tentang angka. Siswa dapat bekerja dengan kelompok secara lebih baik. Siswa telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan dua ragam kemampuan kognitif secara serentak maupun berurutan. Siswa juga dapat memahami materi pelajaran yang sifatnya abstrak.

Mengacu pada teori kognitif Piaget, perkembangan intelektual siswa sekolah dasar termasuk dalam tahap pemikiran operasional konkret, yaitu masa dimana aktivitas mental siswa terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya. Berkaitan dengan materi peristiwa sekitar proklamasi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang kejadiannya merupakan kejadian yang terjadi pada masa lampau, maka metode role playing dapat digunakan untuk menghidupkan kembali suasana historis pada masa lampau agar siswa dapat terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya, dimana hal ini sesuai dengan tahap pemikiran operasional konkret.

66

Masa anak bersekolah yaitu usia 7 – 12 tahun. Menurut Dalyono (2005: 97) terdapat beberapa ciri pribadi masa ini antara lain: (1) kritis dan relistis, (2) banyak ingin tahu dan suka belajar, (3) ada perhatian terhadap hal-hal yang praktis dan konkret dalam kehidupan sehari-hari, (4) mulai timbul minat terhadap bidang-bidang pelajaran tertentu, (5) sampai umur 11 tahun anak suka meminta bantuan kepada orang dewasa dalam menyelesaikan tugas-tugas belajarnya, (6) mendambakan angka-angka raport yang tinggi tanpa memikirkan tingkat prestasi belajarnya, (7) siswa suka berkelompok dan memilih teman-teman sebaya dalam bermain dan belajar. Ciri-ciri khas siswa masa kelas tinggi sekolah dasar (Izzaty, dkk, 2013: 115) yaitu perhatiannya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari, ingin tahu, ingin belajar, realistis dan timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus. Ciri-ciri khas siswa tersebut, dapat diperhatikan oleh guru untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi dan karakteristik siswa.

Berdasarkan karakteristik siswa SD yang senang berkelompok dalam bermain dan belajar, memiliki kemampuan menganalisis, aktif, menemukan sendiri apa yang mereka ingin ketahui, mempunyai minat pada hal-hal kecil, kaya imajinasi dan kreatif dapat terakomodasi dengan menerapkan metode role playing pada pembelajaran. Melalui metode role playing khususnya pada pembelajaran IPS materi peristiwa sekitar proklamasi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, siswa dapat lebih aktif, berani tampil di depan kelas, kreatif, imajinatif, serta dapat ikut merasakan bagaimana perjuangan para tokoh untuk memperjuangkan kemerdekaan melalui penghayatan peran tokoh yang mereka mainkan masing-masing.

67 E. Definisi Operasional

Untuk menghindari perbedaan pemahaman supaya tidak menjadi penafsiran yang keliru dan kemungkinan timbulnya makna ganda, serta pembaca paham akan maksud peneliti tentang variabel-variabel penelitian, maka perlu diberikan penjelasan sebagai berikut.

1. Hasil belajar IPS

Hasil belajar IPS adalah hasil tes dari materi Peristiwa Sekitar Proklamasi dan Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan yang mencerminkan kemampuan kognitif C1, C2, dan C3, serta hasil observasi perilaku siswa pada saat mengikuti pembelajaran IPS menggunakan metode role playing yang mencerminkan kemampuan psikomotor P1, P2, dan P3. Kemampuan kognitif yang diukur pada penelitian ini meliputi, a) pengetahuan (C1), yang meliputi kemampuan siswa untuk menyebutkan, mengidentifikasi, menunjukkan, memilih, menyatakan, menulis, memasangkan, dan menamai, b) pemahaman (C2), yang meliputi kemampuan siswa untuk menjelaskan, menafsirkan, membandingkan, menguraikan, dan membedakan, dan c) penerapan (C3), yang meliputi kemampuan siswa untuk menerapkan, memanfaatkan, membiasakan, menilai dan menyikapi. Kemampuan psikomotor atau kemampuan siswa dalam berperilaku yang diukur dalam penelitian ini meliputi, a) perception (persepsi) yang meliputi aspek rangsangan indera, pemilihan stimulus, dan translasi, b) set (kesiapan) yang meliputi kesiapan mental, kesiapan fisik, dan kesiapan emosional, dan c) guided response (gerakan terbimbing) yang meliputi aspek imitasi dan trial and error. Adapun yang merupakan hasil belajar IPS dalam penelitian ini adalah hasil tes

68

ranah kognitif berupa aspek pengetahuan, pemahaman dan penerapan serta hasil lembar pengamatan perilaku siswa yang diperoleh selama siswa mengikuti proses pembelajaran IPS menggunakan metode role playing berupa aspek perception, set, dan guided response.

2. Metode Role Playing

Metode role playing adalah metode pembelajaran melalui permainan peran-peran tertentu, dengan memperagakan cerita-cerita terkait peristiwa masa lampau agar siswa memiliki pemahaman yang lebih terkait materi yang sifatnya abstrak, serta dengan menerapkan langkah-langkah, sebagai berikut.

a. Pemanasan (pengantar serta pembahasan cerita dari guru)

Cerita pengantar disampaikan guru untuk menarik perhatian siswa dan membantu siswa masuk dalam suasana yang hendak dimainkan dalam role playing.

b. Memilih siswa yang akan berperan

Siswa dan guru membahas karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya. Pemilihan siswa sebisa mungkin pilih pemain yang dapat mengenali peran yang hendak dibawakan.

c. Menyiapkan penonton yang akan mengobservasi

Penonton harus mengetahui tugasnya saat permainan role playing dilaksanakan. Penonton yang mengobservasi diberikan panduan observasi agar kegiatan dapat berlangsung sesuai dengan yang telah direncanakan.

d. Mengatur panggung

69

Penataan panggung ini dapat sederhana ataupun kompleks. Konsep sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran itu sendiri.

e. Permainan

Pada saat permainan berlangsung, jika terjadi kemacetan guru membimbing dengan pertanyaan. Jika tidak berhasil, maka mencari pemain pengganti. Apabila pemain pengganti tidak ada, langsung pada diskusi dan evaluasi.

f. Diskusi dan evaluasi

Diskusi membantu siswa dalam menganalisis, menafsirkan, memberi jalan keluar dan mereaksi permainan yang dilakukan yang berdampak pada pengetahuan dan perilaku siswa. Evaluasi ini dapat disampaikan oleh penonton maupun guru. Penonton dan guru dapat memberikan saran dan tanggapan terhadap permainan yang telah dilakukan oleh kelompok yang baru bermain. g. Permainan berikutnya

Permainan berikutnya dapat menambah pemahaman siswa mengenai materi yang dipelajarinya.

h. Diskusi lebih lanjut

Diskusi lebih lanjut digunakan untuk memperdalam analisis, penafsiran, dan reaksi siswa.

i. Generalisasi

Menyimpulkan materi yang sudah dipelajari melalui metode role playing. Tahap ini dilakukan dengan panduan atau bimbingan dari guru.

70 F. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian Sumarno (2013) dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Metode Role Playing dalam Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar PKn pada Siswa Kelas VI SD Negeri 01 Kedungjeruk Mojogedang Karanganyar menunjukkan bahwa penerapan metode role playing dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn. Peningkatan ini tampak dari skor motivasi belajar sebelum pelaksanaan tindakan adalah 238 atau 33%, pada pelaksanaan siklus I meningkat menjadi 413 atau 57%, kemudian diikuti peningkatan pada siklus II menjadi 606 atau 84%. Sedangkan rata-rata hasil belajar PKn pra siklus adalah 57,87, pada pelaksanaan tindakan siklus I rata-rata hasil belajar PKn menjadi 72,87 kemudian meningkat lagi menjadi 82,33 pada pelaksanaan siklus II.

2. Hasil penelitian Handayani (2013) dalam skripsinya yang berjudul Meningkatkan Partisipasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran IPS Menggunakan Metode Role Playing pada Siswa Kelas V SD Negeri Playen III menunjukkan bahwa penerapan metode role playing dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan partisipasi belajar. Aspek partisipasi belajar pada siklus I, yang meliputi partisipasi bertanya memiliki persentase sebesar 53,57%, menjawab pertanyaan 52,38%, menyelesaikan tugas 54,76%, berdiskusi 52,38%, mencatat materi pelajaran 55,95%, mengerjakan soal 53,57%, menyelesaikan tes secara individu 53,57%, dan menyimpulkan materi pelajaran sebesar 51,19%. Pada siklus II persentase tiap aspek mengalami

71

kenaikan hasil. Partisipasi bertanya menjadi sebesar 76,19%, menjawab pertanyaan 79,76%, menyelesaikan tugas 82,14%, berdiskusi 80,95%, mencatat materi pelajaran 77,38%, mengerjakan soal 78,57%, menyelesaikan tes secara individu 77,38%, dan menyimpulkan materi pelajaran sebesar 77,38%.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumya seperti yang telah disebutkan di atas, akan tetapi saling terkait dan mendukung. Penelitian Sumarno berhasil meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas VI pada mata pelajaran PKn melalui penerapan metode role playing, sedangkan pada penelitian Handayani penerapan metode role playing berhasil untuk meningkatkan partisipasi belajar IPS pada siswa kelas III SD. Penelitian ini sendiri untuk meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas V SD.

Dokumen terkait